Indy merebahkan tubuhnya yang sama rapuhnya dengan hatinya itu. Ia berusaha memejamkan matanya, namun rasanya tak sanggup. Hatinya dipenuhi oleh kehampaan dan kelelahan secara emosional yang semakin berat dari hari ke hari. Dalam keheningan yang mencekam, ia memandang Anggara yang sedari tadi membelakanginya, tidur dengan punggung yang kini tak lebih dari tembok penghalang nan tinggi di antara mereka. Ia tidak mengerti bagaimana semuanya bisa berubah sedemikian rupa.
Indy beranjak dan mendatangi kamar Agni yang terletak di samping kamar tidurnya dan Anggara. Putri kecilnya itu sedang tertidur pulas. Wajah mungilnya tampak tenang dalam tidurnya. Indy mengelus kepala Agni perlahan, menghapus air matanya sebelum ia terisak. Putri kecil inilah satu-satunya yang membuatnya merasa utuh dan bertahan di rumah ini.
Tapi di dalam hatinya, Indy tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam keterasingan di rumah yang seharusnya menjadi tempat ia merasa aman dan dicintai. Setiap percakapan dengan Anggara berubah menjadi sebuah pertempuran, seolah mereka tak lagi berbicara dalam bahasa dan frekuensi yang sama. Harapan dan kasih sayang yang dulu menyatukan mereka kini tertutup oleh dinginnya sikap dan jarak yang tak terjembatani.
Di tengah kegundahannya, ponselnya bergetar di dalam saku celana tidurnya. Satu pesan masuk, dan di layar tertulis nama yang sudah begitu akrab: Arjuna.
[Honey, I hope you’re doing okay. If you need someone to talk to, I’m here.]
Indy menatap pesan itu beberapa saat lalu menggigit bibirnya sambil merasakan gejolak yang bercampur antara rasa bersalah dan keinginan untuk menemukan kedamaian.
Dengan ragu, ia mengetik balasan, mengetuk layar perlahan seakan sedang mengukur setiap kata yang akan dikirim.
[Thank you, Honey. I’m really struggling right now. Can we meet right now?]
Pesan terkirim. Sejenak ia menahan napas, merasa dirinya terbagi di antara dua dunia yang bertolak belakang. Di satu sisi, ada pernikahannya yang semakin hampa, dan di sisi lain, ada kehangatan yang ia rasakan saat bersama Arjuna.
Indy menutup matanya, merasakan bahwa keputusan yang ia buat malam itu bersama Arjuna mungkin akan mengubah segalanya, tak hanya bagi dirinya, tapi bagi setiap orang yang ia cintai. Tapi di hatinya yang hampa, ada kebutuhan yang tak tertahankan untuk merasa dipahami dan diinginkan kembali.
Indy memarkir mobilnya di depan hotel yang tersembunyi, tempat di mana ia dan Arjuna selalu bertemu dan menghabiskan malam bersama. Bangunan itu tak terlalu mencolok, namun cukup tenang dan sepi, cukup sesuai untuk pertemuan yang ia tahu tak seharusnya terjadi. Jantungnya berdebar saat ia memasuki lobi, matanya mencari-cari sosok Arjuna di antara pengunjung yang jarang. Ia tahu, pertemuan ini adalah sebuah pelarian, tapi hatinya menginginkan kedekatan yang begitu ia rindukan.
Tak lama, Arjuna muncul dari arah lain, berpenampilan kasual, mengenakan kaus hitam bergambar Kamen Rider dan celana jeans. Raut wajahnya penuh kehangatan yang langsung menyelimuti Indy dalam rasa aman dan gembira. Mereka berdua saling tersenyum, tanpa kata-kata. Di antara mereka terjalin rasa yang tak perlu dijelaskan, sebuah pemahaman yang tumbuh dari kesamaan nasib dan kebahagiaan yang tak bisa mereka temukan di rumah masing-masing.
Setelah melapor di resepsionis, mereka berdua naik ke−kali ini−lantai sebelas dan memasuki kamar yang sudah akrab bagi mereka. Ruangan tipe suite berukuran delapan kali enam dengan lampu temaram, menciptakan suasana hangat yang membuat hati mereka terasa nyaman. Ketika pintu tertutup dan dikunci, keduanya berdiri berhadapan tanpa sepatah kata, hanya suara napas dan deru angin dari AC yang terdengar di antara ketenangan malam.
Arjuna mengulurkan tangan, mengusap lembut pipi Indy, menatapnya dengan pandangan penuh pengertian yang selama ini sulit ia temukan dari orang lain-terutama suaminya sendiri. Indy membalas tatapan itu, merasakan campuran antara ketenangan dan kegelisahan. Di satu sisi, ada rasa nyaman dan penuh kasih yang membuatnya ingin terus berada di sana, namun di sisi lain, ada rasa bersalah yang perlahan menggerogoti isi pikirannya.
Namun, seiring waktu yang berlalu, rasa bersalah itu semakin kabur, tenggelam dalam pelukan hangat Arjuna yang seolah menyembuhkan luka-luka di hati mereka berdua. Dalam pelukan itu, Indy merasakan keintiman yang selama ini ia rindukan, sebuah keintiman yang tak lagi ia rasakan di dari suaminya sendiri.
Malam itu, mereka berbincang panjang, membiarkan semua cerita dan perasaan yang selama ini terpendam meluap tanpa batasan. Arjuna menceritakan tentang Nisrina, tentang tuntutan dan tekanan yang ia alami. Sementara itu, Indy berbagi tentang Anggara, tentang rasa terasing dan kesedihan yang semakin lama semakin dalam. Mereka saling berbagi cerita, berbagi luka, hingga akhirnya jatuh dalam keheningan, merasakan kenyamanan yang jarang mereka temukan dalam kehidupan masing-masing.
Di antara kehangatan malam yang sunyi itu, mereka menyerahkan diri pada perasaan yang telah lama terpendam. Namun di balik semua kebahagiaan yang mereka rasakan, di hati kecil masing-masing, terselip ketakutan akan konsekuensi yang mungkin menanti mereka di kemudian hari, apalagi jika ada yang mengetahui hubungan terlarang ini.
Setelah perbincangan panjang dalam katarsis, sepanjang malam mereka saling beradu tatap, saling menggenggam, saling berpagutan, dan melepaskan hasrat di diri masing-masing sama seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya.
Indy duduk di tepi ranjang, menatap Arjuna dengan pandangan yang penuh penyesalan dan keraguan.
“Apa yang sedang kita lakukan, Juna?” tanyanya dengan suara pelan.
Arjuna yang berbaring di sampingnya, menarik napas dalam-dalam.
“Aku juga mempertanyakan hal yang sama. Tapi yang aku tahu, aku merasa sangat bahagia dan bermakna jika berada di sampingmu, Indy.”
Indy menggigit bibir bawahnya, merasa terbebani.
“Tapi kita sama-sama tahu, kan, kita berdua sudah memiliki kehidupan masing-masing. Aku punya Anggara, dan kamu punya Nisrina. Apa yang akan kita lakukan jika ini semua terbongkar?”
“Tidak ada yang bisa kita lakukan, selain menerima kenyataan bahwa kita telah memilih jalan ini. Kita tidak bisa kembali ke masa lalu, dan kita sudah sejauh ini. Aku pun tidak mau melepaskannya, Indy,” jawab Arjuna, suaranya tegas meskipun hati kecilnya ragu. Terdengar seperti suara bisikan ego yang berkumandang.
Indy merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Semua alasan untuk berhenti kini seolah menghilang, digantikan oleh dorongan batin yang kuat untuk melanjutkan apa yang sudah mereka mulai walaupun bagian dari dirinya yang masih memiliki kesadaran akan keluarga dan tanggung jawab terus berontak dan mengatakan untuk menyudahi semua ini.
Arjuna juga tidak bisa mengelak dari perasaan yang tumbuh begitu cepat. Ia merasa ada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar sentuhan fisik di antara mereka. Ada kedekatan emosional yang sudah terbentuk, sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan terlarang. Ia selalu merasa seolah Indy adalah bagian dari hidupnya yang hilang, dan hubungan mereka, meskipun salah, terasa seperti jawaban atas kekosongan yang juga ia rasakan. Jujur saja, rasa itu sudah muncul saat menatap wanita itu, di pertemuan pertama. Ia tidak menyangka mimpinya untuk menggapai cinta pertamanya itu bukan hal yang mustahil untuk diraih.
Setelah pertemuan malam itu di hotel, baik Indy maupun Arjuna kembali ke kehidupan masing-masing seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda dalam hidup mereka berdua. Indy merasa perasaan yang ia miliki terhadap Arjuna mulai mempengaruhi kesehariannya, bahkan saat ia bersama Anggara atau Agni. Pikirannya sering kali melayang pada momen-momen hangat yang ia alami bersama Arjuna, seolah-olah memberi ilusi bahwa kehidupan mereka jauh dari tekanan dan kekacauan.
Namun kenyataan tetap menghantui Indy. Suatu hari, Anggara pulang lebih sore dari biasanya dengan ekspresi murung dan lelah seperti hari-hari sebelumnya. Ia nyaris tidak bicara apa pun kepada Indy, hanya berlalu begitu saja, duduk di ruang keluarga sambil membuka laptop, berkutat dengan pekerjaan dan laporan yang tampak tak ada habisnya. Indy mencoba menawarkan secangkir kopi dan camilan, namun Anggara menolak dengan nada datar, membuat Indy merasa semakin jauh dan tidak diinginkan.
Indy mengirim pesan pada Arjuna untuk sekadar berbagi perasaan. Arjuna merespons dengan hangat, berusaha menenangkan Indy, padahal ia pun sedang berada dalam kondisi yang tak jauh berbeda. Di rumah, Nisrina terus menuntut lebih darinya, mempertanyakan pekerjaan dan penghasilannya, bahkan meremehkan usaha Arjuna yang seharusnya dihargai. Malah kali ini Nisrina menuntut ingin membuat acara gender reveal besar-besaran di hotel berbintang dengan mengundang keluarga besar dan teman-temannya. Arjuna yang semula hanya menganggapi dengan sabar, kini mulai lelah dan terkadang memilih menghindar. Ada saat-saat di mana ia tak ingin pulang lebih awal, berusaha mencari alasan untuk berada di luar rumah. Pikirannya semakin penuh dengan bayangan Indy, wanita yang mampu memberinya kedamaian yang tak bisa ia temukan bersama Nisrina.
Seiring dengan semakin dalamnya keterikatan mereka, kecemasan pun mulai melanda. Setiap kali pesan dari Arjuna masuk ke ponselnya, Indy merasa khawatir jika ada yang melihat, terutama jika Agni atau Anggara memperhatikan gerak-geriknya. Demikian pula Arjuna yang mulai merasa risih dengan sorot curiga dari Nisrina setiap kali ia menerima pesan atau tiba-tiba terlihat senang setelah bertukar pesan di w******p dengan Indy.
Di tengah kebahagiaan sesaat yang mereka rasakan, Indy dan Arjuna sadar bahwa hubungan ini semakin sulit untuk dijaga. Terkadang, mereka saling meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja dan mereka pantas merasa bahagia. Namun di sisi lain, mereka tahu bahwa hidup ini tak semudah itu. Dunia kecil yang mereka ciptakan untuk pelarian sementara, suatu saat nanti pasti akan runtuh dihujam oleh kenyataan. Meski begitu, keinginan untuk bertemu lagi tak pernah padam.
Ketika malam tiba, Indy berbaring di tempat tidurnya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega telah menemukan seseorang yang memahami dirinya, namun di sisi lain, rasa bersalah semakin menghantui. Begitu juga dengan Arjuna, yang setiap kali melihat Nisrina dan Aksara, putranya, ia merasa ada sesuatu yang tidak bisa ia wujudkan sebagai suami dan ayah yang sempurna.
Batin mereka dipenuhi dilema, sadar bahwa suatu hari nanti, mungkin mereka harus membuat keputusan yang sulit. Indy dan Arjuna berada di persimpangan yang tak pasti, di mana setiap langkah ke depan terasa semakin rumit, membayangi kebahagiaan singkat yang mereka miliki.
Indy menatap pesan-pesan mesra yang dikirimkan Arjuna untuknya. Pesan-pesan yang menguatkan hatinya, yang menenangkan jiwanya, yang saat ini selalu ia tunggu setiap detiknya. Ternyata sudah sejauh ini mereka melangkah. Indy menggigit bibirnya sambil sejenak mengingat pertemuan pertamanya dengan Arjuna yang tidak mungkin ia lupakan sepanjang hidupnya.
Surabaya, masih Juni 2019Indy memandangi tiga koper besar yang sejak dua hari lalu masih tergeletak dengan terbuka di pojok kamar. Belum ada satu pun pakaiannya yang benar-benar masuk ke dalam. Rencana kembali ke Jakarta yang sejak awal bulan sudah disusun, tiba-tiba membuatnya meragu. Bukan karena ia berubah pikiran. Rasanya seperti ada sesuatu yang menahannya, tapi tidak tahu itu apa. Perasaannya mendadak tidak enak.Sebenarnya, Pak Irawan sudah menghubungi sejak seminggu lalu, meminta Indy kembali ke Jakarta untuk membantu menyusun ulang desain proposal arsitektur proyek baru yang cukup prestisius karena akan menjadi proyek besar skala nasional. Itu akan jadi kolaborasi lintas divisi yang menarik, terutama bagi Indy yang memiliki latar pendidikan Manajemen. Tapi entah kenapa, Indy merasa belum waktunya ia pulang.“Lu beneran nggak apa-apa, Van?” tanya Indy untuk kesekian kali pagi itu. Ia berdiri di ambang pintu dapur, memperhatikan adiknya yang sedang menyeduh teh celup dengan wa
Jakarta, Juni 2019Tahun ini adalah masa-masa yang cukup berat bagi Arjuna. Setelah beberapa tahun berjuang menyelesaikan pendidikannya di bidang teknik sipil dan mengumpulkan pengalaman kerja di proyek-proyek di daerah Yogyakarta, serta tuntutan dari keluarga Nisrina, ia merasa siap melangkah lebih jauh. PT. Adidaya Wiguna, perusahaan konstruksi ternama di Indonesia, mengumumkan pembukaan lowongan untuk posisi staf teknik. Bagi Arjuna, kesempatan ini ibarat tangga menuju cita-citanya serta sebagai pembuktian akan keseriusannya melangkah bersama Nisrina.Hari itu, ia melangkah masuk ke ruang wawancara dengan rasa percaya diri yang berusaha ia tunjukkan. Berseragam rapi dengan kemeja putih dan celana bahan hitam, ia membawa map berisi CV, sertifikat, dan portofolionya. Ini adalah tahap akhir dari proses rekrutmen yang sudah ia jalani beberapa waktu yang lalu untuk menentukan, apakah ia diterima atau tidak di raksasa konstruksi ini. Di dalam ruangan, seorang pria paruh baya duduk dengan
Enam bulan telah berlalu sejak Indy dan Anggara memutuskan untuk pisah rumah. Namun, kehidupan Indy tidak menjadi lebih baik. Setiap hari adalah perjuangan untuk menjaga kewarasan, terutama ketika harus menghadapi kenyataan bahwa ia kini hidup sendiri bersama Agni. Ivan yang biasa menemaninya juga sudah kembali ke Kutai Barat untuk persiapan mengajar tahun ajaran baru.Agni, putri semata wayangnya yang berusia tujuh tahun, sudah mulai menunjukkan kemajuan setelah berbulan-bulan terapi psikologi. Senyum kecil mulai kembali menghiasi wajah bocah itu, dan ia sudah lebih bersemangat untuk bermain. Indy merasa sedikit lega melihat perubahan pada anaknya. Bahkan, ia sudah mulai mengurus pendaftaran sekolah dasar untuk Agni di salah satu sekolah dasar internasional terbaik di Jakarta.“Bu, aku mau sekolah di tempat yang banyak temannya dan aku mau ikut ekskul karate,” ujar Agni dengan polos suatu pagi.Indy tersenyum kecil sambil mengelus rambut anaknya. “Iya, Sayang. Ibu akan carikan sekola
Enam bulan telah berlalu sejak Nisrina memutuskan untuk meninggalkan rumah yang ia tinggali bersama Arjuna. Waktu seakan berlalu lambat, diisi dengan berbagai perasaan yang berkecamuk di hati mereka berdua. Proses perceraian yang telah dimulai, perlahan-lahan berubah menjadi medan perang yang melelahkan. Baik Arjuna maupun Nisrina tidak pernah membayangkan bahwa pernikahan yang dulu dimulai dengan cinta yang tulus, kini harus berakhir di ruang sidang.Di sebuah ruangan sederhana di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Nisrina dan Arjuna duduk berseberangan. Keduanya mengenakan pakaian rapi, tetapi ekspresi di wajah mereka menyiratkan rasa lelah yang teramat sangat. Nisrina mengenakan blus putih dengan kerudung abu-abu, sementara Arjuna terlihat formal dengan kemeja biru tua. Di sebelah mereka, kuasa hukum masing-masing mempersiapkan dokumen yang diperlukan.Sidang hari itu adalah puncak dari semua proses yang telah mereka lalui selama enam bulan terakhir. Mediasi, negosiasi hak asuh anak
Hari itu langit Jakarta tampak cerah, seolah semesta memberikan restu untuk acara besar yang telah dinanti-nanti oleh seluruh punggawa PT. Adidaya Wiguna. Sebuah kantor cabang baru berdiri megah di pinggiran kota, siap menjadi simbol baru kesuksesan perusahaan konstruksi yang telah berdiri selama puluhan tahun itu. Para undangan, mulai dari mitra bisnis, kontraktor, hingga pejabat daerah, hingga petinggi negara berdatangan dengan pakaian rapi dan senyum penuh harapan. Acara peresmian berlangsung di aula besar gedung tersebut, dihias dengan dominasi warna kebesaran perusahaan, yaitu biru, putih, dan emas.Indy duduk di barisan depan bersama keluarganya, mengenakan kebaya kutubaru modern berwarna biru safir yang memancarkan kesan cantik dan elegan. Senyumnya tenang, tetapi hatinya tak bisa sepenuhnya damai. Hari ini bukan hanya tentang peresmian kantor cabang baru, tetapi juga tentang pengumuman besar yang telah disiapkan oleh ayahnya, Pak Irawan. Indy tahu apa yang akan dikatakan, dan
Langit Jakarta sore itu terlihat mendung temaram, seakan mencerminkan suasana di rumah Arjuna dan Nisrina. Kejadian tragis yang menimpa Nisrina dua minggu lalu telah meninggalkan luka mendalam yang tak mudah sembuh. Rumah yang biasanya hangat kini terasa sunyi dan sesak.Kedatangan kedua orang tua Nisrina dari Solo menambah guncangan emosional yang sulit dijelaskan. Mereka datang dengan agenda yang jelas: menuntut penjelasan dan menyelamatkan Nisrina dari penderitaan lebih lanjut.Ketika mobil Mercedes hitam berhenti di depan rumah mereka, Arjuna menyambut dengan campuran rasa bersalah dan kesiapan untuk menerima kemarahan mereka. Dari mobil, papi Nisrina turun dengan langkah cepat, wajahnya tegang, sementara mami Nisrina terlihat lebih tenang, meskipun matanya menyiratkan kesedihan mendalam.Tanpa basa-basi, papi Nisrina langsung melangkah ke arah Arjuna dan menghajarnya dengan tinju keras di pipi. “INI HASILNYA KAMU MENIKAHI ANAKKU?! INI YANG KATANYA KAMU MAU MEMBAHAGIAKAN DIA?!” be