"Selamat pagi, Tuan Damian. Maaf telah membuat Anda menunggu lama."
Lily melangkah dengan anggun, setiap gerakan tubuhnya dipenuhi kepercayaan diri yang terlatih. Tumit tingginya mengetuk lantai marmer dengan irama halus, sementara gaun formalnya membalut tubuh dengan sempurna, menonjolkan siluet yang tak bisa diabaikan. Ia duduk di hadapan Damian. Tatapannya tajam, lekat tertuju pada pria itu yang tampak dingin dan kaku—tak tergoyahkan sedikit pun oleh Lily yang tengah berusaha memancing perhatiannya. Lily menyunggingkan senyum tipis. Pikirannya berlarian liar, mencoba memikirkan kembali cara untuk menaklukkan pria yang jauh dari apa yang ia perkirakan. "Tidak masalah, Nona Moretti. Kita tidak perlu terlalu formal." Nada suara Damian terdengar santai, tapi Lily menangkap sesuatu di balik senyumnya yang samar. Ia tahu siapa Damian Richi. Seorang pria yang cukup berbahaya, dikenal luas di dunia bisnis dengan cara-cara keras dan tanpa kompromi. Namun, bagi Lily, itu bukanlah halangan. Demi menghancurkan Bianca, ia siap bertaruh, bahkan jika itu berarti bermain api dengan pria seperti Damian. Lily menatap Damian dengan penuh perhitungan. Pria itu memang tampan—begitu tampan hingga sulit untuk tidak terpikat. Rahangnya tegas, senyumannya mengandung misteri, dan matanya... tajam, seolah mampu menembus ke dalam pikiran seseorang. Banyak orang mengecamnya karena menjalin hubungan dengan Bianca, seorang janda meski berstatus model yang tengah naik daun. Lily menyilangkan kaki dengan anggun, membiarkan ujung roknya sedikit naik, cukup untuk menarik perhatian tanpa terlihat murahan. "Baiklah, Damian," ucapnya, sengaja menghilangkan formalitas dalam suaranya. "Aku harap kerja sama kita akan membawa keuntungan besar bagi kedua belah pihak." Damian menyandarkan punggungnya, satu tangan bertumpu di atas meja. Matanya menelusuri wajah Lily dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Tentu saja," jawabnya, nadanya lebih dalam dari sebelumnya. "Namun aku penasaran… seorang wanita muda sepertimu, dengan posisi sebagai CEO, pasti memiliki banyak sekali tawaran kerja sama. Kenapa harus Richi Group?" Lily tersenyum, tetapi tidak langsung menjawab. Ia membiarkan jeda sejenak, membuat ketegangan menggantung di antara mereka. Lalu, ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, cukup dekat hingga Damian bisa menangkap aroma parfum mahalnya. "Karena aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan, Damian. Dan Richi Group membuatku tertarik." Damian menatapnya dalam diam. Ada kilatan minat di matanya, sesuatu yang Lily harapkan. Ia tahu, ini baru permulaan. Bianca, kau akan kehilangan segalanya. Lily menyandarkan punggungnya dengan santai, membiarkan atmosfer di antara mereka menghangat dengan ketegangan yang ia ciptakan sendiri. Ia tahu betul bagaimana memainkan perannya dalam permainan ini. Dengan gerakan santai namun penuh perhitungan, Lily memanjangkan kakinya di bawah meja, ujung sepatu hak tingginya menyentuh kaki Damian. Awalnya perlahan, sekadar menyentuh. Namun, saat ia melihat ekspresi Damian tetap tenang, ia menaikkan level permainannya. Ujung kakinya mulai mengelus perlahan sepanjang betis pria itu, menciptakan sensasi yang pasti tidak bisa diabaikan. Damian terhentak sedikit, nyaris tak terlihat, tetapi cukup bagi Lily untuk menangkap reaksi halus itu. Sebuah senyum tipis penuh arti terukir di bibir pria itu. Matanya menatap Lily lebih tajam, lebih dalam, seakan menantang. "Permainan macam apa yang sedang kau mainkan, Lilyana?" suaranya terdengar serak, tetapi masih sarat dengan kendali. Lily hanya tersenyum, dengan gaya menggoda. "Siapa bilang aku sedang bermain?" Damian menggeleng kecil lalu tertawa pelan. "Kau berbahaya." Lily mencondongkan tubuh, suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan. "Bukankah itu yang membuatnya lebih menarik?" Damian berusaha mengendalikan dirinya saat Lily semakin berani dalam permainannya. Wanita itu benar-benar gila—gila dalam cara yang menggiurkan, memabukkan, dan sepenuhnya berbahaya. Senyuman Lily tetap terukir, penuh kemenangan. Ia tahu persis apa yang sedang ia lakukan dan itu membuat Damian semakin sulit berpaling. Namun, di balik gairah yang membara di antara mereka, pertemuan ini tetaplah urusan bisnis. Damian menarik napas dalam, berusaha mengalihkan pikirannya yang mulai melenceng. Ia merapikan ekspresinya dan kembali ke pembicaraan mereka, menyelesaikan segala negosiasi yang masih tersisa. Lily tetap bermain-main. Sesekali, ia menjilat bibir saat berbicara, membiarkan jemarinya menyusuri permukaan meja, dan menciptakan ketegangan yang hampir tak tertahankan bagi Damian. Hingga akhirnya, pertemuan mereka resmi selesai. Damian menyandarkan tubuh ke kursi, mengendurkan dasinya sedikit, lalu melirik asistennya yang masih berdiri di sudut ruangan. Ia memberikan sebuah kode kecil—hanya sedikit anggukan kepada asistennya. Asisten itu segera memahami isyarat, membungkuk singkat, lalu melangkah keluar dari ruangan tanpa sepatah kata. Kini, hanya ada Damian dan Lily. Kesunyian menggantung di antara mereka, hanya suara detak jam dinding dan desiran napas yang terdengar. Damian akhirnya menatap Lily dengan ekspresi yang lebih santai, tetapi matanya tetap menyimpan bahaya. "Kau benar-benar tak kenal takut, Lilyana." Lily tersenyum, perlahan menyilangkan kakinya, memberikan pemandangan yang jelas bagi pria itu. "Apakah itu masalah?" tanyanya dengan nada polos yang jelas dibuat-buat. Damian menghela napas kecil lalu tersenyum miring. "Masalahnya, kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, Nona Moretti." "Ya, aku memang tidak tahu banyak tentang pria di hadapanku ini. Tapi aku tahu satu rahasia kecil yang mungkin cukup untuk menggoyahkan kedudukan pria berkuasa seperti dirimu, Tuan Richi." Suara Lily terdengar tenang, tapi ancaman tersembunyi di balik nada lembutnya. Mata hazel-nya menatap tajam, tak memberi ruang untuk keraguan. Damian menatapnya, alisnya terangkat sedikit. "Dan aku seharusnya takut karena itu?" "Oh, tentu saja tidak... jika kau menyepakati tawaran yang kuberikan, Damian Richi. Aku telah menyiapkan semuanya." "Aku tidak tertarik." "Tapi aku tertarik untuk menghancurkanmu jika kau tidak menerima tawaranku." Lily kembali mengancam. "Kau hanya serpihan debu bagiku. Apa yang bisa dilakukan oleh wanita muda sepertimu?" "Mungkin dengan mengatakan pada semua orang bahwa Damian Richi seharusnya mendekam di balik jeruji besi seumur hidup... karena ia telah membunuh seorang anak kecil yang tak berdosa." DEG Seketika jantung Damian berdebar kencang mendengar ucapan wanita di hadapannya. Bagaimana ia bisa tahu hal itu? "Membunuh anak kecil?" Damian terkekeh—tawa kecil yang terdengar ringan, namun jelas hanya upaya untuk menutupi debaran yang tak menentu di dadanya. "Jangan asal bicara, wahai wanita muda. Sekali saja kau menyebar kebohongan, tamatlah riwayatmu." Lily tersenyum lebar, diselingi tawa pelan yang terdengar menggelitik. "Ups, aku sama sekali tidak takut. Tapi lihatlah dirimu—begitu sibuk menutupi ketakutan yang mulai menggerogoti." Brak! Dengan gerakan spontan, Damian bangkit berdiri dan menghantam meja di depannya. "Kau tak punya bukti apa pun!" Suaranya membelah keheningan yang menegang. "Aku memilikinya," sahut Lily tenang, tajam dan penuh percaya diri. Dalam sekejap, ia mengeluarkan sesuatu dan meletakkannya di atas meja. Bukti itu terbentang jelas di antara mereka—cukup untuk membuat mata Damian membulat penuh. Ia membeku. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang benar-benar berhasil membuatnya terdiam. Membuatnya kehilangan kendali, kehilangan kata-kata. "Aku hitung satu sampai tiga. Jika kau tidak menjawab, hidupmu tidak akan pernah tenang setelah ini." "Apa yang kau inginkan?" Lily menyeringai lebar, "Cukup jadikan aku sebagai wanita simpananmu, Tuan Richi.""Apa kau setuju dengan penawaranku ini, Bianca?" tanya Tuan Marcello, senyum miring menghiasi wajahnya. Ia tahu, Bianca tak memiliki pilihan lain."Padahal aku bisa saja memberikan bagianmu tanpa harus—""Ssst… tidak ada tawaran lain selain yang sudah kusebutkan tadi," potong Tuan Marcello, suaranya berbisik di telinga Bianca, begitu dekat hingga napasnya terasa di kulitnya. "Jika kau menolak, kau bisa segera pergi dari kediamanku."Tangan pria paruh baya itu terulur pelan, jemarinya yang kasar menyentuh sisi lengan Bianca, lalu turun perlahan, mencari titik yang diinginkan."Jadi, bagaimana?" ulang Tuan Marcello, suaranya rendah dan menekan.Bianca menggigit bibir, tak menjawab. Tubuhnya menegang, namun tidak bergerak menjauh. Hanya desah halus lolos dari bibirnya, ambigu—antara penolakan dan kepasrahan.Sentuhan Tuan Marcello bagaikan bara api yang menyengat di kulitnya. Sentuhan itu kian liar, dan sedikit pun Bianca tidak berniat untuk menepisnya."Oh, Tuan Marcello…"Kedua mata wa
"Sungguh sangat tidak masuk akal." Bianca menggeleng keras, tangannya meremas kuat ujung gaun yang dikenakan."Apa pun bisa masuk akal. Termasuk Damian sendiri yang merobeknya," jawab Lily santai."LILYANA!"Tangan Bianca menggantung di udara. Amarahnya meledak-ledak, tapi ia tak bisa menampar Lily karena disaksikan banyak orang. Jika ia melakukannya, itu hanya akan merusak reputasinya. Apa pun yang terjadi saat ini bisa dengan mudah tersebar di media."Mengapa berhenti? Kau bisa menamparku," ucap Lily tenang, tatapannya tajam namun tetap menantang.Bianca menatap Lily dengan kobaran api yang semakin melalap habis dirinya. Tangannya yang sempat menggantung di udara perlahan turun kembali. Jemarinya mengepal lebih kuat, berusaha sekuat tenaga menahan dorongan untuk tidak melayangkan tamparan itu ke wajah Lily.Gumaman lirih terdengar dari beberapa pegawai yang melintas. Mereka mulai berbisik, memperhatikan ketegangan yang menyeruak di antara ketiga orang itu. Beberapa pura-pura sibuk,
Zio berdiri di hadapan sahabatnya dengan kedua lengan terlipat di depan dada. Pria itu terus menggeleng pelan, nyaris tak percaya pada setiap kata yang keluar dari mulut Lily."Apa kau benar-benar tidak bisa memilih cara lain?" tanya Zio dengan nada penuh kekhawatiran. Ia takut rencana kehancuran Bianca yang disusun Lily justru akan berbalik menyakiti wanita itu sendiri."Tidak bisa, Zionathan. Aku sudah melangkah terlalu jauh. Dan tentu saja, aku tidak akan berbalik hanya untuk menghentikan semuanya. Meski Damian berbahaya, justru itu yang membuat semuanya terasa menantang."Zio menghela napas berat. "Kau mengatakan dia merusakmu, memborgolmu, bahkan ada senjata ilegal... itu lebih dari sekadar berbahaya, Lilyana.""Damian tidak akan menyakitiku," sahut Lily cepat. Senyum tipis mengembang di wajahnya saat ia kembali mengingat bagaimana pria itu bisa bersikap cukup manis setelah menyelesaikan permainan itu."Kau tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya," sahut Zio. Ia tidak bisa m
"Di mana Lily?" tanya Nyonya Lombardi santai, menyelipkan pertanyaan itu di tengah momen sarapan mereka yang tenang.Bianca mendadak meletakkan alat makannya dengan kasar. Dentingnya menggema, mengganggu keheningan pagi. Matanya menyipit tajam ke arah sang ibu."Apa Ibu tidak salah menanyakan wanita itu?" katanya dingin, "Damian menghilang. Tidak ada kabar dan tidak bisa dihubungi. Dan itu jauh lebih membuatku frustrasi."Nyonya Lombardi hanya menghela napas pelan, seolah tak terpengaruh oleh kemarahan putrinya."Ibu bertanya bukan karena peduli," ujarnya tenang, "Tapi sudah dua hari dia menghilang dari mansion. Bukankah itu seharusnya menjadi kabar baik?""Tentu saja kabar baik. Tapi sayangnya, ini rumahku. Dan sampai kapan pun, aku tidak akan pergi dari sini."Suara yang tiba-tiba menyela percakapan itu membuat keduanya menoleh refleks.Lily berdiri dengan tegak dan tenang di ambang pintu ruang makan.Namun bukan kehadiran Lily yang membuat Bianca dan Nyonya Lombardi terpaku, melain
Tangan Damian mencengkeram rahang Lily dengan kuat, memaksa wajahnya menghadap ke arahnya. "Jadilah wanita simpananku yang penurut, sayang. Aku tak punya kesabaran untuk menghadapi wanita pembangkang," desis Damian, suaranya tenang namun berbahaya.Lidah Lily terasa kelu. Kata-kata yang hendak ia lontarkan terhenti di tenggorokan, tertelan oleh ketakutan yang menjeratnya.Namun, dengan sisa keberanian yang belum sepenuhnya dilumat Damian, ia memaksakan diri bersuara, "Brengsek! Lepaskan aku! Atau aku akan bongkar semua kejahatanmu di masa lalu!"Ancaman itu kembali ia lemparkan, senjata terakhir yang masih ia genggam. Tapi Damian hanya terkekeh pelan, nyaris seperti mengejek."Ancamanmu tak berarti lagi untukku, Lilyana. Kau pikir aku akan diam saja?" gumamnya sambil menyeringai lebar. Tatapannya menusuk, membuat napas Lily tercekat."Damian...""Ini konsekuensinya. Sekali kau masuk ke lubangku, jangan pernah berharap bisa keluar lagi," ucapnya datar.Detik kemudian, Damian langsung
Sinar mentari pagi menyusup lembut melalui celah tirai, perlahan membangunkan Lily dari tidurnya yang lelap. Ia menggeliat pelan, mencoba meregangkan tubuh yang terasa nyeri dan remuk—bekas dari malam penuh kendali yang dipaksakan oleh Damian."Damian... di mana pria brengsek itu?" gumam Lily. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar itu, tapi nyatanya Damian sudah tidak ada di sana. Yang tersisa hanyalah jejak-jejak semalam dengan aroma menusuk yang menyeruak ke seluruh ruangan."Oh shit... kau sangat buas, Damian." Tubuhnya tiba-tiba mendesir hebat saat kembali mengingat permainan mereka semalam. Permainan yang sebelumnya tidak pernah Lily bayangkan, tapi ia sukses membuat sosok Damian Richi melolong sepanjang malam.Lily bangkit dari tempat tidur yang tak berbentuk lagi. Langkah kakinya yang ia paksakan membawanya menuju pintu masuk kamar itu.Namun, tiba-tiba kening Lily mengerut."Heh... kenapa pintunya terkunci?" gumamnya curiga. Tangannya tak henti memutar kenop, menarik,