Share

Merajut Asa
Merajut Asa
Penulis: Pelita Abadi

Bab 1

Anindea Humaira Putri Rayindra, biasa dipanggil Dea. Gadis cantik berhati tangguh dan sangat pandai menyembunyikan masalah yang di hadapinya.

Dia sangat menjunjung tinggi sebuah komitmen yang telah dibuat. Pantang baginya untuk mengumbar sebuah masalah yang sedang bergulir dalam kehidupannya.

Tak lama lagi dia akan resmi menjadi alumni di SMA Negri Nusa Bangsa. Sekolah terfavorit di kota metropolitan.

Bapak Rayindra Pramuja, biasa dipanggil pak Indra adalah ayah dari Anindea. Beliau sudah meninggal semenjak Anindea berumur enam bulan dalam kandungan sang ibu. Bapak Rayindra Pramuja meninggal karna sebuah kecelakaan tunggal.

Menurut informasi yang didengar oleh Dea, kecelakaan yang menewaskan ayahnya itu di karenakan oleh mobil yang dikendarai ayah Dea mengalami Rem blong. Sehingga, ayah Dea lepas kendali dan kehilangan nyawanya langsung di tempat kejadian.

Ibu Dea bernama Gusma Dewi Puspita. Seorang istri yang setia terhadap sang suami. Cintanya tak pernah pupus walau jarak mereka telah di pisahkan jauh oleh takdir.

Semenjak ayah Dea meninggal, bu Dewi tidak pernah menikah lagi sampai sekarang. Semua harta yang di punya oleh sang suami, lenyap entah kemana. Seakan ikut pergi bersama pak Indra meninggalkan bu Dewi. Tak terkecuali, rumah mereka juga didatangi oleh sekelompok orang berbadan kekar yang mengatakan bahwa rumah itu sudah di gadai sebelum pak Indra meninggal dunia. Saat itu juga, bu Dewi harus meninggalkan rumah yang penuh kenang-kenangan bersama suaminya itu.

Untuk menyambung kehidupannya setelah ditinggalkan oleh sang suami tercinta untuk selama-lamanya, bu Dewi bekerja menjadi Asisten Rumah tangga hingga saat ini. Walaupun hidupnya bisa dikatakan dalam keadaan kekurangan dan di bawah kata cukup, namun bu Dewi tetap berusaha yang terbaik untuk anaknya—Anindea.

ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ

Hari ini adalah hari kelulusan Dea dari sekolahnya—SMA Negri Nusa Bangsa. Dea lulus dengan nilai yang bagus dan membanggakan. Bahgaia, sudah pasti itu yang dia rasakan saat ini.

Setelah pengumuman kelulusan selesai, Dea serta kedua sahabatnya, Eli dan Rina pergi ke kantin untuk mengganjal perut mereka yang sudah berdemo minta di isi. Karena sebelum berangkat ke sekolah, Dea belum sarapan sedikit pun.

Setelah sampai di kantin, mereka duduk sambil bercanda ria dan tertawa, selayaknya anak-anak sekolah lainnya. Mereka tak menyangka, 3 tahun mereka mengenyam pendidikan bersama, sekarang telah tiba saatnya mereka keluar dari sekolah yang telah memberi banyak ilmu untuk mereka gunakan menjadi lebih baik dan bermanfaat dalam kehidupan mereka.

"De, habis ini lo mau lanjutin kuliah dimana?" tanya Rina pada Dea dengan semangat.

Dea hanya tarik nafas, dan menekuk wajahnya. Jauh di lubuk hati Dea yang paling dalam, sebenarnya, dia ingin melanjutkan pendidikan ini kejenjang selanjutnya. Akan tetapi apalah daya, dia tidak punya biaya untuk melanjutkan pendidikan untuk ke universitas. Dea juga sudah oernah mengajukan untuk dapat beasiswa, namun sepertinya itu tidaklah menjadi rezekinya.

"Boro-boro ada uang untuk biaya kuliah, untuk makan gua dan ibu saja bisa cukup, sudah alhamdulillah banget buat gua," batin Dea.

Wajah Dea langsung lesu dan tidak bersemangat lagi seperti pas mereka pertama masuk kantin tadi. Ada raut wajah sedih di sana. Namun, Dea berusaha menyembunyikan dari Rina dan Eli. Ingin rasanya Dea menangis mendapatkan pertanyaan seperti itu, tapi dia mencoba menahan air matanya yang hampir tumpah membasahi pipi nya. Dea tidak ingin terlihat lemah dihadapan kedua sahabatnya. Dia harus tegar dan semangat dihadapan sahabat-sahabatnya. Walaupun Dea menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Namun, sahabatnya itu bisa menangkap apa yang di rasakan oleh Dea saat ini.

"Lo kenapa, De?" tanya Rina.

"Apakah pertanyaan gua menyinggung perasaan lo?" imbuh Rina kembali setelah mberi jeda beberapa saat pada pertanyaannya yang pertama.

"Gak apa-apa, Na. Lo jangan cemas gitu donk. Pertanyaan lo gak menyinggung gua, kok," balas Dea—memaksakan untuk tersenyum.

"Emmm ... sebenarnya, gua mau banget melanjutkan pendidikan ini, Na. Tapi apalah daya, gua gak punya biaya untuk ngelanjutin pendidikan gua ke universitas," imbuhnya.

"Kenapa lo gak coba cari kerja part time, atau minta pekerjaan sama majikan nyokap lo gitu? supaya lo bisa membiayai biaya kuliah lo nanti!" tanya Rina lagi.

"Kan gua udah kerja paruh waktu, Na. Tapi gua rasa untuk mencukupi biaya kuliah tidaklah cukup dengan gajiku yang tidak seberapa itu ... kan biaya kuliah mahal. Tidak cuman itu, kuliah juga butuh perlengkapan. Nah, perlengkapan itu butuh money." Jelas Dea panjang lebar sambil tersenyum getir.

"Jika moni-moninya tidak cukup setelah pembayaran uang kuliah, terus gue beli perlengkapan itu pakai apa donk!" lanjut Dea.

"Iya juga, ya," sahut Rina sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke meja kantin tempat mereka berkumpul.

"Maka dari itu, gua putuskan saja untuk tidak melanjutkan pendidikan gua, Na," tegas Dea.

"Lo sendiri mau lanjut kuliah di mana, Na?" tanya Dea pada Rina.

"Kalau gua mau lanjut ke universitas Andalas. Doain, ya! Semoga gua lulus di sana," Jawab Rina penuh harap.

"Gua juga mau cari kerja part time untuk tambahan biaya kuliah gua. Itung-itung buat bantuin bokap dan nyokap gua," tambah Rina.

"Semoga apa yang lo inginkan terwujud, ya!" jawab Dea.

"Kalau lo mau lanjutin kemana, Li?" tanya Dea pada Eli.

"Kayaknya, gua cari kerja dulu deh. Soalnya, di masa pandemi seperti ini, usaha bokap dan nyokap gua mengalami penurunan drastis. Orang tua gua lagi kesulitan keuangan. Jangankan untuk biaya kuliah gua, buat bayar kontrakkan aja susah," jawab Eli lesu.

"Gua gak tega liat orang tua gua yang lagi kesusahan. Apalagi harus gua tambah lagi beban mereka jika gua kuliah. 'Kan pengeluaran mereka tambah membengkak," Tutur Eli yang begitu sedih membayangkan susahnya kehidupan mereka saat ini.

Rina menghela nafas berat. Dia merasa kasihan kepada kedua sahabatnya. Namun, apa boleh buat, Rina tidak bisa berbuat lebih untuk sahabatnya. "Sudahlah jangan sedih lagi, yang penting kita sudah berhasil lulus dari sekolah ini dengan nilai yang memuaskan," hibur Rina kepada kedua sahabat baiknya.

Rina tidak mau momen terakhir mereka di sekolah jadi sebuah momen bersedih masal. Dia mengalihkan pikiran dua orang sahabatnya dengan mengingatkan akan hasil pencapaian mereka selama mengenyam pendidikan di sekolah itu.

"Takdir baik dan sebuah kesuksesan itu tidak ditentukan oleh tinggi pendidikannya saja. Jalan nasib dan takdir orang itu beda-beda. Manusia hanya bisa berencana, tapi Tuhan yang menentukan keberhasilan tiap umatnya!" nasehat Rina penuh penekanan.

"Mana tahu Tuhan punya rencana buat kalian berdua. Kesuksesan dan keberhasilan telah menunggu kalian dengan cara lain yang telah Tuhan siapkan. Tinggal kalian berdoa dan berusaha untuk mendapatkan takdir baik kalian," tambah Rina kembali untuk memotivasi sahabatnya.

"Aamiin ...." Dea dan Eli menjawab serentak.

"Semoga keberuntungan dan nasib baik berpihak kepada kita," harap Dea semangat.

"Semoga," jawab Rina dengan tulus.

" Setelah kelulusan ini, kuharap kalian tetap mau jadi best friend aku. Tak pernah berubah, walau jalan hidup masing-masing dari kita sudah berbeda," kata Dea yang dibalas pelukan oleh kedua sahabatnya.

"Sekarang, besok dan nanti ... kita akan tetap jadi sahabat sejati. Aku janji takkan pernah berubah secuil pun pada kalian," ujar Rina tulus dari hatinya.

"Terima kasih, ya. Kalian slama ini slalu jadi sahabat terbaikku. Kalian mau bersahabat dengan aku yang hanya sebagai anak pembantu miskin." Air mata Dea menggenang di pelupuk matanya.

"Bagiku, Apa pun pekerjaan orang tua kita, selagi itu halal tak jadi masalah apa pun untuk menjalin persahabatan." ucap Rina lagi membuat Dea semakin terharu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status