MasukTubuhku terdorong dan terhempas di atas kasur. Jantungku berdetak semakin kencang saat melihatnya ikut naik, merangkak perlahan mendekat. “M–mau ngapain, Mas?” tanyaku dengan suara bergetar, mataku penuh ketakutan.
Aku bergeser mundur, berusaha menjauh sebisa mungkin sampai punggungku menabrak dinding. Nafasku tersengal. “Mas… cukup! Jangan mendekat!” pekikku tanpa sadar, rasa panik menyelimuti seluruh tubuhku. Mas Daren sama sekali tak menghiraukan teriakanku. Ia tetap mendekat dengan tatapan tajam yang terasa mengancam. “Akh—!” aku terpekik ketika pergelangan kakiku ditarik, membuat tubuhku terjatuh dan terlentang di atas kasur tanpa sempat menahan diri. Dalam hitungan detik, Mas Daren sudah berada tepat di atasku. Kedua tangannya bertumpu di sisi kepalaku, membuat tubuhnya membentuk bayangan besar yang menutup ruang gerakku. Mas Daren menunduk sedikit, napasnya jatuh di wajahku, terasa panas, membuat seluruh tubuhku menegang dengan kedua lengan yang masih mengurungku. “Mas… kamu bikin aku takut…” cicitku lirih, kedua tanganku berusaha mendorong dadanya agar ia menjauh dari atas tubuhku. Tapi Mas Daren tidak bergerak. Tubuhnya tetap kokoh, seakan tak tergoyahkan. Ketakutanku makin mencengkeram ketika ia menunduk perlahan, mendekat hingga wajahnya berhenti tepat di lekuk leherku. “Kenapa takut, sayang…?” suaranya merendah, nyaris seperti bisikan yang menyapu kulitku, membuatku menegang tanpa bisa menghindar. Napasnya yang hangat menyentuh kulitku, membuatku menahan diri agar tidak gemetar. “Mas… tolong,” bisikku, suaraku pecah di ujung kalimat. Mas Daren tetap tidak menghiraukan ucapanku. Gerakannya justru makin tak terkendali, semakin dekat dan menekan, seolah seluruh emosinya meledak sekaligus. Kurasakan bibirnya menyapu kulit leherku, memberikan kecupan-kecupan kecil di atas sana. Rasa panik yang mencekik naik ke tenggorokanku saat aku mendorong dadanya lebih kuat. “Lepaskan, Mas Daren!” pekikku, suaraku meninggi dan bergetar karena emosi yang tertahan. Entah dari mana datangnya kekuatan itu, aku berhasil membuatnya terhuyung dan jatuh ke belakang. Tanpa membuang waktu, aku melompat dari atas kasur dan hendak melarikan diri dari kamar itu. Saat tanganku meraih gagang pintu, suara tawa keras terdengar dari belakangku. “Silakan,” ujarnya dengan nada mengejek. “Coba saja kalau kamu memang bisa membukanya.” Tanganku langsung memutar gagang pintu, tetapi pintunya tak bergerak. Aku mencoba lagi, lebih keras, tanganku bahkan sampai gemetar tapi tetap saja pintu itu tidak bisa terbuka. Mas Daren telah menguncinya setelah kami masuk dan aku tak menyadarinya sama sekali. Suara langkah Mas Daren perlahan mendekat. Setiap hentakannya membuat darahku seolah berhenti mengalir. “Ada yang salah?” suaranya kini lebih rendah dan tenang, tapi justru membuat bulu kudukku meremang. “Kenapa nggak kebuka, hm?” Aku menelan ludah, panik mulai mencengkeram dadaku. “Mas… buka pintunya. Aku mau pergi.” Ia tak mengatakan apapun. Aku bisa merasakan kehadirannya di belakangku, begitu dekat hingga kehangatannya menyentuh punggungku. “Pergi ke mana?” tanyanya pelan, tapi nada suaranya tajam. “Kamu pikir aku bakal biarin kamu keluar dalam keadaan kayak gini?” Tanganku melemah di gagang pintu. Napasku tersengal saat ia berhenti tepat di belakangku, menciptakan jarak yang hampir tidak ada. “Balik sini, Alina.” Nada suaranya bukan permintaan, melainkan perintah yang ia tahan dengan sisa kesabaran. Aku masih memegang gagang pintu, tapi tanganku sudah bergetar hebat. Tubuhku membeku ketika kudengar napasnya tepat di belakangku, penuh tekanan yang membuatku sulit bernapas. “Alina.” Hanya namaku. Tapi caranya mengucapkan membuat seluruh tubuhku merinding. Aku menggeleng tanpa menoleh. “Aku mau pulang… Mas buka pintunya.” Sunyi beberapa detik. Lalu kudengar hembusan nafas panjang, seperti ia berusaha menahan sesuatu yang meletup dalam dirinya. “Tadi kamu bilang… putus.” Suaranya terdengar lebih berat. “Kamu kira aku bisa terima gitu aja?” Aku memejamkan mata kuat-kuat. “Mas tolong… jangan begini.” lirihku sambil berbalik menatapnya. “Kamu tahu alasannya, Mas! Kamu akan bertunangan dengan Kakakku! Kita harus mengakhirinya sekarang juga!” Aku menatapnya dengan mata penuh air mata yang mendidih. “Dan kau pikir aku menginginkan pertunangan itu?! Aku dipaksa! Tapi aku tidak peduli, kau milikku, dan itu tidak akan berubah!” Ia berteriak balik, wajahnya memerah, napasnya memburu. “Aku bukan barang milikmu!” Aku memberontak sekuat tenaga, memukul dadanya dengan kepalan tangan. “Kita sudah selesai! Jangan sentuh aku!” Ia mencengkeram daguku, memaksa mataku bertemu tatapannya yang penuh keputusasaan dan kemarahan. “Selesai? Setelah semua yang kita jalani? Kau pikir semudah itu pergi?” “Lebih mudah daripada melihatmu menikah dengan Kakakku!” air mataku tumpah, mengalir deras membasahi pipi. “Tolong, Mas. Biarkan aku pergi!” Mas Daren menggeleng keras. Ia menahan pergelangan tanganku, lalu kembali menarikku dan hempaskan tubuhku di atas kasur miliknya. Ia menindihku, berat tubuhnya membuatku tak berkutik. Tangannya mengunci kedua pergelangan tanganku di atas kepala. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi. Aku akan membuatmu lupa kenapa kau ingin putus.” Desisnya tajam, suaranya kini kembali merendah, tetapi terasa lebih mengancam. “Jangan, Mas! Kumohon! Jangan lakukan ini!” Aku meronta di bawah kunciannya, air mataku semakin deras. Aku berusaha memalingkan wajah, tapi ia menahan kepalaku dengan satu tangan. Kekuatannya tak tertandingi. Mas Daren menunduk, napasnya yang panas menyentuh kulitku, tepat di bawah telinga. Ia berbisik, “Aku tahu kau marah. Aku tahu ini salah. Tapi kau tidak bisa menipu dirimu sendiri, Sayang. Katakan padaku kau tidak menginginkanku.” Bisikan itu, ditambah kehangatan tubuhnya yang familier, tiba-tiba menghancurkan pertahananku. Perlawananku mulai melemah, tanganku yang terkunci di atas kepala berhenti menarik. Aku membuka mata, menatap matanya yang memohon. Aku tahu ini adalah sesuatu hal yang salah. Pria ini akan menikah dengan kakakku sendiri, tapi aku tidak bisa menahan perasaanku sendiri, mungkin hanya di momen seperti inilah aku bisa merasakan dirinya sepenuhnya. "Bodoh," bisikku getir, suaraku pecah karena emosi yang melanda, "Kau benar-benar bodoh, Mas Daren." Mas Daren menyadari perubahan dalam diriku. Pergelangan tanganku dilepaskannya perlahan. Kedua tanganku kini bebas, dan alih-alih mendorongnya, aku melingkarkan lenganku dengan erat di lehernya. "Aku membencimu karena membuatku menginginkanmu," kataku, sebelum menarik kepalanya ke bawah. Sentuhan itu datang, bukan lagi karena paksaan, melainkan karena hasrat yang meledak-ledak. Ciuman kami panas, putus asa, dan sarat akan semua rasa sakit, amarah, dan cinta terlarang yang kami rasakan. Napas kami menyatu. Tangan Mas Daren beralih, menyusuri punggungku perlahan, menghapus jarak terakhir yang tersisa di antara kami. Tubuh kami saling menempel erat, menari dalam ritme tergesa-gesa. Ia melepaskan ciuman sejenak, wajahnya menyentuh lekuk leherku. Bibirnya bergerak lembut, meninggalkan jejak panas yang merambatkan sensasi geli ke seluruh tubuh. Aku mendesah tertahan, melengkungkan punggungku, memberinya akses lebih dalam. Jemariku mencengkeram bahunya, menariknya lebih dekat, seolah ingin menyatu ke dalam kulitnya. Kehangatan yang kami ciptakan memabukkan, menenggelamkan semua alasan dan penolakan yang sempat ada. Tangan Mas Daren bergerak perlahan, menyelusuri lenganku dari bahu hingga siku, meninggalkan jejak panas yang membuat kulitku merinding. Ia menjauhkan diri sedikit, hanya untuk menatapku. Sorot matanya kini melembut. Dengan ibu jarinya, ia menghapus sisa air mata yang masih membasahi pipiku “Jangan menangis lagi,” bisiknya, suaranya kini kembali tenang Aku mengangguk pelan, tanpa mampu mengucapkan apapun. Seluruh perhatianku tersita pada gerak tubuhnya yang selanjutnya. Ia membungkuk, dan kali ini, bibirnya menjelajahi area yang baru. Sentuhan lembut, basah, dan perlahan di sepanjang tulang selangka, kemudian turun ke cekungan leher. Setiap sentuhan terasa seperti gelombang listrik yang mengalir deras, menghapus sisa-sisa amarah dan rasa bersalah. Tubuhku mulai rileks, merespons setiap kehangatan yang ia tawarkan. Jari-jariku yang semula mencengkeram bahunya kini melonggar, mulai menjelajahi punggungnya yang tegap, merasakan tekstur kemeja yang basah oleh keringat. Mas Daren menyadari kepasrahanku. Gerakannya menjadi lebih berani. Ia menanggalkan penghalang di antara kulit kami dengan gerakan cepat namun tetap penuh perhatian. Saat kulit kami bersentuhan tanpa sekat, napas kami tertahan. Sensasi kehangatan yang begitu kuat langsung menyeruak. Ia merangkum tubuhku, menenggelamkanku dalam pelukan erat, menyalurkan semua emosi yang tidak bisa diucapkan. “Kau tahu, aku hanya milikmu,” bisiknya di antara napasnya yang berat. "Aku tahu," jawabku pelan, memejamkan mata. Jemariku tanpa sadar menyusuri garis rahangnya yang tegas, membelai pelan sebelum menariknya lebih dekat. Aku tahu bahwa ini terakhir kalinya aku bisa menyentuhmu Mas. Anggap saja ini hadiah terakhir dariku, sebelum kamu jadi milik orang lain, bisikku dalam hati Ada rasa perih, sakit saat mengatkannya tapi aku tidak bisa melakukan apapun. Melawan ibu sama saja dengan menghapus diri dari keluarga. Aku masih menyayangi ayahku, tidak mungkin aku meninggalkannya Ciuman itu kembali hadir, namun kini lebih tenang, penuh pemujaan, seolah ia sedang meminta maaf sekaligus menegaskan kepemilikannya. Aku membalasnya dengan intensitas yang sama, membiarkan kehangatan tubuhnya menjadi jangkar bagiku. Mas Daren mencondongkan tubuhnya, menempatkan dirinya di antara kedua kakiku, membuat jantungku berdesir hebat. Kehangatan kami berpadu, menciptakan suhu yang terus membakar. Tangannya kini berpindah, menelusuri lekukan pinggangku dengan kelembutan yang menyesakkan, sebelum bergerak ke atas. Aku mendesah, merasakan getaran halus yang menjalar dari titik sentuhan itu ke seluruh tubuhku. Di bawah tatapan matanya yang gelap, aku membiarkan diriku sepenuhnya diselimuti oleh sentuhannya, tanpa ada perlawanan sedikit pun. Ketika kami menyatu sepenuhnya, aku memejamkan mata, memekik tertahan. Ada perpaduan rasa sakit dan lega yang tak bisa terlukiskan. Seluruh tubuhku menegang, sebelum akhirnya menyerah pada ritme yang ia ciptakan. Kami hanyut dalam gerakan. Kecepatan napasnya, desahan tertahan yang keluar dari bibirnya, dan kencangnya pelukan di pinggangku, semuanya menjadi penanda bahwa kami berdua berada di ambang batas. Puncaknya datang seperti gelombang besar, meninggalkan kami berdua terengah-engah, dengan dahi saling menempel, dan jantung yang berdetak dengan irama yang sama cepatnya. “Terima kasih, sayang… aku mencintaimu.” Kurasakan bibirnya menyentuh dahiku, hangat, lembut, namun justru membuat dadaku semakin sesak. Air mataku jatuh tanpa suara. Aku menangis dalam diam, sementara suaraku tercekat dan tak sanggup membalas apa pun.Tubuhku terdorong dan terhempas di atas kasur. Jantungku berdetak semakin kencang saat melihatnya ikut naik, merangkak perlahan mendekat. “M–mau ngapain, Mas?” tanyaku dengan suara bergetar, mataku penuh ketakutan.Aku bergeser mundur, berusaha menjauh sebisa mungkin sampai punggungku menabrak dinding. Nafasku tersengal. “Mas… cukup! Jangan mendekat!” pekikku tanpa sadar, rasa panik menyelimuti seluruh tubuhku.Mas Daren sama sekali tak menghiraukan teriakanku. Ia tetap mendekat dengan tatapan tajam yang terasa mengancam.“Akh—!” aku terpekik ketika pergelangan kakiku ditarik, membuat tubuhku terjatuh dan terlentang di atas kasur tanpa sempat menahan diri.Dalam hitungan detik, Mas Daren sudah berada tepat di atasku. Kedua tangannya bertumpu di sisi kepalaku, membuat tubuhnya membentuk bayangan besar yang menutup ruang gerakku.Mas Daren menunduk sedikit, napasnya jatuh di wajahku, terasa panas, membuat seluruh tubuhku menegang dengan kedua lengan yang masih mengurungku.“Mas… kamu bi
Awalnya ia hanya diam. Beberapa menit berlalu tanpa satu kata pun keluar dari mulutnya, hingga akhirnya aku mendengar suaranya yang bergetar.“Aku… terpaksa, Sayang. Ayah mengancamku. Dia bilang akan memisahkan aku dari Ibu… bahkan akan melukai Ibu kalau aku menolak perjodohan ini.” Ia menunduk, kedua tangannya saling menggenggam erat. “Kamu tahu kan… Ibu adalah segalanya buat aku. Aku sudah pernah cerita, keluargaku nggak harmonis karena Ayah yang temperamental. Dia nggak akan segan-segan menyakiti Ibu kalau sedang marah.”Aku terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang baru saja ia ucapkan. Suaranya, ekspresinya, cara kedua bahunya sedikit bergetar, semuanya terlihat begitu menyedihkan. Tapi entah kenapa, hatiku tetap terasa perih.“Lalu… kenapa Kakak?” tanyaku pelan, menahan getir yang hampir merayap ke suaraku. “Kenapa bukan orang lain? Kenapa harus kakakku sendiri?”Mas Daren menghela napas panjang, terdengar seperti seseorang yang sudah lama menahan beban.“Karena Ayah yang memil
Setelah Ayah keluar dari kamarku, aku langsung mengurung diri. Aku tidak keluar sama sekali, bahkan ketika Ayah datang lagi mengetuk pintu, memanggilku untuk makan malam. Aku menolak dan bilang kalau aku sudah kenyang.Di dalam kamar, aku hanya duduk melamun, menunggu pesan dari Mas Daren, menunggu penjelasan dari pria itu. Aku masih penasaran, masih tidak bisa menerima kenyataan kenapa Mas Daren tega melakukan ini padaku. Mengkhianatiku dengan melamar kakakku sendiri.Kalaupun benar Mas Daren sudah berpindah hati, setidaknya ia harusnya memutusan hubungan kami lebih dulu. Bukan seperti ini dan malah menyakitku.Pikiranku terus berputar, memutar ulang setiap momen kami. Kata-katanya, senyumnya, caranya menggenggam tanganku, semuanya terasa seperti kebohongan besar sekarang. Apa selama ini ia hanya berpura-pura? Atau ada sesuatu yang berubah tanpa aku sadari?Aku meraih ponselku lagi. Layar itu kosong, tak ada satu pun pesan darinya. Setiap detik yang berlalu membuat dadaku semakin ses
Kudengar ketukan pelan dari luar pintu kamarku. Dengan cepat kuhapus air mata yang masih menempel di pipi, lalu menoleh ke arah pintu.“Siapa?” tanyaku, suaraku terdengar parau setelah terlalu lama menangis.“Ini, Kakak…”Begitu mendengar suaranya, aku segera bangun dari tempat tidur. Tatapanku datar mengarah ke pintu. “Kenapa ke sini?” tanyaku dingin.“Kakak boleh masuk? Kakak mau bicara sebentar,” ucapnya lembut.Sebenarnya, aku tak pernah memiliki masalah dengannya. Kakak tidak pernah memarahiku seperti Ibu. Dia tipe yang pendiam, kami hanya akan bertegur sapa jika kebetulan bertemu di luar.Di rumah pun, kami jarang berbicara. Sepulang kerja, kakak akan langsung masuk ke kamarnya, begitu juga aku. Kami biasanya hanya bertemu di meja makan, itupun dalam diam, tak ada yang berani memulai pembicaraan.Aku selalu takut Ibu marah jika melihatku bicara dengan kakak. Ibu melarangku untuk terlalu dekat dengannya. Itu sebabnya kami tidak pernah benar-benar akrab. Dan baru kali ini kakak da
“Ada acara apa ya, Pak Agung? Kenapa di depan rumah banyak mobil?” tanyaku pada sopir pribadiku.Jam satu siang, aku baru pulang kuliah dan langsung melihat banyak mobil terparkir di depan rumah. Termasuk mobil milik kekasihku. Aku benar-benar tidak tahu ada acara apa di dalam, karena kedua orang tuaku maupun kakakku tidak memberi tahu apa pun.“Bapak juga nggak tahu, Neng… Tapi sebelum berangkat jemput, Bapak melihat Mas Daren datang bersama keluarganya.”Senyumku langsung merekah mendengar ucapan Pak Agung. Apa Daren datang untuk melamarku? Tapi kenapa cepat sekali? Bukannya dia bilang akan datang setelah aku lulus?Daren pernah bilang bahwa ia akan datang ke rumah bersama orang tuanya setelah aku lulus kuliah. Sementara sekarang aku masih dalam tahap menyusun skripsi, bahkan belum tahu kapan aku akan lulus. Jadi kenapa Daren tiba-tiba muncul tanpa memberi kabar apa pun?Apa ini sebuah kejutan darinya? Hatiku langsung meletup membayangkannya. Dengan cepat aku keluar dari mobil dan b







