Share

Chapter 4

Setelah hampir seminggu bersitegang dengan Ghifari, akhirnya suaminya itu bersedia juga bercerai. Harus Kanaya akui, keberhasilannya kali ini sebagian besar adalah berkat andil ibu mertuanya. Ya, ibu mertuanya tidak henti-hentinya mendukung keinginannya untuk bercerai. Padahal selama lima tahun menjadi menantunya, ibu mertuanya ini tidak pernah sekalipun mendukungnya dalam hal apapun. Ini ini adalah kali pertama mereka berdua bersepakat dalam satu hal. Sepakat untuk mengakhiri statusnya sebagai menantu keluarga Albani tentu saja. Dan Kanaya memang sudah siap lahir batin untuk melepas singgasananya.

Kanaya sekarang bisa bernapas lega karena gugatan cerainya atas Ghifari akhirnya diproses juga. Minggu depan adalah sidang pertama gugatan cerainya. Proses perceraian mereka bisa berjalan cepat karena ia memang hanya menginginkan perpisahan saja. Ia sama sekali tidak memasukkan soal klausual harta gono gini sama sekali. Makanya ibu mertuanya bersedia mendukung. Ibu mertuanya merasa keluarga mereka tidak akan kehilangan apapun, kecuali kepergiannya. Dan ini memang sesuatu yang sangat ia harap-harapkan sedari dulu.

Untuk mengurus masalah gugatan perceraiannya ini, Kanaya telah menguasakan semua tetek bengeknya pada seorang pengacara profesional. Karena ia memang berencana untuk tidak akan menghadiri sidang dan menghindari bertemu dengan siapa pun selama ia masih dalam keadaan mengandung. Ia juga telah mengkonsultasikan semua keinginannya kepada kedua orang tuanya. Pada mulanya ayahnya memang keberatan. Menurut ayahnya, ia tidak boleh mengebiri hak seorang anak yang seharusnya mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya. Walau bagaimanapun peliknya hubungan di antara kedua orang tua, tidak seharusnya ia mengorbankan hak seorang anak.

Namun setelah ia menjelaskan soal karakter keluarga Albani yang kejam dan egois, barulah sikap ayahnya melunak. Bayangan bahwa ia tidak akan mendapatkan kesempatan melihat tumbuh kembang cucunya kelak, membuat ayahnya mengalah. Bagaimanapun ia akan menjadi seorang kakek. Jadi mana mungkin ia rela kalau cucunya dirampas begitu saja darinya bukan?

Perdebatan kembali terjadi saat ayahnya tau bahwa ia akan mengungsi sementara ke perkebunan kopi keluarga Baihaqi. Ayahnya takut kalau ia akan membuat masalah seperti sepuluh tahun lalu di sana. Dan Kanaya berusaha meyakinkan ayahnya kalau ia sudah bukan anak-anak lagi. Ia sudah dewasa dan tau mana yang baik dan buruk. Walau dengan berat hati, akhirnya ayahnya mengizinkannya juga. Alhamdullilah.

Sebenarnya Yusuf Baihaqi, ayah Haikal dan Safa adalah sahabat baik ayahnya di masa muda. Walaupun mereka berbeda secara strata sosial, tapi persahabatan mereka tetap terjalin erat. Yusuf Baihaqi berasal dari keluarga kaya yang memiliki berbagai macam usaha. Salah satunya adalah perkebunan kopi yang sangat luas di desa Sukawangi. Karena hubungan akrab kedua orang tuanya, anak-anak mereka pun kompak sedari kecil. Kanaya kecil juga sering ikut diajak keluarga Baihaqi ke perkebunan setiap kali liburan sekolah. Hingga terjadi satu peristiwa yang pada akhirnya merenggangkan persahabatan kedua orang tua mereka.

Kala itu ia masih berusia 17 tahun dan jatuh cinta setengah mati dengan Haikal, kakak Safa. Sementara Haikal yang telah berusia 25 tahun sama sekali tidak mengetahui perasaan terpendamnya. Haikal hanya menganggapnya seperti Safa, adik kandungnya sendiri. Sementara Kanaya sendiri kerap berangan-angan ingin menjadi istri Haikal apabila ia dewasa kelak. Makanya ia tidak terima saat mengetahui bahwa Haikal akan menikahi Astri. Teman sekampus Haikal dulu. Saking kecewanya Kanaya sampai nekad menyebar cerita bohong kalau Haikal telah memerawaninya dan membuangnya begitu saja. Kanaya yang masih muda belia, sama sekali tidak mengira kalau akibat perbuatannya, ia telah merusak seluruh kehidupan Haikal. Astri membatalkan pernikahan dan Haikal menjadi buah bibir orang-orang sekampung sebagai laki-laki tidak bermoral.

"Kamu setan cilik, telah merusak reputasi Mas karena semua omong kosongmu itu! Mas sama sekali tidak menyangka walau kecil-kecil begini, ternyata mulutmu seperti ular berbisa. Mulai hari ini, kamu tidak boleh lagi menginjakkan kakimu ke tempat ini. Cam 'kan itu!"

Setelah kejadian itu, hubungan kedua kedua keluarga mereka menjadi renggang. Ayahnya mengamuk dan menghukumnya tidak boleh lagi berhubungan dengan keluarga Baihaqi. Ayahnya malu karena merasa gagal mendidiknya. Kanaya memang memutuskan semua aksesnya pada keluarga Baihaqi, kecuali Safa. Ia tetap saling berhubungan dengan Safa walau hanya melalui media sosial. Dan kini ia akan kembali ke perkebunan setelah sepuluh tahun berlalu. Mudah-mudahan saja Haikal sudah tidak marah lagi padanya.

Kanaya mengeluarkan dua buah koper besar dari dalam lemari. Ia mulai membereskan barang-barang pribadinya, mulai dari pakaian yang digantung terlebih dulu. Melepaskan hanger satu persatu. Dilanjutkan dengan melipatnya ke dalam koper. Dalam sekejab ia sudah tenggelam dalam kesibukannya mengemas barang-barang. Setelah pakaian-pakaiannya ia susun rapi, kini ia mulai menyusun kosmetik dan peralatan-peralatan mandinya. Satu-persatu ia susun rapi agar isinya tidak tumpah dan terbalik-balik. Di tengah kesibukan, pintu kamarnya diketuk yang disusul dengan kehadiran ibu mertuanya. Seperti biasa, Nabila tetap mengekor di belakangnya. Dan kini ditambah dengan satu orang dayang-dayang lagi, yaitu Dina. Ibu dari calon cucunya.

"Jangan sampai ada barang-barangmu yang tertinggal ya, Nay? Tidak enak nanti dengan Nabila. Soalnya setelah ketuk palu, Nabila yang akan menjadi nyonya rumah ini," kalimat ibu mertuanya sukses membuat air muka Dina kian kelam. Ada ketidakpuasan dan ketakutan yang terpancar di kedua bola matanya. Kanaya sangat memahami apa yang dirasakan Dina. Mantan sahabatnya itu kini seperti makan buah simalakama. Bayangkan saja, Dina kini bagaikan tawanan di kediaman keluarga besar Albani. Ia tidak diperbolehkan memperlihatkan dirinya hingga melahirkan serta harus mengikuti apapun perintah ibu mertuanya. Keluarga Albani tidak ingin ada gosip-gosip yang bisa mencoreng nama keluarga besarnya.

Setelah melahirkan nanti, bayinya akan diasuh oleh keluarga Albani sebagai anak dari Ghifari dan Nabila. Itu pun kalau hasil test DNA menunjukkan bahwa bayinya memang darah daging Ghifari. Tetapi jika tidak, ia akan dituntut dengan pasal penipuan dan perbuatan tidak menyenangkan oleh keluarga Albani. Dua-duanya terdengar sangat menyedihkan bukan? Dina salah strategi dan kini hanya penyesalanlah yang ia rasakan. Namun seperti biasa, Dina yang sudah kalah malu, berusaha mati-matian untuk menampilkan air muka penuh kebahagiaan di depannya.

"Baik, Bu. Ini sebagian sudah Naya kumpulkan. Sebagian lagi rencananya akan Naya sumbangkan ke panti asuhan terdekat. Ibu tidak usah khawatir. Naya hanya akan mengambil barang-barang Naya. Naya tidak suka mengambil hak orang lain, Bu," sindir Kanaya kalem. Dina yang berdiri tidak jauh darinya menggeram kesal. Ia tau pasti kalau kalimat Kanaya itu sebenarnya ditujukan padanya.

"Baguslah. Dengan begitu tidak akan ada jejak-jejakmu lagi di rumah ini. Ibu ingin agar Nabila dan Ghifari benar-benar memulai hidup baru. Jauh dari bayang-bayangmu dan jerat wanita perusak lainnya." Kata terakhir diucapkan ibu mertuanya seraya menatap tajam Dina. Ibu mertuanya terang-terangan mengatakan bahwa Dina adalah seorang wanita perusak.

"Semoga saja ya, Bu? Toh situasi yang Naya alami sekarang ini juga diakibatkan oleh para perusak rumah tangga orang. Naya doakan semoga ayah dijauhkan dari wanita-wanita perusak seperti yang Ibu katakan tadi. Aamiin." Kalimat terakhirnya sukses membuat ibu mertuanya dan Nabila bersungut-sungut. Tanpa banyak bicara lagi mereka berdua segera keluar kamar. Sekarang di kamarnya hanya tersisa Dina. Sepertinya mantan sahabatnya ini masih ingin meluapkan keresahan hatinya sendiri dengan cara membullynya.

"Sebenarnya aku sudah berkali-kali memberikan clue padamu, kalau Ghifari itu tidak sebaik yang kamu kira. Hanya saja kamu tidak peka menanggapinya." Kanaya menanggapi kata-kata Dina dengan senyum kecil sembari terus mempacking.

"Sama dong. Aku juga sudah sering memberi clue padamu tentang betapa tidak berperasaannya keluarga Albani. Tapi ternyata kamu tetap saja diam-diam bergerilya." Kalimatnya sukses membungkam Dina. Kanaya tau, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Dina itu menyesal.

"Sekarang aku tanya, apa keuntungan yang kamu dapatkan dari perbuatanmu ini? Tidak ada 'kan? Kamu ingat tidak apa yang aku nasehatkan pada adikmu Vina, saat atasannya yang telah beristri itu mendekatinya?"

"Jangan pernah mau didekati oleh laki-laki yang sudah beristri, Vin. Karena ia itu hanya sedang iseng dan mencari tempat pelarian. Kalau pun ia akhirnya serius, percayalah itu hanya sementara karena ia sedang merasakan sensasi puber kedua. Kalau pada akhirnya ia meninggalkan pasangannya demi kamu, percayalah suatu saat ia juga akan meninggalkan kamu demi yang lainnya. Karena memang tidak ada mental penghianat yang setia. Satu lagi, kamu juga tidak akan pernah bahagia. Tau tidak kenapa? Karena tidak ada maling yang berkah bukan?"

"Aku yakin kamu masih mengingat jelas apa yang aku katakan waktu itu pada adikmu. Dan untungnya Vina waktu itu menurut. Tapi yang tidak aku sangka malah kamu yang menggantikan kebodohan Vina. Oh ya, khusus buatmu, aku ingin menambahkan satu kalimat. Jangan pernah menjebak seorang laki-laki dengan modal anak. Karena mungkin saja ia menginginkan anakmu, tetapi tidak dengan dirimu. Aku benar lagi kali ini 'kan, Din?"

Dina tidak menjawab. Ia hanya mendengkus dan berlalu sembari membanting pintu. Kanaya tersenyum masygul. Miris melihat kaumnya yang selalu mencari jalan pintas demi sebuah kebahagian yang mereka pikir akan mereka dapatkan. Sepeninggal Dina, ia kembali melanjutkan mempacking. Sudah ada tiga koper penuh dan empat kardus-kardus besar yang ia lakban. Pekerjaannya sudah hampir selesai. Kanaya memandangi seantero kamar sekali lagi. Bagaimanapun ia telah lima tahun menghuni kamar ini. Dan ini adalah kali terakhirnya ia memandang kamar yang telah memberikan kenangan manis maupun pahit selama lima tahun pernikahannya. Mulai besok, ia tidak akan pernah menginjakkan kaki lagi di kamar ini. Statusnya telah berubah.

Jujur jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ada rasa gentar di hati kala ia harus menyadang predikat janda. Konotasi negatif sebagai seorang janda sangat rentan menjadi sumber segala fitnah dan ghibah. Akan tetapi hidup serumah dan seranjang dengan orang telah menghianatinya habis-habisan, tidak akan mungkin sanggup ia lakoni. Karena seumur hidupnya ia akan dilanda kecemasan yang tak berujung. Setiap detik, setiap menit setiap jam, ia akan terus dibayangi kekhawatiran apakah suaminya tengah melakukan hal yang tidak seharusnya? Apakah suaminya kembali mencari selingkuhan dan seterusnya. Dan itu semua itu pasti akan luar biasa melelahkan. Ia tahu moved on itu memang tidak mudah. Tetapi hidup dengan terus menerus berderai air mata pasti akan lebih membuatnya merana. Tangisannya cukup sampai di sini saja. Ia harus memantaskan diri untuk mencintai dan dicintai lagi.

Satu jam kemudian semua barang-barangnya telah selesai dipaking. Kanaya mendorong ketiga koper besarnya ke depan pintu. Menyusul empat kardus besar yang ia dorong dengan susah payah. Akhirnya semua usai sudah. Sebelum menutup pintu kamar, Kanaya memandang kamarnya sekali lagi.

Ikhlaskan semua, Nay. Mulai hari ini kamu harus melangkah maju dan tidak boleh terpuruk lagi. Tegakkanlah tubuhmu dan kuatkan niatmu.

Lihatlah ke depan dan tersenyumlah dengan lebih menawan. Berhusnudzanlah. Yakinlah setelah ini kamu akan bahagia. Insya Allah.

Kanaya menarik napas panjang dan meraih pegangan kopernya. Menarik dengan susah payah karena beratnya isi koper. Dan bantuan tidak terduga datang dari Nabila dan ibu mertuanya. Mereka berdua dengan senang hati membantunya menarik koper bahkan mengangkatnya ke taksi online yang ia pesan. Kanaya memang sudah tidak mau memakai fasilitas keluarga Albani setelah ia mengajukan gugatan cerai. Baru saja Kanaya berniat masuk ke dalam taksi, mobil Ghifari masuk ke gerbang dengan suara decitan ban tajam karena direm mendadak. Ghifari menyusul keluar dari mobil dan menyambar pergelangan tangannya.

"Kamu mau ke mana, Nay? Mengapa kamu membawa semua barang-barangmu?"

"Naya akan pindah, Mas. Kita akan segera bercerai. Tidak baik kalau Naya masih tinggal satu atap dengan, Mas. Naya permisi dulu, Mas." Kanya melepas paksa cengkraman Ghifari. Ia tidak mau berurusan dengan orang yang akan segera menjadi mantan suaminya ini.

"Jangan begitu, Nay. Selama kita belum resmi bercerai, Mas mau kamu tetap tinggal di rumah ini."

"Untuk apa, Mas? Toh cepat atau lambat kita akan berpisah juga. Mas tidak usah khawatir akan takut kesepian. Itu ada Dina dan Nabila yang akan bersaing mati-matian demi membahagiakan, Mas," usul Kanaya seraya melirik dua wanita muda yang berdiri mengapit ibu mertuanya.

"Jangan, Nay. Jangan tinggalkan Mas. Yang berakhir di antara kita itu hanya status. Tapi perasaan Mas, belum. Mas masih sangat mencintai kamu, Nay." Kanaya tersenyum kecil. Manusia memang begitu adanya. Baru merasa menyesal setelah apa yang ada digenggaman terancam akan terlepas.

"Masalah perasaan Mas, itu urusan Mas sendiri. Tidak ada hubungannya dengan Naya. Satu hal yang harus Mas pelajari, Mas itu bukan mencintai Naya. Mas hanya takut kehilangan sesuatu yang sudah biasa Mas genggam. Bersikap dewasalah, Mas. Jangan seperti anak kecil yang takut kalau mainannya akan dirampas orang. Mas sudah mau punya anak lho. Masa sih sikapnya masih seperti anak-anak ? Malu sama jakun, Mas. Nah semuanya, Naya pergi dulu. Semoga dengan kepergian Naya ini, bisa membahagiakan semua orang."

Dan semoga kita semua tidak akan pernah bertemu lagi.

Siang menjelang sore itu, Kanaya meninggalkan semua masa lalunya. Setelah menitipkan semua barang-barangnya ke rumah lama kedua orang tuanya, Kanaya memulai petualangannya dengan berangkat ke Bogor. Di sana ia akan tinggal di desa Sukawangi. Desa Sukawangi adalah salah satu desa yang terletak di kecamatan Sukamakmur, kabupaten Bogor. Desa ini berbatasan langsung dengan kabupaten Cianjur diketinggian sekitar 1200 di atas permukaan laut. Dan di desa inilah keluarga Baihaqi membangun perkebunan kopi besar yaitu seluas 544 hektar dari total 1.700 hektar luas desa Sukawangi. Semoga saja keputusannya untuk tinggal sementara di perkebunan bisa menyembuhkan luka-lukanya. Ya, semoga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status