Pulpen yang ada di tangan Liam terjatuh. Liam pun memandang wajah sahabatnya tanpa ekspresi, “Lo bilang apa barusan?” tanyanya. “Gue bermaksud mengambil Merry sebagai sekretaris gue,” ulang Ashton penuh keyakinan. “Kenapa Merry?” “Lho, kok malah kenapa. Sudah jelas, dong, jawabannya. Di antara semua direktur di perusahaan ini, hanya lo yang punya sekretaris dua. Jadi, untuk memangkas pengeluaran yang tidak perlu, ada baiknya Merry pindah jadi sekretaris gue.” “No!” Liam menjawab cepat. Rahangnya mengeras karena tegang. “Why?” Ashton bertanya terheran-heran. Karena Liam biasanya tidak pernah menolak ide darinya apalagi kalau berhubungan dengan sesuatu yang bisa mengirit biaya pengeluran perusahaan. “You can have anybody, but not her!” Ashton terkejut mendengar jawaban tersebut. Alisnya berkerut dalam. Untuk beberapa saat otak Ashton berputar memikirkan alasan yang masuk akal dengan sikap Liam saat ini. “You like her?” Tembak Ashton setelah beberapa saat. “No!” “Then why?” “Be
Susan sedang bingung, masalahnya dia memiliki janji untuk menjemput anaknya tapi malam nanti ada acara makan malam menemani Bosnya. Dia sedang berpikir keras harus memakai alasan apa agar anaknya tidak terlalu kecewa kalau dia membatalkan janji hari ini. Dilihatnya Merry baru keluar dari ruangan Direktur dengan kedua pipi berwarna merah. Merry terlihat tergesa-gesa kembali ke mejanya. Dia menarik napas dalam berkali-kali setelah duduk di kursinya.“Kamu kenapa?” tanya Susan terheran-heran.“Oh, eh … nggak kenapa-kenapa, kok, Bu!” Merry menjawab cepat. “Kamu demam? Muka kamu merah begitu?” tanya Susan kembali.Merry menggeleng cepat, “Aku nggak apa-apa, kok, Bu, mungkin agak ngantuk. Aku beli kopi dulu, ya, ke bawah.” Merry bangkit kembali dari kursinya dan beranjak menuju lift. Susan hanya memiringkan kepalanya, merasa bingung dengan sikap juniornya. Tapi tiba-tiba, firasat perempuan menghantam kesadarannya. Susan hanya menggelengkan kepalanya menyadari hal itu. Dan seketika ide ce
Suasana di dalam mobil terasa canggung. Liam duduk dalam diam sambil menatap tablet di tangannya. Sementara Merry duduk di sebelahnya tidak tahu harus mengatakan atau melakukan apa.Makan malam bisnis memang bukan pertama kalinya Merry ikuti, tapi biasanya dia hanya ikut sebagai asisten Susan. Merry hanya bertugas membawakan dokumen dan mencatat. Selebihnya Susan yang mengurus dan mengkoordinir. Biasanya pun Merry duduk di kursi depan di sebelah supir, dan Susan yang duduk di belakang bersama Liam. Duduk di sebelah bos ternyata bukan hal yang mudah, tekanannya begitu besar. Mungkin saat sudah terbiasa, tekanan itu akan semakin berkurang. Semoga saja. “Pak Liam, kita jalan terlalu cepat. Apakah kita akan menunggu langsung di lokasi?” tanya Merry memberanikan bertanya.“Acaranya dimajukan ke jam tujuh. Apa kamu belum memeriksa email kamu?” jawab Liam tanpa menoleh dari layar tablet.Merry terkejut mendengarnya. Dia pun langsung mengecek emailnya melalui ponsel. Ah, benar saja. Email pe
"Kamu kenapa?" Liam menegur Merry yang hanya berdiri mematung di depan pintu lobi. Merry terlihat terkejut, kemudian dia menolehkan kepalanya. "Oh, ng-nggak kenapa-kenapa kok, Pak, saya hanya tiba-tiba merasa gugup." "Gugup kenapa?" tanya Liam merasa sedikit terkejut karena dia mengira Merry masih merasa canggung dengan situasi di dalam mobil. Ternyata perempuan itu sudah melupakannya sama sekali. Entah kenapa dia merasa sedikit kesal karena Merry terlalu cepat teralihkan pikirannya. "Karena ini pertama kalinya saya mendampingi bapak makan malam bisnis seorang diri. Biasanya kan, saya hanya sebagai asisten Bu Susan." "You don't have to worry. I'm with you right now. Kamu hanya perlu mengikuti instruksi dariku. Okay?" Merry mengangguk menuruti. Setelah itu, dia mengekor di belakang Liam, siap dengan tablet di tangannya. Saat mereka baru melewati pintu lobi, Liam melirik dari sudut matanya keseluruhan penampilan Merry. "Seingat saya, kamu tidak memakai pakaian ini tadi siang," ucap
Liam sebenarnya tidak pernah berniat membongkar kalau dia tahu siapa Merry sejak awal. Dia bermaksud menyimpannya saja karena toh memang hanya cinta satu malam. Namun, sejak Ashton meminta Merry untuk menjadi sekretarisnya, Liam tidak bisa menahan dirinya lagi. "Kenapa diam saja? Lihat, kamu bahkan kehabisan kata-kata saat melihat saya 'kan?""Pak.""Liam.""Liam, sepertinya saat bayi, ibu atau bapakmu pernah menjatuhkanmu ya?""Apa hubungannya?"Merry menggelengkan kepalanya, "Bapak terlalu percaya diri.""Apakah percaya diri merupakan hal yang salah.""Nggak, sih, tapi ... apakah bapak selalu seperti itu di depan orang lain?""Liam.""Liam." Merry cepat mengoreksi saat Liam melirik dari sudut matanya."Apakah menurutmu aku tidak sesuai dengan apa yang aku ucapkan?" Merry menggelengkan kepalanya, "Masalahnya sih, memang sesuai," gumamnya.Mendengar jawaban Merry, senyum langsung merekah di wajah Liam. Melihat senyuman itu tentu saja membuat Merry menjadi terpana. Setelah hampir seb
Liam menghempaskan tubuhnya ke atas kasur begitu dia masuk ke dalam kamar. Saat ini dia merasa sangat gelisah. Darahnya bergejolak dan suhu tubuhnya meningkat. Oh ya Tuhan, dalam situasi begini kenapa hasratnya harus bergejolak? Setelah Merry keluar dari dalam mobilnya, Liam nyaris lepas kontrol dan menarik kembali perempuan itu ke dalam mobilnya. Kemudian dia akan mulai mencumbunya seperti malam itu. Untung saja Merry menutup pintu mobil di waktu yang tepat. Sebelumnya Liam merupakan tipe yang jarang melampiaskan hasratnya. Dia selalu menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan. Namun sejak malam itu, Merry berhasil menyulut sumbu yang selama ini terbengkalai. Dan sumbu tersebut sedang menyala, entah kapan akan meledakkan bom yang akan meruntuhkan dinding pertahanan diri pria itu. Liam memutuskan untuk mandi air dingin. Dia harus bisa menurunkan hasratnya. Cukup lama dia berada di bawah pancuran. Menarik napas dalam berkali-kali, berusaha menghilangkan bayangan wajah perempuan itu. Set
Merry keluar dari dalam kamar mandi setengah jam kemudian dengan rambut dan wajah yang basah. Handuk tersampir di lehernya, dia sudah berganti dengan pakaian tidurnya, kaos dan celana pendek. Saat melewati ruang TV, dilihatnya Benny sudah terlelap dengan televisi yang masih menyala. Merry berdecak, namun dia tidak marah ataupun kesal. Dia hanya maklum akan kelakuan adiknya. Merry merapikan selimut yang menutupi tubuh Benny. Kemudian dia mematikan televisi dan lampu ruangan, berganti dengan lampu kecil lima watt di meja nakas. Saat Merry melihat jam, waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Setelah memakai dengan asal krim malam, dia lekas naik ke atas kasur dan bersiap untuk tidur. Selama beberapa saat dia membolak-balikkan tubuhnya di atas kasur, sesekali menyentuh perutnya yang rata. Dia sudah tidak sabar untuk melakukan tes, tapi dia tahu kalau hasil tes akan menunjukkan negatif karena memang belum waktunya. Beberapa hari lagi. Dia harus menunggu beberapa hari lagi sampai bisa
Merry mengurung dirinya di dalam salah satu bilik kamar mandi. Dia ingin menangis dengan kencang, namun menyadari bisa saja ada orang lain yang masuk ke dalam kamar mandi, Merry berusaha menahan dirinya dan hanya menangis pelan. Sekitar lima belas menit kemudian, saat Merry merasa sudah lebih lega, dia keluar dari bilik. Dilihatnya matanya bengkak dan hidungnya merah. Dia tidak bisa keluar begitu saja. Orang-orang pasti bisa melihat kalau dia habis menangis. Merry mencuci wajahnya dan itu membuat riasannya luntur. Merry pun harus menata ulang riasannya. Dia juga menggerai saja rambutnya dari yang tadinya dikuncir kuda. Lebih bagus lagi kalau dia memakai kaca mata sehingga mata bengkaknya bisa lebih disembunyikan. Namun sayangnya dia tidak membawa kaca mata. Merry akhirnya keluar dari kamar mandi setelah merasa penampilannya sudah terlihat normal dan baik-baik saja. Begitu sampai di mejanya, dilihatnya Susan sudah tidak ada di mejanya. Sepertinya sedang di dalam ruangan Liam. Merry m