Justin tersentak dari lamunannya saat suara tuas pintu dibuka dari luar. Ia menoleh ke arah pintu di mana seorang dokter laki-laki dan dua orang perawat perempuan memasuki kamar ini. Ia pun melepas perlahan tangan sang istri dari genggamannya, karena dirinya tau jika saat ini adalah jadwal pemeriksaan rutin istrinya ini.
Justin menunggu dengan sabar sambil memperhatikan dokter yang sedang melakukan tindakan medis pada wanita yang masih betah terbaring di sana. "Gimana keadaannya, Dok?" tanya Justin setelah dokter tersebut selesai memeriksakan kondisi ibu kandung dari putranya itu. Dokter tersebut menghela nafasnya sejenak lalu tersenyum kepada Justin. "Untuk saat ini mungkin tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Segera setelah istri Anda sadar kita akan mengecek kesehatannya secara menyeluruh," cetus sang Dokter. "Tapi sebaiknya Bapak silahkan ikut saya untuk menjelaskan hasil dari diagnosa CT scan barusan," lanjut sang Dokter. "Baik, Dokter," sahutnya singkat tetapi di diliputi dengan rasa penasaran akan hasilnya. Justin pun mengikuti dokter tersebut masuk ke ruangannya dan mendengarkan penjelasan dari dokter bagian internist tersebut. Beberapa menit setelahnya ... Justin ke luar dari ruang dokter yang merawat istrinya dalam keadaan lesu, setelah ia mendengar sendiri penjelasan langsung dari dokter mengenai kondisi penyakit Midea saat ini. Meskipun hingga detik ini, dokter belum bisa memberi kepastian tentang penyebab kenapa istrinya bisa mengalami hal darurat seperti ini. Jika sebelumnya, istrinya itu divonis memiliki riwayat penyakit amnesia Retograde. Maka ia baru saja mendengar sebuah amnesia yang lain yaitu Amnesia Anterograde. "Amnesia Anterograde," desisnya lirih seraya berjalan lunglai dengan pikirannya yang kalut. Masih terngiang-ngiang di benaknya saat dokter menjelaskan tentang nama salah satu penyakit amnesia lainnya yang disebut Anterograde. Penyakit yang menyerang memori seseorang, dimana kondisi pasien yang kehilangan ingatannya pada hal yang baru, bisa bersifat permanen atau pun bersifat menetap. Darahnya berdesir seketika saat teringat akan Midea. Justin merasa takut atas apa yang akan terjadi setelah Midea sadar dari pingsannya. Justin terduduk lemas di sebuah bangku taman yang tak berada jauh dari ruang praktek dokter tersebut. Ia tak bisa membayangkan ketika harus menghadapi situasi seperti apa, saat di mana Midea kehilangan ingatannya akan kehidupannya. Apa lagi pada saat menjalani rumah tangga bersama dengannya dan juga anak-anak. Saat ia berjalan menuju ruang rawat inapnya Midea kembali, dari kejauhan ia melihat dua orang perawat setengah berlari memasuki ruang rawat inap istrinya. Seketika itu juga darahnya berdesir seiring dengan langkahnya yang buru-buru mendekati ruang rawat inap sang istri. Ya Allah, ada apa dan kenapa dengan Midea?" tanyanya di hati dengan langkahnya yang tergesa-gesa. Tapi belum juga ia mencapai kamarnya Dea, tiba-tiba ia di cegah oleh seorang perawat yang berada di resepsionis. "Sebentar dulu pak Justin, biar dokter yang menangani ibu," ucap perawat tersebut. "Mbak, memangnya ada kejadian apa?. Kenapa perawat pada rame-rame masuk ke kamar inapnya istri saya?" tanya Justin pada salah satu perawat yang berjaga di ruang resepsionis. "kita tunggu salah satu dari perawatnya keluar dulu ya pak, nanti dari mereka kita bisa tau mengenai kondisinya ibu, karena yang saya dengar tadi, dari ruang kamar pasien ada yang menekan bel darurat, makanya kita yang lagi bertugas buru-buru masuk ke sana sambil hubungi dokternya," ungkap perawat tersebut. Justin hanya bisa menunggu dengan sabar, hingga salah satu dari perawat keluar dari kamar rawatnya pasien yang bernama Jasmine. "Gimana keadaannya istri saya?" Tanya Justin penasaran. "Alhamdulillah, Ibu sudah sadar," jawab perawat tersebut singkat. "Oh, iya?" pekik Justin senang. Tanpa menunggu apa pun lagi, pria itu langsung bergegas menuju kamar rawat istrinya itu, meskipun dua perawat tadi sempat melarangnya, tetapi terlambat buat mereka, karena Justin sudah berada di depan kamar rawat istrinya dan bersiap-siap untuk masuk. "Mideaaa!" pekiknya senang seraya membuka pintu. Ia terkesiap saat mendapati sang istri sedang menatap dirinya dengan tatapan yang aneh. Sedangkan dua perawat tadi tersenyum kecil dan berkata, "Ibu sudah bangun, Pak. Kami sudah menghubungi dokter untuk segera ke sini.". Tak lama kemudian dokter yang ia temui tadi pun datang, dan langsung menangani Midea. Dokter tersebut menanyakan hal kecil pada istrinya, lalu ia mendengar permintaan sang istri jika dia ingin bertemu dengan dua orang yang memang ia kenal. "Baik, Bu Jasmine, kita akan menghubungi dua orang yang ibu minta sekarang," sahut dokter. Dokter itu pun menyudahi pemeriksaan pada wanita yang masih terlihat bingung itu. Dokter tersebut menyarankan pada Justin agar menghubungi dua nama yang disebutkan oleh istrinya tadi. Justin mengiyakan dengan anggukan kepalanya. Lalu ia menghubungi adik sepupunya, Satria dan juga istrinya Satria yang bernama Retha. Setelah kepergian para medis itu, Justin mendekati Midea yang masih berusaha bangun dari tidurnya. Dengan cekatan ia membantu istrinya yang ingin duduk seraya meletakkan bantal di belakang punggungnya sebagai penyangga. "Terima kasih," ucap Dea yang mengingat dirinya sebagai Jasmine itu pada Justin. Justin hanya tersenyum kecil sembari menatap wajah yang baru saja semalaman ia kecup dalam gairah percintaan mereka tadi malam. Sementara Jasmine merasa asing dan risih kala ada orang lain yang tak dikenalnya berada di dekatnya, bahkan duduk di pinggiran brankar yang ia tiduri saat ini. Jasmine memberanikan dirinya untuk bertanya dikarenakan pria ini masih berada di sini, sedangkan tim medis yang menanganinya telah keluar dari ruangan ini sedari tadi. "Maaf. Apakah masih ada pemeriksaan lagi terhadap saya?" tanya Jasmine yang berfikir pria yang ada di hadapannya ini adalah seorang tenaga medis. Justin terkesiap saat mendengar pertanyaan formal yang dilontarkan dari bibir istrinya. Ia langsung menatap Midea lalu menggeleng pelan. Ia sudah mengerti sekarang jika saat ini sang istri tak mengenal dirinya lagi, lantaran yang ada di hadapannya kini adalah seorang Jasminka Orchidea, bukan lagi seorang Midea Hasxander. Sebab, kalau Midea, pastilah pertanyaan yang dilontarkan untuk pertama kalinya, adalah tentang Dee, anak mereka. Tetapi ini, sungguh berbeda dari kebiasaannya Midea yang selalu teringat pada Dee, jika setiap kali wanita itu tersadar dari pingsan atau pun tidurnya. "Oh, kalau begitu tolong tinggalkan saya sendiri," titahnya dingin. "Ta-tapi ...." "Tolong tinggalkan saya sendiri. Anda bukan perawat yang bertugas menjaga saya, kan?. Karena Anda laki-laki, jadi tidak pantas berada satu ruangan yang bukan muhrimnya," ketus Jasmine yang seketika teringat kejadian semalam yang menyebabkan dirinya terpaksa berakhir di sini. "Midea, aku—" "Tolong keluar sekarang. Saya mohon," ketusnya dengan hati yang bergetar takut. Bayangan laki-laki yang telah menyeretnya ke sebuah kamar yang gelap, bahkan merenggut harta miliknya yang berharga seketika muncul di pelupuk matanya. Jantungnya kini kembali berdebar hebat. "De," panggil Justin mencoba menenangkan istrinya itu. "Tolong keluar sekarang juga!" ketusnya dengan intonasi yang mulai meninggi serta tatapannya yang nyalang. "Baik aku keluar," sahut Justin mengalah dalam kebingungannya mengenai sikap sang istri.Hal yang paling mengesankan dalam hidup adalah saat menjalani hidup bersama dengan orang yang di cinta. Mengobrol bersama, membicarakan tentang masa depan. Menciptakan suasana romantis. Hanya berdua saja.Namun itu tidak berlaku buat Justin. Pria itu sekarang lagi mengalami masa efek jera dari ngidamnya Jasmine. Di mana kondisi sedang fase "pergi sulit namun bertahan sakit"Yah, semenjak Jasmine mengalami fase mood swing nya seorang wanita hamil kembar. Wanita itu seperti dan memang mengalami kepribadian ganda. Layaknya dan memang pun Midea dan Jasmine ada di situ.Justin menjadi bulan-bulanan dari kemarahan dan juga kemanjaannya Jasmine. Oh, tidak. Wanita itu lebih banyak mode juteknya ketimbang manja. Apa lagi jika keinginan idam nya tidak di penuhi saat itu juga. Meskipun pun tawaran bantuan di sekitarnya Jasmine banyak.Namun tetap saja, Justin lah yang selalu menjadi sasarannya. Terlambat memenuhi saja bisa membuat wanita itu marah dan mengomel-ngomel sepanjang waktu. Apa lagi j
Justin turun ke lantai bawah, dan langsung menuju dapur. Mencari sesuatu yang bisa di makan oleh Bumil itu. Ia melihat ke atas meja makan, di mana sisa makanan kenduri telah di susun rapi di sana."Mm, lumayan juga ni, Masih ada sisa daging rendang kesukaan gue dan juga Jasmine," ucapnya senang.Ia pun segera mengambil piring dan nasi secukupnya. Namun ia teringat pada Jasmine yang berisi dua nyawa di perut istrinya itu."Makanan segini pastilah tak cukup untuknya, dia pasti butuh banyak makan," gumamnya seraya mengambil nasi dan lauk lebih banyak lagi.Ia teringat pada ucapan Satria saat sedikit mengeluh pada Retha yang selalu saja kekurangan jika menyangkut soal makan. Adik iparnya itu banyak makan saat mengandung si kembar. Bahkan hingga sekarang pun masih begitu, lantaran masih proses menyusui.Justin tersenyum, dan teringat Jasmine yang kini juga tengah mengandung bayi kembar mereka. Justin yakin, istrinya itu pasti akan mengalami proses yang sama seperti yang Retha alami.Jus
Denting jam dinding klasik yang terletak di sudut ruang tamu, terdengar tujuh kali hingga ke lantai atas. Jasmine membuka matanya perlahan bersamaan detak jam klasik yang terdengar di telinganya. Entah karena rasa kantuk dan lelah yang mendera tadinya, sehingga jam tersebut berbunyi beberapa kali. Tetap saja Jasmine terlelap dalam tidurnya. Larut dalam mimpinya yang acak.Wanita itu menetralisir matanya saat mendapati kamarnya yang gelap, dan hanya sedikit bias cahaya yang masuk dari kaca jendela yang belum di tutup dengan gorden.Jasmine terdiam sejenak, saat merasakan sesuatu yang hangat berhembus di tengkuk nya. Bukan itu saja, ia merasakan perut dan tubuhnya di dekap oleh sebuah tubuh yang kekar. Ia terdiam di tempat, demi merasakan kehangatan yang sudah lama ia rindukan sebenarnya.Entah, karena bathin nya atau bawaan si jabang bayi. Jasmine merasa nyaman saat ini. Suara dengkuran halus yang terdengar di telinganya menjadi nyanyian merdu tersendiri bagi wanita itu.Sayup terdenga
Justine mengernyitkan dahinya saat tamu undangan terus bermunculan datang. Ia menoleh ke Papanya dan bertanya lewat matanya, "mengapa semakin banyak saja tamu yang datang,".Sedangkan Arfan yang di tatap begitu oleh putranya hanya bisa mengangkat bahunya. Seolah memberitahukan," Entahlah Mamamu,"Justin memutar bola matanya, bahwa sebenarnya ia sudah lelah menerima dan menyambut tamu. Apalagi ia melihat Jasmine sudah kewalahan tersenyum dan bersalaman dengan orang-orang yang tidak dikenalnya.Justin segera mencari dan mendekati Mama nya yang ternyata sedang berbincang dengan para ibu-ibu entah dari perkumpulan mana, ia pun berbisik," Ma, kenapa mengundang banyak orang, sih. Kan, udah di bilangin jangan banyak-banyak ngundang orang,".Mona menoleh ke Justin dan menjawab," Gak. Mama ga undang banyak-banyak, kok, Tin. Cuma saudara dan ibu-ibu yang ada di sekitar komplek aja. Udahlah kamu tuh ga usah panik gitu, semua udah di handle sama ibu-ibu komplek," sahut Mona santai."Hah? Apa? Se
Kepulangan Jasmine dan Dean ke Medan. Di sambut baik Mona dan Arfan. Tanpa ingin mengungkit kejadian lalu. Mertua dan mantu itu memilih berdamai dan menjalani hidup seperti biasa. Apalagi begitu mereka tau jika Jasmine sedang hamil, dan kehamilannya pun tidak tanggung-tanggung. Jasmine mengandung bayi kembar.Euforia menyambut Jasmine membuat Justin gerah saat tau mamanya terlalu menggebu- gebu dalam menyiapkan acara kehamilan bagi Jasmine. Hal ini membuat Justin gerah."Aku bawa pulang Jasmine ke sini dengan susah payah, Ma. Kenapa Mama membuat Jasmine ga nyaman di rumahnya sendiri, dengan acara Mama yang bakalan menghebohkan satu dunia," Yah, Justin ingat betul kebiasaannya sang Mama jika membuat acara hajat. Yang katanya sederhana, tapi malah satu jagad heboh semua. "Loh, Mama kan buat acara ini memang udah tradisi keluarga kita dari dulu. Jika ada mantu yang lagi hamil. Memang selalu dibuat acara syukuran nya ,dong," ujar Mona santai."Iya, tapi tetap aja. Membuat Jasmine ga
Tiga hari Justin merawat Jasmine di rumah sakit. Tiga hari itu juga suasana yang tadinya beku perlahan mencair. Dikarenakan kedua- nya sama-sama merasa bersalah atas apa yang mereka lakukan dulunya. Meskipun perbuatan Jasmine tak separah Justin. Tapi di hati kecil wanita itu tetap saja, ia merasa khawatir akan efek dari yang ia lakukan pada pria itu ke depannya. Jasmine sebenarnya takut, jika pria itu tak bisa melewati masa kritisnya.Dikarenakan tak ingin mengungkit perihal itu lagi. Jasmine lebih memilih bertanya bagaimana Justin tau jika dirinya dan Dean berada di sini. "Apa Dara yang menelpon kamu?".Justin menggeleng pelan, " Ga, Dean sendiri yang menelpon aku, pake nomor ponsel kamu yang baru,"Jasmine membisu dan berfikir, " bagaimana bisa Dean menghubungi Justin. Sedangkan nomor kontak Justin saja tak ada di nomor ponselnya yang sekarang ini. Apakah Dean menghapal nomornya Justin?". Ia bertanya di hatinya."Dee dan Keyra sudah ku ajari untuk menghafal nomor ponselku. karena j