Share

Chapter 6

Sepeninggal Bik Surti, ponselnya bergetar. Saat melihat nama Safa di layar ponsel, Kanaya mengerti. Pasti Safa ingin mengabari soal kedatangan kakaknya yang di luar prediksi.

"Nay, gue mau ngabarin kalau Mas Haikal sedang on the way ke Sukawangi. Gue nelpon lo, supaya lo nggak kaget-kaget amat kalau pas nanti kepethuk."

Benar 'kan tebakannya?

"Kami udah ketemu kok, Fa." Kanaya menjawab apa adanya.

Bahkan udah berantem lagi.

"Hah! Udah ke temu? Terus gimana, Nay? Mas Haikal udah nggak marah lagi sama lo 'kan?"

Kanaya tidak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban bijak. Ia tidak ingin menjadi penyebab kedua kakak beradik itu saling bentrok.

"Ya gitu deh, Fa." Kanaya memberikan jawaban ambigu.

"Eh tapi gue heran, lo bilang 'kan Mas Haikal lagi ada project baru di Jakarta. Lah ini kok ujug-ujug udah nyampe ke sini aja?" tanya Kanaya penasaran. Pertanyaannya ditanggapi Safa dengan decakan lidah.

"Itu gara-gara ibu gue yang terus nyodor-nyodorin Mbak Astri pada Mas Haikal,"

"Eh tunggu-tunggu. Bukannya nggak lama setelah Mbak Astri membatalkan pernikahan dengan Mas Haikal, Mbak Astri langsung nikah dengan atasannya? Kok ini lo bilang ibu lo nyodor-nyodorin Mbak Astri?" Pertanyaannya kembali dijawab Safa dengan decakan lidah.

"Ck! Panjang ceritanya, Nay. Ntar bulan depan pas gue ke sana, gue ceritain deh semuanya. Yang pasti Mbak Astri sekarang udah resmi bercerai dengan suaminya. Gue tutup dulu ya, Nay. Mas Tirta udah ngedumel terus pengen minta jatah. Hihihi."

Kanaya memutar bola mata. Safa memang sesableng itu. Kata-katanya selalu keluar tanpa difilter. Setelah menutup ponsel, Kanaya segera membersihkan diri. Ia lapar dan ingin mencicipi makanan khas penduduk sekitar. Sewaktu melewati perkampungan ini sore tadi, ia melihat ada beberapa penduduk sekitar yang berjualan makanan tradisonal. Kampung ini sekarang lebih modern. Tidak seperti sepuluh tahun yang lalu. Di mana masyarakatnya hanya bermata pencaharian dengan bertani. Sekarang mereka juga sudah mulai mencoba berdagang.

Dua puluh menit kemudian ia telah bersiap-siap meninggalkan paviliun. Sebuah jaket hangat dan sepatu kets telah ia kenakan. Dengan jaket ini ia berharap tidak masuk angin karena semilir angin gunung. Kanaya membuka pintu bertepatan dengan Bik Surti yang datang membawa rantang empat susun di tangan.

"Lho Non Naya mau ke mana malam-malam begini?" tanya Bik Surti heran. Melihatnya memakai jaket dan sepatu, Bik Surti pasti bisa menebak tujuannya membuka pintu.

"Saya cuma mau jalan-jalan sebentar, Bik." Kanaya seraya melebarkan daun pintu.

"Duh, sebaiknya jangan, Non. Angin malam tidak baik untuk kesehatan. Mana Non Naya sedang isi lagi. Jalan-jalannya besok pagi aja ya, Non? Biar sekalian Bibik temani." Mau tidak mau Kanaya menurut juga. Apa yang dikatakan Bik Surti memang ada benarnya.

"Ayo masuk lagi, Non. Makan dulu ya? Ini Bibik bawakan macam-macam lauk. Semoga Non Naya suka ya?" Bik Surti meletakan rantang empat susun di meja makan. Membuka rantang satu persatu. Memamerkan macam-macam lauk yang menggoda selera. Ada rendang, sambal tempe orak arik, pepes ikan dan tumis brokoli. Perutnya seketika bergemuruh. Akhir-akhir ini selera makannya memang meningkat tajam. Mungkin karena dipengaruhi oleh hormon kehamilannya. Kanaya membuka jaket dan menyampirkannya di atas sofa. Sepatu kembali ia letakkan di belakang pintu. Lebih baik ia makan dulu. Ia memang sedang lapar-laparnya.

Kanaya menarik sebuah kursi makan. Mengambil sepiring nasi hangat dari rantang dan mengisi beberapa macam lauk di atas nasi hangatnya. Sejurus kemudian ia mulai makan dengan lahap. Bik Surti tersenyum. Ia senang melihat cara Kanaya makan.

"Terima kasih ya, Bik? Tapi lain kali Bibik tidak usah repot-repot mengantar makanan lagi. Saya jadi tidak enak pada Mas Haikal. Sudah menumpang, masa saya tiap hari minta makan juga? Lain kali tidak usah lagi ya, Bik?" pesan Kanaya. Ia tidak mau menjadi benalu di sini.

"Eh ladalah. Non Naya kok jadi sungkan begini? Tidak apa-apa kok, Non. Den Haikal nggak bakalan marah. Lha wong ini juga Den Haikal yang nyuruh. Daripada dibuang katanya. Eh mubazir maksudnya." Bik Surti buru-buru meralat kalimatnya. Kanaya tersenyum tipis. Ia lebih mempercayai kalimat pertama dibandingkan yang baru saja diralat oleh Bik Surti.

"Tolong bilang terima kasih sama Mas Haikal ya, Bik?" Kanaya meletakkan sendok. Tidak jadi menambah sepotong rendang lagi. Selera makannya telah menguap. Bik Surti menghela napas. Ia menyesali kalimatnya. Sebenarnya ia tidak bermaksud mematahkan selera Kanaya. Hanya saja ia keceplosan. Daripada terus terjadi kesalahpahaman di antara keduanya, Bik Surti memutuskan untuk menjelaskan asal muasal kata dibuang.

"Non, Den Haikal tidak bermaksud memberikan Non makanan sisa. Ini semua makanan baru. Baru diantar oleh dokter Rissa tepatnya.

"Dokter Rissa? Maksudnya?" Kanaya mengerutkan dahi. Ia merasa tidak familiar dengan nama yang disebutkan Bik Surti. Apalagi mendengar gelar dokternya.

"Dokter Rissa itu dokter Marissa. Dokter muda dari Jakarta yang ditugaskan praktek di kampung ini. Nah, sepertinya dokter itu suka dengan Den Haikal. Makanya dokter Rissa selalu mengantarkan makanan untuk Den Haikal, kalau Den Haikal kebetulan sedang ada di sini. Nah, Den Haikal itu tidak pernah mau makan makanan yang diberikan dokter Rissa. Biasanya makanan-makanan ini diberikan pada Bibik atau kadang dibuang begitu saja oleh Den Haikal. Makanya Den Haikal mengatakan dari pada dibuang. Itu lho maksud dari kata-kata Den Haikal tadi. Non Naya jangan kecil hati dengan kalimat keceplosan Bibik tadi ya, Non?"

Bujang lapuk seperti Mas Haikal ini banyak peminatnya juga rupanya.

"Iya, Bik. Nggak apa-apa. Bibik tenang saja." Kanaya berusaha menenangkan hati Bik Surti. Ia kasihan melihat perasaan bersalah yang membayangi kedua mata tuanya.

"Dokter Rissa itu bagaimana sih orangnya, Bik? Kok Mas Haikal sampai hati membuang-buang makanannya begitu?" Kanaya membungkus kekepoannya dengan kalimat yang memicu panjangnya gossip.

"Itulah, Non. Bibik juga nggak ngerti. Padahal dokter Rissa itu baik dan ramah sekali lho, Non. Tengah malam saja saat ada warga yang ingin melahirkan, dokter Rissa selalu siap membantu. Mana wajahnya begini lagi." Bik Surti menunjukkan jempolnya.

"Eh Bibik balik ke rumah utama dulu ya, Non? Takut sayur asem Bibik habis kuahnya karena kelamaan di kompor. Den Haikal lagi kepengen makan sayur asem dan ikan asin katanya. Makanya Bibik masakin. Non Naya lanjut makan aja yang banyak. Biar ibu dan bayinya sehat," Bik Surti buru-buru berlalu. Ia takut kalau sayur asemnya kering.

Sepeninggal Bik Surti, Kanaya membereskan peralatan makannya. Ia sudah terlanjur tidak berselera. Lebih baik ia berselancar di dunia maya saja. Siapa tau ia bisa mencoba resep-resep masakan baru atau sekedar melihat-lihat peluang bisnis selama kehamilannya. Kecanggihan teknologi sekarang ini ibarat dua sisi mata pisau. Bila digunakan untuk hal-hal positif, akan sangat banyak manfaatnya. Sebaliknya jika digunakan untuk hal-hal negatif, akan merusak penggunanya. Kanaya duduk setengah bersandar di sofa yang empuk. Mencoba mencari- cari konten yang bermanfaat demi membunuh kebosanan.

Saat sedang asyik-asyiknya membaca artikel-artikel, ponselnya bergetar. Kali ini pengacaranyalah yang menelepon. Jantung Kanaya  berdetak kencang. Jangan-jangan proses perceraiannya dipersulit oleh Ghifari. Ghifari itu memang keras kepala.

"Ya, Pak Kholil. Bagaimana progres gugatan perceraian saya? Apakah sudah mulai berjalan?" Kanaya langsung memberondong pengacaranya begitu mendengar pengacaranya menjawab salamnya.

"Tidak ada perceraian, Bu Naya."

Kanaya terdiam sejenak. Ia seperti tidak mempercayai pendengarannya sendiri. Ada apa ini sebenarnya? Apakah Ghifari berulah lagi?

"Tidak ada perceraian bagaimana maksud Pak Kholil? Mas Fari menolak bercerai maksud Bapak?"

"Bukan. Tidak ada perceraian antara Bu Naya dan Pak Fari, karena memang tidak ada pernikahan resmi di antara kalian berdua."

"Hah? Tidak ada pernikahan resmi? Maksudnya?" Kanaya berdiri dari sofa. Ia kaget mendengar berita dari Pak Kholil. Ia dan Ghifari memang terlebih dahulu melakukan pernikahan secara agama karena tidak direstui oleh kedua orang tua Ghifari. Namun beberapa bulan kemudian Ghifari berhasil membujuk kedua orang tuanya agar merestui pernikahan mereka. Mereka kemudian menikah ulang dan mengadakan resepsi besar-besaran. Mereka bahkan mendapatkan buku nikah sebagai tanda telah sah sebagai suami istri secara hukum negara. Jadi bagaimana mungkin pernikahan mereka dianggap tidak resmi? Kanaya benar-benar bingung.

"Begini, menurut keluarga Albani, pernikahan Bu Naya dan Pak Fari adalah pernikahan secara siri. Yang artinya pernikahan di bawah tangan. Pernikahan seperti ini memang sah di mata agama. Tetapi tidak di mata hukum. Mengenai pernikahan ulang Ibu dan Pak Fari, itu hanyalah pernikahan palsu. Penghulunya juga palsu. Semua itu telah diatur oleh kedua mertua Bu Naya dan disepakati oleh Pak Fari. Menurut Pak Fari, ia terpaksa melakukan semua ini agar Bu Naya bahagia karena merasa diterima oleh keluarga besarnya. Sedangkan bagi kedua mertua Bu Naya, mereka akan menerima Bu Naya sebagai menantu, dengan syarat, tidak dinikahi secara resmi atau didaftarkan di catatan sipil. Sampai di sini apakah Bu Naya mengerti di mana posisi Ibu sekarang?"

Astaga, mereka semua sepakat membohonginya! Pantas saja keluarga Albani yang pada mulanya menentang habis-habisan hubungannya dengan Ghifari, mendadak setuju-setuju saja. Rupanya begini permainan mereka? Kejam sekali!

"Halo... halo... Bu Naya. Apakah Ibu masih mendengar saya?"

"Ma--masih, Pak. Masih." Kanaya tergagap. Tidak setitik debu pun ia mengira kalau Ghifari sanggup membohonginya sampai sejauh ini. Lima tahun. Ghifari sanggup menutupinya sampai lima tahun lamanya.

"Saya turut prihatin ya, Bu? Saya juga baru mengetahui kabar ini saat dikabari oleh panitera pengadilan. Buku nikah dan dokumen-dokumen lain seperti Kartu keluarga Ibu itu semua palsu, alias tembakan. Makanya kasus dibatalkan karena dianggap tidak valid. Negara tidak mengakui adanya pernikahan, jadi bagaimana mungkin ada gugatan perceraian bukan? Bahasa gampangnya, Ibu jadi tidak memiliki hak untuk menuntut harta gono gini terhadap Pak Fari. Saya turut prihatin ya, Bu?"

"Apakah... apakah... kedua orang tua saya tau soal... soal... pernikahan palsu ini?" tanya Kanaya pelan. Ia merasa malu sekali. Ternyata apa yang dikhawatirkan ayahnya kejadian juga. Ayahnya pada mulanya juga menentang hubungannya dengan Ghifari. Menurut ayahnya pernikahan tanpa restu kedua orang tua itu sulit. Karena menikah itu bukan hanya antara satu pria dengan satu wanita. Akan tetapi dengan dua keluarga juga. Menikah artinya mengawinkan dua keluarga dengan background yang berbeda. Kalau salah satu keluarga ada yang tidak setuju, mustahil rumah tangga mereka akan bahagia. Tetapi kala itu tetap bersikukuh ingin menikah dengan Ghifari hingga akhirnya ayahnya mengalah. Kini saat kenyataan pahit ini disodorkan di depannya, Kanaya malu. Ia seperti dipaksa menelan bulat-bulat kata-katanya sendiri.

"Pak Dibyo dan Ibu Dibyo telah saya beritahu,"

"Ba--bagaimana reaksi mereka?" Kanaya meremas ponsel kian kuat karena cemas. Ia tidak bisa membayangkan betapa sedih dan kecewanya kedua orang tuanya.

"Pertama-tama mereka kaget dan kecewa. Namun akhirnya mereka bisa menerima juga. Pak Dibyo mengatakan kita ambil sisi positifnya saja. Dengan dianggap tidak adanya pernikahan Bu Naya dan Pak Fari, itu artinya bayi yang ada dalam kandungan Bu Naya adalah milik Bu Naya sendiri. Dari sisi hukum, keluarga Albani tidak mempunyai hak apapun terhadap bayi Bu Naya. Selain itu, sekarang Bu Naya bebas. Secara agama Bu Naya memang telah diceraikan oleh Pak Fari. Dan secara negara, pernikahan Bu Naya juga dianggap gugur. Jadi sekarang Bu Naya bebas sebebas-bebasnya."

Mendengar penjelasan pengacaranya, Kanaya tidak tau ia harus bersikap bagaimana. Harus sedih atau bahagia? Dan sampai pembicaraannya dengan Pak Kholil berakhir pun, Kanaya masih sulit mendeskripsikan perasaannya. Ia hanya duduk diam dengan pikiran melayang-layang. Ia merasa begitu gamang karena permainan kehidupan. Namun saat ia membaca sebuah pesan singkat yang diketik ayahnya dengan kalimat yang indah, membuatnya kembali bersemangat. Ia membaca pesan singkat itu lamat-lamat dan meresapi setiap untaian katanya.

Nak, hidup tidak selalu sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Dalam perjalanannya, terkadang timbul perasaan luka, sedih atau pun bahagia. Setiap orang tidak akan luput dari perasaan-perasaan itu. Jadi, cobalah untuk menerima apapun apa yang sudah Tuhan takdirkan. Dekatkan diri pada Sang Pemilik Hidup ya, Nak? Karena dari sanalah kamu akan menemukan bahwa kekuatan bisa bersumber dari hati yang ikhlas. Satu hal yang ingin Ayah tekankan, apapun keputusanmu Ayah dan Ibu akan selalu mendoakan dan mendukungmu seperti dulu.

Air mata Kanaya menggenang. Orang tua tetaplah orang tua. Seberapa marah dan kecewanya mereka pada anak-anaknya, mereka jugalah orang pertama yang akan pasang badan jika anak-anak mereka terluka.

"Sebenarnya ayah bodoh karena merestui pernikahanmu dengan Fari, Nak. Tetapi kalau hal itu bisa membuatmu bahagia, Ayah rela melakukan hal bodoh yang lebih bodoh dari apa yang kamu dilakukan saat ini."

Teringat kembali pada kata-kata ayahnya sebelun ijab kabul pernikahan sirinya membuat Kanaya merindukan sosoknya. Kanaya beringsut dari sofa. Ia sudah tidak berselera lagi berselancar di dunia maya. Lebih baik ia berjalan-jalan di sekitar paviliun saja. Kanaya mengenakan kembali jaketnya yang tersampir di sofa. Membuka pintu dan bersiap menghirup udara segar pegunungan. Di atas pegunungan itulah bibit-bibit kopi robusta keluarga Baihaqi tumbuh subur. Saat akan menutup pintu, pandangan Kanaya membentur dua sosok tubuh yang tengah duduk bersisian di antara kerimbunan tanaman. Kepulan asap rokok tampak mengepul di sekitar dua sosok itu. Kanaya menduga sosok itu adalah Haikal. Karena Mang Diman, suami Bu Surti berperawakan kecil dan kurus. Hanya saja satu sosok lagi siapa? Kalau dilihat dari siluet tubuh, sepertinya sosok itu seorang perempuan. Kanaya menajamkan telinga. Mencoba mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh keduanya. Ia tau tidak sopan memang menguping pembicaraan orang. Hanya saja, ia penasaran.

"Bagaimana hasil masakan saya, Mas? Enak tidak? Sesuai tidak dengan selera, Mas?"

"Tidak tau."

"Lho kok tidak tau? Terus terang saja Mas. Kalau pun tidak sesuai dengan selera, Mas. Mas bilang saja terus terang. Biar besok-besok saya akan mencoba masak menu yang lain lagi."

"Saya tidak tau karena saya memang tidak pernah makan semua masakan kamu. Lain kali jangan mengirimi saya makanan apapun lagi."

Di tempat persembunyiannya Kanaya membatin. Ternyata masih sendirinya Haikal sampai diusia ke tiga puluh limanya ini, bukan karena salahnya. Apalagi karena trauma yang ia sebabkan. Sesungguhnya masalahnya itu ada pada mulut tidak berfilternya. Wanita mana yang tidak mundur teratur jika terus diketusi seperti ini bukan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status