Sudah seminggu lamanya Kanaya menikah dengan Haikal. Tetapi ia tidak merasakan adanya perubahan yang berarti. Mereka berdua menjalani kehidupan nyaris seperti dua orang asing yang kebetulan tinggal di rumah yang sama. Bayangkan saja. Mereka tidak tidur di kamar yang sama. Haikal mengatakan kalau mereka tidak perlu merubah kebiasaan masing-masing karena pernikahan ini hanyalah formalitas belaka. Walau di atas kertas mereka adalah suami istri, tapi dalam kehidupan yang sebenarnya, mereka adalah dua orang asing yang tinggal dalam satu rumah. Jadi masing-masing pihak tidak boleh mencampuri urusan pribadi satu sama lain.
Interaksi mereka setiap harinya sudah tertata.
Pagi-pagi ia akan menyiapkan sarapan praktis sederhana, seperti roti isi, nasi goreng atau terkadang mie instan. Mereka akan sarapan bersama dalam diam. Setelahnya Haikal akan berangkat ke kantor. Kegiatannya berlanjut dengan berbelanja bahan makanan pada tukang sayur komplek, memasa"Terima kasih karena telah membela saya Mas," Kanaya terharu. Ada dua hal yang sama sekali tidak ia duga-duga. Pertama, kehadiran Haikal di mall ini. Ke dua, kesediaan Haikal membelanya dari serangan Dina."Sudah menjadi tanggung jawab seorang suami untuk membela istrinya. Tidak ada hal yang perlu diterima kasihkan di sini," tukas Haikal dingin."Ya, apapun itu. Terima kasih, Mas. Mas sedang apa di sini?" Kanaya mencoba memulai percakapan basa basi. Tidak enak juga saling bersikap antipati di muka umum."Mau ke Starbuck*. Ada reuni kecil-kecilan dengan teman-teman SMA. Saya jalan dulu," tanpa menunggu jawabannya Haikal pun berlalu. Haikal bahkan tidak balas menanyakan apa keperluannya di mall ini.Sudahlah, Nay. Jangan mulai protes. Toh kamu sudah tau apa konsekuensi pernikahan di atas kertas ini. Fokus saja dengan dirimu sendiri.Langkah Kanaya kini mengarah ke
Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Tidak terasa kandungan Kanaya telah memasuki bulan ke lima. Dulu, awal pertama sekali ia hamil, ia seperti tidak percaya kalau dirinya telah berbadan dua. Pernyataan dokter yang dulu menyatakan kalau ia mengalami gangguan ovulasi sehingga sulit untuk hamil, membuatnya selalu pesimis apabila mengalami keterlambatan menstruasi. Ia acap kali berpikir, paling keterlambatan ini hanyalah bagian dari gangguan ovulasi. Dan bukan karena ia hamil. Makanya pada saat dokter Rasyid menyatakan kalau ia benar-benar hamil, alam bawah sadarnya menolak percaya. Namun setelah kini kandungannya memasuki bulan ke lima atau trimester ke dua kehamilan, ia baru sungguh-sungguh percaya. Karena apa? Karena tubuhnya telah memperlihatkan ciri-ciri fisik yang khas. Perutnya kini mulai membulat dan pakaian-pakaian lamanya sudah banyak yang tidak muat lagi. Selain peruba
Kanaya panik. Ibu mertuanya baru saja menelepon dan mengabarkan akan tiba di rumahnya sekitar empat puluh lima menit lagi. Ibu mertuanya membawa Ika, salah seorang ART-nya untuk ditempatkan di rumahnya. Ibu mertuanya takut kalau ia kelelahan. Wajar saja, usia kandungannya kini sudah lumayan besar. Masuk akal kalau ibu mertuanya itu separuh memaksanya untuk menerima ART-nya. Selain itu ibu mertuanya juga meminta izin untuk menginap selama beberapa hari di rumah. Menurut ibu mertuanya, beliau ingin mengajari Ika bekerja sampai mahir dulu di sana, barulah ibu mertuanya itu kembali ke rumah. Selain itu ibu mertuanya mengatakan kalau ia kangen pada Haikal. Wajar saja, sebelum menikah Haikal memang tinggal serumah dengan kedua orang tuanya. Setelah menikah Haikal memilih untuk tinggal berdua dengannya di rumah ini. Wajar jika ibu mertuanya merindukan Haikal. Kanaya sama sekali tidak keberatan. Sejujurnya ia malah senang karena ada yang menemaninya di rumah.Yang
Sudah dua hari ini kehidupan Kanaya berubah. Jika diumpamakan dengan dongeng, ia berubah dari seorang Upik Abu menjadi seorang ratu. Bayangkan, sekarang ia tidak boleh lagi melakukan pekerjaan rumah tangga apapun. Karena semuanya telah didelegasikan ibu mertuanya pada Ika. Selain itu, ibu mertuanya juga menugaskan Pak Karto, supir keluarga, menjadi supir pribadinya untuk sementara. Ibu mertuanya tidak lagi mengizinkan dirinya menggunakan transportasi umum. Alasan ibu mertuanya tentu saja demi keselamatan si jabang bayi. Melihat begitu perhatiannya sang ibu mertua pada bayi dalam kandungannya, Kanaya sedih.Untuk pertama kalinya Kanaya menyesal telah menerima pernikahan pura-pura ini. Ia merasa sangat berdosa karena telah membohongi ibu mertuanya sampai sejauh ini. Ketakutan lain juga singgah di benaknya. Kanaya membayangkan, betapa marah dan kecewanya ibu mertuanya apabila beliau tau kalau bayinya ini bukanlah benih Haikal. Bukan cucu kandungnya. Apalagi d
Kanaya masih merasa linglung saat Pak Karto menjemputnya di hotel. Ia memang merubah rencana dan meminta Pak Karto menjemputnya di hotel saja alih-alih di studio. Untung Pak Karto langsung menghubunginya setelah mengantar Bu Habsah pulang. Jadi ia tidak perlu menunggu dua jam lagi baru dijemput. Kanaya masih shock. Kepada Rury Kanaya mengatakan kalau tiba-tiba saja ia merasa kurang enak badan, dan minta dijemput oleh supir. Sungguh, Kanaya tidak bisa menerima kenyataan kalau Haikal adalah seorang gay. Saat ini ia telah berada di dalam mobil dengan tujuan pulang ke rumah. Tetapi ingatan tentang keberadaan Haikal di hotel tadi, tidak bisa hilang dari benaknya. Penasaran, Kanaya merogoh ponsel dari dalam tas. Menimbang-nimang ponsel sejenak sebelum menekan kontak nama Haikal. Panggilannya baru dijawab pada nada-nada terakhir."Ya, Nay. Ada apa?""Mas sekarang lagi di mana?"Jeda sejenak. Haika
Kanaya merasa bibirnya terasa kebas saat Haikal melepaskan tautannya. Ia masih berdiri terpaku saat Haikal mengusap permukaan bibirnya yang lembab dengan ujung jempolnya."Saya kira ciuman panas ini, bisa menjawab pertanyaan kamu secara langsung. Saya tidak suka menjelaskan sesuatu hanya secara teori saja. Satu hal lagi. Jangan mencampuri urusan yang tidak ada hubungannya dengan kamu. Ingat, kita menikah demi keuntungan kita masing-masing. Jadi jangan mulai bertingkah seperti seorang istri yang nyinyir. Sekarang saya lapar. Segera siapkan makan malam."Dinginnya suara Haikal saat mengingatkan tujuan pernikahan mereka, menyadarkan Kanaya. Mereka berdua memang bukan siapa-siapa selain suami istri dalam selembar kertas. Jadi tidak seharusnya ia mencampuri urusan Haikal. Mau dia itu gay, straight atau biseksual sekalipun, itu bukan urusannya. Tanpa banyak bicara lagi Kanaya segera ke dapur. Dengan dibantu oleh Ika, ia m
Kilatan lampu blitz berkali-kali menyambar wajahnya dan Haikal, saat mereka melewati karpet merah di lobby hotel Mulia.Saat ini ia telah berada di hotel Mulia. Tempat diselenggarakannya acara tahunan Anugerah Wirausaha Indonesia. Meriahnya suasana dan tumpah ruahnya para pebisnis yang berlalu lalang di hotel, mendeskripsikan betapa prestisiusnya acara AMI award ini. Kanaya merasa dejavu. Dulu ia juga kerap menghadiri acara-acara seperti ini. Hanya saja pasangannya berbeda. Di masa lalu ia melewati karpet merah dengan menggandeng siku Ghifari. Dan kali ini ia melewatinya dengan saling berpegangan tangan dengan Haikal. Dua laki-laki dengan dua style berbeda. Ghifari sangat suka kalau ia menggamit lengannya kala menghadiri acara-acara formal. Sementara Haikal lebih memilih saling menjalin jari jemari satu sama lain seperti sekarang ini.Ketika mereka akan melewati para pewarta yang menunggu di sisi k
"Kanaya Prameswari Baihaqi," Kanaya buru-buru bangkit dari kursi tunggu saat mendengar namanya dipanggil. Saat ini ia tengah berada di salah satu Rumah Sakit Ibu dan Anak untuk memeriksa kandungannya. Setelah menikah dengan Haikal, ia memang mengganti dokter kandungannya. Jika dulu ia selalu berkonsultasi dengan dokter Rasyid Rasyidi, kini menggantinya dengan dokter Kirana. Bukan apa-apa, dokter Rasyid itu adalah dokter kandungan keluarga besar mantan suaminya. Tentu saja ada rasa tidak nyaman di hatinya, kalau sewaktu-waktu ia bertemu dengan keluarga Albani lainnya yang tengah mengandung. Selain itu, ia takut kalau keluarga Albani mengetahui soal ayah sebenarnya dari janin yang tengah ia kandung. Makanya Kanaya memilih untuk check up ke dokter lain. Menurut Kanaya dokter Kirana adalah pilihan yang tepat. Karena selain sebagai seorang dokter, dokter Kirana adalah kakak kelasnya saat masih sekolah dulu. Jadi ia merasa sangat nyaman untuk berkeluh kesah soal kehamil