Share

Merebut Hati Suami Dingin
Merebut Hati Suami Dingin
Author: Fivi Andria

Bab 1

"Jangan berharap banyak pada saya, karena saya tidak pernah menginginkan pernikahan ini sedikit pun!" ucapnya dengan tegas.

Gadis yang masih menggunakan gaun pengantin itu terhenyak. Dadanya mendadak merasa nyeri. Tidak pernah menyangka jika malam yang seharusnya berlangsung romantis dan indah malah membuatnya merasa sedih dan kecewa. Merasa tidak diinginkan. Bahkan, pria yang baru saja menyandang gelar suami tadi pagi seperti enggan menyentuhnya.

Nadira Kusuma Dewi, gadis yang kini genap berusia dua puluh tiga tahun. Di usianya yang terbilang masih cukup muda, ia harus menerima perjodohan oleh Pakde dan Budenya. Sebagai bentuk balas budi telah merawat Nadira sampai sekarang, gadis ayu dengan bulu mata lentik itu dengan pasrah menerima perjodohan. Dia percaya jika Pakdenya telah memilih lelaki terbaik untuknya.

Ternyata, impian pernikahan bahagia itu hanyalah bayangan. Pria yang dipilih Pakde dan Budenya jauh dari suami impian. Bahkan yang lebih sakit, Nadira ditolak saat malam pertama mereka.

"Jika kamu tidak suka kenapa kamu setuju." Nadira bersuara tanpa melihat lawan bicaranya.

"Karena saya tak berdaya menolak."

"Lalu dimana letak kesalahan saya? Kita dipertemukan oleh takdir, apa Mas paham?"

Nadira merasa dipojokkan dengan keadaan saat ini. Jika dia tidak dinginkan mengapa Lian setuju dijodohkan. Tak berdaya menolak, lantas apakah harus Nadira yang disalahkan.

"Takdir?" balas Lian dengan senyum mengejek.

"Saya ikhlas menerima pernikahan ini, bagi saya menikah adalah ibadah."

Lian tersenyum miring.

"Kamu tunggu saja waktu yang tepat, kita akhiri semua ini."

Bersamaan dengan suara pintu yang tertutup dengan keras, saat itu juga hati Nadira seperti retak berkeping-keping. Bukan ini yang dia inginkan. Tapi semua sudah telanjur terjadi. Tidak mungkin membuat kecewa Bude dan Pakdenya dengan menyerah saat ini juga. Nadira tahu ini sulit, tapi dia akan mencoba meluluhkan hati sang suami.

Setelah kepergian Lian, Nadira memilih melepas gaun pengantinnya. Setelah acara akad nikah tadi pagi, dilanjutkan resepsi sorenya, cukup menguras tenaga. Belum lagi sikap Lian yang berubah drastis saat mereka tinggal berdua di kamar mereka.

Sebelum itu Lian berlagak biasa saja meskipun terlihat kaku. Nadira mengira itu hal wajar karena mereka baru mengenal satu sama lain dan langsung menikah. Ternyata dugaannya salah besar. Lian menyimpan kebencian terhadap dirinya. Padahal Nadira sama sekali tidak patut disalahkan akan takdir yang sudah terjadi diantara mereka.

Setelah membersihkan diri Nadira mengganti pakaiannya dengan piyama panjang berwarna kuning, lengkap dengan jilbab instan yang membalut kepala. Sudah lebih dari tiga puluh menit, tapi Lian belum juga kembali. 

Nadira mulai mengkhawatirkannya. Bukan karena cemas karena kepergian pria itu. Melainkan Nadira takut jika hubungan buruk antara Lian dan dirinya tercium oleh anggota keluarga, terlebih Pakde dan Budenya, pasti mereka akan kecewa.

Tok.. Tok..

Suara ketukan pintu membuat Nadira terperanjat, dengan cepat gadis itu melangkah menuju pintu.

Setelah pintu terbuka, terlihat Budenya dengan senyum lebar.

"Eh Bude, masuk yuk," ajak Nadira seraya menggandeng tangan Budenya menuju ranjang.

Mereka duduk berdampingan di tepi ranjang yang sudah dihiasi dengan taburan kelopak bunga mawar merah. Mata Bude terlihat mengedarkan pandangannya, meneliti sekitar.

"Dimana Lian?" tanya Bude.

"Ehm, itu tadi Mas Lian pamit cari angin dulu." Nadira terpaksa berbohong.

Bude terlihat menghela napas.

"Syukurlah, Bude takut dia bersikap tidak baik sama kamu. Kalian ini kan kenalannya express banget."

"Mas Lian baik kok Bude, Nadira bersyukur dipertemukan dengannya."

Bude menarik jemari Nadira, menggenggamnya erat.

"Bude senang dengernya, nak. Ingat, kamu ini sudah seperti anak Bude sendiri. Kalau ada apa-apa bilang sama Bude ya. Termasuk Lian, jika dia bersikap jahat sama kamu, Bude akan menjadi garda paling depan buat kamu."

Ucapan Bude membuat Nadira tersenyum haru. Kasih sayang yang Budenya berikan selama ini sangatlah tulus. Meskipun sudah ditinggalkan ibu kandungnya sejak usia tiga belas tahun, lantas ia tidak pernah merasa kehilangan kasih sayang seorang ibu, karena Budenya telah memberikannya.

"Iya Bude, makasih ya sudah menyayangi Dira selama ini."

Tak terasa bulir hangat mulai meluruh dari sudut matanya.

"Ih kok malah nangis sih," ucap Bude seraya mengusap air mata Nadira dengan ibu jarinya.

"Nadira masih pengin lebih lama sama Bude," kata Nadira manja, lalu merapatkan tubuhnya pada Bude, memeluknya hangat.

"Kamu kan masih bisa sambang ke rumah kapan pun kamu mau. Pintu rumah selalu terbuka buat kamu dan Lian, nak." Bude mengusap kepala Nadira dengan lembut.

Tangis Nadira tak bisa dibendung lagi. Mengingat ia sebentar lagi akan berpisah dengan Pakde dan Budenya, orang yang paling ia sayang. Dan akan tinggal bersama orang asing yang bahkan untuk bertatap muka saja tak sudi. Entah pernikahan seperti apa yang akan mereka jalani.

"Sudah, sudah, jangan nangis lagi. Ini kan hari bahagiamu, nikmati saja. Jangan malah melow seperti ini. Tadi Bude kesini mau bilang kalau besok pagi Bude dan Pakde akan langsung balik ke kampung."

Bude menguraikan pelukannya.

"Cepet banget Bude, apa gak sebaiknya nginep beberapa hari lagi. Nadira masih kangen," rajuk Nadira.

"Gak bisa, Nak. Peternakan di kampung gimana kalau ditinggal lama-lama. Kamu tahu sendiri kan gimana Pakdemu merawat ternaknya, udah kayak anak sendiri."

Nadira mencebikkan bibir.

"Lagi pula Bude gak ingin ganggu honey moon kamu," goda Bude membuat wajah Nadira merona merah karena malu.

"Bude," desisnya.

"Sudah malam Bude mau kamar dulu, nanti Pakdemu bingung nyari Bude."

Wanita paruh baya yang masih terlihat muda di usianya itu berdiri dari tempatnya, lalu keluar kamar meninggalkan Nadira seorang diri.

Nadira berusaha menutup matanya tapi menit berlalu matanya masih juga menyala. Lian belum juga kembali membuatnya sedikit cemas. Sebenarnya kemana suaminyan itu pergi.

Malam yang selalu dinanti oleh sepasang pengantin baru hanyalah mimpi belaka. Nadira justru menghabiskan malamnya seorang diri. Tidur di atas ranjang sendiri di balik selimut. Peluk hangat yang ia damba tidak akan pernah ia dapat. Haruskah pernikahan seperti ini yang ia jalani.

Sementara di ruangan lain terlihat Lian sedang asyik berbicara dengan lawannya dari ponsel.

"Apa ini Lian!" teriak seorang gadis dari seberang.

"Aku bisa menjelaskan semuanya," balas Lian dengan wajah khawatir.

"Are you crazy!"

Suara diserang terdengar keras.

"Aku akan jelasin semua, Sayang." Lian mencoba meyakinkan.

"Apa yang harus dijelaskan. Semua sudah jelas, kamu menikah dengan orang lain!"

"No, hanya kamu yang paling aku Sayang. Cintaku hanya untuk kamu, Sayang. Aku harap kamu mengerti aku saat ini, aku mohon."

Terdengar isak tangis dari sana.

"Stop, jangan menangis, Sayang. Aku mohon, aku janji sama kamu. Aku akan menikahimu setelah drama ini berakhir, kumohon bersabarlah sedikit."

"Drama?" kali ini suara gadis itu terdengar lebih lembut.

"Yes, drama. Aku harap kamu mau mengerti dan bersabar. Kita pasti akan bersama."

"Kutunggu janjimu, Sayang."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status