Share

Liciknya Johan

Sebelum baca tolong klik berlangganan dulu ya..

Biar tak ketinggalan update terbarunya..

Dan author lebih semangat ngetiknya..

******************* **********************

"Wulan buka pintunya! Buka cepat!"

Ketukan dan teriakan Mas Johan itu, sontak membuatku terbangun dari tidurku yang baru beberapa saat itu.

"Buka segera, atau ku dobrak pintu kamar ini!" teriaknya lagi.

Dengan malas aku pun membuka pintu, daripada terus mendengar teriakannya itu.

"Apaan sih ganggu orang tidur saja!" ucapku.

"Kamu ini mau jadi istri macam apa? Berani sama suami! Durhaka sama suami!" teriaknya.

"Ingat ya, sejak kamu ketahuan selingkuh, aku sudah tak mengangapmu suami lagi!" Kupelototkan mataku kearahnya.

"Kurang ajar sekali kamu ini! Sampai kapanpun kamu tetap istriku, dan aku tak akan pernah menceraikanmu!" katanya sambil berusaha melayangkan tanganya padaku, namun berhasil ku halau.

"Jangan macam-macam kamu Mas! Jika sampai tanganmu itu menyentuhku, ku pastikan kau akan menyesal!" 

Mendengar ucapanku tadi, Johan malah tertawa keras sepertinya mengejek.

"Kami itu wanita lemah Wulan, nggak mungkin bisa melakukan apapun, ha-ha-ha. Paling bisamu cuma nangis saja kok! Sudah jangan banyak ngomong, sekarang siapin makanan aku lapar! Dosa besar seorang istri yang membiarkan suaminya kelaparan."

"Dasar laki-laki benalu tak tahu malu, sekarang juga angkat kaki dari rumahku, jangan lupa bawa juga keluargamu itu!" 

"Apa kamu bilang tadi? Kamu mengusir suamimu? Durhaka kamu!"

Saat aku bersitegang terlihat mertua dan iparku itu sedang tersenyum mengejekku di depan kamar.

"Terserah kamu mau bilang apa saja, yang pasti aku mau kita bercerai. Dan segeralah kalian pergi dari rumahku ini!"

"Hahahahaha rumahmu?! Ngimpi kamu ya,"Johan lalu menertawakanku lebih keras.

"Apa kami lupa Mas, delapan bulan yang lalu, aku mengajakmu dan juga keluargamu itu hidup di rumah ini, rumah peninggalan orang tuaku!"

"Ya siapa yang nggak tahu kalau ini rumah peninggalan orang tuamu. Tapi itu dulu, sekarang rumah ini bukan milikmu lagi!"

"Apa maksudmu? Sampai kapanpun rumah ini akan tetap menjadi milikku, karena aku tak akan menjualnya kepada siapapun! Sekarang jangan banyak omong, pergi dari rumahku!"

"Kamu itu yang jangan banyak omong! Tunjukkan bukti kepadaku bahwa ini rumahmu! Tapi jika kamu tak bisa menunjukkannya maka kamulah yang harus pergi dari sini!"

Aku tak tahu kenapa Mas Johan berani berbicara seperti itu, sedangkan rumah ini adalah rumahku sendiri. Aku pun akhirnya kembali masuk ke kamar, membuka lemari dan mencoba mencari sertifikat rumah yang selalu kutaruh di sini. Di pojok lemari bagian kiri, di dalam amplop berwarna cokelat bersama dengan surat-surat lainnya yang kumiliki. Segera kuambil amplop itu dan membawanya ke meja makan. Mas Johan kemudian mengikuti dan duduk di kursi makan.

"Coba tunjukkan padaku mana sertifikat atas namamu itu?! Jika memang sertifikat itu ada maka aku akan segera angkat kaki dari sini!"

Entah kenapa Mas Johan seperti menantangku kali ini, padahal seharusnya dia kan takut kalau kuminta pergi dari sini. Kubolak-balik isi amplop itu namun tak juga kutemukan apa yang ku cari.

Hingga akhirnya kutumpahkan semuanya ke atas meja makan, namun tetap tak kutemukan sertifikat itu.

Mertuaku dan juga Selfi kini ikut duduk di meja makan, sepertinya mereka juga ikut penasaran. Namun Mas Johan terlihat santai saja, malah dia tersenyum sumringah.

"Bagaimana?! Ada apa nggak? Atau coba kau cari ke tempat yang lain, mungkin kamu lupa menaruhnya. Cepat cari sekarang juga!" bentaknya.

Aku kemudian masuk ke kamar mencari keberadaan sertifikat itu, di bawah tempat tidur, di dalam laci dan juga di lemari. Tetapi nihil aku tak menemukannya di manapun, sedangkan aku sangat yakin kalau aku menaruhnya di amplop coklat tadi, dan aku tak pernah memindahkannya sejak terakhir kali aku mengambil kartu keluarga, enam bulan yang lalu. Lalu aku kembali ke meja makan, kali ini ketiga benalu itu duduk tersenyum sambil menatapku.

"Gimana nggak ada kan?! Sekarang duduklah di sini dan baca ini!" ujar Mas Johan sambil memberiku sebuah map warna hijau.

Dengan perasaan yang masih bingung, aku pun segera membukanya. Ternyata isinya adalah sebuah surat tanah tepatnya sebuah sertifikat tanah atas nama JOHAN PURNOMO.

"Jadi kamu sudah bisa beli tanah Mas?" tanyaku sambil menutup kembali map tersebut.

"Baca dulu baik-baik, jangan langsung ditutup mapnya. Buka dan teliti lagi!"

Kubaca ulang sertifikat itu, dan betapa terkejutnya aku, ketika alamat dari surat tanah ini adalah rumah yang sekarang kutempati ini. Tapi kenapa bisa berpindah nama menjadi nama Mas Johan?

"Kenapa tanah dan  bangunan ini bisa beralih nama!? Oh berarti kamu yang telah mengambil sertifikatku ya Mas!?" teriakku.

"Hahaha sekarang siapa yang benalu? Siapa yang numpang? Dan siapa yang wajib angkat kaki dari sini?" ucap Mas Johan dengan sombongnya.

Mas Johan segera merebut map itu dari taanganku, dan kemudian ketiga orang itu tersenyum kepadaku, senyum kemenangan pastinya.

"Jahat kamu Mas! Licik sekali kamu! Kenapa kamu lakukan semau ini kepadaku? Sedangkan aku selama ini rela berkorban segalanya untukmu dan juga keluargamu!" teriakku.

"Sudahlah kamu nggak usah teriak-teriak, malu di dengar tetangga. Sekarang kamu tahu kan, kalau kamu itu cuma numpang di sini, jadi wajarkan kalau selama ini kamu kami jadikan pembantu, itung-itung sebagai ganti uang sewa lah. Sekarang aku memberikamu pilihan sekarang juga pergi dari sini? Atau tetap di sini dan melayani kami?!" ucap Mas Johan.

Dilema kurasakan saat ini, jika aku pergi dari sini, berarti mereka telah menang dan mendapatkan rumah ini secara gratis. Namun jika aku tetap di sini maka aku harus tetap mau di perbudak mereka, tapi aku bisa menuntut balas kepada mereka. Bantu pilih ya teman- teman.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Waty Rosilawaty
Kamu juga Wulan terlalu di per-bodoh2i, tdk waspada dr awal, tp masih belum terlambat untuk mengurus rumahmu kembali, lapor pd pengacara
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status