Share

Chapter 7

Sudah seminggu ini Kanaya tinggal di desa Sukawangi. Dan telah seminggu ini juga ia menjalani rutinitas yang menyenangkan hatinya. Berjalan pagi, ikut ke pasar bersama Mbok Surti, atau sekedar melukis di bawah Gunung Arca. Ya, melukis. Ia memang menuruni bakat melukis dari ayahnya. Sedari kecil ia telah aktif ikut mencorat-coret kanvas, setiap ayahnya melukis di studio kecil mereka. Ayahnya memang seorang pelukis profesional. Setelah dewasa pun, ia masih senang melukis jika mempunyai waktu luang. Kala itu ia masih bekerja sebagai sekretaris Ghifari. Setelah makin dekat dengan Ghifari secara pribadi, ia tidak pernah melukis lagi. Ghifari tidak menyukai seniman. Bagi Ghifari seniman itu selain nyentrik, juga pemalas dan masa depannya tidak jelas. Buktinya ayahnya tetap melarat walau lukisannya konon di koleksi oleh para pejabat. Ayahnya dan Ghifari tidak pernah sepakat dalam hal apapun.

Dan kini setelah tahu kalau ia telah bebas dari embel-embel seorang istri, ia mulai belajar untuk membahagiakan diri sendiri. Selama ini, ia terlalu sibuk membahagiakan Ghifari hingga ia melupakan kebahagiaannya sendiri. Sementara Ghifari, selain menghianatinya, ternyata juga telah membohonginya mentah-mentah. Betapa bodohnya ia selama ini bukan? Cinta buta telah membuatnya mengabaikan segalanya. Orang tuanya, pekerjaannya, teman-temannya, bahkan kegemarannya. Ia menggadaikan itu semua demi cinta yang ternyata hanya kebohongan semata. Sekarang pikirannya telah terbuka. Ia tidak mau lagi menghambakan diri pada seseorang atau sesuatu. Cukup kepada yang Maha Kuasa saja. Karena Yang Maha Kuasa sudah pasti tidak akan pernah menghianatinya.

Waktu menunjukkan pukul enam pagi saat ia membuka jendela kamar lebar-lebar. Seperti biasa, setiap pagi ia akan berjalan-jalan menghirup segarnya udara pegunungan. Di desa Sukawangi ini terdapat Gunung Arca yang di bawahnya ditanami pohon-pohon kopi milik keluarga Baihaqi. Karena ditanam dibawah tegakan hutan, maka cita rasa kopinya berbeda karena berasal dari hasil persilangan akar tanaman di hutan. Inilah yang menyebabkan rasa kopi keluarga Baihaqi ini begitu khas. Menurut Safa perkebunan kopi mereka yang dikelola dengan konsep konservasi itu, telah mendapat pengakuan sebagai kopi terbaik tingkat nasional melalui ajang Kontes Kopi Spesialiti Indonesia atau KKSI tahun lalu. Makanya nama perkebunan kopi keluarga Baihaqi ini terkenal di seluruh penjuru negeri.

Kanaya menyusuri jalan setapak sambil menggerak-gerakkan persendiannya. Melakukan peregangan sederhana agar tubuhnya rileks saat berolah raga ringan. Saat langkahnya melintasi rumah utama, ia berpapasan dengan Haikal yang sepertinya akan berlari pagi. Ternyata Haikal sudah kembali. Karena menurut laporan Bik Surti, Haikal sedang ada urusan di Jakarta sejak lima hari lalu. Tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi, Kanaya segera memutar arah. Ia tidak mau terlibat adu mulut pagi-pagi.

"Lari lagi? Hobby kamu memang tidak berubah dari dulu. Selalu melarikan diri dari masalah yang kamu ciptakan sendiri,"

Abaikan Nay. Tidak perlu kamu tanggapi pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban seperti ini.

"Selamat pagi, Mas. Saya duluan ya?" Kanaya menyapa sopan dan segera berlalu. Ia sama sekali tidak menanggapi sindiran Haikal. Ia tau dahulu ia telah melakukan kesalahan besar pada Haikal. Makanya Haikal menjadi manusia yang pahit seperti sekarang ini. Baginya selama Haikal tidak menyakitinya secara fisik atau berdarah-darah, ia akan mengalah saja.

"Teruslah menghindar. Saya akan menunggu, sampai sejauh mana kamu masih bisa menghindari saya," desisan Haikal di belakangnya tidak ia hiraukan. Biarlah. Sekarang ia akan belajar untuk memperpanjang sabar. Kanaya meneruskan langkah menelusuri jalan-jalan kecil di sekitar rumah. Kegiatan pagi warga desa Sukawangi telah dimulai. Beberapa laki-laki terlihat berjalan menuju sawah atau ke kebun masing-masing. Para ibu-ibu berjalan beriringan. Sebagaian terlihat menggendong anak dan sebagian lagi berjalan santai. Beberapa terlihat bergerombol sambil mengobrol seru. Menceritakan tentang serial televisi sampai tingkah polah suami dan para tetangga. Kanaya tersenyum kecil. Tingkah polah ibu-ibu di mana-mana sama saja. Gemar mengobrol dan memceritakan apa saja.

"Naya?" Kanaya menghentikan langkah saat mendengar seseorang memanggil namanya. Mula-mula ia tidak mengenali sosok pria yang menggunakan pakaian jogging lengkap dengan hoodie yang menutupi kepalanya. Ketika hoodie dibuka dan wajah si pria tampak jelas, ia langsung mengenali pemanggilnya. Aryo Wibisono. Teman akrab Haikal sedari kecil. Aryo adalah tetangga Haikal di desa Sukawangi. Keluarga Aryo juga memiliki perkebunan kopi di daerah ini. Dan mereka kerap berjumpa apabila Aryo ikut dengan keluarganya mengunjungi perkebunan. Selain itu hubungan kedua keluarga mereka juga cukup akrab satu sama lain. Makanya Aryo dan Fitri, adiknya, sering bermain ke rumah keluarga Baihaqi setiap kali mereka mengunjungi perkebunan. Keluarga Wibisono juga berdomisili di Jakarta. Biasanya mereka ke Sukawangi hanya untuk sekedar mengecek keadaan kebun atau refreshing saja.

"Ada angin apa kamu tiba-tiba muncul lagi di sini setelah sepuluh tahun berlalu, heh?" Aryo tersenyum. Memperlihatkan dekik lesung pipinya yang khas.

"Nggak ada angin apapun, Mas. Saya cuma sedang ingin refreshing saja," ucap Kanaya singkat. "Mas ke sini karena ingin mengecek perkebunan ya?" Aryo mengangguk.

"Selain mengecek perkebunan Mas membawa anak Mas refreshing juga. Kasihan dia di rumah terus. Mumpung sekolahnya libur tiga hari, Mas bawa saja ke sini. Biar ia belajar mengenal alam," lanjut Aryo.

"Wah, sepuluh tahun kita tidak berkabar, ternyata Mas sudah punya anak yang sudah sekolah ya? Anak Mas ada berapa orang?" Kanaya begitu anthusias saat mengetahui bahwa Aryo telah mempunyai anak. Sepuluh tahun lalu Aryo masih berpacaran dengan Shinta. Sesekali Shinta ikut berlibur ke sini bersama dengan Kartika, adik perempuannya.

"Cuma seorang, Nay," jawab Aryo singkat. Entah mengapa, Kanaya menangkap ada kesedihan yang menggelayuti kedua bola matanya.

"Kok cuma satu sih? Nggak mau nambah? Mbak Shinta 'kan suka anak kecil?" Kanaya teringat bahwa pacar Aryo itu sangat menyukai anak kecil.

"Bukannya nggak mau, Nay. Tapi nggak bisa. Shinta... Shinta... meninggal saat melahirkan putri kami," desah Aryo sendu. Kanaya langsung merasa tidak enak karena telah membuat Aryo sedih.

"Maaf ya, Mas. Saya nggak bermaksud--"

"Tidak apa-apa, Nay. Mas juga sudah ikhlas lahir batin. Mungkin Tuhan punya rencana lain dengan lebih dulu mengambil Shinta. Mas percaya dengan apa yang disebut dengan takdir Tuhan." Aryo kembali tersenyum. Jujur walaupun Aryo tersenyum, Kanaya masih bisa melihat luka dan kesedihan di sana. Ia tau kalau Aryo memang sangat mencintai Shinta.

"Eh Nay, kamu dulu suka melukis 'kan?" tanya Aryo tiba-tiba. Kanaya mengangguk. Ia sedikit heran saat Aryo tiba-tiba saja menanyakan soal kegemaran ya melukis.

"Ehm, kalau begitu kamu keberatan nggak singgah ke rumah Mas sebentar? Putri Mas ada tugas menggambar di sekolahnya. Sementara kamu tau sendiri 'kan kalau Mas menggambar seekor macan jatuh-jatuhnya malah mirip kucing?" Kanya nyengir. Ia ingat sekali kejadian itu. Kala itu mereka bertujuh yang terdiri dari dirinya, Haikal, Safa, Aryo, Fitri, Shinta dan Kartika bermain tebak gambar. Ketika tiba pada giliran Aryo untuk menggambar, tidak ada satu gambar pun yang tertebak dengan benar. Aryo menggambar macan namun lebih mirip kucing, dan mengambar kangguru, tetapi jatuhnya malah menyerupai unta. Bakat menggambar Aryo memang parah.

"Ayo deh, Mas. Saya juga sudah lama tidak mengunjungi rumah keluarga Mas. Eh orang tua Mas ikut ke sini nggak?" tukas Kanaya seraya mensejajari langkah Aryo.

"Nggak Nay. Ayah sedang kurang sehat dan ibu menjaganya. Biasalah, ayah kalau sakit 'kan aleman. Hehehe. Mas ke sini hanya bersama putri Mas dan Kartika saja."

"Kartika? Tika adik Mbak Shinta maksudnya?"

"Iya, Nay. Kartika itu baik sekali. Setelah Shinta meninggal, dialah yang mengasuh putri Mas. Tika bahkan rela keluar dari kantornya dan kini menjadi pengasuh putri Mas. Mas berhutang budi padanya." Kanaya hanya ber oh saja. Satu dugaan melintasi benaknya. Ternyata Kartika belum moved on juga. Karena ia tau kalau Kartika itu sudah lama mencintai Aryo, yang kala itu masih berstatus sebagai pacar kakaknya. Cinta memang rumit.

Setelah berjalan sekitar lima belas menit, mereka tiba di kediaman keluarga Wibisono. Rumah megah ini juga tidak mengalami perubahan yang berarti. Semakin mendekati rumah, Kanaya seolah-olah masuk ke mesin waktu belasan tahun yang lalu. Ia, Safa, dan Haikal dulu juga sering bermain di rumah ini. Ayunan putih itu adalah mainan favoritnya bersama Safa dan Fitri. Sementara Aryo dan Haikal yang sudah dewasa lebih suka bermain bola atau sekedar gitaran saja. Semakin mendekati rumah, Kanaya mendadak ingin membalikkan badan. Di kursi teras ia melihat Haikal tengah bercanda seru dengan seorang gadis kecil di pangkuannya. Di sampingnya Kartika menatapnya seolah-olah ingin menelannya bulat-bulat. Kejadian ini seperti dejavu. Mengulang masa lalu. Kartika mencemburui siapa pun wanita yang bersama dengan Aryo tanpa kecuali. Baik itu dirinya, Safa, apalagi kakak kandungnya sendiri. Sepuluh tahun berlalu dan Kartika masih seperti sepuluh tahun yang lalu. Terjebak di masa lalu.

"Ayo masuk, Nay. Tuh, ada si Haikal, Tika dan putri saya juga," teguran Aryo membuat dua kepala serentak menoleh, kecuali Kartika. Adik ipar Aryo itu sudah mengintainya dari jauh. Melihat kehadiran ayahnya, si gadis cilik melompat dari pangkuan Haikal dan berlari ke pelukan Aryo.

"Papa!" si gadis cilik tertawa gembira saat Aryo menggendongnya tinggi dan memutar-mutarnya di udara. Putri Aryo ini cantik sekali. Wajahnya perpaduan dari manisnya Shinta dan gagahnya Aryo. Refleks Kanaya mengelus sekilas perutnya. Semoga kelak putra atau putri dalam kandungannya terlahir sehat dan menggemaskan seperti putri Aryo dan almarhumah Shinta ini.

"Hallo princessnya Papa. Ini Papa bawakan pelukis yang sungguhan. Kenalkan, ini Tante Naya. Tante Naya ini bisa melukis apapun sama dengan aslinya lho. Pokoknya top deh." Aryo mengacungkan jempol pada putrinya.

"Tante Naya?" si gadis kecil menelengkan kepala. Gayanya menggemaskan sekali. Seperti orang dewasa yang sedang mengamati sesuatu. "Kok namanya mirip dengan Aya?" ucapnya heran. Kanaya tersenyum. Lucunya Aya membuat moodnya membaik. Ia mendekati Aya dan berjongkok di depannya. Ia memang senang dengan anak kecil.

"Nama kita mirip ya? Kalau begitu ayo kita berkenalan dengan menyebut nama lengkap masing-masing. Coba kita lihat, masih mirip atau tidak kalau sudah dipanjangkan," usul Kanaya seraya mengulurkan tangan. Mengajak bersalaman formal. Si gadis tersenyum. Sepertinya ia merasa itu adalah ide yang bagus. Ia menyambut uluran tangan Kanaya dengan antusias.

"Oke, princess. Kenalkan, nama lengkap Tante adalah Kanaya Al--Prameswari. Nama princess yang cantik ini siapa ya?" goda Kanaya gemas. Ia tadi nyaris terpeleset menyebut kata Albani sebagai belakangnya. Kanaya melihat Haikal membuat mimik mengejek mendengarnya menyebut nama gadisnya.

"Wah, makin mirip lho, Tante. Nama lengkap Aya itu, Venaya Wibisono. Nama kita bedanya segini aja." Venaya menunjukkan jari jempol dan telunjuknya dengan jarak kecil.

"Iya ya? Kalau begitu sepertinya kita bisa berteman baik. Nama kita aja mirip. Benar tidak?" goda Kanaya. Menyenangkan sekali rasanya berkomunikasi dengan anak kecil yang masih polos hatinya.

"Jangan mempedaya anak kecil, Nay. Kalau kamu memang kepengen mendekati papa--"

"Cukup, Kal. Jangan mulai lagi. Lo udah umur berapa sih? Sudahlah. Jangan membawa-bawa masa lalu. Kita sekarang sudah punya kehidupan sendiri-sendiri. Jangan menyakiti orang lain dan diri lo sendiri. Moved on dong, Kal." Aryo buru-buru memotong kalimat Haikal. Ia sama sekali tidak menduga kalau Haikal masih terjebak pada masa lalu. Sebaiknya mereka berdua dipisah saja. Kalau terus berada dalam satu ruangan yang sama, dikhawatirkan ia akan terus menjadi wasit yang tidak tau kapan pertandingan akan berakhir.

"Princessnya Papa bisa nggak mengajak Tante Naya ke ruang belajar aja? Nanti di sana Tante Naya bisa mengajari Aya menggambar. Bisa tidak, Nak?" bujuk Aryo manis.

"Oh bisa dong, Pa. Ayo Tante. Nanti Aya kasih lihat Tante deh hasil gambar Aya yang lain. Belum bagus sekali sih, Tante. Tapi lumayanlah dari pada hasil gambarnya Papa." Venaya nyengir lucu. Kanaya tergelak seraya mengekori langkah si gadis kecil yang menggenggam tangannya erat. Memang sebaiknya ia menjauh saja dari Haikal. Ia tidak mau ribut di rumah orang. Dari sudut mata, Kanaya memindai Kartika juga beringsut dari kursi. Perasaannya mengatakan bahwa Kartika ingin membicarakan sesuatu dengannya. Ketika langkah mereka sampai di sebuah pintu berwarna coklat tua, Venaya berhenti.

"Ini ruang belajar Aya, Tante. Tante masuk dulu ya? Aya ingin mengambil peralatan menggambar dulu di kamar. Tunggu sebentar ya, Tante?" si gadis kecil berlari menyusuri koridor. Sepertinya ia sudah tidak sabar ingin belajar menggambar. Melihat bayangan Venaya menjauh, Kartika mulai beraksi.

"Nay. Gue mau terus terang aja sama lo. Gue nggak suka lo deket-deket dengan keponakan gue apalagi papanya. Gue harap lo nggak meneruskan usaha lo untuk mendekati Mas Aryo melalui Aya seperti yang dibilang Mas Haikal tadi. Gue tau siapa lo yang sebenarnya. Gagal menjebak Mas Haikal, lo sekarang mencoba peruntungan dengan Mas Aryo kan?" bengisnya air muka Kartika menjelaskan seberapa bencinya ia pada dirinya. Kanaya menghembuskan napas kasar. Orang yang telah dibutakan oleh rasa cemburu memang nalarnya akan mati rasa. Segala yang ada dalam pikiran mereka hanyalah hal-hal negatif dan prasangka. Obsesi Kartika sepertinya sudah mencapai level sakit jiwa.

"Gue perlu menjelaskan apa pun sama lo, Tik. Karena gue tau, apapun yang gue katakan, nggak akan masuk ke otak lo. Satu hal yang mau gue bilang. Moved on, dong Tik. Moved on. Mau ada gue atau nggak ada gue pun, nggak ngaruh buah hubungan lo sama Mas Aryo. Toh sekian tahun setelah kepergian Mbak Shinta, hubungan lo sama Mas Aryo nggak ada perubahan 'kan? Lo tetep adik iparnya karena Mas Aryo memang menganggap lo adik almarhumah istrinya. Intinya gue mau bilang, berhenti menyalahkan orang lain kalau memang usaha lo mentok di tengah jalan. Dewasalah, Tik." Kanaya memutuskan untuk bersikap tegas pada Kartika. Orang seperti Tika ini memang harus dikerasi agar tidak semakin menjadi-jadi. Sesungguhnya ia kasihan melihat Kartika. Mengejar cinta hingga sebegitunya. Ia mengatakan semua ini dengan maksud baik. Ia tidak mau Kartika berakhir seperti dirinya. Menjadi keset orang yang ia cinta.

"Lo nggak perlu--" Kartika menghentikan ucapannya saat melihat Aya mendekat. Sebuah buku gambar dan tas ransel ada di bahu mungilnya.

"Pokoknya lo udah gue peringatin. Jangan membuat gue harus berbuat kasar sama lo." Kartika mendengus dan berlalu dari hadapannya. Kanaya menggeleng-gelengkan kepalanya. Cinta memang buta. Dan jujur ia pun pernah berada di posisi Kartika bertahun-tahun lamanya!

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rina Philip
coinnya terlalu mahal
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status