Mas Yandri pulang dengan wajah yang kusut. Aku menyuruhnya membersihkan diri, makan dan kemudian beristirahat. Sejujurnya, aku ingin menanyakan apa yang terjadi ketika tiba-tiba teringat pesan mama saat terakhir kali meneleponku.
"Kalau suami pulang kerja sebisa mungkin jangan banyak ditanya dulu. Bawain minum, sediakan makan, perhatikan kebutuhannya. Jika semua sudah teteh lakukan, lihat moodnya. Jika terlihat masih lelah, urungkan bertanya. Terkadang, bertanya di saat yang tidak tepat bisa memicu pertengkaran. Ini hal yang sepele, tapi berarti. Mama harap teteh bisa belajar untuk peka dan sadar situasi."Saat ini kami hanya berdua dirumah. Mertua dan kedua iparku sedang pergi mengunjungi tante mas Yandri yang sedang sakit."Mas mau ngopi ngga?" Aku bertanya pada mas Yandri yang sedang menonton televisi. Saat sedang mencuci piring bekas makan kami, aku mendengar gelak tawanya. Raut wajahnya pun tidak sekusut saat ia pulang kerja."Boleh deh neng, jangan kopi item tapi ya. Cappuccino kalo ada.""Cappuccino mah ngga ada mas, neng beli ke warung bentar atuh yah, sekalian mau beli cemilan."Tidak butuh waktu lama, kami berdua sudah menikmati kopi dalam gelas masing-masing."Mas cape ya?" Aku membuka pembicaraan.Mas Yandri tersenyum dan meletakkan gelas. Keadaan hening beberapa saat. Aku tidak berusaha mengejar atau menekannya untuk menjawab pertanyaanku. Mungkin jika sudah siap, dia akan bicara sendiri."Neng...," panggil mas Yandri."Iya mas, kenapa? Mas butuh apa biar neng ambilin."Mas Yandri mendekatkan diri dan tiba-tiba memeluk."Mas hari ini dipanggil ke ruang kepala cabang. Ada surat keputusan untuk mas."Aku melepaskan pelukan dan menatapnya, "Maksud mas gimana? Kalau cerita teh jangan sepotong-sepotong. Neng ngga ngerti.""Mas diperintahkan untuk pindah ke luar kota. Ditempat baru, mas akan mengepalai kantor cabang.""Alhamdulillah. Mas serius?! Bagus atuh mas, berarti kan mas naik pangkat." Aku merasa senang. Apakah kalian tau? Aku membayangkan saat aku pada akhirnya keluar dari rumah ini dan tinggal hanya berdua dengan mas Yandri. Ini sangat-sangat membuatku senang. Apakah ini jawaban dari doa-doa ku?Mas Yandri menghembuskan nafas kasar. Tunggu dulu. Apakah dia tidak senang? Apakah dia akan menolak? Mungkin dia berat jika harus meninggalkan ibu dan adik-adiknya. Entahlah, aku pusing menebak."Mas sih pengennya pindah neng. Otomatis kalo jabatan naik, penghasilan juga nambah. Selain itu kalau menolak, dianggapnya mengundurkan diri. Cuma gimana bilang ke ibu ya? Takutnya ibu ngga setuju.""Nanti neng coba bantu bicara ke ibu ya mas. Apapun nanti keputusan ibu atau apapun keputusan yang mas ambil, neng cuma bisa mendukung dan mendoakan."Dengan santai aku berusaha menenangkan mas Yandri. Sementara dalam hati, mulai muncul rasa takut jika ibu menolak.***"Ngapain jauh-jauh kerja sampai ke pulau seberang! Disini juga masih banyak kerjaan! Kalau kamu ngga bisa nolak, berhenti kerja sekalian!"Kami sedang bicara di meja makan tepat setelah makan. Kemarin malam ibu dan adik-adik iparku pulang. Mas Yandri memutuskan untuk tidak langsung membicarakan masalah pekerjaannya pada ibu. Dia membiarkan ibu beristirahat dulu setelah perjalanan jauh.Mas Yandri menunduk mendengar ucapan ibu."Ngga segampang itu bu nyari kerja. Untuk sampai di posisi Yandri sekarang juga entah butuh berapa tahun lagi jika harus memulai di tempat yang baru.""Pokoknya ibu ngga mengizinkan! Seumur hidup, ibu belum pernah jauh dari anak-anak ibu! Dan sekarang kamu mau pindah ke pulau seberang?! Dan hanya ada Rere yang ngga bisa diandalkan untuk mengurus kamu?! Ngga, ibu ngga setuju!" Beliau berkata keras dan bangkit berlalu menuju kamarnya.Rere? Tunggu, kenapa aku dibawa-bawa? Memangnya apa salahku? Selama ini aku mengurus pekerjaan dirumah ini dengan benar. Tapi mertuaku bilang aku tidak bisa diandalkan? Oke, saatnya ibu mertuaku yang kali ini ku beri paham.***Setelah sholat subuh ibu keluar kamar dengan muka ditekuk. Aku yang sedang menikmati kopi di meja makan menawarkan teh pada beliau. Tanpa berkata apa-apa ia mengangguk dan ikut duduk di depanku."Kamu bangun jam berapa Re? Jam segini rumah udah rapi aja, sarapan udah ada. Mau ada rencana pergi kamu?"'Kepo.' Aku menjawab dalam hati.Aku memang sengaja mencari kesempatan untuk bicara berdua dengan ibu. Satu-satunya waktu yang tepat adalah sehabis subuh saat mas Yandri dan kedua adiknya kembali tidur selepas sholat. Itu sebabnya, setelah sholat malam, aku langsung bergerak menyelesaikan pekerjaan rutinku, sehingga jam segini aku sudah bisa santai."Ngga ada rencana kemana-mana bu. Neng cuma ngga bisa tidur aja. Kepikiran mas Yandri." Aku menjawab seraya meletakkan cangkir teh dihadapan ibu."Neng lagi nyari peluang buat kerja atau bikin usaha kecil-kecilan buat bantu mas Yandri."Mata ibu mendelik saat sedang meneguk tehnya. "Maksud kamu apaan sih?"Aku berdehem sebelum menjawab."Jadi begini ibu mertua paduka ratu. Kan ibu ngga mau mas Yandri dipindah ke luar kota. Itu tandanya, mas Yandri harus mengundurkan diri dari kantornya. Nyari kerja kan ga gampang dijaman sekarang. Kalaupun ada, gajinya masih standar UMR. Ya neng harus bergerak cepat biar ngga keteteran."Ibu mertua hanya diam. Dalam hati aku memohon pada Tuhan Semesta Alam agar manusia didepanku ini diberi keterbukaan pikiran dan kelapangan hati."Emang kalau nolak disuruh ngundurin diri?" tanyanya."Ya iya bu. Mas Yandri bisa dianggap ngga berkompeten dalam pekerjaannya. Dianggap ngga loyal. Buat perusahaan mah kalo ada karyawan yang ngga bisa diharapkan ya mending di cut aja." Aku menjawab seraya memeragakan gerakan menyembelih dengan jempolku.Ibu mertua menatapku tidak percaya. "Masa sampai segitunya sih?" tanyanya kemudian."Ya iyalah bu, perusahaan mah ga mau ribet. Yang ga nurut dan ga bisa kasih kontribusi sih mending di berhentiin aja." Aku menjawab santai sambil menyesap kopi."Bu, neng boleh nanya ngga bu?" Aku bertanya setelah tercipta keheningan yang cukup menegangkan.Ibu mertua hanya menatapku."Ibu kenapa berat ngebiarin mas Yandri pindah?"Bukan jawaban yang kudapat melainkan hembusan nafas panjang."Kalau ibu takut mas Yandri ngga keurus, neng cuma bisa bilang ini ke ibu. Neng tau, neng masih kurang pengalaman dalam mengurus mas Yandri. Neng masih suka egois dan marah-marah. Neng belum bisa jadi istri yang baik. Tapi, ada satu yang ibu harus tau. Neng akan berusaha mengurus mas Yandri dengan baik. Neng akan menjaga mas Yandri sebisa neng. Neng ngga akan biarin mas Yandri susah. Dan neng akan berusaha sebisa mungkin untuk jadi istri yang baik walaupun jauh dari kata sempurna. Ibu bisa pegang kata-kata neng."Ibu mertua masih diam seribu bahasa, tapi ekspresi sendu sempat tertangkap oleh mataku."Seperti yang sudah kubilang. Pernikahan adalah proses pembelajaran seumur hidup. Akan selalu ada hal baru yang dipelajari setiap harinya." - Neng Rere***Aku melemparkan pandang ke sudut ruangan dimana terdapat koper dan dus-dus bertumpuk. Isinya sebagian besar adalah pakaianku dan Mas Yandri. Sebagian kecil lagi berupa alat-alat dapur yang merupakan kado pernikahanku dulu dan sama sekali belum pernah kugunakan. Kakiku menjejak bumi Lancang Kuning sesaat setelah lewat waktu Maghrib hari kemarin. Mas Yandri dan aku dijemput oleh seseorang yang memperkenalkan diri sebagai anak buah mas Yandri dikantor. Di kota ini kami diberikan fasilitas rumah dinas dan juga kendaraan. Setelah makan malam dan berkeliling melihat megahnya kota ini, kami diantar menuju rumah dinas. Rumah dinas ini disewakan full furnish yang artinya, sudah beserta barang-barangnya. Yes! Aku tidak perlu dipusingkan dengan sofa serta kawan-kawannya. Terletak di sebuah cluster yang aku pikir bergengsi membuatku jatuh c
Aku membersihkan taman sesaat setelah mas Yandri berangkat kerja. Mataku tidak sengaja melihat ke arah rumah depan. Beberapa ibu-ibu sudah duduk didepan pagar tepat disisi jalan dengan menggunakan bangku panjang yang entah mereka bawa dari mana. Tidak lama terdengar suara tukang sayur. Rupanya ibu-ibu tersebut sedang menunggu datangnya tukang sayur. Karena penasaran, aku keluar pagar menghampiri gerombolan ibu-ibu yang sudah mengelilingi dagangan tukang sayur. Teringat beberapa bumbu dapur yang tidak ada, aku berusaha mencari dan mengambil apa yang kubutuhkan. "Pak, bumbu dapurnya boleh beli sedikit-sedikit?" tanyaku. Bapak penjual mengiyakan peetanyaanku dengan ramah. Beliau membantuku mengambilkan apa yang kubutuhkan."Rere masak apa hari ini?" Seorang ibu dengan dandanan yang wow bertanya padaku. Aku ingat, ibu ini yang berbicara sinis padaku saat pertama kali memperkenalkan diri kemarin."Masih belum tau bu, kayanya bikin ayam goreng aja deh yang gampang." Aku menjawab dengan
Setelah seminggu tinggal di sini aku tau jika rumah bu Jejen hanya berselisih 3 rumah dari rumahku. Sedangkan rumah anggota gengnya yang lain, tepat berada di depan rumah beliau. Aku tipe orang yang jarang keluar rumah kecuali untuk hal yang penting seperti pergi menengok jika ada tetangga atau orang yang kukenal sakit, pergi ke warung, dan pada saat ada undangan untuk menghadiri suatu acara. Urusan sosialisasiku dengan tetangga sekitar juga seperlunya saja. Sesekali aku ikut duduk di warung setelah berbelanja untuk mengobrolkan hal-hal yang ringan.Sejak kejadian pengajian di rumahku, bu Jejen tidak pernah lagi menegurku walaupun kami bertemu di jalan. Aku tidak peduli, aku tetap menyapanya walaupun berkali-kali beliau mendiamkan aku. Aku mengerti, mungkin dia marah karena aku membalas ucapannya waktu itu. ***Pintu rumahku diketuk saat aku sedang fokus menonton. Ketukan pintu yang berulang-ulang tanpa jeda membuatku sedikit senewen."Bentar!" Aku terkejut melihat seraut wajah mil
Setelah makan malam, aku dan mas Yandri menghabiskan waktu berdua di depan televisi dengan gelas kopi ditangan masing-masing. Mas Yandri memberitahuku jika weekend minggu depan akan ada acara serah terima jabatan dari kepala cabang yang lama. Aku diminta hadir untuk menemaninya dalam acara tersebut.Selama beberapa saat, kami membahas hal yang random. Sampai akhirnya, aku menceritakan tentang kunjungan bu Jejen. "Mas percaya kok, Neng bisa dengan gampang menghadapi Bu Jejen," Mas Yandri tertawa saat aku selesai bercerita. "Neng jaga diri aja selama di rumah. Walaupun konon katanya tetangga adalah keluarga terdekat, tapi tetap hati-hati juga ya." Aku mengangguk mengiyakan. ***Ibu-ibu di tukang sayur menatap kedatanganku. Ada yang berbeda dari pandangan mereka. Beberapa yang berdiri agak jauh, melihatku seraya berbisik-bisik. Aku langsung tau, ini pasti ada hubungannya dengan kedatangan bu Jejen kemarin. Tanpa mempedulikan itu semua, aku tetap bersikap ramah pada mereka. Setelah
[Saya, Jejen Marisa meminta maaf atas kebohongan yang sudah saya ceritakan kemarin di grup ini. Kejadian sebenarnya bukan seperti apa yang saya ceritakan. Saya melebih-lebihkan cerita karena emosi kepada Ibu Rere. Untuk Ibu Rere, saya minta maaf sebesar-besarnya atas perbuatan saya.]Ponselku berkali-kali berdenting tanda banyak notifikasi yang masuk. Rupanya berasal dari WA Grup warga. Setelah diam beberapa saat, aku mengetik kalimat balasan. [Saya, Rere Demian memberikan maaf setulus hati sesuci kalbu kepada Bu Jejen. Saya pribadi juga minta maaf untuk kata yang tidak berkenan. Semoga ini bisa menjadi pelajaran untuk kita semua kedepannya.]WA grup warga kembali ramai. Beberapa dari mereka menanyakan kronologi yang sebenarnya padaku. Namun, karena sudah saling bermaaf-maafan, aku tidak menggubris pertanyaan mereka. ***Aku sedang memulas bibir dengan sentuhan akhir dari merk liptint favoritku saat mas Yandri masuk ke kamar. "Ayo Neng, siap?" Setelah beberapa saat, aku berdiri da
Pukul 10 lebih saat suara mobil mas Yandri terdengar. Aku segera membuka pintu dan melihatnya sedang membuka pagar."Neng kenapa belum tidur?" Mas Yandri menyapaku. "Gimana neng bisa tidur atuh mas, kalau mas baru pulang jam segini. Pulang malem ngga ngasi kabar." Aku berucap seraya tersenyum.Dari tadi aku mati-matian menahan emosi dan ingin segera mendapatkan penjelasan. Namun, suamiku itu baru pulang kerja. Jika aku nekat bertanya, yang ada kami akan bertengkar dan tujuanku untuk mengetahui hal yang sebenarnya bisa gagal. "Mas mandi dulu sana, Neng angetin makannya." Mas Yandri mengangguk dan berjalan menuju kamar kami. ***"Neng ngga enak badan? Kok kaya yang lesu?" Tanya mas Yandri kepadaku saat ia telah selesai makan. Aku hanya tersenyum dan menawarinya kopi seperti biasa. Memang, sudah terlalu malam untuk menikmati secangkir kopi, tapi karena besok mas Yandri libur, ia pun tidak menolak. "Mas, lihat ini," aku membuka suara saat kami sudah sama-sama menghabiskan setengah g
Ketenangan yang diberikan bu Jejen dan kawan-kawannya rupanya hanya sebentar saja. Dia kembali lagi menyindirku. Entah secara terang-terangan atau secara tersirat di WA grup. Aku yang sering membaca sindirannya tidak mau ambil pusing dan menghabiskan energiku untuk meladeni omongannya yang tidak berdasar. Peristiwa dimana ia melihat Mas Yandri dengan wanita lain digunakannya sebagai kartu untuk menyindirku. Berkali-kali ia membahas pentingnya seorang istri menjaga penampilan agar suami betah dirumah. ***"Walaupun saya di rumah aja, saya tetep gaya. Biar mata suami adem gitu kalo ngeliat saya." Bu jejen berkata keras dan melirikku yang sedang berjalan menghampiri tukang sayur. Kedua temannya yang juga melihatku menjawab perkataan Bu Jejen dengan suara yang tidak kalah kencang. "Harus itu Bu Jejen. Kalau dirumah cuma pakai kaos dan celana pendek aja, gimana suami mau betah. Di kantor tuh kan banyak perempuan-perempuan yang modis, yang bikin adem mata. Giliran pulang ke rumah bawa
"Dzikir pagi dan petang seperti baju besi, semakin bertambah ketebalannya, maka pemiliknya semakin tidak terkenai (oleh bahaya). Bahkan kekuatan baju besi itu bisa sampai memantulkan kembali anak panah sehingga berbalik mengenai pemanahnya sendiri." - Ibnu Qayyim rahimahullah ***"Mas, Neng beli ini nih, ada promo di Bajada."Aku menyerahkan sebuah tasbih digital mungil pada Mas Yandri."Pas pengajian kemarin, Neng dikasih buku kumpulan doa dan Dzikir pagi petang. Kalau Mas lagi senggang di kantor, bisa dong dibaca-baca. Banyak manfaatnya Mas."Mas Yandri menerima pemberian dariku dengan tersenyum."Nanti Neng kirimkan ya apa aja dzikirnya. Setiap hari beda-beda, Mas baca sebanyak-banyaknya."Sejak pindah ke sini dan mengikuti beberapa kegiatan pengajian dan kajian bersama Bu RT, aku belajar banyak hal. Orang tuaku mengajarkan pemahaman tentang agama padaku, tapi sebatas kemampuan mereka. Itulah kenapa, saat ada peluang untuk menambah ilmu, dengan senang hati aku menerima. Bahkan Mas