"Gus Aaraf nggak mencintai aku, Del."Sahabatku itu tertegun, ia langsung menatap tajam ke arahku, sedangkan aku memilih terus menunduk. Rasanya sangat sesak sekali, aku membutuhkan teman bicara yang mana dia tidak akan tersakiti dengan sikap Gus Aaraf.Aku tidak pernah jujur kepada Abah dan Umik karena takut Mertuaku akan sakit hati memikirkan putranya. Akhirnya aku memilih Adele."Dia tidak mencintaimu?"Aku mengangguk. "Gus Aaraf bilang sendiri. Dan hari ini dia pergi janjian sama wanita lain, kekasihnya sendiri, Del. Bukan aku yang Gus Aaraf inginkan, tapi wanita lain!" pekikku tertahan.Adele langsung menggandeng tanganku untuk pergi dari kedai ini, ia membawaku ke mobil, dan berhenti di alun-alun kota. Adele turun terlebih dahulu kemudian aku mengikutinya yang berhenti di depan penjual es krim."Kamu beli es krim sejauh ini?" tanyaku tidak percaya.Adele hanya terdiam, tetapi senyum manisnya sudah menjawab semua pertanyaanku. Ia membeli dua buah eskrim, dan berpindah ke penjual
"Janjiannya jam berapa, Dek?"Aku menoleh pada pria di sampingku yang tengah fokus pada kemudinya. Mahesa, pria berusia matang yang sekarang menjadi calon suamiku. Kami akan menikah enam bulan lagi, lantaran Mas Mahesa yang baru saja menjabat menjadi kepala yayasan."Jam sepuluh, Mas.""Nanti kamu masuk sendirian?" tanyanya lagi yang lantas aku angguki.Yeah! Hari ini aku hendak bertemu dengan seseorang. Seorang pria yang sempat menjadi tempatku menitipkan hatiku kepadanya, dan sekarang aku akan mengambil lagi hatiku itu.Seorang pria yang mungkin, beberapa hari lalu hampir membuatku gila. Hingga takdir membawa Mas Mahesa kepadaku, sampai akhirnya aku mendapatkan kewarasan kembali.Gus Aaraf. Pria tampan berusia matang yang sudah memberikan seluruh hatinya untukku, tetapi ia juga yang mematahkannya. Pria yang telah mengajarkan apa itu cinta, sekaligus pria yang mengajarkan apa itu patah hati."Kita janjian di kedai Ling Ling, Mas. Di jalan subroto nomor 21.""Oh, aku tahu itu."Aku me
Flashback on."Nah, Nduk ... di sini kamu akan mondok, Insya Allah kamu akan belajar banyak hal. Ada madrasah umumnya juga, jadi kamu nggak akan ketinggalan sama teman-temanmu di luar sana." Paman berbicara dengan pandangan berbinar, tangannya menepuk bahuku, seraya nadanya tegas.Pagi ini Paman Zaki mengantarku mondok ke salah satu pesantren besar di Kota Kediri, kota kelahiranku. Beliau berjalan seraya membawa tasku dan aku mengikutinya dari belakang. Paman menuju rumah megah dan besar yang merupakan kediaman Pak Yai dan Bu Nyai.Paman Zaki menitipkan aku di sini. Aku harus tinggal di ndalem lantaran kurangnya biaya, lagi pula aku merasa tidak enak kalau harus merepotkan Paman lagi dengan menanggung biaya ku di sini. Mulai sekarang aku tidak boleh banyak bergantung kepada Paman, meskipun aku hanya seorang wanita, tetapi aku harus bisa berjalan di atas kakiku sendiri. Kasihan kalau di usianya yang sudah renta dan saatnya beristirahat, Paman dan Bibi masih harus menanggung biaya sekol
"Ini.""Apa ini, Gus?" tanyaku seraya menerima paper bag yang diulurkan Gus Aaraf.Kami berpapasan saat aku baru saja membuang sampah, dan ia kebetulan sedang lewat di samping kediamannya. Ah, semoga saja tidak ada yang melihat kami, karena aku khawatir akan mengundang prasangka dari santri atau keluarga ndalem."Itu buku kumpulan syair arab yang aku janjikan kemarin, ada juga syair dari beberapa bahasa. Semoga kamu suka."Aku masih melongo, pasalnya aku tidak menyangka kata-katanya kemarin serius. Aku mengira hanya sekadar basa-basi."Ini banyak banget, Gus!""Biar kamu puas." "Gus yakin meminjamkan sebanyak ini kepada saya? Saya, loh, sebenarnya bisa ke perpustakaan." Aku tidak enak dan takut merepotkannya."Aku malah senang."Aku hendak mengeluarkan protes, tetapi urung saat melihat senyumnya yang begitu manis. Aku terpaku melihat bibir indah itu melengkung dengan pandangan teduhnya yang menatapku."Kamu punya bakat, sayang banget kalau nggak di dukung sama fasilitas. Aku juga tah
Aku dan Gus Aaraf semakin dekat, apa lagi saat kelulusan sekolahku, ia menghadiahkan banyak buku. Aku memendam hubungan kami selama satu tahun setengah, bahkan Mbak Naya tidak tahu sama sekali.Gus Aaraf tidak pernah bertindak tidak menyenangkan terhadapku, ia selalu manis. Namun, ia masih menyembunyikanku dari Abah Yai dan Bu Nyai. Sampai akhirnya hari ini Gus Aaraf mengajakku ke suatu bukit yang terletak tidak begitu jauh dari Pondok Pesantren."Aku mau bikin perusahaan, Ay. Aku mau bikin usaha sendiri di luar nama Abah."Aku sontak menoleh, "kenapa, Gus?""Aku lelah kalau harus menjadi bayang-bayang. Aku nggak bisa menjadi diriku sendiri saat menjalankan pabrik.""Njenengan sudah yakin?"Gus Aaraf menganggukkan kepala, sesekali ia akan menghela napas dalam, dan menghembuskannya kasar. Angin sore di atas bukit ini begitu sepoi, tetapi sepertinya Gus Aaraf merasakan sesak yang begitu menghimpit di dadanya."Aku bisa menebak pasti Abah akan marah.""Kenapa dilanjutkan? Bukannya ridho
"Sudah sampai, Mas?" tanyaku saat Mas Mahesa menghentikan laju mobilnya. Pria itu mengangguk, ia melepas seat belt dan lantas keluar dari mobil.Mas Mahesa berjalan mengitari mobil menuju pintuku, ia lantas membukakannya untukku. Sangat manis, bukan?Aku turun dan netraku langsung terpaku pada kedai makan bergaya klasik bertulis Ling Ling di gapura masuknya. Pandanganku langsung beralih kepada Mas Mahesa."Masuklah, aku akan menunggu di sini.""Kamu nggak capek nungguin aku?"Ia menggeleng, "sudah, Adek tenang saja. Yang penting Adek nanti harus tenang, baca surat Al-Insyirah, sama minta perlindungan hati sama Allah. Insya Allah semuanya akan mudah.""Iya, Mas. Kalau begitu aku masuk dulu, ya.""Hati-hati, Dek."Aku mengangguk dan lantas masuk ke kedai tersebut. Kakiku melangkah bergantian seiring dengan jantung yang berdegup kencang, aku tahu kalau pertemuan ini untuk menjelaskan bahwa hubungan kita sudah benar-benar selesai, meskipun di sudut hatiku ada sedikit rasa tidak rela. Kare
"Mas Mahesa pria hebat yang terang-terangan datang ke hadapan Paman, meskipun melalui perantara Abah Yai, tetapi ia bisa membuktikan kalau memang menginginkanku. Mas Mahesa nggak banyak bicara, Gus. Tapi dia langsung datang kepada Paman dan menawarkan keseriusan, padahal sebelumnya kami nggak pernah berinteraksi, selain sebagai ustadz dan santri," jelasku panjang lebar.Aku berbicara dengan tegas dan lugas, bahkan aku menatap tajam ke dalam manik matanya. Aku ingin membuktikan bahwa perasaanku sudah sepenuhnya melupakannya, tetapi siapa yang tahu bahwa ada belati tak kasat mata yang menyayat hatiku."Ka-Kamu mencintanya, Ay?""Cinta bisa dipelajari, Gus." Aku menundukkan kepala, menghindari berlama-lama kontak mata dengannya."Seperti apa kedekatan kalian selama ini?""Kami dekat, lebih dari teman. Tapi nggak sedekat seperti njenengan dengan Ning Kayshilla. Kami berteman akrab, berusaha saling mengenal sebelum hari pernikahan.""Kamu yakin sama dia?" tanyanya yang jelas saja menyentil
"Mau langsung pulang? Atau mampir ke mana dulu?""Pulang ke hotel saja, Mas. Aku capek," jawabku dengan suara yang sangat lirih.Mas Mahesa lantas mengangguk, ia mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Sementara aku fokus memandang jalanan luar, menatap pada deretan daun yang menghiasi pinggir jalan raya. Aku meraup banyak udara guna memenuhi rongga dada, tetapi tetap saja rasanya sesak."Bagaimana pertemuan kalian tadi?"Aku sontak menoleh kepada Mas Mahesa yang masih fokus kepada kemudinya."Kami sudah menyelesaikan semuanya, Mas. Kami sudah sama-sama ikhlas dan nggak ada yang menahan untuk melepaskan. Kami sama-sama sadar diri, mau bagaimanapun takdir Tuhan adalah yang terbaik.""Kamu sedih?" tanya Mas Mahesa yang aku sendiri juga tidak tahu jawabannya.Mau bilang sedih, takut ia akan sakit hati. Mau bilang tidak, itu sama saja membohongi perasaanku. Hingga selama sepuluh menit lamanya aku masih terdiam. Mas Mahesa juga tidak membuka suaranya, mungkin ia mau memberiku waktu."M