Seperti yang dikatakan Jihan beberapa hari lalu, kalau baru saja merintis usaha itu butuh waktu, kesabaran dan tentu saja keberuntungan. Ketiga hal itu saling terkait satu sama lain. Kanaya sudah membuktikan sendiri kebenaran kata-kata Jihan. Sudah tiga hari ini ia berjualan bakso di warung Jihan. Pada hari pertama berjualan, ia hanya mampu menjual lima mangkok bakso. Hari kedua, tujuh mangkok. Dan hari ke tiga ini sembilan mangkok sampai pukul lima sore. Penghasilannya selama dua hari ini masih jauh dari kata cukup. Ia masih terus menombok. Untungnya sisa baksonya masih bisa dijual. Setiap malam saat warung akan tutup, Pak Ramli selalu mengambil sisa dagangan. Pak Ramli akan menjual keliling sisa baksonya dengan gerobak hingga larut malam. Bila masih tidak habis juga, Vina lah yang akan menjualnya di rumah. Kanaya sangat bersyukur karenanya. Dengan begitu ia tidak akan terlalu merugi karena sisa bakso yang terbuang.
"Pecel ayamnya lima porsi ya? Mau menco
Tiga bulan kemudian. Kanaya bernapas sesuai dengan intruksi dokter Kirana. Perutnya mulas luar biasa. Bayi-bayi yang selama sembilan bulan lebih menghuni rahimnya ini, seperti tidak sabar berebutan ingin keluar. Kanaya sampai berkeringat dingin karenanya. Rasanya baru kemarin ia melahirkan Juang, dan kini ia harus kembali melahirkan lagi. Sebenarnya Haikal menginginkannya melahirkan dengan operasi caesar. Karena menurut Haikal dan kedua mertuanya, lebih aman mengingat ia harus melahirkan dua orang bayi. Dikhawatirkan ia kehabisan tenaga atau letak bayinya sungsang dan lain sebagainya. Tetapi Kanaya bersikeras ingin melahirkan secara normal. Karena Juang juga ia lahirkan secara normal. Untungnya keinginannya itu didukung oleh dokter Kirana. Menurut dokter Kirana bayi kembar bisa dilahirkan secara normal apabila keadaannya memungkinkan. Misalnya pada saat akan dilahirkan keadaan b
Lima bulan kemudian. Kanaya merapikan pakaian Juang yang tengah berada dalam gendongan Ika. Anak seusia Juang memang sedang aktif-aktifnya menarik-narik sesuatu. Alhasil baik pakaian Juang sendiri, atau pun pakaian orang yang menggendongnya, harus siap diacak-acak sewaktu-waktu. Pokoknya setiap ada bentuk dan warna yang mencolok, pasti akan menarik perhatian Juang. "Kalau kamu capek terus menggendong Juang, sini gantian, Ka. Kamu makan saja dulu. Tuh, makanannya enak-enak 'kan?" ujar Kanaya pada Ika. Ika kasihan melihat Ika yang ngos-ngosan karena terus menggendong Juang."Ah jangan dong, Bu. Perut Ibu sudah sebesar itu. Kasihan adek-adek bayinya kalau Ibu harus menggendong Juang. Belum lagi nanti saya diomelin Bapak." Ika nyengir. ARTnya ini sangat memahami sifat Haikal. Kandungannya kini telah memasuki bulan ke tujuh, dan ia meng
Kanaya beringsut dari kursi kafe sembari memindai jam di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul 15.30 WIB. Berarti sekitar setengah jam lagi, Pak Yaman dan Bu Maryam, akan menemuinya di restaurant ini. Kemarin kedua mantan mertuanya itu meneleponnya. Bu Maryam berbicara dari hati ke hati dengannya hampir selama satu jam penuh. Bu Maryam mengatakan bahwa ia telah mengetahui jati diri Juang yang sebenarnya. Dan sebagai nenek dan kakek, mereka berdua memohon agar diperbolehkan untuk menjenguk Juang. Kedua mertuanya juga berjanji kalau mereka tidak akan berbuat macam-macam, seperti ingin merebut Juang darinya misalnya. Mereka berdua hanya ingin melihat rupa cucu kandung mereka, katanya. Dari cara berbicara Bu Maryam di telepon, Kanaya bisa menangkap satu hal. Bahwa kedua mantan mertuanya ini telah banyak berubah. Setelah tertangkapnya Ghifari dan beberapa perusahaannya dinyatakan pailit, sikap kedua mantan mertuanya ini pun ikut berubah."Apa
"Cukup, Nay. Aku sudah kenyang."Marsya menolak suapan bubur ayam dari Kanaya. Sungguh ia tidak berselera makan sama sekali. Bayangan ia akan benar-benar kehilangan hak asuh kedua anaknya, menggentarkannya. Marsya sadar, dirinya memang gagal menjadi orang baik. Tetapi sebagai seorang ibu, ia tidak gagal. Ia berusaha mendidik Attar dan Azizah dengan baik. Mengajari ilmu pengetahuan, hingga adab dan kesopanan. Sejahat-jahatnya dirinya, sebagai seorang ibu, tetap saja ia menginginkan yang terbaik bagi kedua anaknya. Makanya Marsya sangat depresi membayangkan kalau dirinya bukan saja kehilangan hak asuh, tetapi akan dijauhkan dari anak-anak kandungnya sendiri. Demi apapun, ia tidak sanggup!"Sedikit lagi ya, Mbak? Dari tadi pagi Mbak belum makan apa-apa lho. Mbak bisa sakit yang lain nanti," bujuk Kanaya.
Haikal berulang kali meremas jalinan tangannya di pangkuan. Saat ini ia tengah duduk gelisah di studio kecil ayah mertuanya. Ia bermaksud membawa Kanaya pulang ke rumah. Dan untuk itu tentu saja ia harus meminta izin pada ayah mertuanya. Haikal tau, tidak mudah mengajuk hati ayah mertuanya yang eksentrik ini. Bara Sudibyo, sang ayah mertua, sikapnya memang tidak bisa diprediksi. Buktinya sudah hampir satu jam ia duduk di studio ini, namun kehadirannya sama sekali tidak dianggap oleh ayah mertuanya.Sedari tadi, ayah mertuanya hanya sibuk melukis. Sesekali ayah mertuanya ini menelengkan kepala. Mengamati hasil lukisannya dari berbagai sisi. Di saat lain, ayah mertuanya akan menggerutu sendiri. Mungkin ayah mertuanya merasa hasil lukisannya kurang memuaskan hatinya. Kehadirannya sekian lama di sini hanya dianggap seperti kuas cat saja sepertinya."Mau ngapain kamu ke sini?" Bara melirik sekilas laki-laki muda di sampingnya. Selanjutnya ia ke
Dan di sinilah sekarang Kanaya berada. Di kamar mereka berdua, dengan Haikal yang terus saja berdiri di depan jendela. Sementara dirinya sendiri duduk di ujung ranjang. Sedari dirinya tiba beberapa menit lalu, Haikal terus memandang keluar jendela. Seolah jendela-jendela di kompleks perumahan ini, lebih menarik untuk ditatap daripada wajah istrinya sendiri.Dalam keadaan masih duduk, Kanaya menatap Haikal lurus-lurus. Hampir sebulan tidak bertemu, perubahan-perubahan di diri Haikal sangat signifikan. Kepalanya sudah tampak normal. Perban yang biasa menutupi luka bekas operasinya sudah tidak ada. Begitu juga dengan luka parut di pipinya. Jika dipandang sekilas, orang-orang tidak akan tau kalau Haikal itu baru saja menjalani operasi rekonstruksi kepala dan wajah. Haikal sudah kembali gagah dan tampan seperti sebelumnya. Kecuali bila didekati dan diperhatikan dengan seksama. Maka akan tampak bekas-bekas operasi halus di sana. Hasil kerja rumah sakit ter