Share

Episode 6

Mas Yandri pulang dengan wajah yang kusut. Aku menyuruhnya membersihkan diri, makan dan kemudian beristirahat. Sejujurnya, aku ingin menanyakan apa yang terjadi ketika tiba-tiba teringat pesan mama saat terakhir kali meneleponku.

"Kalau suami pulang kerja sebisa mungkin jangan banyak ditanya dulu. Bawain minum, sediakan makan, perhatikan kebutuhannya. Jika semua sudah teteh lakukan, lihat moodnya. Jika terlihat masih lelah, urungkan bertanya. Terkadang, bertanya di saat yang tidak tepat bisa memicu pertengkaran. Ini hal yang sepele, tapi berarti. Mama harap teteh bisa belajar untuk peka dan sadar situasi."

Saat ini kami hanya berdua dirumah. Mertua dan kedua iparku sedang pergi mengunjungi tante mas Yandri yang sedang sakit.

"Mas mau ngopi ngga?" Aku bertanya pada mas Yandri yang sedang menonton televisi. Saat sedang mencuci piring bekas makan kami, aku mendengar gelak tawanya. Raut wajahnya pun tidak sekusut saat ia pulang kerja.

"Boleh deh neng, jangan kopi item tapi ya. Cappuccino kalo ada."

"Cappuccino mah ngga ada mas, neng beli ke warung bentar atuh yah, sekalian mau beli cemilan."

Tidak butuh waktu lama, kami berdua sudah menikmati kopi dalam gelas masing-masing.

"Mas cape ya?" Aku membuka pembicaraan.

Mas Yandri tersenyum dan meletakkan gelas. Keadaan hening beberapa saat. Aku tidak berusaha mengejar atau menekannya untuk menjawab pertanyaanku. Mungkin jika sudah siap, dia akan bicara sendiri.

"Neng...," panggil mas Yandri.

"Iya mas, kenapa? Mas butuh apa biar neng ambilin."

Mas Yandri mendekatkan diri dan tiba-tiba memeluk.

"Mas hari ini dipanggil ke ruang kepala cabang. Ada surat keputusan untuk mas."

Aku melepaskan pelukan dan menatapnya, "Maksud mas gimana? Kalau cerita teh jangan sepotong-sepotong. Neng ngga ngerti."

"Mas diperintahkan untuk pindah ke luar kota. Ditempat baru, mas akan mengepalai kantor cabang."

"Alhamdulillah. Mas serius?! Bagus atuh mas, berarti kan mas naik pangkat." Aku merasa senang. Apakah kalian tau? Aku membayangkan saat aku pada akhirnya keluar dari rumah ini dan tinggal hanya berdua dengan mas Yandri. Ini sangat-sangat membuatku senang. Apakah ini jawaban dari doa-doa ku?

Mas Yandri menghembuskan nafas kasar. Tunggu dulu. Apakah dia tidak senang? Apakah dia akan menolak? Mungkin dia berat jika harus meninggalkan ibu dan adik-adiknya. Entahlah, aku pusing menebak.

"Mas sih pengennya pindah neng. Otomatis kalo jabatan naik, penghasilan juga nambah. Selain itu kalau menolak, dianggapnya mengundurkan diri. Cuma gimana bilang ke ibu ya? Takutnya ibu ngga setuju."

"Nanti neng coba bantu bicara ke ibu ya mas. Apapun nanti keputusan ibu atau apapun keputusan yang mas ambil, neng cuma bisa mendukung dan mendoakan."

Dengan santai aku berusaha menenangkan mas Yandri. Sementara dalam hati, mulai muncul rasa takut jika ibu menolak.

***

"Ngapain jauh-jauh kerja sampai ke pulau seberang! Disini juga masih banyak kerjaan! Kalau kamu ngga bisa nolak, berhenti kerja sekalian!"

Kami sedang bicara di meja makan tepat setelah makan. Kemarin malam ibu dan adik-adik iparku pulang. Mas Yandri memutuskan untuk tidak langsung membicarakan masalah pekerjaannya pada ibu. Dia membiarkan ibu beristirahat dulu setelah perjalanan jauh.

Mas Yandri menunduk mendengar ucapan ibu.

"Ngga segampang itu bu nyari kerja. Untuk sampai di posisi Yandri sekarang juga entah butuh berapa tahun lagi jika harus memulai di tempat yang baru."

"Pokoknya ibu ngga mengizinkan! Seumur hidup, ibu belum pernah jauh dari anak-anak ibu! Dan sekarang kamu mau pindah ke pulau seberang?! Dan hanya ada Rere yang ngga bisa diandalkan untuk mengurus kamu?! Ngga, ibu ngga setuju!" Beliau berkata keras dan bangkit berlalu menuju kamarnya.

Rere? Tunggu, kenapa aku dibawa-bawa? Memangnya apa salahku? Selama ini aku mengurus pekerjaan dirumah ini dengan benar. Tapi mertuaku bilang aku tidak bisa diandalkan? Oke, saatnya ibu mertuaku yang kali ini ku beri paham.

***

Setelah sholat subuh ibu keluar kamar dengan muka ditekuk. Aku yang sedang menikmati kopi di meja makan menawarkan teh pada beliau. Tanpa berkata apa-apa ia mengangguk dan ikut duduk di depanku.

"Kamu bangun jam berapa Re? Jam segini rumah udah rapi aja, sarapan udah ada. Mau ada rencana pergi kamu?"

'Kepo.' Aku menjawab dalam hati.

Aku memang sengaja mencari kesempatan untuk bicara berdua dengan ibu. Satu-satunya waktu yang tepat adalah sehabis subuh saat mas Yandri dan kedua adiknya kembali tidur selepas sholat. Itu sebabnya, setelah sholat malam, aku langsung bergerak menyelesaikan pekerjaan rutinku, sehingga jam segini aku sudah bisa santai.

"Ngga ada rencana kemana-mana bu. Neng cuma ngga bisa tidur aja. Kepikiran mas Yandri." Aku menjawab seraya meletakkan cangkir teh dihadapan ibu.

"Neng lagi nyari peluang buat kerja atau bikin usaha kecil-kecilan buat bantu mas Yandri."

Mata ibu mendelik saat sedang meneguk tehnya. "Maksud kamu apaan sih?"

Aku berdehem sebelum menjawab.

"Jadi begini ibu mertua paduka ratu. Kan ibu ngga mau mas Yandri dipindah ke luar kota. Itu tandanya, mas Yandri harus mengundurkan diri dari kantornya. Nyari kerja kan ga gampang dijaman sekarang. Kalaupun ada, gajinya masih standar UMR. Ya neng harus bergerak cepat biar ngga keteteran."

Ibu mertua hanya diam. Dalam hati aku memohon pada Tuhan Semesta Alam agar manusia didepanku ini diberi keterbukaan pikiran dan kelapangan hati.

"Emang kalau nolak disuruh ngundurin diri?" tanyanya.

"Ya iya bu. Mas Yandri bisa dianggap ngga berkompeten dalam pekerjaannya. Dianggap ngga loyal. Buat perusahaan mah kalo ada karyawan yang ngga bisa diharapkan ya mending di cut aja." Aku menjawab seraya memeragakan gerakan menyembelih dengan jempolku.

Ibu mertua menatapku tidak percaya. "Masa sampai segitunya sih?" tanyanya kemudian.

"Ya iyalah bu, perusahaan mah ga mau ribet. Yang ga nurut dan ga bisa kasih kontribusi sih mending di berhentiin aja." Aku menjawab santai sambil menyesap kopi.

"Bu, neng boleh nanya ngga bu?" Aku bertanya setelah tercipta keheningan yang cukup menegangkan.

Ibu mertua hanya menatapku.

"Ibu kenapa berat ngebiarin mas Yandri pindah?"

Bukan jawaban yang kudapat melainkan hembusan nafas panjang.

"Kalau ibu takut mas Yandri ngga keurus, neng cuma bisa bilang ini ke ibu. Neng tau, neng masih kurang pengalaman dalam mengurus mas Yandri. Neng masih suka egois dan marah-marah. Neng belum bisa jadi istri yang baik. Tapi, ada satu yang ibu harus tau. Neng akan berusaha mengurus mas Yandri dengan baik. Neng akan menjaga mas Yandri sebisa neng. Neng ngga akan biarin mas Yandri susah. Dan neng akan berusaha sebisa mungkin untuk jadi istri yang baik walaupun jauh dari kata sempurna. Ibu bisa pegang kata-kata neng."

Ibu mertua masih diam seribu bahasa, tapi ekspresi sendu sempat tertangkap oleh mataku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status