Jovita berusaha menenangkan diri. Dengan menahan sakit, ia duduk bersila di atas tempat tidur, meski rusuknya terasa remuk. Ia mengatur napas, memberi asupan oksigen bagi prefrontal cortex¹-nya agar dapat mengendalikan emosi. Setelah tubuhnya lebih rileks, ia mengidentifikasi emosi yang dirasakan.
Takut kehilangan Vanya dan marah terhadap Ezra adalah emosi yang dirasakannya. Kemarahan yang disebabkan karena suaminya itu selangkah lebih cepat mengambil tindakan yang merugikan dirinya. Tindakan yang luput diperhitungkannya karena ia kurang menggunakan banyak sudut pandang. Keterbatasan sudut pandang sebab ia terlalu percaya diri akan kemampuannya mengatasi masalah.
Selama ini, ia dengan mudah menangani persoalan, bahkan sering dijuluki sebagai problem solver yang andal. Gelar yang membuatnya meremehkan tindakan Ezra. Kali ini, ia mengakui kekalahannya.
Bel rumah berbunyi, Ezra beranjak menuju jendela untuk melihat siapa yang datang. "Mami," ujarnya setelah melihat BMW 3 series berwarna merah berhenti di luar pagar. Ia menoleh ke arah istrinya. "Apakah kamu menelepon Mami?" Jovita menggeleng. Ia tidak meminta ibu mertuanya untuk datang. Ezra bergegas turun membukakan pintu untuk ibunya. Beberapa menit kemudian dia sudah kembali ke kamar bersama seorang wanita berusia 65 tahun. Banyak orang yang tidak akan bisa menebak usia perempuan itu dari penampilannya. Pesona kecantikan masih terlihat jelas di wajahnya yang minim kerutan. Rambut hitamnya disanggul, tubuh langsingnya berbalut busana anggun, tindak tanduknya elegan. Ria Dharmawan, ibunda Ezra yang memiliki profil istri pejabat sejati. "Halo, Vita Sayang," sapa Ria begitu memasuki kamar.
"Di mana Vanya? Apakah ia tidak pulang malam ini?" tanya Jovita lirih sambil kembali mengenakan pakaiannya dengan sisa tenaga yang tersisa. Kondisi tubuh yang belum fit setelah keluar dari rumah sakit, hajaran bertubi dari Ezra, dan paksaan untuk melayani hasrat seksual membuat tubuh Jovita benar-benar remuk. Belum lagi kenyataan untuk menerima perselingkuhan Ezra serta prinsip seks bebas yang dianut suaminya itu mengakibatkan dirinya merasa lemah tak berdaya. "Tidurlah, aku janji kamu bisa menemuinya besok." Ezra memeluk pinggang Jovita dari belakang. "Aku ingin berdua saja denganmu malam ini," bisiknya lirih. Jemarinya mengelus lengan istrinya dengan lembut. Bulu tengkuk Jovita berdiri, tubuhnya kian lunglai mendengar ucapan dan belaian suaminya. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya malam ini. Siang tadi setelah puas menghajar fisiknya, Ezra melanjutkan den
"Pagi, Sayang," sapa Jovita begitu Vanya bangun dari tidurnya. Semalam sekembalinya ia dari melakukan pemeriksaan di rumah sakit, putri semata wayangnya itu sudah tertidur lelap. "Mommy," ucap Vanya dengan senyum terkembang saat melihat wajah ibunya. Ia melihat ke sekelilingnya dengan air muka kebingungan. Ini bukan kamarnya. "Vanya sedang di rumah Nana," jelas Jovita. Nana adalah panggilan Vanya untuk nenek dari pihak ibunya. "Oh ...," ujar Vanya sambil mengucek-ucek matanya. "Mommy hari ini jemput Vanya sekolah." Ia teringat janji ibunya kemarin. Jovita tersenyum lebar, daya ingat anak memang luar biasa. "Hari ini Vanya tidak usah sekolah dulu ya, kita main di rumah Nana saja." Ia tidak ingin Ezra tiba-tiba mengambil paksa anaknya dari sekolah.
"Pak, ada Pak Ezra. Apakah diperkenankan masuk?" tanya Asep, petugas keamanan di kediaman Irwan melalui telepon. Irwan menghela napas, cepat atau lambat menantunya itu pasti akan datang. Ia menoleh ke arah Jovita yang sedang bermain bersama Vanya dan istrinya di ruang keluarga. "Jov, ada Ezra. Kita sampaikan rencanamu seperti yang tadi siang sudah kita diskusikan bersama Pak Arifin. Kamu siap?" Jovita mengangguk. Semakin cepat masalah ini disampaikan, semakin cepat ketenangan ia dapatkan. Ia kemudian meminta ibunya untuk mengajak Vanya ke kamar. "Pak Ezra boleh masuk, Sep," instruksi Irwan kepada petugas keamanan rumahnya. Beberapa menit kemudian, Ezra memasuki ruang tamu, di mana ayah mertua dan istrinya telah duduk menanti. Ia melihat ketegangan di wajah kedua orang itu. D
"Bert, apakah kamu punya waktu sebentar. Ada yang ingin kusampaikan," ujar Jovita kepada Albert setelah rapat rutin koordinasi setiap hari Senin usai. Ini adalah hari pertamanya kembali bekerja sepulang dari Melbourne yang dilanjutkan dengan izin sakit selama seminggu. Jovita memutuskan untuk memberi tahu kepada Albert mengenai kondisi rumah tangga yang sedang dihadapinya kepada partner sekaligus atasannya itu sebagai antisipasi dampak terhadap pekerjaan. "Tentu. Tentang apa, Jo?" tanya Albert merapikan dokumen di hadapannya. "Masalah pribadi sih, Bert," sahut Jovita lirih. Ia tidak mau masalah ini diketahui banyak orang. Albert menatap Jovita. Wajah rekannya ini terlihat serius. "Bagaimana kalau kita membahasnya sambil makan siang di luar. Sekalian aku mau cari kado untuk Karen. Mungkin kamu bisa membantuku. Seleramu kan berk
Jovita mengembuskan napas lega begitu melihat Davina tergopoh-gopoh memasuki Saphire PremiAir Executive Lounge di bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta, ruang tunggu khusus bagi penumpang pesawat jet pribadi. "Maaf, Kak, banyak kerjaan dan jalanan Jumat sore macetnya kebangetan," ujar Davina terengah-engah. "Tidak apa-apa. Aku yang minta maaf karena membuatmu terpaksa menemaniku," sahut Jovita sambil menyodorkan sebotol air mineral bagi adiknya. "Vanya merengek setiap hari, Mami juga merayu untuk pergi bersama, jadi aku terpaksa mengabulkan. Untung kamu bersedia ikut." "Lumayanlah akhir pekan di Bali daripada sendirian di rumah," sahut Davina. Ia lalu menenggak minuman pemberian kakaknya. "Damian tugas ke luar kota?" tanya Jovita. Ia mengajak Davina memasuki ruang tunggu yang
Begitu memasuki kamar, Ezra melihat Jovita duduk di bangku meja rias dengan penuh ketegangan. Ia melemparkan senyum penuh kemenangan. Jovita mendengkus melihat senyum Ezra yang seolah menghina ketidakberdayaannya. "Mommy, sini tidur," ajak Vanya sambil merebahkan badan di tengah-tengah ranjang. Ia meminta ayahnya tidur di sebelah kanannya. Jovita bergeming. "Mommy ...," panggil Vanya, "sini." Ia menepuk bantal di sisi kirinya, meminta ibunya untuk segera tidur. Jovita masih tidak bergerak. Ia masih tidak sudi tidur seranjang dengan Ezra meski ada Vanya di antara mereka. "Jangan egoistis. Singkirkan dulu gengsi demi anak," sindir Ezra seraya memeluk anak
Jovita membuang muka sambil mengembuskan napas sarat kekesalan melihat wajah Claude yang sedang tersenyum jahil padanya. Bagaimana mungkin ia bisa bertemu kembali dengan pria menjengkelkan ini. Pria berambut pirang bergelombang itu meletakkan papan seluncur yang ditentengnya, lalu duduk di samping Jovita. "Ow ya goin?" Jovita tak mau menjawab. Davina diliputi kebingungan, sangat jarang melihat kakaknya bersikap tidak ramah terhadap orang. Ia mengamati pria berlogat Australia yang hanya mengenakan board short, celana pendek yang biasa digunakan untuk berselancar. "Ini benar-benar kebetulan yang indah," ujar Claude menyeringai. Jovita bangkit dari duduknya, menarik tangan Davina hendak mengaj