Makan malam di meja makan tetap hening seperti biasanya. Semua yang hadir pun sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.Ayah dengan lembaran korannya, yang sesekali diganggu oleh ibu dengan bujukan lauk juga gosip sepanjang hari ini. Sedang aku, sibuk mengurusi butiran nasi yang sepertinya tidak ada habis-habis."Tadi Ayah ke sekolah," ujar ayah memulai topik yang lain.Seketika perhatian Ibu berpindah. Ia pun kemudian memerhatikanku sesaat, terlebih-lebih Ayah."Kamu tahu, kenapa Ayah harus ke sekolahmu?""Apa apa lagi, Man? Apa ada, Yah?" bingung Ibu."Coba jelaskan!"Aku diam dalam kesantaian dan kesibukanku sendiri."Maan…"Perlahan telapak tangan ibu bergerak dan menyentuh punggung tangan kiriku. Aku terhenyak saat menikmati kehangatannya.Tapi kasih sayang itu segera aku tepis. Kutarik tanganku untuk menjauh darinya."Kamu punya urusan apa lagi? Kamu nggak kasihan sama Ayahmu? Sama Ibu?" ucap Ibu penuh iba.Tak lama Ayah menarik napasnya dalam-dalam. Lalu dia banting dengan begi
Jo tertawa lepas di depanku. Begitu pula dengan Frans. Aku pun demikian.Entah seperti apa rasanya. Tonggak yang sedang tegang-tegangnya di grasah-grusuh tanpa arah. Rasanya pasti seperti ingin patah."Aduh, aduh.. udah, Sayang. Sakit!""Ngaku! Kamu sudah main sama Anisa kan?""NGGAAAK! Ya Tuhan.""Nggak usah bawa-bawa Tuhan!"Tetiba Brian memeluk Denise dengan erat. Lalu kepalanya dibenamkan ke dalam belahan dada Denise yang montok."AAAAUUW!" jerit Denise keras-keras. Sampai-sampai suaranya itu memanggil perhatian orang lain yang ada di cafe itu. Tapi mereka kemudian tidak menghiraukannya.Dengan sekuat tenaga Denise mendorong kepala Brian agar bisa menjauh darinya. Tapi usahanya itu hanya membuahkan hasil yang sia-sia.Semakin dia mendorongnya, Brian kian mendekap lebih erat."LEPASIN!.. .AUUWCH… LEPAS! BRIANH… BRIAAAN!!""Mmmm.. Akuh mau dekap kamu terus, Sayang.""LEPASSSH!" dorong gadis itu lebih kuat sampai akhirnya Brian pun menyerah."Mmmuu–""Jaga nih mulut! Nyosor mulu!" k
“HAHAHAHAHA,” tawa Denise yang terbahak-bahak sempurna."NGGAK BECUS LO!" timpalku.Diana menunduk malu. Di kelamnya suasana kolong meja, aku tahu dia barusan melepas isaknya. Tapi kesedihan itu malah membuat rasa bahagiaku makin bergejolak.Di antara tawa-tawa kami, ia terus merapikan wadah-wadah kotor, juga membersihkan ceceran minuman dan remah-remah yang ditumpahkan Denise ke lantai.PRAANG!"Uppps! Sorry."Piring kue yang Denise pesan tetiba ikutan jatuh. Isinya tumpah ke punggung Diana dan mengotori pakaian putihnya.Aku tahu kalau barusan adalah ulahnya yang betul-betul disengaja, dan kegaduhan itu pun menambah bumbu keceriaan canda kami.Kami kian tertawa lepas.Beberapa orang pengunjung pun sampai memerhatikan ulah kami yang begitu seru. Tapi tak ada yang menghiraukannya.Gadis pelayan itu makin merunduk dalam kikuk. Lalu tanpa banyak bicara, semua kotoran yang bertambah banyak itu dia ambil satu-persatu dan diletakkan ke atas nampan.Saat Diana berjongkok untuk mengambil pec
PRAAANG! “Dasar istri tidak tahu diri. PELACUR KAU!” Aku kecil berusaha keras menutup kedua lubang telinga yang menangkap kalimat makian tadi. Pekik hardikan itu sungguh-sungguh menyiksa. Walau sudah disumpal dengan lipatan bantal erat-erat, tetap saja suara kerasnya itu berhasil menerobos masuk. Dengan refleksnya, aku dorong kuat-kuat sumpalan bantal hingga daun telinga ini terasa sedikit sakit. Sampai kemudian aku yakin kalau suara-suara yang bernada penuh emosi itu tidak mengusik lagi di dalam gendang telinga. Diriku bahkan mendadak dibuat meringkuk di dalam selimut abu-abu yang katanya hadiah pemberian orang yang barusan mencela ibu tadi. “Suami bajingan. Pergi sana, sama perempuan peliharaanmu!”
Ibu berhasil menidurkanku lagi di atas ranjang.Malam itu, aku pun akhirnya terlelap dengan satu pelukan hangat yang hadir di sekujur tubuh.Ya!Ibu memeluk erat seperti malam-malam yang lain. Tetapi kali itu, ada yang sedikit berbeda.Karena aku bisa merasakannya betul.Dalam napasnya yang mendayu-dayu naik dan turun, sesekali, ada isaknya yang masih saja muncul.Pikiranku selalu saja bertanya-tanya setiap kali isak itu terdengar.Apakah kesedihan ibu itu, karena ulah ayah, kenakalanku, atau akibat penyesalan karena sudah melahirkanku.Pikiran itu, selalu saja menghantui.
“Ahh,” batinku tidak peduli.Ayah terus bergerak bahkan sempat menunduk hormat sejenak ke satu penjaga gerbang sekolah yang masih setia ada di sana.Namun aku, berjalan lurus tanpa perlu memikirkan pria yang mengenakan seragam monoton itu. Gayaku benar-benar seperti, jagoan.“Memang aku jagoan. Kamu tidak percaya? Lihat saja nanti, setelah kau mengenal Brian, Agus, Toha dan beberapa barang yang berhasil kami nikmati dari jerih payah kami. Intinya, kami, The Freak Doors bangga dengan semua hal yang kami perbuat,” ucap dalam hati.“Masuk!” titah ayah dengan dagunya. Dia lalu duduk di kursi pengemudi sambil menarik dan menutup pintu mobil tuanya yang sering mogok.Aku berjalan berputar di depa
Memandang pohon yang ada di hadapanku, yang lingkar batangnya sudah besar jauh melebihi lingkar pinggang.Bibir ini pun entah mengapa tersenyum kecil ke arahnya. Ku pikir, hanya dialah saksi bisu yang sangat mengerti sejak ia dibiarkan tumbuh di atas tanah itu.Setelah membuang napas yang lelah, aku segera menegak. Dan mencoba berjalan penuh santai ke arah pagar garasi rumah, kemudian membuka bagiannya yang sudah ayah buka lebih dulu.“Assalamualaikum,” salam dari bibir ini ketika melangkahkan kaki kanan lebih dulu.Aku benar-benar menyadari apa yang dilakukan barusan. Itu adalah salah satu buah pengajaran ibu yang disampaikan berulang-ulang, bahkan sejak aku masih tinggal di rumah yang dulu.“Ah, rumah itu,
Adalah Agus dan Toha, anggota The Freak Doors yang lain. Mereka sudah menunggu kami di atas dipan panjang yang berhimpit dengan tembok belakang pertokoan itu.Aku melihat dengan bangga grafiti yang dibuat tepat di dinding yang dihimpit oleh dipan yang sedang mereka tumpu. Sebuah lambang tulisan yang tegas dan berani dengan sepasang sayap yang sedang membawanya terbang.“Brader!!! Kemana aja lo?” tanya Agus sambil berdiri mendekat dengan telapak tangan kanan yang diangkat.Tak lama, aku sambut telapak itu dan kami mulai memainkan gerakan-gerakan unik yang menjadi identitas kami, yang ditutup dengan gerakan saling meninju.“Aseeemm!!... Sabar Bray, jaga emosinya dong,” keluh Agus yang merasakan kalau tonjokanku terlalu keras dari biasanya.