MasukSetelah Ayah keluar dari kamarku, aku langsung mengurung diri. Aku tidak keluar sama sekali, bahkan ketika Ayah datang lagi mengetuk pintu, memanggilku untuk makan malam. Aku menolak dan bilang kalau aku sudah kenyang.
Di dalam kamar, aku hanya duduk melamun, menunggu pesan dari Mas Daren, menunggu penjelasan dari pria itu. Aku masih penasaran, masih tidak bisa menerima kenyataan kenapa Mas Daren tega melakukan ini padaku. Mengkhianatiku dengan melamar kakakku sendiri.
Kalaupun benar Mas Daren sudah berpindah hati, setidaknya ia harusnya memutusan hubungan kami lebih dulu. Bukan seperti ini dan malah menyakitku.
Pikiranku terus berputar, memutar ulang setiap momen kami. Kata-katanya, senyumnya, caranya menggenggam tanganku, semuanya terasa seperti kebohongan besar sekarang. Apa selama ini ia hanya berpura-pura? Atau ada sesuatu yang berubah tanpa aku sadari?
Aku meraih ponselku lagi. Layar itu kosong, tak ada satu pun pesan darinya. Setiap detik yang berlalu membuat dadaku semakin sesak. Aku ingin marah, ingin membencinya, tapi yang muncul justru rasa kecewa yang menyakitkan.
Air mataku kembali jatuh, tak terbendung. “Aku kurang apa, Mas…? Kenapa harus Kakak?” bisikku lirih.
Aku menutup wajah dengan kedua tangan dan menangis sejadi-jadinya, meluapkan semua perasaan yang sejak tadi menekan dadaku. Saat isakanku mulai memecah keheningan kamar, tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku tersentak, dengan cepat aku menoleh dan melihat ada pesan dari Mas Daren.
[Mas Daren: Sayang… maaf aku baru bisa menghubungimu sekarang. Aku baru selesai bicara sama Ayah. Kamu pasti sedih ya setelah dengar kabar aku akan menikah dengan kakakmu. Aku bisa jelaskan semuanya, tapi bisakah kita bertemu mala mini di apartemenku? Aku akan menjelaskan semuanya di sana.]
Pesan itu berhenti sampai di sana, singkat, tanpa penjelasan tambahan. Aku menatap layarnya lama, hatiku diliputi keraguan. Menemuinya malam-malam begini, apalagi di apartemennya, bukan keputusan yang mudah. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ayah pasti tidak akan mengizinkanku keluar.
Tapi… rasa penasaranku jauh lebih besar daripada ketakutanku. Aku ingin tahu alasannya. Aku ingin tahu kebenaran di balik semua ini. Dan yang paling penting, aku ingin tahu apa yang sebenarnya ada di hati Mas Daren.
Apa ia akan tetap mempertahankan perjodohan itu? Atau… ia akan memilih aku?
Ya, aku akan memberinya pilihan malam ini. Jika ia masih mencintaiku, ia pasti akan memperjuangkan hubungan kami. Tapi jika tidak… maka semuanya akan berakhir setelah aku mendengar jawabannya.
ku buru-buru bangkit dari kasur, menepis sisa air mata di pipiku. Dengan tangan gemetar, aku berganti pakaian, meraih jaket, dan mengambil kunci motorku. Tanpa banyak pikir, aku membuka pintu kamar perlahan lalu keluar, berusaha menahan suara langkahku.
Aku berjalan mengendap di sepanjang lorong menuju lantai bawah. Hampir semua lampu sudah padam, hanya dapur dan ruang tengah yang masih menyala redup. Sepertinya semua orang sudah tidur, termasuk Ayah.
Kesempatan ini tidak boleh aku sia-siakan.
Aku menahan napas saat melewati ruang keluarga, memastikan tak ada suara yang mencurigakan. Lalu, dengan hati berdebar, aku membuka pintu dan keluar dari rumah sebelum siapa pun sempat menyadari.
Begitu sampai di garasi, aku mengambil motorku. Aku memang memilih motor agar lebih cepat dan terutama agar Ayah tidak mendengar kepergianku. Kalau aku menyalakan mobil, suaranya pasti akan membuat Ayah terbangun.
Aku mendorong motor itu pelan-pelan sampai ke luar pagar. Setelah benar-benar berada di luar halaman, barulah aku menyalakan mesinnya. Suaranya langsung menyatu dengan keheningan malam.
Tanpa menoleh lagi ke belakang, aku melaju meninggalkan rumah menuju apartemen Mas Daren. Aku sudah tahu alamatnya, aku sudah sering ke sana setiap akhir pekan.
Angin malam menerpa wajahku sepanjang perjalanan. Jalanan sudah lengang, hanya ada lampu-lampu kota yang berkelip di kejauhan. Meski aku memacu motor cukup cepat, rasanya waktu berjalan terlalu lambat. Setiap detik membuatku semakin gelisah, semakin takut dengan apa yang akan kutemui nanti.
Setibanya di gedung apartemen Mas Daren, aku memarkir motor di tempat biasa. Tempat itu sepi, hanya suara hembusan angin yang terdengar. Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diriku sebelum melangkah masuk.
Lift terbuka. Aku masuk, menekan lantai tempat Daren tinggal, dan berdiri diam sambil memeluk kedua tanganku sendiri. Jantungku berdetak kencang
Saat pintu lift terbuka, lorong itu terasa jauh lebih sunyi dari biasanya. Lampu-lampu putih di langit-langit terlihat pucat, membuat suasana semakin menegangkan. Aku melangkah perlahan menuju pintu apartemennya.
Sampai di depan pintu, aku berhenti. Mengambil napas dengan dalam. Tanganku terangkat, ragu sejenak… lalu mengetuk pelan.
Tok. Tok. Tok.
Tak butuh waktu lama pintu itu terbuka dari dalam. Dan Mas Daren muncul, mengenakan kaos gelap dan wajah lelah yang seperti baru saja melewati hari panjang.
Matanya langsung tertuju padaku dan aku bisa melihat sesuatu di sana. Entah rasa bersalah, entah keraguan, atau mungkin keduanya.
“Sayang…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan. “Mas senang kamu datang.”
Aku hanya diam, menunduk, mencoba menahan emosi yang hampir meluap lagi.
“Ayo masuk dulu,” katanya, membuka pintu lebih lebar.
Dengan langkah ragu, aku masuk ke apartemen yang begitu kukenal… namun sebelum aku sempat melangkah lebih jauh, tiba-tiba Mas Daren memelukku dari belakang. Pelukannya erat, seolah takut aku menghilang.
Beberapa detik kemudian, kudengar suara isakan kecil tertahan, bergetar, tepat di belakang telingaku.
“Mas…” panggilku lirih, berusaha menahan sesak di dadaku dan air mata yang hampir kembali jatuh.
Aku ingin sekali membalas pelukannya, ingin menangis di bahunya seperti biasanya. Tapi rasa kecewa itu masih terlalu besar. Aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa pria yang kupeluk sebagai kekasih… adalah orang yang hari ini resmi menjadi tunangan kakakku.
“Biarkan seperti ini dulu… aku merindukanmu,” bisiknya dengan suara parau.
Kami diam di sana selama beberapa menit, hingga kakiku mulai terasa pegal. Aku akhirnya memaksa melepas pelukannya.
“Mas… kakiku pegal, lepas dulu,” ucapku pelan sambil menarik diri. Setelah bebas, aku berbalik menatapnya.
Matanya tampak bengkak, entah karena lelah atau menangis dan tanganku hampir terulur untuk mengusapnya. Namun gerakan itu berhenti di tengah udara ketika pikiranku kembali pada perjodohan itu. Seketika aku mengalihkan pandangan dan berjalan meninggalkannya menuju ruang tamu.
Aku duduk di sofa, menunggu ia menyusul. Tak lama kemudian, ia datang dengan ekspresi memelas, lalu duduk di sampingku dan mencoba memelukku dengan manja.
“Mas, lepas!” seruku, memberontak dan melepaskan pelukannya.
Ia tampak kecewa, tapi aku berusaha mengabaikannya. Aku datang ke sini bukan untuk dimanjakan, tapi untuk mendapatkan jawaban.
“Sekarang jelaskan,” kataku menatapnya serius. “Apa maksud dari semuanya, Mas? Kenapa tiba-tiba orang tua kamu datang ke rumah dan melamar kakakku? Kenapa bukan aku?”
Tubuhku terdorong dan terhempas di atas kasur. Jantungku berdetak semakin kencang saat melihatnya ikut naik, merangkak perlahan mendekat. “M–mau ngapain, Mas?” tanyaku dengan suara bergetar, mataku penuh ketakutan.Aku bergeser mundur, berusaha menjauh sebisa mungkin sampai punggungku menabrak dinding. Nafasku tersengal. “Mas… cukup! Jangan mendekat!” pekikku tanpa sadar, rasa panik menyelimuti seluruh tubuhku.Mas Daren sama sekali tak menghiraukan teriakanku. Ia tetap mendekat dengan tatapan tajam yang terasa mengancam.“Akh—!” aku terpekik ketika pergelangan kakiku ditarik, membuat tubuhku terjatuh dan terlentang di atas kasur tanpa sempat menahan diri.Dalam hitungan detik, Mas Daren sudah berada tepat di atasku. Kedua tangannya bertumpu di sisi kepalaku, membuat tubuhnya membentuk bayangan besar yang menutup ruang gerakku.Mas Daren menunduk sedikit, napasnya jatuh di wajahku, terasa panas, membuat seluruh tubuhku menegang dengan kedua lengan yang masih mengurungku.“Mas… kamu bi
Awalnya ia hanya diam. Beberapa menit berlalu tanpa satu kata pun keluar dari mulutnya, hingga akhirnya aku mendengar suaranya yang bergetar.“Aku… terpaksa, Sayang. Ayah mengancamku. Dia bilang akan memisahkan aku dari Ibu… bahkan akan melukai Ibu kalau aku menolak perjodohan ini.” Ia menunduk, kedua tangannya saling menggenggam erat. “Kamu tahu kan… Ibu adalah segalanya buat aku. Aku sudah pernah cerita, keluargaku nggak harmonis karena Ayah yang temperamental. Dia nggak akan segan-segan menyakiti Ibu kalau sedang marah.”Aku terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang baru saja ia ucapkan. Suaranya, ekspresinya, cara kedua bahunya sedikit bergetar, semuanya terlihat begitu menyedihkan. Tapi entah kenapa, hatiku tetap terasa perih.“Lalu… kenapa Kakak?” tanyaku pelan, menahan getir yang hampir merayap ke suaraku. “Kenapa bukan orang lain? Kenapa harus kakakku sendiri?”Mas Daren menghela napas panjang, terdengar seperti seseorang yang sudah lama menahan beban.“Karena Ayah yang memil
Setelah Ayah keluar dari kamarku, aku langsung mengurung diri. Aku tidak keluar sama sekali, bahkan ketika Ayah datang lagi mengetuk pintu, memanggilku untuk makan malam. Aku menolak dan bilang kalau aku sudah kenyang.Di dalam kamar, aku hanya duduk melamun, menunggu pesan dari Mas Daren, menunggu penjelasan dari pria itu. Aku masih penasaran, masih tidak bisa menerima kenyataan kenapa Mas Daren tega melakukan ini padaku. Mengkhianatiku dengan melamar kakakku sendiri.Kalaupun benar Mas Daren sudah berpindah hati, setidaknya ia harusnya memutusan hubungan kami lebih dulu. Bukan seperti ini dan malah menyakitku.Pikiranku terus berputar, memutar ulang setiap momen kami. Kata-katanya, senyumnya, caranya menggenggam tanganku, semuanya terasa seperti kebohongan besar sekarang. Apa selama ini ia hanya berpura-pura? Atau ada sesuatu yang berubah tanpa aku sadari?Aku meraih ponselku lagi. Layar itu kosong, tak ada satu pun pesan darinya. Setiap detik yang berlalu membuat dadaku semakin ses
Kudengar ketukan pelan dari luar pintu kamarku. Dengan cepat kuhapus air mata yang masih menempel di pipi, lalu menoleh ke arah pintu.“Siapa?” tanyaku, suaraku terdengar parau setelah terlalu lama menangis.“Ini, Kakak…”Begitu mendengar suaranya, aku segera bangun dari tempat tidur. Tatapanku datar mengarah ke pintu. “Kenapa ke sini?” tanyaku dingin.“Kakak boleh masuk? Kakak mau bicara sebentar,” ucapnya lembut.Sebenarnya, aku tak pernah memiliki masalah dengannya. Kakak tidak pernah memarahiku seperti Ibu. Dia tipe yang pendiam, kami hanya akan bertegur sapa jika kebetulan bertemu di luar.Di rumah pun, kami jarang berbicara. Sepulang kerja, kakak akan langsung masuk ke kamarnya, begitu juga aku. Kami biasanya hanya bertemu di meja makan, itupun dalam diam, tak ada yang berani memulai pembicaraan.Aku selalu takut Ibu marah jika melihatku bicara dengan kakak. Ibu melarangku untuk terlalu dekat dengannya. Itu sebabnya kami tidak pernah benar-benar akrab. Dan baru kali ini kakak da
“Ada acara apa ya, Pak Agung? Kenapa di depan rumah banyak mobil?” tanyaku pada sopir pribadiku.Jam satu siang, aku baru pulang kuliah dan langsung melihat banyak mobil terparkir di depan rumah. Termasuk mobil milik kekasihku. Aku benar-benar tidak tahu ada acara apa di dalam, karena kedua orang tuaku maupun kakakku tidak memberi tahu apa pun.“Bapak juga nggak tahu, Neng… Tapi sebelum berangkat jemput, Bapak melihat Mas Daren datang bersama keluarganya.”Senyumku langsung merekah mendengar ucapan Pak Agung. Apa Daren datang untuk melamarku? Tapi kenapa cepat sekali? Bukannya dia bilang akan datang setelah aku lulus?Daren pernah bilang bahwa ia akan datang ke rumah bersama orang tuanya setelah aku lulus kuliah. Sementara sekarang aku masih dalam tahap menyusun skripsi, bahkan belum tahu kapan aku akan lulus. Jadi kenapa Daren tiba-tiba muncul tanpa memberi kabar apa pun?Apa ini sebuah kejutan darinya? Hatiku langsung meletup membayangkannya. Dengan cepat aku keluar dari mobil dan b







