Bab 123"Anak baik, jagoannya Om Keenan, bisakah kita berteman?"Kalimat itu sangat sederhana, tapi sanggup membuat mataku berkaca-kaca. Aku berusaha menahan sekuatnya agar cairan bening ini tidak merembes dari sudut mataku. Jangan ada tangis yang membuat suasana di restoran ini menjadi mellow. Cukup mas Keenan saja yang menangis. Aku tidak boleh ikutan menangis. Di dekat kami ada Donita dan pengasuh anak-anak. Jangan sampai ada yang mengira kami sedang reunian.Kulihat tangan kecil putraku mengepal ke atas. Dia tertawa riang, apalagi saat mas Keenan menciumi wajahnya."Di dekat sini ada wahana permainan anak. Kalau kamu nggak berkeberatan, kita bisa bermain bersama. Kebetulan hari ini libur. Aku dan Donita pun tidak ada pekerjaan. Khusus family time."Aku memandang wajah dua pengasuh putraku. Maya dan Naira hanya mengangkat bahu. Ya, sepertinya ini bukan ide buruk. Hari masih siang dan masih ada waktu kurang lebih satu jam sebelum pulang ke rumah."Baiklah. Aku setuju. Sudah lama ana
Bab 124Sesosok pria nampak berdiri tegak dengan tangan bersedekap di dada. Dia berdiri di depan mobil yang barusan kami tumpangi."Mas...." Aku langsung tergagap."Pulang ya. Nanti kita bicara di rumah," tegasnya. Matanya tajam menatapku, membuatku tidak berkutik.Tanpa bicara lagi aku masuk ke dalam mobil. "Pak Maman sudah aku suruh pulang. Jadi akulah yang akan mengantar kalian, supaya kalian bisa segera sampai di rumah, tidak mampir ke mana-mana lagi." Pria itu melirik ke belakang Maya dan Naira yang tengah duduk mamangku anak asuhnya masing-masing. Mereka pun diam dengan mata yang saling menatap.Aku masih diam, tak berani membantah. Lebih baik mengalah, daripada berurusan dengan pemilik muka menyeramkan saat ini.Tak ada sepatah kata pun terucap sepanjang perjalanan, kecuali desah nafas pria itu, bahkan ia tidak melirikku sama sekali. Dia fokus mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan sedang.Aku heran, bagaimana bisa pria ini sampai di mall ini? Bukankah tadi katanya dia ti
Bab 125Aku hanya menatap nanar Mas Aariz yang bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Beberapa detik kemudian, terdengar suara guyuran air. Tampaknya dia benar-benar dikejar waktu, karena tidak sampai 10 menit dia sudah keluar dengan tubuh berbalutkan handuk.Dia terlihat seksi dengan penampilan seperti itu. Aku menelan ludahku. Rambutnya yang basah dengan titik-titik air yang membasahi bahu dan pundaknya. Dia pun memakai pakaiannya dengan tergesa-gesa dan melapisinya dengan jas kebesaran, lalu segera keluar dari kamar ini tanpa pamit kepadaku."Dia sudah pergi," gumamku lirih. Aku mulai menggerakkan tubuh. Rasanya tubuhku sakit semua, terutama di area intiku. Mas Aariz ternyata bisa juga bersikap brutal seperti ini, sisi lain darinya yang baru terlihat hari ini. Tubuhku terasa lengket dengan keringat, memaksaku untuk duduk. Aku menyingkirkan selimut tanpa peduli dengan tubuh telanjangku. Toh, tidak ada siapapun di kamar ini. Aku meraih kimono mandi, lalu masuk ke kamar mandi. Berend
Bab 126"Maksud dokter apa?" Perempuan itu tergagap."Katakan pada saya, tolong perjelas lagi, alasan apa yang membuat kamu selalu menolak untuk melakukan tindakan operasi, padahal kamu mampu. Kenapa kamu selalu mengandalkan saya?""Karena saya percaya sama Dokter. Saya tahu jam terbang saya jauh lebih rendah. Saya belum lama lulus....""Tetapi untuk melakukan tindakan operasi seperti kasus yang terjadi pada ibu Kinanti ini seharusnya bisa dilakukan oleh dokter yang baru lulus spesialis sekalipun. Ini bukan tindakan yang terlalu berat, Hera. Seharusnya kamu mampu." Pria itu mengibaskan tangannya, memberi isyarat agar dokter Hera mengikutinya ke ruangan pribadinya.Mereka menyusuri lorong rumah sakit dengan beriringan, lalu pria itu membawa dokter Hera masuk ke ruangan pribadinya, kemudian menutup pintu."Saya hanya tidak percaya diri, Dok. Pengalaman saya waktu masih ko-as dulu yang terpaksa harus melakukan tindakan....""Saya tahu, tetapi kamu nggak perlu trauma yang mendalam. Kita b
Bab 127Aku tertegun. Tumben mas Aariz memanggilku dengan panggilan sayang? Biasanya cuma panggil nama saja."Sayang... kenapa diam saja? Apakah kamu lagi sakit?""Nggak Mas. Aku hanya sedang berbaring. Disuruh istirahat sama Mama.""Oh ya? Kalau gitu istirahat aja dulu. Anak-anak kan sudah ada yang ngurus. Nanti kalau sakitnya udah mendingan, kamu bisa kok main lagi sama anak-anak. Obatnya sudah diminum, kan? Salepnya sudah dioleskan, kan?" Pria itu memberondong dengan berbagai pertanyaan."Iya, aku sudah minum obat. Aku sudah mendingan kok. Mas nggak usah khawatir." "Mas masih di rumah sakit umum, kan?""Iya, Mas masih harus berjaga disini. Dokter Hera nggak bisa diharapkan. Tapi Mas usahakan bisa pulang cepat. Semoga saja tidak ada pasien darurat lagi.""Iya Mas.""Oke, Mas tutup ya. Kamu istirahat aja dulu. Nanti kita bicara lagi ya, Sayang."Pria itu menutup panggilan. Aku hanya mampu tertegun. Sedang kesambet apa suamiku, sehingga memperhatikanku seperti ini? Bukankah barusan
Bab 128Siapa yang berbuat baik, hakikatnya ia berbuat baik kepada dirinya sendiri. Dan siapa yang berbuat jahat, hakikatnya ia berbuat jahat kepada dirinya sendiri.Itu yang aku rasakan saat ini.Demi menghormati perasaan Bapak tadi, akhirnya mas Aariz tidak jadi memberikan uang itu."Terima kasih banyak ya, Pak. Semoga usahanya berkah, jualannya laris manis," ucapku sembari menjabat tangan pria itu."Sama-sama, Bu. Semoga Dokter dan Ibu diberikan kebahagiaan yang berlimpah sama Allah.""Amin." Kami mengaminkan serempak, kemudian segera berbalik menuju mobil. Pria itu melambaikan tangan, dan aku membalas lambaian tangannya."Bantuan yang kita berikan di saat orang-orang benar-benar membutuhkan pastinya akan sangat berkesan ya, Mas," komentarku saat kami sudah kembali berada di jalan raya dan melanjutkan perjalanan."Iya. Itulah sebabnya Mas tetap bersedia praktek di rumah sakit umum milik pemerintah daerah. Kalau dipikir-pikir, fokus praktek di Hermina itu juga udah menyita waktu Ma
Bab 129Alifa terlalu naif. Dari ucapannya saja menunjukkan jika sebenarnya dia sudah bisa mencintai Aariz, meski mungkin kadarnya belum terlalu besar seperti ia dulu mencintai suami pertamanya.Pria itu menghela nafas, lalu mengusap-usap tengkuk istrinya dan mencium kening perempuan itu sesaat. "Sayang, tidurlah. Jangan berpikiran yang macam-macam. Besok kita bahas lagi." Pria itu mengusap mata yang basah itu, dan mengatupkannya.Sepanjang malam ia terus memeluk istrinya. Tak tahu entah pukul berapa ia bisa benar-benar tertidur. Namun tahu-tahu alarm di ponselnya berbunyi, tanda waktu pukul 05.00 pagi.Pria sejati itu, yang jika dia mencintai istrinya, maka dia akan memuliakannya. Dan jika ia tidak mencintai istrinya, maka dia tidak menyakitinya. Kalimat itu barusan ia dapatkan dari ibunya kemarin siang. Nasehat yang benar-benar menyentuh hati. Aariz bertekad untuk terus belajar, karena itu memang sudah tugasnya sebagai seorang suami. "Shalat dulu, Sayang. Mau nggak jadi makmumnya
Bab 130"Tolonglah, Dok. Saya dan kekasih belum siap untuk menikah dan punya anak," rengek Reva. Nada suaranya seperti putus asa. "Kalau ketahuan keluarga saya sedang hamil, pasti mereka akan menyakiti Mas Lukas.""Kamu pernah menjadi asisten pribadi saya, Reva. Dan kamu tahu pasti apa jawaban saya atas permintaan kamu yang satu ini. Apakah kamu lupa?! Selama janin yang berada di rahim kamu itu memiliki tanda-tanda kehidupan dan tidak berbahaya untukmu, maka haram bagi saya untuk melenyapkannya!""Biar dosanya saya tanggung sendiri, Dok." "Ini bukan soal dosa ataupun pahala, Reva. Ini melanggar kode etik saya sebagai tenaga medis.""Tapi saya berjanji akan tutup mulut, Dok. Apapun yang terjadi, saya nggak akan nuntut," bujuk Reva."Tapi saya tidak mau ambil resiko. Akan sangat berbahaya bagi keselamatanmu sendiri. Lain cerita jika ada indikasi medis yang membuatmu tidak bisa meneruskan kehamilan." Pria itu lagi-lagi menegaskan.Dia tidak menyangka jika pasien pertamanya kali ini adal
Bab 181"Daripada dia tantrum, tambah repot lagi. Kasihan Maya. Mbak Alifa kan sibuk, lagi pula Mbak Alifa harus fokus dengan kandungan Mbak." Pria itu berucap dengan nada yang datar, nyaris tanpa ekspresi apapun. Dia mendekap Anindita dalam gendongannya. Tubuh mungil itu tampak damai dalam tidur, mungkin dia tengah bermimpi indah, sehingga tak perlu mendengarkan pembicaraan tiga orang dewasa yang tengah membahas dirinya."Ya udah, nggak apa-apa. Yang penting putri kamu itu baik-baik saja, Ta." Aariz menengahi. Dia sudah memprediksi bakal terjadi keributan jika meneruskan meladeni tingkah Atta. Pembicaraan ini sangat sensitif. Jangan sampai Atta dan Alifa merasa tidak enak hati, apalagi Alifa. Jangan sampai istrinya merasa bersalah karena merasa menomor duakan anak susuan yang merupakan putri angkat Atta itu.Sebenarnya Aariz tidak pernah membedakan anak-anaknya, hanya saja memang akhir-akhir ini sejak Anindita disapih, perhatian Alifa memang berkurang, karena lebih sering mengurung
Bab 180"Mas...." Alifa mendesah. Dia menggenggam tangan sang suami, lalu mengecup ujung jemari Aariz sekilas. "Kalau aku nggak bisa melahirkan anak laki-laki kayak Mama Wardah, apa Mas Aariz akan menceraikanku atau berpoligami?"Pertanyaan yang membuat Aariz seketika membeku. "Hei... Mas kenapa diam?" Alifa mengibaskan tangannya persis di depan mata sang suami."Apa Mas ingin menjawab jika di dalam keluarga El Fata, setiap generasi wajib memiliki anak laki-laki?" Alifa tentu saja berpikir karena Hasyim El Fata berasal dari negara timur tengah, sama seperti syekh Ishak yang garis keturunannya menginduk ke syekh Sulaiman Al-Qurthubi. Pertemuan singkat dengan Zara sedikit banyaknya mempengaruhi jalan pikiran Alifa saat ini.Soal anak. Dia tidak pernah berpikir jika ada keluarga yang begitu mengagungkan anak laki-laki, terutama bagi keluarga-keluarga yang garis keturunannya ditarik dari pihak laki-laki.Baru ia menyadari sekarang jika bukan tidak mungkin keluarga El Fata akan mengungki
Bab 179 Barulah Alifa maklum. Dia memang benar pernah mendengar tentang tokoh besar yang sangat terkenal di negeri ini. Dan ternyata suaminya Zara adalah salah satu keturunan dari tokoh itu. Keharusan memiliki anak laki-laki yang membuat pria itu memaksa istrinya untuk hamil lagi anak ke-4 dan berharap jika anak keempat adalah laki-laki, padahal kondisi rahim Zara sudah tidak memungkinkan. "Kita tidak bisa memaksakan takdir, Bu. Anak laki-laki atau anak perempuan mutlak ketentuan Tuhan." "Tapi masih ada jalan, kan? Setidaknya itu menurut versi mereka." Zara tersenyum kecut. "Setiap ikhtiar tentu diperbolehkan, tapi bukan berarti harus mengabaikan keselamatan nyawa istri sendiri." "Asal Ibu tahu, saat ini ada seorang perempuan yang berasal dari keturunan mereka siap untuk menjadi istri kedua suami saya." Mata perempuan itu mengerjap. Zara sudah tidak lagi menangis, bahkan ia menghapus sisa-sisa lembab di wajahnya dengan tisu yang disodorkan oleh Alifa. "Bagaimana jika wanita itu
Bab 178Keenan bukan pria yang pelit. Jika kepada keluarganya sendiri terkesan hitung-hitungan, dia hanya sekedar memberikan pelajaran. Mencari uang bukan hal yang gampang, dan dia bukan ATM berjalan.Meski ada beberapa orang yang bergantung hidup kepadanya, dan ia biayai selama ini. Dia sengaja membiarkan ibu dan kedua kakak perempuannya bertahan dengan uang bulanan pas-pasan, agar mereka mau belajar menghargai pemberiannya. Jangan mentang-mentang Keenan adalah anggota keluarga mereka, mereka bisa seenaknya.Itulah kenapa dia terlihat begitu royal dengan Alifa. Alifa diratukan saat menjadi istrinya, bahkan sebelum itu, karena Alifa itu perempuan yang tulus. Bukan cuma sekedar tulus, tapi dia juga berjuang untuk keberlangsungan perusahaan. Rasanya wajar jika Keenan memberikan timbal balik. Alifa tidak sekedar cuma bisa menadahkan tangan, tetapi dia berjuang dan terjun langsung mengurus perusahaan. Para karyawannya hafal betul siapa Alifa.Alifa berbeda dengan ibu dan kedua kakak pere
Bab 177"Yeah.... Yang mau ketemuan sama duda plus papanya anak asuh...." Maya mengerjap gemas melihat tingkah Naira yang kedapatan berkali-kali mengecek penampilannya di cermin yang ada di kamar anak-anak.Maya dan Naira memang tinggal sekamar dengan anak-anak, karena mereka full menjaga anak-anak itu. Gibran dan Anindita yang sedang aktif-aktifnya."Siapa bilang? Ikatan pada rambutku kendor nanti kalau lepas malah kelihatannya nggak rapi. Kamu kayak nggak tahu gimana aktifnya Gibran kalau sudah di luar ruangan," balas Naira. Gadis itu terlihat salah tingkah. Berkali-kali ia malah melirik arlojinya. Gibran sudah ia siapkan sejak pagi sekali. Dan seperti mendukung keinginan papa dan pengasuhnya untuk bertemu, ia sama sekali tidak rewel untuk dibangunkan. Mandi dan berpakaian rapi. Semua perlengkapan Gibran juga sudah siap. Naira pun sudah menyuapi Gibran untuk sarapan."Bentar lagi," gumam gadis itu tak sadar jika suaranya bisa didengarkan oleh Maya."Iya, sabar dikit kenapa sih?" go
Bab 176"Kasihan gimana? Memangnya kamu pikir Mas akan mempermainkan Naira?!"Setiap akhir pekan Naira rutin mendampingi Gibran untuk bertemu dengannya, berakhir dengan menginap di apartemen. Meski gadis itu sering terlihat tidak nyaman saat bersamanya, tetapi Keenan berhasil membuat suasana kembali mencair, sehingga tak ada kecanggungan yang kentara, apalagi saat mereka berada di hadapan ibunya Ina yang bernama Rima itu, bahkan perempuan setengah baya itu benar-benar mengira jika Naira adalah calon istri Keenan. Kebersamaannya dengan Gibran perlahan mulai menumbuhkan rasa keterikatan dalam diri bocah kecil itu. Meski sampai saat ini Keenan masih tetap mengajarkan kepada Gibran untuk memanggilnya Om, demi memenuhi janjinya kepada Alifa. Namun itu tidak mengurangi keakraban di antara mereka. Entah sampai kapan. Mungkin sampai putranya dewasa, barulah bisa mengerti alasan dibalik perpisahan kedua orang tuanya. Tapi meski begitu, Keenan juga tidak bisa menjamin apakah Gibran bisa mener
Bab 175Plak plak plak!Tiga tamparan keras cukup membuat tubuh Tanti terjengkang. Wanita paruh baya itu malah berguling-guling di lantai. Untung saja lantai ruang dilapisi oleh karpet tebal, sehingga tidak membuat Tanti menderita cedera otak."Mama!" pekik Winda. Perempuan itu berlari dan langsung meraih ibunya. Tak lupa dia menangkap kaki sang ayah, agar kaki itu urung mendaratkan tendangan di tubuh ibunya.Lelaki paruh baya itu langsung terjengkang, lantaran tidak memiliki kewaspadaan. Dia tidak menyangka jika Winda muncul dari dalam dan mencegah tindakannya.Kemunculan putrinya membuatnya melupakan keinginannya untuk menghajar Tanti barang sejenak.Winda membantu ibunya untuk bangkit, sehingga perempuan itu kini bisa duduk, meskipun kepalanya terasa berputar-putar. Dia memejamkan mata sejenak, lalu kembali menatap sang suami yang juga sudah kembali berdiri, sembari berkacak pinggang."Itu pelajaran bagi seorang wanita yang mau enaknya saja. Dari dulu aku sudah terlalu sabar mengha
Bab 174"Setidaknya beri mereka pelajaran. Bukan soal Mbak Winda, tapi juga keluarganya yang sejak dulu selalu merongrong keluarga ini." Alifa angkat bicara setelah mereka terdiam beberapa saat."Balasan setiap perbuatan adalah hal yang setimpal, tapi tidak mungkin juga kan kita balas dengan melakukan percobaan pembunuhan kepada Winda, misalnya," ujar Atta blak-blakan yang disambut pelototan mata oleh kakaknya.Bagaimanapun, Winda adalah mantan istrinya, orang yang pernah ia cintai setengah mati. Walaupun sedikit, masih tersisa rasa cinta kepada perempuan yang pernah singgah di hatinya dan pernah menjadi ibu dari mendiang putranya, Zaid. Dia masih merasa berat hati jika Winda harus berakhir di tangan keluarganya sendiri, walaupun Winda sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal dan baginya tidak bisa termaafkan."Atta," tegur ibunya."Nggak, Ma. Mana mungkin aku tega membunuh mantan ayang." Pria itu nyengir yang disambut tabokan keras oleh Aariz di bahu kirinya."Sudah, sudah, jangan
Bab 173"Tolong kasih saya penjelasan. Kalian ini sebenarnya siapa, dan disuruh siapa? Kenapa mau menolong saya? Saya perlu alasan yang logis. Tidak mungkin kalian mau bertaruh nyawa untuk menyelamatkan seseorang yang tidak kalian kenal seperti saya."Akhirnya setelah mendaftarkan ibunya untuk dirawat di sebuah rumah sakit, Lisa kembali mendekati salah seorang diantara mereka, seseorang yang memboncengnya saat dari lokasi penculikan sampai ke kampung halamannya.Pria itu menghela nafas. Dia sejenak merapikan kemejanya yang kusut. Mungkin tak sadar, karena perjalanan mereka yang menegangkan barusan, di tambah lagi harus mengantar ibunya Lisa ke rumah sakit."Kenalkan, nama saya Abi. Sebenarnya kami diperintahkan oleh Mas Atta untuk mengawal Mbak Lisa sampai ke kampung halaman." "Mas Atta?! Mas Atta yang menyuruh kalian?" Lisa malah menepuk jidat, lalu menutup telinga dengan kedua telapak tangannya."Nggak usah segitunya juga kagetnya, Mbak," tegur pria itu. Abi menarik dengan lembut t