Setelah makan siang, Jovita mendatangi rumah Ronja seperti permintaan Thomas tadi pagi. Tiga anak lelaki sedang bermain perang-perangan dengan serunya di halaman.
Jovita mengetuk pintu berwarna putih yang terbuka. "Hallå!" Ia menyapa menggunakan bahasa Swedia yang coba dipelajarinya sedikit-sedikit.
Seorang anak perempuan berambut pirang dikucir kuda menyambut Jovita. "Vem är du¹?" tanyanya dengan kepala mendongak memandangi wanita asing di hadapannya.
Jovita kebingungan. Ia tidak tahu apa yang ditanyakan anak ini, belum sejauh itu ia belajar. Ia menerka mungkin gadis kecil ini bertanya tentang identitasnya. "Hi, I'm Jovita. I want to meet Ronja," jawabnya sambil berharap semoga anak ini paham apa yang baru saja disampaikannya.
"Wait a minute
"Dia hanya bisa seperti itu saat bersama anak-anak," ujar Ronja yang telah berdiri di samping Jovita dan ikut melihat ke luar jendela. "Maksudmu?" Jovita tidak memahami sepenuhnya yang Ronja bicarakan. "Berapa lama kamu bersama Joseph saat di Melbourne?" Ronja balik bertanya. "Tidak sampai satu minggu. Kami hanya sesekali bersama karena kegiatan yang kami hadiri berbeda," jawab Jovita. Ia makin bingung kaitan antar pernyataan dan pertanyaan Ronja. Ronja tersenyum, memahami kebingungan Jovita. Perempuan ini pasti belum mengenal karakter Joseph yang memang tertutup. "Joseph hanya bisa tertawa dan cerewet apabila berada di antara anak-anak, sedangkan jika bersama orang dewasa, ia lebih memilih sedikit bicara, apalagi tertawa. Well, kami orang Swedia memang tidak suka b
Pukul 8 malam, anak-anak sudah memasuki kamar tidur. Jovita membacakan cerita untuk tiga anak perempuan di kamar, sedangkan Joseph untuk tiga anak lelaki. Sebuah buku dengan dua bahasa berjudul 'I love to tell the truth' atau 'Jag älskar att tala sanning' menjadi pilihan Inga untuk dibacakan oleh Jovita. Jovita membacakan versi bahasa Inggris, sedangkan Inga membaca artinya dalam bahasa Swedia untuk Filippa dan Lotta. "Apakah kamu punya anak?" tanya Filippa yang kemudian diterjemahkan oleh Inga, setelah buku itu selesai dibaca. Jovita mengangguk. Wajah Vanya kembali menari di matanya. "Anak perempuan, 6 tahun." "Apakah kamu punya fotonya?" tanya Inga. Jovita mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan foto Van
Matahari baru saja menghilang di balik horizon saat Joseph menutup pintu rumah asuh. Ia memandangi Alfred yang terlihat pucat. Ia bisa membayangkan betapa hari-hari anak ini pasti diliputi ketakutan, harus menghadapi ayah pemabuk tanpa seorang ibu yang mendampinginya. "Kamu tidurlah di kamar bersama Oskar," saran Joseph kepada Alfred. "Urusan sarapan ayahmu biar aku yang tangani besok. Tidak usah khawatir." Alfred mengangguk. Ia mengucapkan terima kasih kepada Joseph dan Jovita sebelum menaiki tangga. Embusan napas lega terdengar dari hidungnya. Malam ini, ia bisa tidur nyenyak tanpa waswas mendapat serangan dari ayahnya. Joseph menuju dapur, hendak menyelesaikan minumannya yang pasti sudah tidak lagi hangat. Jovita membuntuti. Ia
Jovita mengamati jalan Mellangatan yang dilaluinya. Area yang merupakan wilayah tempat tinggal dengan jalan hanya cukup untuk satu mobil. Daerah ini tidak jauh beda dengan pemukiman padat di Jakarta. Rumah-rumah berimpitan, beberapa tidak memiliki pekarangan. Perbedaan terletak pada kebersihan dan tidak ada selokan berair hitam. Pikirannya kemudian disibukkan dengan sistem peresapan air di sini. Tak dilihat ponselnya yang dalam mode bisu menunjukkan panggilan dari Joseph. Ia pun sama sekali tidak menyadari bahwa telah memilih jalan yang berbeda dari Joseph dan Fabiana. "Kamu tunggu di sini. Jangan ke mana-mana!" perintah Joseph pada Fabiana. "Tapi, Joe ...," protes Fabiana yang tak lagi didengar oleh Joseph. Pria itu telah berlari meninggalkannya. Tidak adanya respons dari Jovita se
Salah satu cara menikmati musim panas adalah makan siang di halaman rumah. Minggu siang itu, Thomas terlihat sibuk di depan tungku barbeku, Nils meracik saus barbeku andalannya, sedangkan Edda menyiapkan tempat untuk makan siang. Jovita, Marco, dan Ashley turut membantu. Tiga orang Brasil tidak terlihat batang hidungnya. Jovita bersenandung sambil menyusun peralatan makan. Ia terkesiap begitu menyadari bahwa sejak tadi - bahkan sejak kemarin - ia merinai lagu "Wildest Dream"-nya Talyor Swift. Ia pun merutuki dirinya yang terhasut oleh Fabiana. Gara-gara perempuan Brasil yang sedang kasmaran itu meminta tips agar Joseph lebih memerhatikannya, ia tanpa sadar mengamati setiap inci fisik pria itu dan semua gerak-geriknya. Sebuah pengamatan yang menyadarkannya bahwa pria bermata hazel itu memang sungguh menawan. Tidak hanya paras dan postur tubuhnya, tapi juga caranya membawakan diri. Joseph bukan tergolong pria yang sengaja mempertontonkan kerupawanan atau berup
"Joe and Jo!" seru anak-anak begitu melihat Joseph dan Jovita memasuki halaman rumahasuh sambil membawa makan malam mereka dari Nils. Jovita dan Joseph tertawa mendengar panggilan itu. Keenam anak yatim piatu langsung berhamburan menghampiri. Filippa memeluk pinggang Jovita dari sebelah kiri. Lotta tak mau kalah, memeluknya dari sebelah kanan. Inga menubruknya dari depan Karl bergelayut di kaki kiri Joseph dan Björn di kaki kanannya, membuat pria itu sulit untuk melangkah. Oskar dengan badan tambunnya cukup tahu diri untuk tidak minta digendong oleh Joseph. "Mengapa hari Sabtu kemarin kamu tidak datang ke sini, Jo?" tanya Inga pada Jovita. "Ya, mengapa kamu juga tidak datang ke sini, Joe?" tanya Oskar pada Joseph. "Ada hal yang harus kukerjakan," ucap Joseph. "Ya, begitu pula denganku, ada kegiatan kemarin," sahut Jovita. Inga dan Oskar berpandangan dengan senyum jahil. "Apakah kalian mela
Jovita baru saja melangkah ke luar dari kediaman Thomas setelah melakukan sesi konseling ketika dari arah pagar dilihatnya Inga, Filippa, dan Lotta berlari menghampiri sambil meneriakkan namanya. Di belakang mereka terlihat Ronja menjinjing sebuah keranjang rotan. "Aku baru saja hendak menuju rumah kalian," sahut Jovita sambil memeluk ketiga gadis kecil itu. Thomas tersenyum melihat kelekatan antara Jovita dan ketiga anak itu. "Kami akan memetik bunga," ujar Filippa dengan bahasa Inggris terbata. Jovita tersenyum lebar. Filippa semakin berani dan terampil berbahasa Inggris. "Oh ya? Bolehkah aku ikut?" Filippa mengangguk, senyum dan mata birunya melebar. "Thomas, bolehkah
Midsommar pun tiba. Sebuah perayaan meluapkan kegembiraan karena mentari menyinari hampir sepanjang hari. Momen ini juga merupakan penanda dimulainya liburan musim panas yang berlangsung selama 5 minggu. Di hari ini, kota-kota besar beristirahat sejenak dari segala aktivitasnya, beralih ke kota kecil dan pedesaan. Tradisi perayaan ini sengaja terus dipertahankan agar tidak punah, baik dalam keluarga maupun perkumpulan masyarakat yang lebih luas. Meskipun rakyat Swedia tidak terlalu religius, tetapi mereka meyakini bahwa alam memiliki kekuatan khusus, terutama pada saat midsommar. Setelah makan siang, orang-orang yang berdomisili di sekitar rumah Thomas mulai berkumpul di Per Säves Park. Beberapa warga memakai kostum tradisional Swedia, termasuk Edda. Blomsterkrans atau mahkota bunga menghiasi kepala para perempuan, bahkan beberapa lelaki pun turut meny