Kanaya sedang berkonsentrasi melukis saat ponselnya bergetar. Ah, pasti Safa yang memanggil. Nomor ponselnya yang baru ini memang hanya diketahui oleh lima orang. Kedua orang tuanya, Safa, Pak Kholil pengacaranya dan Bik Surti. Ibunya baru tadi pagi meneleponnya. Sedangkan Pak Kholil sudah jarang meneleponnya sejak kasus perceraiannya dibatalkan. Sementara Bik Surti lebih suka mendatanginya langsung dari pada menelepon. Buang-buang pulsa katanya. Jadi kemungkinannya hanya satu yaitu Safa. Kanaya menarik sehelai tissue basah untuk mengelap tangannya yang penuh dengan noda cat. Setelah itu barulah ia meraih ponsel di atas meja. Kening seketika berkerut saat melihat ada nomor yang tidak dikenal meneleponnya. Aneh! Siapa si penelepon ini? Karena penasaran Kanaya pun mencoba mengangkatnya.
"Hallo," Kanaya memberi salam dengan hati-hati.
"Kamu sekarang silahkan ke rumah utama. Kami semua menunggu kehadiranmu di sini."
Dengungan suara orang-orang yang berbicara dalam waktu secara bersamaan, membuat Kanaya berusaha membuka mata. Ia ingin mengatakan kalau ia baik-baik saja. Ia tidak mau membuat kehebohan di rumah orang. Hanya saja matanya tidak mau bekerjasama. Tetap lengket dan sulit sekali untuk dibuka."Kamu bertengkar dengan Naya, Kal? Kalau ada masalah, ya mbok dibicarakan baik-baik. Naya ini 'kan sedang mengandung. Bagaimana kalau cucu Ibu sampai kenapa-kenapa?"Berarti sampai sejauh ini, Haikal belum mengatakan hal yang sebenarnya pada keluarganya. Benar-benar keterlaluan! Tunggu sampai ia sedikit bertenaga. Akan ia bongkar semua omong kosong ini!"Bukan bertengkar kok, Bu. Hanya sedikit berselisih paham saja. Naya tidak ingin Haikal memberitahu Ibu soal kehamilannya, sedangkan Haikal bersikukuh . Makanya Naya jadi marah pada Haikal."Bohong! "Nak, sebenarnya Ibu
Kanaya berkali-kali menarik napas panjang. Mempersiapkan batin sebelum memberanikan diri mengetuk pintu rumah. Akhirnya ia kembali ke sini. Ke rumah tempat ia lahir dan dibesarkan. Rumah sederhana namun sangat asri dengan pekarangan yang luas dan sejuk dipandang mata. Seorang pelukis seperti ayahnya memang menyukai suasana seperti di alam bebas. Oleh karena itu rumah mereka pun dibuat sangat sederhana dan menyatu pada alam. Baru saja berniat untuk mengetuk, pintu tiba-tiba saja terbuka. Kanaya dan ibunya yang sepertinya bermaksud untuk membuang sampah, sama-sama kaget."Astaghfirullahaladzim, Nay. Ibu sampai kaget. Kamu sudah lama sampai toh, Nak?" Gendis melebarkan daun pintu. Mempersilahkan putri semata wayangnya masuk ke dalam rumah."Baru saja kok, Bu. Belum juga lima menit. Ibu mau membuang sampah ya? Sini, biar Naya saja yang membuangnya." Kanaya mengambil alih plastik sampah dari tangan sang ibu. Berjalan keluar dan kembali
Kanaya mendekati meja lipat Venaya. Ia tau, gadis kecil itu pasti langsung down tatkala panitia perlombaan menetapkan tema lukisan. Ya, tema aku cinta ibu pasti membuat Venaya kebingungan. Ditinggalkan ibunya ke rahmatullah, begitu dilahirkan, gadis kecil itu pasti kehilangan ide karena tidak ada bayangan apapun di benaknya."Aya kenapa, sayang? Kok belum mulai menggambar? Lihat, teman-teman yang lain sudah mulai lho," pancing Kanaya halus. Wajah Venaya kian mendung. Bibirnya membentuk busur terbalik dengan ekspresi siap menangis sewaktu-waktu."Aya lupa dengan wajah mama Aya, Tante. 'Kan photo mama disimpan semua sama opa dan oma. Kata oma, papa suka sedih kalau melihat photo mama. Jadi sekarang Aya nggak bisa menggambar, Tante. Aya nggak punya ide," adu Venaya sedih.Benar 'kan tebakannya?"Kalau begitu, Aya gambar saja wajah Aya sendiri. Soalnya mama Aya itu 'kan mirip sekali
"Tidak Nay. Sudah cukup. Cukup Mas tau bahwa Mas telah salah menilaimu selama ini. Kamu tidak pantas Mas sesali sama sekali," desis Ghifari geram. Ia tiba-tiba memalingkan wajahnya pada Dina. "Maafkan Mas karena telah meragukan ucapmu selama ini, Dina. Sekarang Mas percaya bahwa Naya memang tidak pernah mencintai Mas. Ia bertahan hanya karena harta dan kedudukan, Mas. Perempuan seperti ini tidak akan pernah Mas pertahankan lagi. Semua hal yang berkaitan dengan dirinya, akan Mas hapus mulai dari hari ini!" rutuk Ghifari geram. Amarah dan rasa kecewa tergambar jelas di air muka keruhnya.Yang satu maling teriak maling. Yang satu lagi musuh dalam selimut. Mereka saling melengkapi satu sama lain. Pas!Kanaya memandang Dina dalam-dalam kala Ghifari mengatakan, bahwa dirinyalah yang menyatakan bahwa ia tidak pernah mencintai Ghifari. Wajah Dina berubah merah padam. Ular beludak itu segera memalingkan wajahnya. Dina tidak berani membalas
Waktu telah menunjukkan pukul dua dini hari. Tetapi Kanaya masih belum bisa memejamkan mata. Sedari pukul sebelas tadi ia hanya membolak-balik tubuhnya di atas kasur dengan gelisah. Benaknya terus saja mengulang kejadian sore tadi."Bagaimana, Nay? Kamu bersedia menerima lamaran Ibu dan Bapak untuk Haikal? Kalian berdua telah melakukan kesalahan. Apakah kalian tidak ingin memperbaiki kesalahan itu? Kasihan anak kalian nantinya, Nay."Kanaya mendesah bingung. Ia benar-benar tidak tau harus menjawab apa. Bagai makan buah simalakama. Apapun keputusan yang akan diambilnya, sama-sama beresiko dan sama-sama salah. Jika ia menolak, bisa dipastikan keluarga Albani akan merongrongnya tentang siapa ayah anaknya. Ujung-ujungnya adalah test DNA. Dan apabila terbukti kalau anaknya adalah seorang Albani, mereka pasti akan mengupayakan segala cara untuk merebut hak asuhnya. Kemungkinan besar keinginan mereka akan terwujud, meng
"Bu, boleh tidak Naya menanyakan hal-hal yang sifatnya pribadi pada Ibu?" tanya Kanaya hati-hati. Bukan apa-apa, sebentar lagi ke dua orang tua Haikal akan datang. Mereka akan kembali menanyakan kesediaannya untuk dilamar. Dan sebelum ia memberi jawaban final pada kedua orang tua Haikal, ia ingin menanyakan sesuatu pada ibunya. Dalam hal ini, ia ingin berbicara dalam konteks sebagai sesama wanita. Bukan sebagai ibu dan anak.Mendengar pertanyaan tidak biasanya putrinya, Gendis menutup kembali buku yang tadinya ingin ia baca. Ia tau, putrinya sedang ingin berbicara dari ke hati."Tentu saja boleh, Nay. Kamu boleh menanyakan apapun pada Ibu. Apapun," ucap Gendis lembut. Menegaskan kesediaannya. Kanaya mendekati ibunya di sofa. Merebahkan kepala pada bahu sang ibu. Seperti kebiasaannya di masa lalu. Mencium aroma segar bedak dingin dan jamu yang menguar dari tubuh ibunya, Kanaya merasa kembali ke masa lalu. Masa di mana ia hanya menc
Sudah seminggu lamanya Kanaya menikah dengan Haikal. Tetapi ia tidak merasakan adanya perubahan yang berarti. Mereka berdua menjalani kehidupan nyaris seperti dua orang asing yang kebetulan tinggal di rumah yang sama. Bayangkan saja. Mereka tidak tidur di kamar yang sama. Haikal mengatakan kalau mereka tidak perlu merubah kebiasaan masing-masing karena pernikahan ini hanyalah formalitas belaka. Walau di atas kertas mereka adalah suami istri, tapi dalam kehidupan yang sebenarnya, mereka adalah dua orang asing yang tinggal dalam satu rumah. Jadi masing-masing pihak tidak boleh mencampuri urusan pribadi satu sama lain.Interaksi mereka setiap harinya sudah tertata. Pagi-pagi ia akan menyiapkan sarapan praktis sederhana, seperti roti isi, nasi goreng atau terkadang mie instan. Mereka akan sarapan bersama dalam diam. Setelahnya Haikal akan berangkat ke kantor. Kegiatannya berlanjut dengan berbelanja bahan makanan pada tukang sayur komplek, memasa
"Terima kasih karena telah membela saya Mas," Kanaya terharu. Ada dua hal yang sama sekali tidak ia duga-duga. Pertama, kehadiran Haikal di mall ini. Ke dua, kesediaan Haikal membelanya dari serangan Dina."Sudah menjadi tanggung jawab seorang suami untuk membela istrinya. Tidak ada hal yang perlu diterima kasihkan di sini," tukas Haikal dingin."Ya, apapun itu. Terima kasih, Mas. Mas sedang apa di sini?" Kanaya mencoba memulai percakapan basa basi. Tidak enak juga saling bersikap antipati di muka umum."Mau ke Starbuck*. Ada reuni kecil-kecilan dengan teman-teman SMA. Saya jalan dulu," tanpa menunggu jawabannya Haikal pun berlalu. Haikal bahkan tidak balas menanyakan apa keperluannya di mall ini.Sudahlah, Nay. Jangan mulai protes. Toh kamu sudah tau apa konsekuensi pernikahan di atas kertas ini. Fokus saja dengan dirimu sendiri.Langkah Kanaya kini mengarah ke