Aulian terpaksa menikahi Nadira, gadis yang dijodohkan dengannya. Padahal di hatinya sudah terbingkai indah nama sang kekasih, Amelia, seorang selebgram yang sedang naik daun. Mampukah Nadira merebut hati Lian yang selalu bersikap dingin padanya layaknya kulkas dua pintu?
View More"Jangan berharap banyak pada saya, karena saya tidak pernah menginginkan pernikahan ini sedikit pun!" ucapnya dengan tegas.
Gadis yang masih menggunakan gaun pengantin itu terhenyak. Dadanya mendadak merasa nyeri. Tidak pernah menyangka jika malam yang seharusnya berlangsung romantis dan indah malah membuatnya merasa sedih dan kecewa. Merasa tidak diinginkan. Bahkan, pria yang baru saja menyandang gelar suami tadi pagi seperti enggan menyentuhnya.
Nadira Kusuma Dewi, gadis yang kini genap berusia dua puluh tiga tahun. Di usianya yang terbilang masih cukup muda, ia harus menerima perjodohan oleh Pakde dan Budenya. Sebagai bentuk balas budi telah merawat Nadira sampai sekarang, gadis ayu dengan bulu mata lentik itu dengan pasrah menerima perjodohan. Dia percaya jika Pakdenya telah memilih lelaki terbaik untuknya.
Ternyata, impian pernikahan bahagia itu hanyalah bayangan. Pria yang dipilih Pakde dan Budenya jauh dari suami impian. Bahkan yang lebih sakit, Nadira ditolak saat malam pertama mereka.
"Jika kamu tidak suka kenapa kamu setuju." Nadira bersuara tanpa melihat lawan bicaranya.
"Karena saya tak berdaya menolak."
"Lalu dimana letak kesalahan saya? Kita dipertemukan oleh takdir, apa Mas paham?"
Nadira merasa dipojokkan dengan keadaan saat ini. Jika dia tidak dinginkan mengapa Lian setuju dijodohkan. Tak berdaya menolak, lantas apakah harus Nadira yang disalahkan.
"Takdir?" balas Lian dengan senyum mengejek.
"Saya ikhlas menerima pernikahan ini, bagi saya menikah adalah ibadah."
Lian tersenyum miring.
"Kamu tunggu saja waktu yang tepat, kita akhiri semua ini."
Bersamaan dengan suara pintu yang tertutup dengan keras, saat itu juga hati Nadira seperti retak berkeping-keping. Bukan ini yang dia inginkan. Tapi semua sudah telanjur terjadi. Tidak mungkin membuat kecewa Bude dan Pakdenya dengan menyerah saat ini juga. Nadira tahu ini sulit, tapi dia akan mencoba meluluhkan hati sang suami.
Setelah kepergian Lian, Nadira memilih melepas gaun pengantinnya. Setelah acara akad nikah tadi pagi, dilanjutkan resepsi sorenya, cukup menguras tenaga. Belum lagi sikap Lian yang berubah drastis saat mereka tinggal berdua di kamar mereka.
Sebelum itu Lian berlagak biasa saja meskipun terlihat kaku. Nadira mengira itu hal wajar karena mereka baru mengenal satu sama lain dan langsung menikah. Ternyata dugaannya salah besar. Lian menyimpan kebencian terhadap dirinya. Padahal Nadira sama sekali tidak patut disalahkan akan takdir yang sudah terjadi diantara mereka.
Setelah membersihkan diri Nadira mengganti pakaiannya dengan piyama panjang berwarna kuning, lengkap dengan jilbab instan yang membalut kepala. Sudah lebih dari tiga puluh menit, tapi Lian belum juga kembali.
Nadira mulai mengkhawatirkannya. Bukan karena cemas karena kepergian pria itu. Melainkan Nadira takut jika hubungan buruk antara Lian dan dirinya tercium oleh anggota keluarga, terlebih Pakde dan Budenya, pasti mereka akan kecewa.
Tok.. Tok..
Suara ketukan pintu membuat Nadira terperanjat, dengan cepat gadis itu melangkah menuju pintu.
Setelah pintu terbuka, terlihat Budenya dengan senyum lebar.
"Eh Bude, masuk yuk," ajak Nadira seraya menggandeng tangan Budenya menuju ranjang.
Mereka duduk berdampingan di tepi ranjang yang sudah dihiasi dengan taburan kelopak bunga mawar merah. Mata Bude terlihat mengedarkan pandangannya, meneliti sekitar.
"Dimana Lian?" tanya Bude.
"Ehm, itu tadi Mas Lian pamit cari angin dulu." Nadira terpaksa berbohong.
Bude terlihat menghela napas.
"Syukurlah, Bude takut dia bersikap tidak baik sama kamu. Kalian ini kan kenalannya express banget."
"Mas Lian baik kok Bude, Nadira bersyukur dipertemukan dengannya."
Bude menarik jemari Nadira, menggenggamnya erat.
"Bude senang dengernya, nak. Ingat, kamu ini sudah seperti anak Bude sendiri. Kalau ada apa-apa bilang sama Bude ya. Termasuk Lian, jika dia bersikap jahat sama kamu, Bude akan menjadi garda paling depan buat kamu."
Ucapan Bude membuat Nadira tersenyum haru. Kasih sayang yang Budenya berikan selama ini sangatlah tulus. Meskipun sudah ditinggalkan ibu kandungnya sejak usia tiga belas tahun, lantas ia tidak pernah merasa kehilangan kasih sayang seorang ibu, karena Budenya telah memberikannya.
"Iya Bude, makasih ya sudah menyayangi Dira selama ini."
Tak terasa bulir hangat mulai meluruh dari sudut matanya.
"Ih kok malah nangis sih," ucap Bude seraya mengusap air mata Nadira dengan ibu jarinya.
"Nadira masih pengin lebih lama sama Bude," kata Nadira manja, lalu merapatkan tubuhnya pada Bude, memeluknya hangat.
"Kamu kan masih bisa sambang ke rumah kapan pun kamu mau. Pintu rumah selalu terbuka buat kamu dan Lian, nak." Bude mengusap kepala Nadira dengan lembut.
Tangis Nadira tak bisa dibendung lagi. Mengingat ia sebentar lagi akan berpisah dengan Pakde dan Budenya, orang yang paling ia sayang. Dan akan tinggal bersama orang asing yang bahkan untuk bertatap muka saja tak sudi. Entah pernikahan seperti apa yang akan mereka jalani.
"Sudah, sudah, jangan nangis lagi. Ini kan hari bahagiamu, nikmati saja. Jangan malah melow seperti ini. Tadi Bude kesini mau bilang kalau besok pagi Bude dan Pakde akan langsung balik ke kampung."
Bude menguraikan pelukannya.
"Cepet banget Bude, apa gak sebaiknya nginep beberapa hari lagi. Nadira masih kangen," rajuk Nadira.
"Gak bisa, Nak. Peternakan di kampung gimana kalau ditinggal lama-lama. Kamu tahu sendiri kan gimana Pakdemu merawat ternaknya, udah kayak anak sendiri."
Nadira mencebikkan bibir.
"Lagi pula Bude gak ingin ganggu honey moon kamu," goda Bude membuat wajah Nadira merona merah karena malu.
"Bude," desisnya.
"Sudah malam Bude mau kamar dulu, nanti Pakdemu bingung nyari Bude."
Wanita paruh baya yang masih terlihat muda di usianya itu berdiri dari tempatnya, lalu keluar kamar meninggalkan Nadira seorang diri.
Nadira berusaha menutup matanya tapi menit berlalu matanya masih juga menyala. Lian belum juga kembali membuatnya sedikit cemas. Sebenarnya kemana suaminyan itu pergi.
Malam yang selalu dinanti oleh sepasang pengantin baru hanyalah mimpi belaka. Nadira justru menghabiskan malamnya seorang diri. Tidur di atas ranjang sendiri di balik selimut. Peluk hangat yang ia damba tidak akan pernah ia dapat. Haruskah pernikahan seperti ini yang ia jalani.
Sementara di ruangan lain terlihat Lian sedang asyik berbicara dengan lawannya dari ponsel.
"Apa ini Lian!" teriak seorang gadis dari seberang.
"Aku bisa menjelaskan semuanya," balas Lian dengan wajah khawatir.
"Are you crazy!"
Suara diserang terdengar keras.
"Aku akan jelasin semua, Sayang." Lian mencoba meyakinkan.
"Apa yang harus dijelaskan. Semua sudah jelas, kamu menikah dengan orang lain!"
"No, hanya kamu yang paling aku Sayang. Cintaku hanya untuk kamu, Sayang. Aku harap kamu mengerti aku saat ini, aku mohon."
Terdengar isak tangis dari sana.
"Stop, jangan menangis, Sayang. Aku mohon, aku janji sama kamu. Aku akan menikahimu setelah drama ini berakhir, kumohon bersabarlah sedikit."
"Drama?" kali ini suara gadis itu terdengar lebih lembut.
"Yes, drama. Aku harap kamu mau mengerti dan bersabar. Kita pasti akan bersama."
"Kutunggu janjimu, Sayang."
“Kamu bicara dengan siapa, Mas?” tanya Nadira.Lian yang berdiri di depan jendela menghadap keluar memutar badan.“Bukan siapa-siapa,” balasnya. Nadira menerka-nerka, sudah pasti suaminya itu bicara dengan gadis itu.“Kamu jangan bohong, Mas.”Merasa tidak puas dengan jawaban yang diberikan suami gadis itu kembali bertanya, “pasti wanita itu kan?” tebak Nadira.Bayangan sang suami yang berada di dalam dekapan wanita lain itu muncul, membuat ulu hati terasa perih.“Jangan bilang kamu akan pergi dengannya.”“Bukan urusan kamu.”Lian terlihat santai tak penuli dengan Nadira yang menahan emosi dan siap meledak kapan saja.“Aku mohon, Mas. Kali ini saja kamu dengerin aku.”Lian duduk di ranjang dengan punggung bersandar di kepala ranjang. Tangannya asik memainkan benda pipih yang ada di tangan.Nadira berjalan mendekat, lalu gadis berparas ayu itu duduk di sisi Lian.“Mas, aku paham kalau kamu belum bisa menerima aku. Tapi setidaknya kamu harus menjaga perasaanku, bukan. Jangan pikirkan p
“Mas apa kita beneran akan pergi?” tanyaku saat Mas Lian sudah selesai makan.“Nggak.”“Jadi kamu bohong ke Mama.”“Saya akan pergi sendiri.”Mataku menyipit mendengar jawaban ambiku darinya.“Pergi sendiri?”“Selama saya di Bali kamu nginep di rumah Bude.”Hatiku mencelos.“Artinya kamu berbohong sama Mama, Mas. Lebih baik tadi kamu bilang aja kalau gak bisa pergi, alasan banyak kerjaan atau gimana gitu.”“Sama aja bohongkan, udah kamu gak usah pusing mikirin itu.”Mas Lian unjuk diri dari tempatnya. Aku menarik napas panjang. Entah sampai kapan aku punya stok kesabaran untuk menghadapi kulkas dingin itu. Kesabaran ada batasnya dan aku tak bisa menjamin akan sabar selamanya.Dari pada memikirkan Mas Lian aku memilih membersihkan meja makan dan mencuci piring kotor bekas makan malamku dangannya tadi. Tentang esok biarlah semua mengalir apa adanya. Setelah menyelesaikan pekerjaan aku memilih istirahat. Gegas kaki ini melangkah ke kamar.#Paginya seperti biasa, aku menyiapkan sarapan
Hatiku sedikit merasa lega setelah mencurahkan isi hati pada Mila. Tak ada yang bisa menjadi pendengar yang baik selain dia. Dulu, ada Bude yang mengerti segala isi hati. Tapi jika Bude tahu rumah tanggaku yang tidak baik-baik saja dia akan khawatir. Setelah merasa puas bertemu Mila, aku berpamitan untuk kembali pulang. Hari pun sudah beranjak sore. Aku harus menyiapkan makanan sebelum Mas Lian pulang.“Aku balik dulu ya.”Mila membalas pelukanku, lalu kami sama-sama menaiki ojek online menuju rumah masing-masing.Tak butuh waktu lama, ojek online yang kutumpangi berhenti di depan rumah. Setelah membayar ongkos aku segera masuk rumah. Tapi aku dibuat bertanya saat ada mobil asing yang terparkir di depan rumah. Apa Mas Lian punya mobil lain, aku membatin.Pintu yang terbuka menuntun langkahku terus maju.“Assalamua-la-ikum.”Begitu terkejutnya aku dengan pemandangan di depanku.Seorang wanita yang memeluk suamiku itu, mengurai pelukannya mendengar salam dariku.Tubuhku terasa lemas, t
Setelah Mas Lian berangkat kerja aku kembali masuk. Ucapannya masih menghantui kepalaku. Dia bilang aku harus membuatnya jatuh cinta. Haruskah? Tapi bagaimana bisa aku membuatnya jatuh cinta padaku sedangkan dia menutup rapat jalan kesana.Aku mengembuskan napas panjang.Setelah mencuci piring bekas aku sarapan tadi, aku memilih berselonjoran di depan tv. Seperti hari biasanya, tinggal seorang diri saat dia ke kantor sangat membosankan. Yang menghiburku hanyalah drama korea yang ada di layar kaca.Andai, kisahku semanis drama yang biasa kutonton. Seseru kisah yang biasanya kubaca. Tapi, ini kisahku yang pilu dan memuakkan.Biasanya dalam drama aku melihat pemeran utama pria yang dingin layaknya es batu akan mencair melihat pemeran utama wanitanya, yah meskipun butuh waktu.Ya, waktu. Kenapa aku jadi lupa. Semua itu hanya butuh proses. Mas Lian pasti akan luluh seiring berjalannya waktu. Dalam pepatah jawa pun aku sering mendengar, wiwiting tresno jalaran saka kulino. Yang artinya cint
Nadira povMenikah dengan orang yang baru dikenal, adalah petualangan baru yang harus aku lalui. Bagaimana tidak.Ternyata orang itu jauh dari ekspetasiku. Yang kupikir menikah dengan orang asing semua akan mudah karena kita saling tak kenal. Semua akan berjalan dengan apa adanya. Dan, ya, itu benar. Semua berjalan apa adanya walaupun sangat menyakitkan.Tak ada malam pertama yang selalu didamba kedua pengantin baru. Bahkan, dia menolak seakan tak sudi dan menganggapku hina. Padahal aku hanya manusia biasa sama sepertinya yang tak berdaya menolak perjodohan ini.Iya, Pakde dan Bude telah menjodohkanku dengan pria bernama Aulian Putra Pratama. Kuakui dia memang sosok tampan dan sukses meneruskan usaha papanya. Tapi, untuk urusan hati, pria yang biasa kusebut Mas Lian adalah orang paling egois dan palingg tidak punya hati di muka bumi ini.Karena perjodohan ini dia sangat membenciku padahal bukan aku yang patut disalahkan. Aku hanya mengikuti titah Pakde dan Bude yang menurutku benar. T
Pagi seperti biasanya Nadira bangun saat qiraah dari toa masjid terdengar. Gadis itu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dua puluh menit kemudian Nadira sudah siap untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Karena tidak mendapati tanda-tanda kehidupan Nadira beranjak ke kamar Lian."Mas Lian!"Nadira mengetuk beberapa kali pintu kayu di depannya. Tapi, tak membuahkan hasil sama sekali. Meskipun gamang dia memutuskan untuk memutar knop pintu. Pintu terbuka, terlihat Lian yang masih tertidur pulas di tempatnya."Mas Lian, bangun!" Panggil Nadira, gadis itu berdiri di sisi ranjang. Tak berniat menyentuh Lian karena sudah mempunyai wudu."Mas Lian, udah subuh. Shalat yuk!" Ajak Nadira tak pantang menyerah.Mendengar namanya dipanggil berkali-kali akhirnya Lian bangun. Ia merasa kesal karena tidurnya terganggu."Apaan sih, masih pagi juga." Ketus Lian setelah mengumpulkan nyawanya."Sudah subuh, Mas. Ayo shalat," Ucap Nadira lembut dengan senyum manisnya."Shalat aja
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments