Beranda / Romansa / Merebut Suami Kakakku / 4. Akhir Hubungan?

Share

4. Akhir Hubungan?

Penulis: Marssky
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-20 15:07:59

Awalnya ia hanya diam. Beberapa menit berlalu tanpa satu kata pun keluar dari mulutnya, hingga akhirnya aku mendengar suaranya yang bergetar.

“Aku… terpaksa, Sayang. Ayah mengancamku. Dia bilang akan memisahkan aku dari Ibu… bahkan akan melukai Ibu kalau aku menolak perjodohan ini.” Ia menunduk, kedua tangannya saling menggenggam erat. “Kamu tahu kan… Ibu adalah segalanya buat aku. Aku sudah pernah cerita, keluargaku nggak harmonis karena Ayah yang temperamental. Dia nggak akan segan-segan menyakiti Ibu kalau sedang marah.”

Aku terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang baru saja ia ucapkan. Suaranya, ekspresinya, cara kedua bahunya sedikit bergetar, semuanya terlihat begitu menyedihkan. Tapi entah kenapa, hatiku tetap terasa perih.

“Lalu… kenapa Kakak?” tanyaku pelan, menahan getir yang hampir merayap ke suaraku. “Kenapa bukan orang lain? Kenapa harus kakakku sendiri?”

Mas Daren menghela napas panjang, terdengar seperti seseorang yang sudah lama menahan beban.

“Karena Ayah yang memilih,” jawabnya lirih. “Dia yang menentukan semuanya. Mas sama sekali nggak punya suara.” Ia memandangku, matanya kembali memerah. “Saat Ayah bilang dia sudah memilih Kakakmu… Mas nggak bisa apa-apa. Mas cuma… nurut.”

Aku menggigit bibir bawahku, mencoba menahan rasa marah yang mulai mengalir.

“Tapi kamu bisa bilang ke aku, Mas,” suaraku pecah. “Kamu bisa ngomong dulu ke aku sebelum semuanya terjadi. Kenapa kamu diam? Kenapa kamu biarin aku tahu dari orang lain?”

Ia menunduk lebih dalam, kedua tangannya terangkat menutupi wajahnya.

“Karena Mas takut… Kalau Mas cerita, kamu pasti akan memintaku memilih. Dan Mas takut kamu terluka kalau Mas nggak bisa melakukan apa-apa. Mas takut kehilangan kamu.”

Air mata kembali mengumpul di mataku, kali ini lebih panas… lebih berat.

“Terus kenapa kamu nggak bilang ke Ayah kamu,” tanyaku lirih namun penuh getaran, “kalau aku ini pacar kamu, Mas? Aku kan masih keluarga Kakak. Harusnya aku juga bisa jadi pilihan.”

Ia mengembuskan napas panjang, berat, seolah menelan sesuatu yang pahit. Perlahan ia menatapku, dengan mata yang begitu sedih.

“Aku sudah bilang, Sayang… bahkan sebelum kami datang ke rumah kamu. Ibu juga ikut membujuknya. Tapi Ayah nggak mau dengar. Dia tetap pada pendiriannya… karena semuanya sudah disepakati sama Ibu kamu.”

Dadaku mencelos mendengar itu.

“Tapi aku terluka, Mas…” bisikku, hampir tak terdengar.

Mas Daren menutup mata sejenak. Ia mengusap wajahnya pelan lalu menggeser tubuhnya mendekat, namun aku refleks menegakkan punggung, memberi jarak.

“Sayang… Mas tahu kamu terluka,” katanya pelan. “Mas juga hancur. Kamu pikir Mas senang? Kamu pikir Mas nggak tersiksa waktu Ayah ngomong kalau Kakakmu yang dipilih?”

Aku menatapnya, tapi pandanganku bergetar oleh air mata. “Kalau kamu hancur, kenapa kamu tetap datang? Kenapa kamu tetap berdiri di sana ketika Ayah kamu melamar Kakak di depan semua orang? Kenapa kamu nggak melakukan apa pun?”

Ia terdiam. Bukan karena tak punya jawaban-tapi karena jawaban itu terlalu menyakitkan untuk diucapkan.

Akhirnya ia membuka mulut, suaranya rendah dan parau. “Karena kalau Mas melawan… Ayah pasti akan menyakiti Ibu malam itu juga.”

Aku tertegun.

Ia melanjutkan, suaranya gemetar, “Mas cuma punya Ibu. Dia satu-satunya alasan Mas bertahan di rumah itu. Mas nggak bisa kehilangan dia, Sayang. Mas nggak bisa lihat dia dipukul lagi cuma karena Mas menolak.”

Aku memejamkan mata, menahan tangis yang semakin deras.

“Terus bagaimana dengan aku?” tanyaku pelan, getir. “Posisiku apa sekarang di hidup kamu, Mas?”

Mas Daren menatapku lama. Ada rasa bersalah, ada ketakutan, ada cinta yang tampak kacau di dalam matanya. “Kamu tetap segalanya buat Mas… tapi Mas nggak tahu harus gimana.”

Aku mengusap pipiku yang mulai basah. “Kalau kamu nggak tahu harus gimana… bagaimana dengan aku, Mas? Aku harus apa?”

Mas Daren menggenggam tanganku perlahan, takut aku menariknya pergi. “Kamu tetap sama Mas. Jangan tinggalin Mas… tolong.”

Aku kembali tertegun. Dadaku sesak, hatiku seperti diremas mendengar permintaannya barusan. Perlahan aku menggeleng, menahan air mata supaya tidak jatuh lagi.

“Maaf, Mas… tapi hubungan kita nggak bisa dilanjutkan. Kalau tetap diteruskan, itu berarti kamu egois. Kamu sudah memilih Kakak. Jadi biarkan aku mundur sekarang,” ucapku, lalu aku berdiri dan melangkah menuju pintu untuk meninggalkan apartemen itu.

Namun Mas Daren tiba-tiba mencekal tanganku. Genggamannya kuat, jauh lebih kuat dari biasanya. Aku menoleh, dan ia menatapku dengan rahang mengeras, ekspresinya datar, bukan lembut seperti tadi.

“Mas lepas…!” desisku, berusaha menarik tanganku. Tapi genggamannya tidak mengendur sedikit pun.

“Aku nggak akan lepasin kamu,” ucapnya rendah. Suaranya terdengar tenang, tapi ada sesuatu di balik nada itu, sesuatu yang membuat bulu kudukku meremang. “Kamu nggak bisa pergi gitu aja, Sayang. Kita belum selesai.”

Jantungku berdetak lebih cepat. “Mas… kamu menakutiku,” kataku pelan.

Ia tidak menjawab. Ia bangkit berdiri, masih menggenggam tanganku. Wajahnya semakin sulit dibaca, antara putus asa, marah, dan takut kehilangan bercampur jadi satu.

“Aku nggak bisa kehilangan kamu,” katanya sambil menggeleng. “Kamu bilang hubungan ini nggak bisa dilanjut? Kamu salah. Kamu salah besar.”

Aku menelan ludah, tubuhku menegang. “Mas, kamu nggak bisa maksa aku. Kita udah selesai.”

Tidak ada perubahan dalam ekspresinya. Justru genggamannya semakin menguat, membuatku meringis.

“Mas, sakit…!” seruku, mencoba melepaskan tanganku dari genggamannya.

Namun ia sama sekali tidak mendengar. Cengkeramannya justru semakin kuat, membuatku meringis. Tanpa berkata apa pun, ia menarikku menjauh dari ruang tamu.

“Mas… kamu bawa aku ke mana? Mas, lepas!” aku memberontak keras saat ia terus menarikku menuju kamarnya

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Merebut Suami Kakakku   5. Hadiah Terakhir

    Tubuhku terdorong dan terhempas di atas kasur. Jantungku berdetak semakin kencang saat melihatnya ikut naik, merangkak perlahan mendekat. “M–mau ngapain, Mas?” tanyaku dengan suara bergetar, mataku penuh ketakutan.Aku bergeser mundur, berusaha menjauh sebisa mungkin sampai punggungku menabrak dinding. Nafasku tersengal. “Mas… cukup! Jangan mendekat!” pekikku tanpa sadar, rasa panik menyelimuti seluruh tubuhku.Mas Daren sama sekali tak menghiraukan teriakanku. Ia tetap mendekat dengan tatapan tajam yang terasa mengancam.“Akh—!” aku terpekik ketika pergelangan kakiku ditarik, membuat tubuhku terjatuh dan terlentang di atas kasur tanpa sempat menahan diri.Dalam hitungan detik, Mas Daren sudah berada tepat di atasku. Kedua tangannya bertumpu di sisi kepalaku, membuat tubuhnya membentuk bayangan besar yang menutup ruang gerakku.Mas Daren menunduk sedikit, napasnya jatuh di wajahku, terasa panas, membuat seluruh tubuhku menegang dengan kedua lengan yang masih mengurungku.“Mas… kamu bi

  • Merebut Suami Kakakku   4. Akhir Hubungan?

    Awalnya ia hanya diam. Beberapa menit berlalu tanpa satu kata pun keluar dari mulutnya, hingga akhirnya aku mendengar suaranya yang bergetar.“Aku… terpaksa, Sayang. Ayah mengancamku. Dia bilang akan memisahkan aku dari Ibu… bahkan akan melukai Ibu kalau aku menolak perjodohan ini.” Ia menunduk, kedua tangannya saling menggenggam erat. “Kamu tahu kan… Ibu adalah segalanya buat aku. Aku sudah pernah cerita, keluargaku nggak harmonis karena Ayah yang temperamental. Dia nggak akan segan-segan menyakiti Ibu kalau sedang marah.”Aku terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang baru saja ia ucapkan. Suaranya, ekspresinya, cara kedua bahunya sedikit bergetar, semuanya terlihat begitu menyedihkan. Tapi entah kenapa, hatiku tetap terasa perih.“Lalu… kenapa Kakak?” tanyaku pelan, menahan getir yang hampir merayap ke suaraku. “Kenapa bukan orang lain? Kenapa harus kakakku sendiri?”Mas Daren menghela napas panjang, terdengar seperti seseorang yang sudah lama menahan beban.“Karena Ayah yang memil

  • Merebut Suami Kakakku   3. Berpindah Hati?

    Setelah Ayah keluar dari kamarku, aku langsung mengurung diri. Aku tidak keluar sama sekali, bahkan ketika Ayah datang lagi mengetuk pintu, memanggilku untuk makan malam. Aku menolak dan bilang kalau aku sudah kenyang.Di dalam kamar, aku hanya duduk melamun, menunggu pesan dari Mas Daren, menunggu penjelasan dari pria itu. Aku masih penasaran, masih tidak bisa menerima kenyataan kenapa Mas Daren tega melakukan ini padaku. Mengkhianatiku dengan melamar kakakku sendiri.Kalaupun benar Mas Daren sudah berpindah hati, setidaknya ia harusnya memutusan hubungan kami lebih dulu. Bukan seperti ini dan malah menyakitku.Pikiranku terus berputar, memutar ulang setiap momen kami. Kata-katanya, senyumnya, caranya menggenggam tanganku, semuanya terasa seperti kebohongan besar sekarang. Apa selama ini ia hanya berpura-pura? Atau ada sesuatu yang berubah tanpa aku sadari?Aku meraih ponselku lagi. Layar itu kosong, tak ada satu pun pesan darinya. Setiap detik yang berlalu membuat dadaku semakin ses

  • Merebut Suami Kakakku   2. Keegoisan Seorang Kakak

    Kudengar ketukan pelan dari luar pintu kamarku. Dengan cepat kuhapus air mata yang masih menempel di pipi, lalu menoleh ke arah pintu.“Siapa?” tanyaku, suaraku terdengar parau setelah terlalu lama menangis.“Ini, Kakak…”Begitu mendengar suaranya, aku segera bangun dari tempat tidur. Tatapanku datar mengarah ke pintu. “Kenapa ke sini?” tanyaku dingin.“Kakak boleh masuk? Kakak mau bicara sebentar,” ucapnya lembut.Sebenarnya, aku tak pernah memiliki masalah dengannya. Kakak tidak pernah memarahiku seperti Ibu. Dia tipe yang pendiam, kami hanya akan bertegur sapa jika kebetulan bertemu di luar.Di rumah pun, kami jarang berbicara. Sepulang kerja, kakak akan langsung masuk ke kamarnya, begitu juga aku. Kami biasanya hanya bertemu di meja makan, itupun dalam diam, tak ada yang berani memulai pembicaraan.Aku selalu takut Ibu marah jika melihatku bicara dengan kakak. Ibu melarangku untuk terlalu dekat dengannya. Itu sebabnya kami tidak pernah benar-benar akrab. Dan baru kali ini kakak da

  • Merebut Suami Kakakku   1. Kejutan yang Menyakitkan

    “Ada acara apa ya, Pak Agung? Kenapa di depan rumah banyak mobil?” tanyaku pada sopir pribadiku.Jam satu siang, aku baru pulang kuliah dan langsung melihat banyak mobil terparkir di depan rumah. Termasuk mobil milik kekasihku. Aku benar-benar tidak tahu ada acara apa di dalam, karena kedua orang tuaku maupun kakakku tidak memberi tahu apa pun.“Bapak juga nggak tahu, Neng… Tapi sebelum berangkat jemput, Bapak melihat Mas Daren datang bersama keluarganya.”Senyumku langsung merekah mendengar ucapan Pak Agung. Apa Daren datang untuk melamarku? Tapi kenapa cepat sekali? Bukannya dia bilang akan datang setelah aku lulus?Daren pernah bilang bahwa ia akan datang ke rumah bersama orang tuanya setelah aku lulus kuliah. Sementara sekarang aku masih dalam tahap menyusun skripsi, bahkan belum tahu kapan aku akan lulus. Jadi kenapa Daren tiba-tiba muncul tanpa memberi kabar apa pun?Apa ini sebuah kejutan darinya? Hatiku langsung meletup membayangkannya. Dengan cepat aku keluar dari mobil dan b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status