Lisa tidak melihat siapa-siapa di dapur pagi ini. Meja makan kosong, Bik Sumi pun tidak terlihat di mana-mana. Apa Rama belum bangun? Atau sudah berangkat?Dengan kesal Lisa bergerak untuk membuka kulkas, lalu membeku. Kaleng bir maupun soda tiba-tiba hilang dari tempatnya. Kedua minuman yang selalu wajib berada di lemari pendingin itu sekarang entah menghilang ke mana.“Kemarin masih banyak.” Keningnya berkerut kasar. “Apa Mas Rama yang minum semuanya?”Tidak bisa. Lisa tidak bisa pergi bekerja dalam keadaan hati yang panas tanpa minum bir. Ia bisa meledak. Maka, perempuan yang hari ini memakai setelan jas berwarna biru muda yang pas di badan itu mengetukkan heels-nya menuju kamar Bik Sumi.Diketuknya pintu kamar Bik Sumi. Terdengar suara berisik dari dalam sebelum Bik Sumi membukakan pintu dengan wajah mengantuk.“Ohhh, baru bangun ternyata? Bagus ya?” Lisa berkacak pinggang.Bik Sumi menunduk takut-takut. “Ma-maaf, Buk. Bapak nyuruh saya istirahat dan gak usah kerja.”“Memangnya di
Rama tidak menyangka bahwa salah satu fantasinya lagi-lagi diwujudkan oleh Ayna. Siang ini, tepat saat dia baru saja ingin membuka pintu ruangannya untuk turun makan siang, pintu itu terketuk.Ayna berdiri di hadapannya ketika ia membuka pintu. Dengan rantang makanan yang terbungkus kain putih. Ayna mengangkatnya sedikit. “Makan siang?” Dengan senyum penuh perhatian.Hal yang tidak pernah dilakukan oleh Lisa, yang juga diam-diam dia harapkan akan dilakukan oleh sang istri. “Kamu nggak perlu melakukan ini.” Debaran yang aneh tiba-tiba menyerang dadanya. “Ini masakan rumah sederhana yang nggak ada dalam menu restoran kamu.”Rama membuka pintu lebar-lebar ketika diam-diam matanya tertuju pada penampilan Ayna yang sederhana. Sangat berbeda dengan dulu saat ia datang sebagai pelanggan VIP. Rok lipit sebatas lutut, kaos putih dan blazer panjang. Rambut cokelat bergelombang itu masih terurai, membingkai wajahnya yang dihiasi dengan riasan tipis namun manis.Apa Ayna aslinya memang seperti
Jambakan Lisa pada rambutnya terlalu kuat sampai Nayna tidak mampu menepis tangan wanita itu. Kepalanya disentakkan ke atas sampai membuatnya mendongak. “Dia penipu! Dia membohongi kamu!” “Lepaskan dia, Lisa.” Rahang Rama mengeras, jelas tidak suka dengan tindakan Lisa yang sangat kasar. “Kamu harus baca surat-surat itu dulu!” Lisa mengambil amplop cokelat yang dia lemparkan ke aspal. Rama menarik napas sembari menutup mata. Berusaha keras untuk menahan emosi yang menggulung naik ke dadanya “Aku bilang lepaskan Ayna.” “Nggak akan!” Rama membuka mata dan saat itu juga Lisa terdiam. Mata yang selalu berkilat hangat itu menegas dan menajam. “Lepaskan dia!” Nada suaranya meninggi, tapi tetap terkendali. Lisa tertegun. Perlahan cengkeramannya pada rambut Nayna mengendur sampai akhirnya Nayna yang melepaskannya sendiri. “Kamu membentak aku?” Lisa membeku tidak percaya. “Aku nggak pernah mendidik kamu untuk kasar seperti itu pada orang lain, Lisa. Kamu sudah keterlaluan.” “Tapi d
“Aku mau kamu mencari teman Nayna.”“Vina maksud kamu?”“Siapa pun teman yang istri sialan kamu itu punya. Cari dia.”Lisa menutup telepon secara kasar. Napasnya menggebu marah. Dia akan melakukan apa pun untuk menyingkirkan semua bukti yang ada.“Aku akan singkirkan bukti itu bersama kamu dan teman kamu itu.”***Di balik ketenangan Rama, ada kerisauan yang bisa Nayna temukan. Dari sikap tegasnya, Nayna bisa melihat luka yang tersirat dalam mata lelaki itu.“Mau kopi?”Nayna tahu dalam situasi tegang yang belum reda ini, tidak seharusnya dia menawarkan kopi.“Atau teh?”Nayna berjinjit di depan wajah Rama, memiringkan kepala seolah mencari-cari sesuatu pada wajah pria itu. Rama akhirnya menghela napas, jenuh sekaligus tegang.“Kopi.”Nayna memasang senyum dengan anggukan. “Kopi yan
Rama terdiam, seolah perkataan Nayna barusan langsung menancap di hatinya. Keheningan yang senyap itu berlangsung selama dua menit sebelum Rama mengangkat mata untuk menatap Nayna dengan kedua alis bertautan bingung.“Suami saya juga begitu. Karena saya punya teman seorang wanita penghibur, dia selalu curiga saya akan mengikuti jejak teman saya. Setiap kali saya keluar malam, dia pasti akan menuduh saya. Terakhir kali dia menuduh saya sudah menjajakan diri pada banyak laki-laki, padahal dirinyalah yang sudah menjadi simpanan perempuan kaya.”Embusan napas Rama berhenti. Ketegangan melanda tubuhnya. “Saya tidak menyamakan Lisa dengan suami saya, hanya saja kemarahan dan tuduhan Lisa terlalu mirip dengan suami saya.” Nayna tertawa ringan. “Tapi kamu bilang kalian sudah saling mengenal sejak dulu. Lisa cuma takut pria sebaik kamu diambil oleh perempuan lain. Itu wajar.” Rama tidak mengatakan apa-apa. Nayna tidak mampu menebak apa yang dipikirkan oleh lelaki itu. Pun dia tidak menemukan
“Kamu menuduh aku juga selingkuh?”Kening Rama berkerut. “Aku nggak pernah menuduh kamu.”“Lalu maksud perkataan kamu tadi apa? Aku juga selingkuh, iya, kan?”Rama tidak sebodoh itu untuk tidak curiga pada Lisa saat ini. Sebenarnya sejauh mana kepercayaan di antara mereka sudah terkikis? Serusak apa rasa percaya di hati mereka?“Bukan—““Aku nggak pernah selingkuh!” Mata itu melotot, seolah berusaha menyangkal kesalahan yang sudah dia perbuat.Bolehkah Rama mengartikannya seperti itu?Tapi tidak, Lisa bukan perempuan yang seperti itu. Lisa adalah wanita cerdas yang tidak akan pernah mengkhianatinya. Rama bisa menerima tuduhan itu, tidak mengapa asal bukan berita bahwa Lisa selingkuh darinya.Dia sama sekali tidak mampu membayangkannya.“Iya, aku percaya. Kamu bukan perempuan seperti itu. Cinta kita nggak serusak itu untuk saling mengkhianati. Jadi tolong percaya juga padaku, Lisa.”Rama meraih tangan Lisa, tapi dengan cepat Lisa menepisnya. “Jangan merayu aku, Mas. Aku tahu kamu cuma
Pagi berganti dengan pagi lagi. Hari ini dapur sepi. Tak ada lagi yang memasak nasi goreng udang dan juga tidak ada yang mengamuk karena marah. Lisa merasa lega untuk sesaat. Setidaknya pagi ini dia tidak perlu stress memikirkan masalah sepanjang hari di kantor. Ia bisa berangkat kerja dengan tenang. Nayna juga tidak terlihat sejak tadi.Mungkin takut Lisa akan memberinya pelajaran lagi. Rama juga tidak marah lagi padanya. Semalam lelaki itu masuk kamar dan menatapnya cemas. Rama pasti khawatir dengan dirinya.Lisa tersenyum tipis, memegang pegangan pintu garasi untuk mengambil mobil. Namun, tahu-tahu ruangan itu terkunci. Lisa berusaha mendorongnya, tapi tetap tidak bisa.“Bik!! BIBIK!!” Ia kembali ke dalam rumah sambil mendecak dengan kening berkerut. Lisa melangkah cepat dengan kekesalan yang kian memuncak ketika Bik Sumi tidak juga mendengar panggilannya.“BIIIIIKK! MANA SIH! PUNYA TELINGA GAK?!”Alih-alih Bibik yang datang, malah Rama yang muncul dengan penampilan kasualnya. “Ad
“Ibu mengalami gangguan kecemasan yang cukup tinggi, itu mempengaruhi tingkat kepekaan dan kegiatan Ibu sehari-hari. Pastikan istirahat yang cukup dan tolong Bapak dukung istrinya semaksimal mungkin ya.” Rama mengangguk ramah pada sang psikiater wanita berumur akhir 30-an itu. “Saya berikan resepnya, silakan ditebus ya.” Lisa tidak mengatakan apa-apa. Ekspresinya datar dan tubuhnya kaku. Setelah basa-basi pamitan singkat itu berakhir, Rama membawa Lisa keluar. Berusaha untuk memeluk pinggang wanita itu dan menyalurkan kekuatan.“Semua orang merasakan kecemasan, jangan khawatir ya.” Senyum dan nada suara yang seringkali dia tujukan kepada Lisa masih sama, hanya saja reaksi Lisa-lah yang berbeda. Ia tak acuh dan sepenuhnya diam.Lalu ia mendecak, seolah sejak tadi ia sudah menahan semua kata yang sudah mendesak di lidah. “Tapi nggak semua orang yang cemas bakal datang ke psikiater, mereka biasa aja. Nggak semua orang cemas karena ada perempuan lain di rumahnya dan bertingkah sepert