Share

Bab 2

Nadira menatap nanar pemandangan di depannya. Sungguh indah, rumah minimalis dengan suguhan taman di depan rumah. Rumah yang akan ia tinggali mulai saat ini bersama sang suami. Lian sengaja memboyong Nadira ke rumah yang ia beli sendiri agar hubungan yang sebenarnya tidak diketahui semua orang. Nadira dibuat kagum, selera Lian tidak begitu buruk.

Brakkk..

Aksi pengamatan Nadira buyar saat Lian dengan sengasa menutup bagasi mobil dengan keras.

"Bawa koper kamu!" tunjuk Lian pada koper yang tergeletak tak jauh dari mobilnya.

"Tapi Mas-" Belum juga selesai bicara, Lian seenak jidat meninggalkan Nadira.

Memang apa yang bisa diharapkan dari sang suami. Lian akan membawakan kopernya dengan satu tangan melingkar di pinggang, menuntun Nadira masuk rumah. Nadira menghela napas dalam, itu hanya bayangannya. Sekarang gadis dengan hijab berwarna abu muda itu harus menyeret kopernya sendiri, dan satu lagi tas ransel yang cukup besar. Berjalan sedikit kewalahan mengikuti Lian yang masuk rumah lebih dulu.

"Lelet amat!" todong Lian saat baru saja Nadira sampai di depan pintu.

"Berat Mas," balas Nadira.

Lian tak menjawab, pria itu memberi isyarat agar Nadira mengikuti langkahnya.

"Ini kamar kamu." Tunjuk Lian pada kamar yang terletak di pojok kiri lantai bawah.

"Kamar aku?" Nadira bingung.

"Ya, kamar saya ada di atas."

Nadira semakin mengerutkan dahi. Bukankah mereka sepasang suami istri lalu kenapa Lian harus menyiapkan kamar terpisah.

"Tapi kan kita suami istri, Mas. Mana ada ceritanya pisah kamar."

"Itu berlaku untuk pasangan normal, sedangkan kita tidak. Kita hanya sepasang manusia asing yang disatukan oleh keadaan. Semua terpaksa. Jadi jangan pernah mengharapkan saya layaknya suami sungguhan. Semua akan segera berakhir di waktu yang tepat."

Nadira tersenyum kecut.

"Mudah sekali ya kamu bicara seperti itu, Mas. Pernikahan sama sekali gak ada artinya bagi kamu. Padahal, waktu akad kamu sudah berjanji di hadapan Allah. Apa arti pernikahan yang sakral di mata kamu ini cuma permainan. Astaghfirullah... "

"Saya tidak peduli dengan penilaianmu. Yang jelas tinggal di sini ikuti peraturan saya."

Nadira hanya mengelus dada saat punggung Lian semakin menjauh dari netranya. Apa benar Nadira akan bertahan dengan orang seperti Lian. Daripada memikirkan Lian yang teguh dengan pendiriannya, Nadira memilih masuk kamar barunya. Merapikan tempat singgahnya. Menata barangnya ke tempat yang baru. Setelah selesai dia memilih merebahkan diri untuk istirahat. Berdebat dengan Lian juga butuh tenaga. Nadira akan menyiapkan banyak tenaga juga kesabaran untuk menghadapi Lian selanjutnya.

Suara azan maghrib berkumandang membuat Nadira terperanjat. Gadis itu bangun dari tidurnya lalu duduk.

"Ya Allah, sudah maghrib."

Nadira ketiduran cukup lama. Ia sampai seperti kebingungan saat bangun. Mungkin itu karena dia tidur di waktu yang tidak diperbolehkan tidur. Tadi karena merasa tubuhnya sangat penat, setelah merapikan barangnya dan sedikit istirahat begitu masuk waktu asar Nadira langsung shalat. Setelah menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim Nadira melanjutkan waktu rebahannya sampai ia tertidur. Setelah subuh dan asar adalah dua waktu yang tidak disarankan untuk tidur. Selain tidak baik bagi kesehatan juga tidak disenangi oleh Allah.

Tanpa menunggu lama Nadira langsung beranjak mengambil wudu dari kamar mandi dalam kamarnya. Setelah shalat gadis itu berniat mengelilingi rumah barunya. Mengenali setiap sudut yang ada.

Dengan setelan baju dan celana berwana marun Nadira keluar dari kamar. Kerudung instan tetap melekat di kepala menutupi rambut hitam legam. Tak ada suara tanda kehidupan di dalam rumah. Lian, entah di mana dia berada. Nadira tak tertarik mencarinya. Gadis itu lebih tertarik dengan dapur yang ada di depannya. Sebuah dapur lengkap dengan kitchen set. Meja dapur yang begitu mengkilat karena terbuat dari marmer. Mata Nadira langsung melebar tersanjung dengan pemandangan di depannya. Dapur barunya akan membuatnya betah beroperasi di sana.

Nadira membuka-buka disana berharap bisa menemukan bahan makanan yang bisa ia makan. Gadis itu hanya menemukan telur di dalam kulkas. Hari ini adalah hari pertama dia masak di dapur milik Lian, yang kini jadi miliknya juga. Nadira memasak nasi dalam magic com menggunakan air panas agar lebih cepat matang. Lalu tak lupa menyiapkan omelet spesial untuk suaminya. Berharap jika perhatian Nadira akan meluluhkan hati sang suami.

Tak butuh waktu lama untuk menyiapkan omelet. Setelah omelet matang, sambil menunggu nasi matang Nadira berkeliling rumah. Setiap sudut rumah lantai dasar sudah ia absen satu per satu. Tinggal lantai dua yang belum ia kunjungi. Tapi hatinya gamang untuk melangkah ke atas. Satu kakinya sudah menepaki anak tangga, tapi beberapa menit kemudian ia tarik lagi. Beberapa kali seperti itu. Sampai akhirnya Nadira memilih pergi ke kamar untuk menunaikan shalat Isha karena azan sudah mulai berkumandang.

"Assalamu'alaikum warrahmatullah.. Assalamu'alaikum warrahmatullah... "

"Ya Allah lembutkanlah hati suami hamba. Berikan ruang untukku di hatinya. Bantu Mas Lian menerima pilihan Mamanya. Semua hamba serahkan kepada-Mu. Aamiin."

Nadira mengusapkan kedua tangannya ke wajah setelah berdoa. Melipat kembali mukena dan meletakkan ke tempat asal. Nadira mengambil hijabnya lalu memakainya sebelum keluar kamar.

Gadis dengan badan mungil itu menuntun langkahnya ke dapur. Nadira ingin memastikan jika nasi yang ia masak tadi sudah matang. Setelah memastikan nasi matang Nadira tanpa ragu pergi ke lantai dua untuk mengajak Lian makan malam bersama.

Tok.. Tok...

Nadira mengetuk pintu kamar Lian dengan hati-hati.

Gadis itu mengulang sampai ke tiga kalinya, baru sang empunya membukakan pintu.

"Apa?" bentak Lian setelah pintu terbuka.

Nadira sedikit kaget.

"Anu-itu, aku sudah menyiapkan makan malam. Ayo makan bersama, Mas." Nadira menggigit bibir bawahnya.

"Saya belum lapar!"

"Tap-"

Brakkkk

Pintu ditutup dengan keras bahkan saat Nadira belum selesai bicara. Gadis itu mengelus dada. Sabar Nadira, gumamnya.

Dengan kecewa Nadira menuruni anak tangga. Sepertinya butuh usaha lebih keras lagi untuk membuat Lian menerima kehadirannya.

Nadira memilih duduk di meja makan sambil mengamati makanan yang sudah tersaji di atas meja. Berharap jika ego Lian akan runtuh dengan rasa lapar yang menerjang. Detik berganti menit masih belum ada tanda kedatangan Lian. Bahkan perut Nadira sudah mulai keroncongan karena sejak tadi belum diisi. Ingin makan dulu tapi takut Lian berubah pikiran. Akhirnya gadis itu memilih untuk bersabar sedikit lagi.

Suara derap langkah kaki terdengar dari arah tangga. Nadira antusias untuk menyambut kedatangan Lian. Namun, melihat pakaian tapi Lian Nadira sedikit ragu. Tidak mungkin hanya untuk makan malam dengannya pria itu berpakaian rapi seperti itu.

"Mas Lian mau kemana?"

Benar dugaan Nadira. Lian berjalan keluar rumah, tidak pergi ke dapur.

"Bukan urusan kamu."

"Tapi ini sudah malam, Mas. Sebaiknya kita makan malam di rumah saja."

Lian menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Nadira yang sedari tadi ia punggungi.

Menatap gadis bermata cokelat itu dengan tajam.

"Mau saya kemana pun bukan urusan kamu. Bisa gak sih kamu gak ganggu saya sebentar saja!"

Nyali Nadira menciut. Entah sudah berapa kali suami berkata kasar padanya. Padahal Nadira tak pernah minta apapun. Gadis itu paham jika mereka menikah karena perjodohan, tapi tidak seharusnya juga Lian bersikap seperti itu padanya.

Gadis itu memilih diam tak berani melanjutkan lagi. Lian yang masih berdiri di hadapannya meraih ponsel dalam saku celana karena berbunyi.

"Halo Sayang!"

Sontak Nadira mengangkat wajah, mata gadis itu melebar. Sayang. Apa telinga Nadira salah dengar. Tanpa berpikir tentang perasaan Nadira, Lian dengan enteng memanggil gadis lain dengan sebutan sayang.

"Sabar, kamu tunggu, sebentar lagi aku sampai."

Lian memutuskan sambungan telepon lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana.

"Siapa yang kamu panggil sayang, Mas?"

"Wanita yang paling aku sayangi. Dan sekarang karena kehadiran kamu, waktu saya jadi terbatas untuk bertemu dengannya." Lian menjawab tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Sedangkan hati Nadira, tentu saja hancur mengetahui pengakuan sang suami yang sangat jujur.

"Talak aku, Mas." Nadira sudah tak ingin berharap banyak pada Lian. Karena pria itu sama sekali tak memberi Nadira kesempatan untuk mengeruk hatinya.

"Kamu tenang aja, itu bakal terjadi. Tapi tidak sekarang."

Lian pergi meninggalkan Nadira di rumah seorang diri. Pria itu sama sekali tidak peduli jika Nadira sebelumnya tidak pernah di rumah sendirian. Nadira merasa takut. Tapi, rasa takut itu kalah akan kekecewaan yang ia dapat. Air mata yang ia tahan akhirnya tumpah. Nadira menangis tersedu di atas ranjang dengan tubuh tengkurap sampai lelah datang dan kantuk menyerang. Nadira berhenti menangis setelah ia tertidur.

Bukan pernikahan seperti ini yang Nadira harapkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status