Share

Chapter 5

"Duh lo nggak berubah ya, Nay? Muka lo tetep imut kayak sepuluh tahun lalu. Cemilan lo formalin ya?" Safa memeluknya hangat. Akhirnya ia sampai juga di kediaman keluarga Baihaqi. Rumah besar ini dulu kerap ia kunjungi setiap kali liburan sekolah. Keluarga Baihaqi memang selalu menghabiskan masa-masa liburan di perkebunan ini. Tinggal di ibukota yang ramai dan sumpek, membuat mereka menyimbangkan aktivitas dengan menghirup udara segar di perkebunan setiap liburan. Prinsip mereka bekerja sambil liburan murah. Dan Kanaya kecil tentu saja selalu diajak.

"Lo juga nggak berubah, Fa. Tetep cakep seperti dulu. Lo apa kabar, Fa? Duh gue seneng banget akhirnya kita bisa bertatap muka. Selama sepuluh tahun ini kita cuma chat dan sesekali teleponan doang." Kanaya balas memeluk Safa tak kalah erat. Semilir angin pedesaan dan hijaunya pemandangan alam, membuatnya seolah-olah kembali terlempar ke masa lalu. Masa ketika ia masih berseragam merah putih hingga putih abu-abu dan berteman akrab dengan Safa sekerluarga. Termasuk dengan Haikal juga. Jujur ia merindukan suasana perkebunan dan keramahan sahabat kecilnya ini. Aroma sahabatnya juga masih sama seperti dulu. Harum bunga-bungaan liar bercampur essence kopi yang eksotik. Rasanya baru kemarin ia meninggalkan tempat ini. Padahal waktu telah bergulir sepuluh tahun lamanya.

"Sekarang kita udah bisa bertatap muka, malah peluk-pelukan lagi. Ayo, sekarang lo ikut gue ke paviliun belakang. Gue udah nyiapin semua keperluan lo selama lo tinggal di sini." Safa mengisyaratkan agar Kanaya mengikutinya. Kanaya meraih koper. Mendorongnya perlahan mengikuti jalan setapak rumah besar keluarga Baihaqi. Sambil berjalan pikiran Kanaya hanya tertuju pada satu hal. Haikal! Bagaimana reaksi kakak Safa itu bila ia tau kalau dirinya akan tinggal di sini? Apakah Haikal akan marah? Lebih jauh lagi, jangan-jangan Haikal malah akan langsung mengusirnya. Kanaya gentar memikirkannya.

"Fa, ntar kalau Mas Haikal ngamuk bagaimana? Lo tau sendiri 'kan kalau kakak lo itu udah mewarning gue nggak boleh ke sini lagi." Kanaya mencengkram lengan Safa. Ia mendadak bimbang dengan keputusannya sendiri. Safa menghentikan langkah dan memutar bola mata. Membuat ekspresi wajah bosan karena harus bolak-balik menjelaskan hal yang sama.

"Seperti yang udah gue bilang kemarin. Gue masih punya saham 25% di sini, Nay. Jadi gue juga berhak atas perkebunan ini. Lagi pula, Mas Haikal itu nggak tiap hari ada di sini kok, Nay. Doi 'kan bolak balik Bogor Jakarta terus untuk mengurus pabrik penggilingan kopi yang baru di sana. So, lo tenang aja. Seandainya pun Mas Haikal ke sini, dia juga kagak bakalan tau kalo ada lo ada di paviliun. Mas Haikal itu sibuk banget orangnya, Nay. Ke sininya juga paling ngecek kebun kopi doang."

Safa mencoba menenangkan hati Kanaya. Ia tau kalau Kanaya sangat takut dengan kakaknya. Sepuluh tahun telah berlalu namun perselisihan mereka berdua belum terurai. Kakaknya terlalu dendam pada masa lalu dan Kanaya terlalu takut untuk mencoba meminta maaf. Mereka berdua stuck di masa lalu. Tapi apa mau dikata. Pemikiran masing-masing orang memang berbeda-beda. Mereka pasti mempunyai alasan tersendiri. Ia tidak mau ikut campur.

"Tapi kalo ntar ketahuan gimana, Fa? Paling banter gue diusir kali ya?" Kanaya menghembuskan napas pasrah. Pesimis terhadap pikirannya sendiri.

"Ah, lo kebiasaan deh, Nay. Lo yang nanya, lo juga yang jawab. Kalopun ketahuan, kagak akan kenapa-kenapa, Nay. Paling kakak gue ngoceh-ngoceh sebentar habis itu juga mingkem. Lo 'kan tau sendiri Mas Haikal orangnya irit banget kalo ngomong. Udah ah, nggak usah ngebahas masalah itu terus. Capek gue ngejelasinnya. Pokoknya gue jamin lo kagak bakalan diusir. Titik," tegas Safa.

"Mudah-mudahan aja ya, Fa?" Kanaya mengamini walau ragu. "Eh tapi sekarang ini Mas Haikal lagi di Jakarta 'kan? Gue belum siap mental kalo kepethuk sama kakak lo sekarang," sergah Kanaya terus terang.

"Iya, Nay. Mas Haikal lagi nemuin client dari luar negri di Jakarta. Katanya sih mau kerjasama soal pengeksporan kopi robusta gitu. Biasanya kalau sedang lobby melobby begitu, Mas Haikal staynya bakalan agak lama di Jakarta. Udah ah, nggak usah ngebahas masa lalu terus. Bosen gue. Mending lo istirahat aja di paviliun. Lo pasti capek banget 'kan habis dari perjalanan jauh?" Safa meneruskan langkah menelurusi jalan setapak. Ia bosan mendengar ketakutan tidak berdasar Kanaya. Tidak lama kemudian mereka telah sampai di paviliun keluarga yang cantik dan asri.

Ragu-ragu Kanaya mengekori langkah Safa. Pavliun ini dulu kerap dikunjunginya. Dari luar penampakan paviliun cantik nan asri itu masih sama. Fasadnya menghadap ke arah timur dengan serambi kayu di bagian depannya. Namun semakin didekati tampak sudah ada beberapa perubahan di sana. Apalagi saat Safa membuka pintu paviliun. Perubahan yang paling mencolok adalah ruangan-ruangannya. Dulu hanya ada satu kamar yang luas dan satu ruang tamu minimalis. Kini kamar besar itu disekat menjadi dua bagian. Sementara ruang tamunya masih sama. Hanya ada sofa mungil letter L dan meja kaca bulat. Bagian dapur menjadi lebih terang karena penambahan jendela yang dulu tidak ada. Secara keseluruhan paviliun ini cantik dan asri. Dari dulu ia memang menyukai paviliun ini.

"Gimana, Nay? Cocok nggak paviliun ini jadi tempat tinggal sementara lo?" Safa membantu mendorong kopernya ke depan pintu yang terbuka. Semilir angin sore seketika membelai-belai tubuh lelahnya. Tinggal di desa atmospherenya memang beda. Rasanya hati menjadi damai dan tenang.

"Bukan cocok lagi, Fa. Tapi sangat sangat sangat cocok. Makasih banget ya, Fa? Gue nggak tau, kalo nggak ada lo gue harus sembunyi di mana lagi. Temen-temen gue di Jakarta 'kan semuanya kenal dengan Mas Fari. Gue pasti ketahuan kalau sembunyi di tempat mereka," imbuh Kanaya seraya menggenggam kedua tangan Safa. Ia mengucapkan terima kasih dengan sungguh-sungguh.

"Ahelah lo kayak sama siapa aja, Nay. Udah ah, lo jangan ngomong terima kasih-terima kasih mulu. Geli kuping gue ngedengernya. Pokoknya selama gue bisa bantu, pasti gue akan bantuin lo."

"Lho Non Naya ini ya? Waduh si Non makin cantik. Bibik sampai pangling tadi." Seorang wanita paruh baya tiba-tiba muncul dari jalan setapak. Bik Surti. Bik Surti adalah ART keluarga baihaqi. Suaminya, Mang Diman, adalah supir keluarga ini. Ternyata mereka berdua masih setia mengabdi di keluarga ini.

"Wah Bik Surti masih di sini ya? Iya, Bik. Ini Naya. Naya juga senang sekali bertemu kembali dengan Bibik." Kanaya memeluk Bik Surti gembira. Syukurlah setidaknya selama ini tinggal di sini ada Bik Surti yang menemani. Jadi ia tidak akan merasa terlalu kesepian.

"Masih kok, Non. Bibik sudah cocok kerja di sini. Oh ya, Non Safa sudah menceritakan soal Non Naya yang akan tinggal di paviliun ini sama Bibik. Jadi Non Naya tidak usah khawatir. Bibik akan membantu Non selama Non di sini. Bibik juga akan menjaga rahasia ini dari Mas Haikal. Non Naya tenang saja." Mendengar janji Bik Surti, Kanaya meringis. Lihatlah, Bik Surti saja tau soal perselisihannya dengan Haikal. Sepertinya tindakannya di masa lalu memang fenomenal.

"Udah ah, Bik. Jangan ngingetin Naya dengan masa lalu lagi," Safa segera mengganti topik pembicaraan.

"Nah berhubung lo udah ada temennya, gue balik ke Jakarta ya, Nay? Laki gue udah bosen seminggu ini melukin guling terus. Hehehe. Bulan depan gue ke sini lagi kok karena udah musim panen. Gue jalan dulu ya, Nay? Takut kemaleman di jalan," pamit Safa. Kanaya mengangguk dan mengantar Safa sampai di pintu paviliun. Sepeninggal Safa dan Bik Surti, Kanaya mulai membereskan isi koper. Baru saja membuka resleting koper, ponsel di tas tangannya bergetar. Ibunya yang menelepon ternyata. Pasti ibunya ingin tau apakah ia sudah sampai dengan selamat di perkebunan ini.

"Ya, Bu. Kanaya baru saja sampai di Sukawangi. Ibu tidak usah khawatir. Naya baik-baik saja kok."

"Syukurlah. Ibu hanya mau bilang, si Fari tadi ke sini. Mau ketemu dengan kamu katanya. Dia heran karena ponselmu tidak aktif terus."

"Terus Ibu bilang apa?"

"Ibu belum sempat bilang apa-apa karena ayahmu keburu keluar dan mengusir Fari."

"Bagus, Bu. Untuk selanjutnya kalau Mas Fari datang, sebaiknya tidak usah Ibu temui lagi. Lagi pula semua urusan perceraian sudah Naya serahkan pada Pak Kholil. Naya ingin menenangkan diri dulu di sini. Makanya Naya sengaja mengganti nomor ponsel."

"Ya sudah. Ibu cuma mau bilang itu saja. Kamu istirahat ya, Nay? Kandunganmu masih muda. Harus dijaga baik-baik. Ibu tutup dulu teleponnya ya?"

Tebakannya benar bukan? Fari tidak akan pernah menyerah begitu saja. Setelah membuat kesalahan, ia masih bisa bersikap playing victim dan menyalahkan orang lain. Luar biasa.

"Kenapa kamu terus mereject telepon Mas, Nay? Kamu marah sama, Mas? Ok dimengerti. Tapi kamu tidak perlu bersikap kekanakan seperti ini terus dong, Nay? Manusia itu tempatnya salah dan dosa. Jadi wajar saja Mas sesekali berbuat kesalahan. Tuhan saja maha pemaaf masa kamu tidak sih, Nay?"

Penggalan kalimat kekanakan Ghifari semalam masih terngiang-ngiang di telinganya. Karena itulah ia memutuskan untuk mengganti nomor ponsel dan tidak akan mau berhubungan dengan Ghifari lagi. Terbiasa dimanja sedari orok, membuat Ghifari tidak bisa menerima penolakan. Kanaya juga menghapus semua media sosialnya. Pokoknya ia berusaha memutus semua akses agar Ghifari tidak bisa lagi menghubunginya. Mungkin karena itulah Ghifari nekad mencarinya ke rumah orang tuanya.

Setelah membereskan koper, Kanaya mulai merasa mengantuk. Sebaiknya ia tidur saja sebentar. Mungkin dengan begitu ia bisa melupakan kepelikan hidupnya walau sebentar.

Kanaya tidak tau sudah berapa lama ia tertidur. Namun ia terbangun saat mendengar seperti ada suara pintu yang terbuka. Siapa yang datang? Bik Surti atau jangan-jangan maling?

"Katanya kamu mau balik ke Jakarta? Tapi kok kamu masih di sini, Fa?"

Astaga, itu 'kan suara Haikal!

Kanaya ketakutan. Pasti Haikal mengira Safa belum pulang karena melihat mobil Safa di halaman. Safa memang meninggalkan mobilnya di sini. Safa meminjamkannya selama ia tinggal di sini katanya.

"Si Tirta ngoceh-ngoceh melulu karena kamu tidak pulang-pulang. Hati-hati, Fa. Nanti suamimu malah nyasar mencari selimut tetangga."

Kanaya meringis. Haikal ini kadang memang kocak juga. Jantung Kanaya serasa lepas saat mendengar suara handle pintu kamar yang diputar. Haikal pasti akan masuk ke kamar ini. Dengan cepat Kanaya menyambar selimut dan menutupi sekujur tubuhnya hingga ke kepala. Dan benar saja, suara keriut pintu yang terbuka menandakan bahwa Haikal sudah masuk ke dalam kamar.

"Kamu ini tidak ada sopan-sopannya. Mas sudah berbicara panjang lebar malah kamu anggurin. Fa, Safa. Kamu masih tidur?" Kanaya makin mengkeret saat mendengar langkah-langkah kaki yang kian mendekat.

Ya Tuhan, bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan?

"Sudah mahgrib ini, Fa. Masa kamu masih mau tidur." Kanaya menjerit kaget saat selimutnya disentak hingga terbuka oleh Haikal.

Apa yang terjadi, terjadilah!

Kanaya terpaku di tempat tidur dengan mata yang terpejam rapat. Ia tidak berani membuka matanya. Ia tidak berani melihat ekapresi wajah Haikal tepatnya.

"Sepuluh tahun lalu kamu telah mendeklarasikan pada semua orang, kalau saya telah merenggut kegadisanmu. Dan sekarang, kamu memperlihatkan air muka menggairahkan dengan mata yang terpejam sebagai undangan tanpa kata. Baiklah, terlanjur basah, saya akan mandi saja sekalian." Kanaya kaget saat merasakan ranjang melesak karena tambahan beban lain. Sejurus kemudian ia merasa Haikal memeluknya erat disertai suara geraham yang gemeretak. Ternyata kemarahan Haikal belum luruh. Sepertinya Haikal berniat untuk membalas dendam padanya.

"Jangan, Mas. Saya--saya minta maaf atas kesalahan saya sepuluh tahun lalu. Saya minta maaf sekali lagi, Mas. Tolong, jangan sakiti saya." Kanaya membuka matanya dan dan mencoba mengurai pelukan Haikal.

"Maaf? Gampang sekali kamu meminta maaf setan kecil? Apakah kamu tau, setelah deklarasi fenomenalmu itu, Astri langsung membatalkan pernikahan kami. Ia menyebut saya pedophil menjijikan. Bukan itu saja, semua orang memandang saya sebagai laki-laki bejat yang harus dijauhi sejak hari itu. Kamu melenggang pergi begitu saja, menikah dan berbahagia sementara saya harus menanggung dosa seumur hidup yang tidak pernah saya lakukan. Dan sekarang kamu hanya mengucapkan sepotong kata maaf? Enak sekali kamu!" Kanaya tidak menjawab sesuku katapun karena ia sibuk berusaha mengurai pelukan Haikal. Namun semua usahanya sia-sia. Haikal malah kian memgeratkan pelukan hingga membuat napasnya sesak. Kini malah ditambah dengan panasnya napas Haikal yang menyapu-nyapu leher dan pipinya.

"Jangan, Mas. Tolong jangan begini. Saya--saya sedang hamil, Mas." Kalimatnya membuat Haikal menjauhkan diri dengan ekspresi jijik yang kentara.

"Astaga, dulu kamu menjebak saya dengan pengakuan sudah saya rusak. Dan kini kamu datang kembali dengan tuduhan sudah saya hamili? Manusia macam apa kamu ini, Kanaya? Saya punya salah apa padamu, sampai kamu dendam seperti ini pada saya?"

"Bukan seperti maksud saya, Mas. Saya hamil--"

"Keluar. Saya tidak mau mendengar penjelasan apa pun lagi. Saya sudah pernah memperingati kamu sepuluh tahun lalu bukan?"

"Astaga Den Haikal. Jangan begitu, Den. Mau ke mana Non Naya malam-malam begini? Di luar sudah gelap lho, Den. Lagi pulan Non Naya itu kan tamunya Non Safa. Den Haikal tidak mengusir Non Naya begitu saja."

Tanpa mereka sadari Bik Surti sudah berada di ambang pintu yang terbuka. Sepertinya Bik Surti menyusul untuk memberitahukannya kalau Haikal ada di rumah ini. Hanya saja Bik Surti telat. Haikal sudah terlebih dahulu memergokinya.

"Tidak apa-apa, Bik. Saya akan pergi malam ini juga." Kanaya turun dari ranjang dengan kaki gemetar. Ia berjalan ke arah lemari dengan dagu terangkat tinggi. Kalaupun ia harus tidur di tengah kebun, tidak apa-apa. Yang penting harga dirinya selamat.

"Sudah. Kamu tidak perlu ke mana-mana. Dikhawatirkan kamu akan kembali menyebar issue kalau setelah saya hamili, kamu saya usir pergi!" Haikal keluar dari kamar seraya membanting pintu.

"Sabar ya, Non. Den Haikal memang begitu orangnya. Jangan didengarkan ya, Non?" Bik Surti berusaha membesarkan hatinya. Kanaya menganggukkan kepala dengan perasaan kebas. Ternyata sampai di sini pun ketenangan tidak akan pernah didapatkannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status