Pak Rustam berulang kali melirik nyonya mudanya. Ia bingung melihat betapa berbedanya air muka sang nyonya muda saat kembali ke mobil. Terlebih lagi kepergian nyonya mudanya tidak lebih dari sepuluh menit. Tetapi ia hanya bisa menyimpan rasa penasarannya dalam hati saja. Ia toh hanya seorang supir.
"Kita mau ke mana, Bu?" Tanya Pak Rustam sopan. Namun kalimatnya sama sekali tidak direspon oleh sang nyonya muda. Nyonya mudanya hanya memandang lurus ke depan dengan tatapan nyalang.
"Bagaimana, Bu?" Tanya Pak Rustam untuk ke dua kalinya.
"Hah? Bapak menanyakan apa tadi?" Guman Kanaya linglung. Bukan hal mudah menyembunyikan perasaan hati yang gundah gulana dengan tampilan seolah baik-baik saja.
"Saya tadi bertanya, kita mau ke mana, Bu? Mau langsung pulang ke rumah atau mengunjungi orang tua Bu Naya dulu barangkali?" Ujar Pak Rustam hati-hati. Mata tuanya menangkap kesedihan di kedua bola mata nyonya mudanya. Ia sengaja mengusulkan mengunjungi kedua orang tua sang nyonya muda, dengan harapan mungkin sang nyonya muda akan sedikit terhibur di sana. Seorang anak pasti membutuhkan kedua orang tuanya bisa sedang bermasalah.
"Tidak usah, Pak. Kita langsung pulang saja," jawab Kanaya singkat.
"Baik, Bu." Pak Rustam tidak jadi memutar arah. Karena ternyata nyonya mudanya memilih untuk pulang saja. Dari kaca spion, Pak Rustam memindai kalau mobil tuan mudanya tengah membuntuti. Dugaan Pak Rustam tentang kedua majikan mudanya sedang berselisih paham makin menguat. Tetapi Pak Rustam memilih untuk diam saja. Sebagai orang luar ia tidak ingin memperkeruh suasana.
"Cincin baruku ini bagus nggak, Nay?"
"Bagus banget, Din. Seleraku banget. Tumben kamu beli perhiasan dengan motif sederhana begini? Biasanya kan harus bling bling semeriwing."
"Hehehe. Dibeliin orang, Nay. Tapi kayaknya mulai dari sekarang aku akan belajar untuk menyukai apa yang kamu sukai deh. Hehehe. Oh ya Nay, ngomong-ngomong Mas Fari lebih suka kamu memakai lingerine seksi atau malah naked sekalian kalau kalian mau ehm ehm."
Sekarang Kanaya baru mengerti arti dari pertanyaan-pertanyaan Dina beberapa waktu lalu. Dina ternyata sudah cukup lama menjalin hubungan terlarang dengan suaminya. Bahkan sebelum ia resmi bercerai. Alasan bahwa Reyhan menceraikannya karena mandul sepertinya hanyalah isapan jempol belaka. Dirinya saja yang tidak peka akan gerak-gerik dan pertanyaan-pertanyaan menjebak Dina.
Setiba di gerbang rumah, Kanaya menarik napas panjang. Masalah baru telah menunggu di depan mata. Di garasi rumah, terparkir angkuh sebuah mobil mewah yang biasa ditumpangi oleh ibu mertuanya. Dan itu artinya saat ini ibu mertuanya berada di dalam rumah. Kanaya yakin sebentar lagi ia akan dinyinyiri tak henti-henti dari semenjak ia pulang hingga ibu mertuanya itu pulang. Bukan rahasia lagi kalau ibu mertuanya tidak menyukainya. Ibu mertuanya ini lebih menyukai Nabila, mantan pacar Ghifari. Bagi ibu mertuanya, di dirinya tidak ada satu hal pun yang bisa menyamai kesempurnaan Nabila. Nabila itu cantik, sopan, pintar dan yang terutama kaya. Kalimat itu selalu dijejalkan ibu mertuanya setiap kali mereka bertemu. Kanaya sampai hapal luar kepala apa saja kelebihan Nabila dibandingkan dirinya.
"Kamu ini jadi istri kok ya tidak bisa menahan diri? Suami bekerja keras di kantor, kamu malah keluyuran tidak jelas. Istri macam apa kamu ini?"
Benar 'kan tebakannya?
Mariam Albani, ibu mertuanya langsung berdiri dari sofa saat melihat kehadirannya. Di samping ibu mertuanya, Nabila Fatih tengah duduk dengan anggun. Nabila memang masih memiliki hubungan keluarga dengan mertuanya. Jadi tidak heran kalau Nabila akrab dengan ibu mertuanya.
"Kamu dari mana saja, Nay? Tidak baik kalau suami bekerja keras di kantor, istri malah keluyuran." Cecar ibu mertuanya lagi.
Diingatkan pada suami penghinatnya, darah Kanaya kembali mendidih. Kerja keras apa suaminya itu di kantor? Bayangan suaminya yang sedang bertukar saliva dengan Dina membuat Kanaya kian jengah. Ia muak terus dituduh ini itu padahal yang brengsek adalah suaminya. Selama ini ia sudah cukup mengalah dan menahan diri demi keberlangsungan rumah tangganya. Tapi kali ini ia sudah tidak mau diam. Sudah waktunya ia membalas. Toh ia memang sudah tidak berniat lagi untuk mempertahankan rumah tangga penuh amis perselingkuhan ini lagi.
"Apa Ibu yakin kalau Mas Fari sedang bekerja keras di kantor?" Celetuk Kanaya datar. Belum sempat ibu mertuanya menjawab, terdengar suara mobil yang memasuki halaman rumah. Sejurus kemudian pintu pengemudi terbuka. Ghifari keluar dari mobil dengan tergesa-gesa. Suami pembohongnya ini mengikutinya ternyata.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu? Sudah tentu suamimu bekerja keras di kantor. Kok malah meragukan suamimu sendiri sih, Nay? Istri macam apa kamu?"
Istri yang telah diselingkuhi suaminya, Bu.
"Itu suamimu pulang. Tanyakan langsung padanya, apakah ia bekerja keras di kantor?" Ibu mertuanya memalingkan wajah ke arah pintu. Air muka ibu mertuanya tampak puas. Pasti ibu mertuanya mengira bahwa ia tertangkap basah karena keluyuran saat suaminya bekerja keras.
"Sudahlah, Bu. Jangan ribut-ribut. Ada apa Ibu tiba-tiba berkunjung ke sini?" Kanaya melirik suaminya ini telah masuk ke dalam rumah. Pandangan suaminya gelisah. Pasti ia takut kalau boroknya di kantor tadi ia bongkar di sini.
"Ibu kangen sama kamu, Fari. Habis akhir-akhir ini kamu jarang sekali sih menjenguk, Ibu. Makanya saat Nabila datang, sekalian saja Ibu ajak ke sini." Adu Bu Mariam pada putra semata wayangnya.
"Tapi yaitu, rupanya selama kamu bekerja, istrimu ini malah keluyuran entah ke mana."
Sesuai dengan dugaannya.
"Ya sudah. Sekarang kan kita sudah bertemu. Sudah hilang 'kan rindunya Ibu?" Bujuk Ghifari.
"Ya belum dong, Ri. Kan baru juga sebentar ke temunya. Eh tapi kamu kok sudah pulang siang-siang begini?" Bu Mariam baru tersadar kalau putranya pulang tidak pada jam biasanya.
"Eh itu, Fari tadi kepingin makan siang di rumah, Bu. Terus Fari malah ketemu sama Naya di jalan. Naya tadi habis mengunjungi kedua orang tuanya, Bu. Bukan keluyuran. Tadi perginya juga sudah pamit kok pada Fari. Makanya kami bisa pulang barengan." Ujar Ghifari gugup. Ia serba salah salah saat ditatap tajam oleh Kanaya. Kebohongan ini terpaksa ia lakoni demi menutupi kebohongan sebelumnya.
"Oh begitu. Lho Nay, suamimu pulang karena mau makan siang di rumah. Kok kamunya masih leyeh-leyeh begini. Siapkan makanan untuk suamimu dong. Apa perlu Ibu dan Nabila yang menyiapkan?"
Pucuk dicinta ulam pun tiba.
"Kalau Ibu dan Nabila tidak keberatan silahkan saja, Bu. Kalau begitu Naya permisi ke kamar dulu." Sahut Nabila datar seraya beringsut dari sofa. Bu Mariam dan Nabila terdiam. Mereka sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan jawaban sesantai itu dari Kanaya. Biasanya Kanaya ini lemah lembut dan pengalah. Tidak sekalipun ia menyahuti kata-kata mereka, walau sepedas apapun mereka menyindirnya. Namun kali ini sikap Kanaya begitu berbeda. Ia seperti menyambut tantangan mereka. Apa yang membuat sikap Kanaya jadi berubah seperti ini?
"Kamu nantangin, Ibu, Nay? Kalau nanti Fari benar-benar meninggalkan kamu dan memilih kembali dengan Nabila, baru tau rasa kamu." Ancam Bu Mariam lagi.
"Kalau pun itu sampai terjadi, berarti jodoh Naya dan Mas Fari sudah habis, Bu." Sahut Kanaya datar.
"Begitu juga sebaliknya. Jika Nanya yang meninggalkan Mas Fari, artinya jodoh kami memang hanya sampai di sini. Permisi." Kanaya melangkahkan kaki meninggalkan ruang tamu. Ia sedang tidak mood bersilat lidah.
"Nanti kalau benar-benar kejadian, jangan nangis-nangis ya kamu, Nay? Sudah tidak bisa memberi keturunan, eh nantang-nantang lagi. Sudah mulai berani ya kamu sekarang, Nay?" Teriak ibu mertuanya kencang.
Kanaya menulikan telinga. Ia mempercepat langkah menuju kamar. Kali ini ia ingin bersikap egois. Ia capek terus menjadi keset. Dianggap tidak punya hati karena hanya diam saat disindir ataupun dikata-katai. Dulu ia selalu menahan diri karena mengingat Ghifari yang sangat mencintainya. Ia tidak ingin menciptakan konflik antara Ghifari dan ibunya, makanya ia terus mengalah sampai semengalah-mengalahnya.
Setiap ia sedih, ia akan berlari pada Ghifari. Memeluk erat suaminya walau perasaannya bagai tersayat-sayat. Di mata mertua dan keluarga besarnya, ia tidak dianggap manusia. Latar belakang keluarganya yang sederhana selalu menjadi bahan olok-olok di keluarga ningrat mereka. Seperti inilah jika cinta beda strata.
Kanaya ingat sekali, seminggu setelah pernikahannya dengan Ghifari, ia diajak mengunjungi selamatan pernikahan perak salah seorang tantenya. Seluruh keluarga besar mereka berkumpul di sana. Pada kesempatan itu, salah seorang tante Ghifari bereksprimen membuat kue-kue kering. Setelah jadi, seluruh anggota keluarga diberi kesempatan untuk mencicipi kue keringnya kecuali dirinya. Saat salah seorang sepupu Ghifari menanyakan mengapa ia tidak diberi kesempatan untuk mencicipi, jawaban tantenya begitu menusuk dan melukai harga dirinya. Tantenya mengatakan kalau ia adalah orang susah yang tidak pernah makan enak. Takutnya saat mencicipi ia bukan hanya akan mengambil satu atau dua potong kue. Tapi setoples penuh. Seluruh keluarga besar suaminya tertawa termasuk ibu mertuanya dan Nabila. Kala itu ia merasa direndahkan sampai serendah-rendahnya manusia. Sepanjang acara ia hanya diam dan tidak berani mencicipi apapun yang terhidang di meja. Ia takut dikata-katai orang susah yang rakus. Alhasil sepanjang hari ia terus menahan lapar.
Kejadian itu tidak pernah ia ceritakan hingga saat ini pada Ghifari. Ia tidak ingin Ghifari sampai bentrok dengan keluarga besarnya. Sudah lima tahun penuh, ia bersedia berdarah-darah menahan luka asal suaminya terus mencintainya. Terus berada di sisinya. Walau ia sengsara, tidak lah mengapa. Cinta tanpa pengorban mana ada.
Dan kini saat dihadapkan pada kenyataan bahwa suaminya telah menghianatinya, tidak ada lagi asa yang tersisa. Ternyata suaminya tidak bisa memegang teguh janjinya untuk selalu mencintai dan saling setia. Jadi untuk apa lagi rumah tangga ini ia pertahankan bukan?
Kali ini, di usia kelima pernikahannya, Kanaya menyerah. Semuanya akan ia akhiri cukup sampai di sini saja.
Derit pintu kamar yang terbuka membuyarkan lamunan Kanaya. Ghifari masuk ke dalam kamar dengan raut wajah bersalah. Suaminya itu ikut duduk bersisian dengannya di atas ranjang.
"Naya, sekali lagi Mas minta maaf, ya? Tolong beri Mas kesempatan sekali lagi. Mas akan membuktikan kalau Mas tidak akan berselingkuh dengan Dina atau dengan perempuan manapun lagi. Kamu percaya pada Mas 'kan Nay?" Bujuk Ghifari lagi. Ia takut, sangat takut saat melihat sikap Kanaya di ruang tamu tadi. Kanaya seperti memberi aba-aba akan adanya perpisahan dengan menyinggung-nyinggung soal jodoh yang telah habis. Ia takut kalau Kanaya akan benar-benar mengeksekusi ancamannya. Ia sangat mengenal kepribadian istrinya. Jika ia telah memutuskan sesuatu, akan sangat sulit untuk merubah keputusannya.
"Mas,"
"Iya, Nay."
"Mari kita bercerai."
"Apa? Cerai? Kamu ini bodoh sekali, Nay. Hanya karena seorang Dina, kamu keok dan memberikan lima tahun singgasanamu ini secara cuma-cuma padanya? Cara berpikir kamu ini kok pendek sekali!" Amukan Ghifari hanya dihadiahi cibiran tipis oleh Kanaya.
"Lantas perselingkuhan Mas dengan Dina itu, termasuk berpikir panjang atau pendek, Mas?" Melihat suaminya terdiam, Kanaya kembali melanjutkan kalimatnya.
"Tidak bisa menjawab 'kan, Mas? Mas... Mas... Mas pikir Dina akan diam begitu saja saat Mas tinggalkan? Kamu salah, Mas. Naya sangat mengenal kepribadian Dina. Kalau Mas pikir dengan tertangkap basahnya kalian berdua Dina akan mundur, Mas salah besar. Justru setelah Naya tahu, Dina akan semakin memperkuat cengkramannya pada Mas. Mas tunggu saja saatnya. Satu hal yang harus Mas ketahui, seorang pelakor itu, pertama-tama mungkin ia hanya akan meminta pengakuan. Dan setelah itu ia akan menuntut persamaan. Mas tunggu saja tanggal mainnya,"
"Akan Mas pastikan dia tidak akan menuntut macam-macam." Janji Ghifari. "Bagi Mas, kamu itu segalanya. Dina itu bukan apa-apa."
"Kalau bukan apa-apa, tidak mungkin Mas memberikan berlian semahal itu padanya?"
"Kamu... Kamu tau dari mana soal berlian itu?" Wajah Ghifari yang sebentar memerah dan sebentar memucat itu membuat tekad Kanaya kian bulat untuk meminta cerai.
"Dari mulut Dina sendiri. Waktu itu Dina bilang bahwa cincin berlian bermodel solitaire sederhana itu adalah pemberian seseorang. Dan sekarang Naya tau, siapa seseorang yang ia maksud," Naya tersenyum miris. Lihatlah tebakan asal-asalannya ternyata benar. Itu baru satu clue. Clue-clue lainnya kalau ia kembangkan, pasti akan ketahuan semua. Hanya saja ia tidak ingin lagi menyelidikinya. Untuk apa juga bukan? Toh ia sudah tau jawabannya. Semakin ia menggali, yang ada hanyalah ia akan makin sakit hati.
"Dina juga bilang bahwa ia akan belajar untuk menyukai apa yang Naya sukai. Waktu itu Naya sempat bingung. Apa maksud ucapan Dina. Namun kini semuanya terang benderang seperti lampu mercusuar. Dina ingin menggantikan posisi Naya rupanya. Dan, atas persetujuan Mas juga," sambung Naya. Bodoh! Betapa bodohnya ia selama ini. Dikelabuhi sampai sedemikian rupa oleh dua orang yang paling ia percayai.
"Jangan mempercayai apa pun yang dikatakan oleh Dina. Kamu tau sendiri 'kan kalau ia sanggup menghianati kamu?"
"Jadi Naya harus mempercayai siapa? Mempercayai Mas? Tapi Mas 'kan juga menghianati Naya? Oh mungkin maksud Mas, Naya tidak boleh mempercayai kalian berdua ya?" Kanaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Berpura-pura setuju dengan kalimat bersayapnya.
"Bukan begitu. Maksud Mas--"
"Mas Fari... Mas Fari..."
Ghifari menghentikan kalimatnya saat mendengar suara seorang wanita yang terus memanggil-manggil namanya. Mula-mula ia mengira itu adalah suara Nabila. Namun setelah ia mendengar dengan seksama, ternyata itu adalah suara Dina!
"Tuh, pelakornya sudah nyariin. Benar 'kan tebakan Naya? Dina tidak akan melepaskan Mas begitu saja. Sekarang sana temui selingkuhan Mas. Kenapa pucat, Mas? Sensasinya hilang karena sudah ketahuan ya?" Suaminya tidak menjawab. Namun air mukanya tampak geram. Pasti ia tidak menyangka kalau Dina ternyata senekad ini.
"Kamu tunggu di sini sebentar. Mas akan melihat apa maunya Dina," ucap Ghifari seraya bergegas keluar kamar. Kanaya yang merasa bahwa mungkin ini adalah amunisinya untuk meminta cerai, ikut keluar juga. Apa yang terjadi, terjadilah.
Tiga bulan kemudian. Kanaya bernapas sesuai dengan intruksi dokter Kirana. Perutnya mulas luar biasa. Bayi-bayi yang selama sembilan bulan lebih menghuni rahimnya ini, seperti tidak sabar berebutan ingin keluar. Kanaya sampai berkeringat dingin karenanya. Rasanya baru kemarin ia melahirkan Juang, dan kini ia harus kembali melahirkan lagi. Sebenarnya Haikal menginginkannya melahirkan dengan operasi caesar. Karena menurut Haikal dan kedua mertuanya, lebih aman mengingat ia harus melahirkan dua orang bayi. Dikhawatirkan ia kehabisan tenaga atau letak bayinya sungsang dan lain sebagainya. Tetapi Kanaya bersikeras ingin melahirkan secara normal. Karena Juang juga ia lahirkan secara normal. Untungnya keinginannya itu didukung oleh dokter Kirana. Menurut dokter Kirana bayi kembar bisa dilahirkan secara normal apabila keadaannya memungkinkan. Misalnya pada saat akan dilahirkan keadaan b
Lima bulan kemudian. Kanaya merapikan pakaian Juang yang tengah berada dalam gendongan Ika. Anak seusia Juang memang sedang aktif-aktifnya menarik-narik sesuatu. Alhasil baik pakaian Juang sendiri, atau pun pakaian orang yang menggendongnya, harus siap diacak-acak sewaktu-waktu. Pokoknya setiap ada bentuk dan warna yang mencolok, pasti akan menarik perhatian Juang. "Kalau kamu capek terus menggendong Juang, sini gantian, Ka. Kamu makan saja dulu. Tuh, makanannya enak-enak 'kan?" ujar Kanaya pada Ika. Ika kasihan melihat Ika yang ngos-ngosan karena terus menggendong Juang."Ah jangan dong, Bu. Perut Ibu sudah sebesar itu. Kasihan adek-adek bayinya kalau Ibu harus menggendong Juang. Belum lagi nanti saya diomelin Bapak." Ika nyengir. ARTnya ini sangat memahami sifat Haikal. Kandungannya kini telah memasuki bulan ke tujuh, dan ia meng
Kanaya beringsut dari kursi kafe sembari memindai jam di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul 15.30 WIB. Berarti sekitar setengah jam lagi, Pak Yaman dan Bu Maryam, akan menemuinya di restaurant ini. Kemarin kedua mantan mertuanya itu meneleponnya. Bu Maryam berbicara dari hati ke hati dengannya hampir selama satu jam penuh. Bu Maryam mengatakan bahwa ia telah mengetahui jati diri Juang yang sebenarnya. Dan sebagai nenek dan kakek, mereka berdua memohon agar diperbolehkan untuk menjenguk Juang. Kedua mertuanya juga berjanji kalau mereka tidak akan berbuat macam-macam, seperti ingin merebut Juang darinya misalnya. Mereka berdua hanya ingin melihat rupa cucu kandung mereka, katanya. Dari cara berbicara Bu Maryam di telepon, Kanaya bisa menangkap satu hal. Bahwa kedua mantan mertuanya ini telah banyak berubah. Setelah tertangkapnya Ghifari dan beberapa perusahaannya dinyatakan pailit, sikap kedua mantan mertuanya ini pun ikut berubah."Apa
"Cukup, Nay. Aku sudah kenyang."Marsya menolak suapan bubur ayam dari Kanaya. Sungguh ia tidak berselera makan sama sekali. Bayangan ia akan benar-benar kehilangan hak asuh kedua anaknya, menggentarkannya. Marsya sadar, dirinya memang gagal menjadi orang baik. Tetapi sebagai seorang ibu, ia tidak gagal. Ia berusaha mendidik Attar dan Azizah dengan baik. Mengajari ilmu pengetahuan, hingga adab dan kesopanan. Sejahat-jahatnya dirinya, sebagai seorang ibu, tetap saja ia menginginkan yang terbaik bagi kedua anaknya. Makanya Marsya sangat depresi membayangkan kalau dirinya bukan saja kehilangan hak asuh, tetapi akan dijauhkan dari anak-anak kandungnya sendiri. Demi apapun, ia tidak sanggup!"Sedikit lagi ya, Mbak? Dari tadi pagi Mbak belum makan apa-apa lho. Mbak bisa sakit yang lain nanti," bujuk Kanaya.
Haikal berulang kali meremas jalinan tangannya di pangkuan. Saat ini ia tengah duduk gelisah di studio kecil ayah mertuanya. Ia bermaksud membawa Kanaya pulang ke rumah. Dan untuk itu tentu saja ia harus meminta izin pada ayah mertuanya. Haikal tau, tidak mudah mengajuk hati ayah mertuanya yang eksentrik ini. Bara Sudibyo, sang ayah mertua, sikapnya memang tidak bisa diprediksi. Buktinya sudah hampir satu jam ia duduk di studio ini, namun kehadirannya sama sekali tidak dianggap oleh ayah mertuanya.Sedari tadi, ayah mertuanya hanya sibuk melukis. Sesekali ayah mertuanya ini menelengkan kepala. Mengamati hasil lukisannya dari berbagai sisi. Di saat lain, ayah mertuanya akan menggerutu sendiri. Mungkin ayah mertuanya merasa hasil lukisannya kurang memuaskan hatinya. Kehadirannya sekian lama di sini hanya dianggap seperti kuas cat saja sepertinya."Mau ngapain kamu ke sini?" Bara melirik sekilas laki-laki muda di sampingnya. Selanjutnya ia ke
Dan di sinilah sekarang Kanaya berada. Di kamar mereka berdua, dengan Haikal yang terus saja berdiri di depan jendela. Sementara dirinya sendiri duduk di ujung ranjang. Sedari dirinya tiba beberapa menit lalu, Haikal terus memandang keluar jendela. Seolah jendela-jendela di kompleks perumahan ini, lebih menarik untuk ditatap daripada wajah istrinya sendiri.Dalam keadaan masih duduk, Kanaya menatap Haikal lurus-lurus. Hampir sebulan tidak bertemu, perubahan-perubahan di diri Haikal sangat signifikan. Kepalanya sudah tampak normal. Perban yang biasa menutupi luka bekas operasinya sudah tidak ada. Begitu juga dengan luka parut di pipinya. Jika dipandang sekilas, orang-orang tidak akan tau kalau Haikal itu baru saja menjalani operasi rekonstruksi kepala dan wajah. Haikal sudah kembali gagah dan tampan seperti sebelumnya. Kecuali bila didekati dan diperhatikan dengan seksama. Maka akan tampak bekas-bekas operasi halus di sana. Hasil kerja rumah sakit ter