Share

bab 2

Kutatap langit yang kelam. Namun, dipenuhi hiasan bintang.

Meskipun tanpa rembulan, hiasan bintang cukup memanjakan mataku.

Diantara beribu bintang, hanya kejoralah yang paling terang.

Di Antara beribu cinta hanya kasih ibu yang paling tulus.

Demi kedua buah hatiku, aku akan melakukan apapun untuk mereka.

Jika banyak yang mengatakan cinta itu butuh pengorbanan, maka menurutku cinta itu butuh perjuangan.

Iya. Aku akan berjuang demi kedua buah hatiku.

Tak kubiarkan rubah betina merebut kebahagiaan kedua buah hatiku.

Aku akan memperjuangkan apa yang seharusnya aku perjuangkan.

Dan mempertahankan yang seharusnya menjadi milikku.

Itulah tekadku.

Kupandang benda pipih berbentuk persegi panjang yang berada di tanganku.

Tak tersisa satupun status dari aplikasi perpesanan berlogo hijau yang berada di kontakku, yang belum aku lihat.

Namun aku masih enggan untuk berpaling dari benda pipih yang berada di tanganku.

Dari W******p Aku beralih untuk membuka F******k, entah berapa banyak yang telah aku scroll-scroll yang lewat di berandaku.

Tanganku berhenti manakala melihat sebuah status yang menandai adik iparku.

Aku melihat seorang wanita cantik sedang membagikan momen kebahagiaannya bersama pasangan nya. Namun wajah kekasihnya tidak diperlihatkan.

Entah mengapa tiba-tiba aku merasakan nyeri di ulu hati, aku merasakan perih layaknya tertusuk pedang, manakala melihat status tersebut.

Warna baju yang wanita cantik itu kenakan, sama persis dengan warna baju mas Alfi ketika ia mengunjungi Kuala lumpur.

Aku masih berpikir positif, ‘ah, mungkin hanya kebetulan,’ pikirku.

Tidak ada yang patut dicurigakan. Karena semua orang bisa memiliki warna baju yang sama. Namun, jiwa penasaran ku mulai maronta-ronta, aku melihat satu persatu momen bahagia yang dibagikan oleh wanita cantik itu di akun sosmednya, kemudian aku mencoba membandingkan dengan momen bahagia yang dibagikan oleh suamiku ketika ia mengunjungi adiknya.

Apakah karena udara malam yang dingin membuat dadaku sesak, atau karena sebuah fakta yang baru aku ketahui?

Wanita cantik yang bernama Mutia, ternyata bukan hanya berteman dengan adik Mas Alfi yang berada di Kuala lumpur, akan tetapi hampir seluruh keluarga inti mas Alfi berteman dengannya.

Mas Alfi yang meminta izin pergi dinas ke ke negeri Jiran Malaysia, ternyata ia pergi berliburan bersama wanita lain.

Bahkan adik iparku dan keluarganya yang lain telah mengetahui semuanya sedari dahulu. Namun, mereka enggan untuk memberitahuku. Aku tahu, jika perangai suami adik iparku juga tidak jauh beda dari abangnya. Namun entah mengapa ia bungkam ketika melihat kelakuan abangnya. Bahkan dia membiarkan abangnya berlumuran dosa.

Sungguh aku tidak habis pikir dengan jalan pemikiran suamiku dan juga keluarganya.

Jika aku lihat dari tanggal yang ia bagikan momen tersebut, itu sudah lebih tiga bulan yang lalu.

Mungkin inilah cara Allah membuka semua kebusukan yang dilakukan oleh suamiku.

***

Mentari telah menuju ke ufuk barat, pertanda hari akan mulai gelap.

Siang telah berganti malam. Namun, mas Alfi tak kunjung pulang.

Mas Alfi juga tidak menghubungiku, walau hanya untuk sekedar menanyakan kabar.

Rindu Untuk anaknya pun kini telah tiada. Mas Alfi bener-bener berada di kegelapan yang tak tahu arah jalan pulang.

Aku bangun di sepertiga malamku. Untuk berkeluh kesah, mengadu, bersimpuh dan memohon petunjuk karena dunia yang terasa tidak adil bagiku.

Aku bersujud bersimpuh menyerahkan diri hanya kepada Allah.

Tanpa terasa buliran bening lolos membasahi pipiku.

Untaian kata dari wanita yang kini sedang bersama mas Alfi sukses mengobrak-abrik seluruh isi hatiku.

Ku senandung kan surat ar-rahman untuk menenangkan kegundahan yang kini sedang melandaku.

“Maka, nikmat Tuhan mana yang engkau dustakan?”

Ayat-ayat inilah yang kujadikan tongkat untukku berdiri.

Kini tiada yang bisa menolongku selain Allah subhanahu wa ta’ala.

Karena hanya Allah yang mampu membolak-balikkan hati hamba. Aku memohon semoga Allah membolak-balikkan hati mas Alfi supaya kembali kepada kami.

Cerahnya mentari pagi, tapi tak secerah hatiku.

Kicauan burung yang bersahutan bak alunan musik melodi terasa hambar di telingaku.

Kini tiada keindahan yang kurasakan karena hatiku begitu pilu.

Aku yang sedang duduk termenung, tidak menyadari sebuah mobil memasuki pekarangan rumahku.

Jelas aku tahu siapa pemilik sang mobil. Karena itu adalah mobil mas Alfi suamiku.

Meskipun goresan luka yang telah ditoreh oleh mas Alfi, tapi sebagai seorang istri aku tidak melupakan kewajibanku.

Kusambut kepulangan mas Alfi dengan senyuman yang ku paksakan dari bibirku.

Seperti hari-hari yang lain tak lupa aku mencium punggung tangannya, tanda hormatku sebagai seorang istri.

“Assalamualaikum!” Sapa mas Alfi kepadaku.

“Waalaikumsalam. Kamu mau minum apa Mas? Biar aku buatkan!” tawarku seolah tidak terjadi apapun di antara kami.

“aku perlu bicara denganmu!” ujar Mas Alfi tanpa menjawab pertanyaanku.

Tiada pula ia menanyakan kabar anaknya terlebih dahulu.

Mas Alfi menarik tanganku ke kamar kami.

Aku hanya menuruti keinginan Mas Alfi tanpa bertanya ataupun membantah.

“aku akan menikah lagi.” Ujar Mas Alfi to the point.

“Aku tidak ingin dimadu. Jika memang kau ingin menikah, maka tinggalkan aku.” Ujarku menantang mas Alfi.

“Aku tidak bisa menceraikanmu!” Serkas mas Alfi.

“ Kenapa Mas?” Tetesan kepedihan mulai membasahi pipiku.

“Karena aku mencintaimu!” Pekik mas Alfi.

Aku tersenyum sinis. “Cinta kamu bilang, ah? Jika memang kau mencintaiku, kau tidak akan menghianatiku, Mas!” Raungku tak kalah hebat.

“Aku tidak menghianatimu.”

“Kau bermalam dengan wanita lain, Apa itu bukan mengkhianatiku? Apakah berselingkuh, bukan penghianatan?”

Mas Alfi terdiam, ia tidak tahu cara untuk menimpaliku lagi.

“Kau tahu Mas, bagaimana sakitnya hatiku ketikan aku mengetahui kau bermalam dengan wanita lain? Kau tahu Mas bagaimana rasanya mengetahui suami berzina dengan perempuan lain?

Jika aku boleh memilih, aku lebih memilih mati Mas daripada mengetahui fakta yang begitu menyakitkan bagiku.” Emosiku tak bisa dikendalikan lagi.

“Oh, rupanya seperti ini caramu menyambut suami yang baru pulang bekerja!” Sinis mas Alfi.

Aku pun memiringkan sebelah sudut bibirku. “Pulang bekerja, atau pulang berkencan dengan wanita lain?”

“Lebih baik aku pergi lagi. Percuma di rumah, punya istri sama seperti tidak punya istri. Enggak bisa diandalkan.” Mas Alfi meraih kunci mobilnya yang berada di atas nakas di samping tempat tidur.

“Kurang baik apalagi aku Mas? Oh aku tahu!” aku kembali tersenyum sinis.” Aku nggak bisa diandalkan karena tidak mengizinkanmu berbuat zina. Iya, kan?” Raungku.

Mas Alfi mengangkat tangannya hendak menamparku. “Tak perlu berbuat kekerasan Mas! Jika memang kau sudah tak cinta, lebih baik ceraikan aku, Mas!” ujarku sambil melangkah mundur.

“Jangan salahkan aku jika memang itu yang kau inginkan!” Tidak ada yang ingin mengalah di antara kami.

“Tapi ingat Mas. Begitu kau melepaskanku, jangan harap aku akan kembali kepadamu. Meskipun engkau menangis darah aku tetap tidak akan kembali ke lubang yang sama. Jadi pikirkan baik-baik keputusanmu itu.” Aku pun meninggalkan Mas Alfi seorang diri di kamar.

Aku begitu tidak menyangka, ketika membukakan pintu ternyata kedua putraku berada di sana.

Mereka menyaksikan pertengkaran yang kami lakukan dari celah pintu yang tidak tertutup rapat.

“Sudah berapa lama kalian berada di situ?” Tanyaku kepada kedua putraku.

“Dari semenjak Ayah pulang, Ma!” jawab Aldo anak sulungku. Aku melihat kaki putra bungsuku, gemetaran.

“Kenapa kalian menguping pembicaraan mama dan papa?” tanyaku dengan intonasi tinggi.

“Maafkan kami mama!” Kedua putraku menundukkan kepala. “Kami tidak bermaksud menguping. Hanya saja kami ingin bertemu dengan ayah. Namun, tanpa sengaja kami menyaksikan pertengkaran di antara mama dan papa. Kami janji tidak akan mengulanginya lagi.”

Aku langsung memeluk kedua putraku. Tak ingin rasanya menambah beban untuk mereka.

Aku tahu semua ini salahku yang lalai. Aku tidak bisa mengendalikan emosiku, sehingga kedua putraku mendengar pertengkaran kami.

Tidak seharusnya mereka menyaksikan pertengkaran di antara kami.

“Maafkan mama, sayang!” Tidak mampu aku untuk berpura-pura baik-baik saja di hadapan putraku. Isak tangisku pun pecah dalam dekapan kedua putraku.

Aku tahu tidak seharusnya membebankan permasalahan ini kepada mereka yang masih anak-anak.

Aku berjanji kepada diriku untuk memperbaiki keadaan, demi mereka. Inilah yang kini menjadi tujuan hidupku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status