"Tugas dari Liam? Tugas apa?" tanya Ashton merasa tertarik mendengarnya.
Sebenarnya, jabatan junior sekretaris yang saat ini dipegang oleh Merry tidak selamanya kosong. Sebelumnya, pernah ada beberapa sekretaris junior lainnya, hanya saja selama ini Liam tidak pernah memberikan tugas secara langsung pada sekretaris juniornya, dia pasti hanya akan berbicara pada Susan.
"Gue harus membelikan makan siang untuk Pak Liam," jawab Merry apa adanya.
Untuk beberapa saat, Ashton tidak menjawab ucapan Merry. Dia masih menunggu Merry selesai berbicara. Namun, setelah Merry terdiam cukup lama, Ashton baru menyadari kalau perempuan itu sudah selesai berbicara.
"Makan siang? Oke, dia mau makan siang apa?" ucap Ashton kembali.
Merry menggelengkan kepalanya putus asa, "Itu masalahnya. Pak Liam nggak memberi tahu sedang selera makan apa. Bu Susan juga nggak mengatakan apa-apa, hanya memberikan petunjuk yang sangat sedikit. Pak Liam nggak suka ikan dan makanan manis, di mana jenis menu seperti itu kan, ada ratusan. Harusnya Bu Susan menambah sedikit petunjuk lagi. Misal, Pak Liam hanya mau makanan Jepang, atau western, atau menu lokal. Kan gue jadi gampang memutuskannya." Merry mencurahkan kesulitannya merasa seperti sedang bercerita pada kawan lama. Padahal sebelumnya dia sangat pemalu kalau sudah berhadapan dengan Ashton.
"Ya, lo benar. Petunjuk itu terlalu sedikit. Tapi lo bisa menarik napas lega sekarang, karena bantuan sudah datang," jawab Ashton menampilkan senyumannya yang sangat menawan.
"Kakak tahu makanan kesukaan Pak Liam?" tanya Merry langsung berwajah cerah. Di luar dugaan, pesona Ashton kali ini tidak membuatnya tersipu.
Ashton mengangguk, "Ya, kami bersahabat sejak kecil. Jadi tentu saja gue udah sangat mengetahui selera makanan Liam. Ayo, ikutin gue!" ajak Ashton memberikan isyarat agar Merry mengikuti dirinya.
Merry mengangguk dengan riang, dia pun mengikuti ke mana Ashton melangkah. Rupanya pria itu mengajaknya masuk ke restoran makanan Italia.
"Menu apapun yang lo pilih untuk Liam di restoran ini, sudah bisa dipastikan kalau dia pasti akan menyukainya."
Merry mengangguk dengan bahagia, "Makasih, Kak."
Setelah itu, dia bergegas menuju meja kasir untuk memesan menu pesan antar. Ashton pun menunggu dengan sabar di sebelahnya.
"Ng, saya pesan lasagna dan spageti saja, mbak. Take away ya," ucap Merry mengingat pesan Susan untuk membeli dua menu.
Petugas kasir pun mengangguk dan menghitung total belanja. Merry membayarnya dengan kartu hitam yang diberikan oleh Susan. Ashton yang melihat hal itu terheran-heran, karena Merry hanya memesan untuk Liam.
"Lo nggak pesan makanan sekalian?" tanya pria bertubuh tinggi 184 cm ini saat mereka sudah duduk di kursi selama menunggu pesanan siap.
Merry menggeleng, "Mana mungkin gue sekalian pesan, Kak. Makanan Pak Liam kan, belinya pakai kartu kantor."
"Ah ya, benar." Ashton mengangguk. "Kalau begitu, apa lo mau makan siang bareng gue?" ajaknya.
"Ng, lihat nanti ya, Kak, kalau masih ada waktu buat makan siang, kita bisa makan siang bareng. Kalau nggak, gue mungkin bakalan beli roti isi di minimarket aja."
"Apa makan itu aja udah cukup?"
Merry mengangguk. Tiba-tiba dia menyadari sesuatu, "Ya ampun, Kakak jadi nggak bisa makan siang ya, karena nemenin gue sekarang." Merry merasa tak enak hati menyadari dia sudah menyulitkan orang lain.
"Tenang aja. Sekarang masih banyak waktu. Tadinya gue mau ngajak lo makan siang di restoran ini. Lagipula makanan Liam belum jadi. Gimana?"
Merry terdiam saat mendengar ajakan Ashton. Untuk beberapa saat mereka berdua hanya saling tatap. Tapi kemudian, dia mulai memahaminya.
"Kita makan siang sekarang? Di sini?" tanya Merry untuk meyakinkan.
Ashton mengangguk, "Ya, gimana?"
"Tapi ...."
"Kalau sudah sibuk bekerja, Liam nggak akan menyadari kalau makan siangnya belum tiba."
Merry tentu saja merasa tergoda dengan ajakan itu. Dia menggigit bibir bawahnya, berpikir dengan sangat serius. Bisa makan siang berdua saja dengan Ashton tentu saja merupakan impiannya. Saat kuliah, mereka memang pernah makan siang bersama, tapi tentu saja bersama pacar-pacar Ashton saat kuliah dulu.
Memang terdengar sepele, hanya membelikan makan siang. Tapi, itu merupakan tugas pertamanya di kantor ini. Lagipula, dia belum memahami seperti apa bosnya yang sekarang. Tapi, melihat dari sikapnya saat di ruang rapat, dia tidak boleh menganggap enteng tugas ini.
Dengan terpaksa Merry menggelengkan kepalanya. "Maaf, Kak, bisa ditunda dulu makan siangnya? Rain check?" ucapnya dengan alis yang berkerut sedih.
Ashton tersenyum tipis, tentu saja dia bisa memahaminya. Dia pun mengangguk, "Tentu saja. Lagipula ini masih hari pertama lo bekerja. Kita masih bisa makan siang bersama di hari lainnya."
"Ibu Merry, ini pesanannya," teriak pelayan yang bertugas menyiapkan khusus menu pesan antar.
Merry langsung bangkit dan berjalan menuju konter. Kemudian dia dan Ashton kembali berjalan menuju lift. Tidak perlu waktu lama, lift sudah tiba, Merry pun masuk ke dalamnya. Namun rupanya Ashton tidak mengikutinya masuk ke dalam lift.
"Lho, Kakak nggak ikut naik?"
"Gue mau makan siang dulu di sini," jawab Ashton sambil senyum-senyum mendengar pertanyaan Merry.
Merry menutup mulutnya, "Ya ampun, maaf, Kak, gue benar-benar nggak peka. Lain kali ya, Kak! Gue janji!" ucap Merry.
Ashton tertawa mendengarnya, "Sure, no problem."
Pintu lift pun tertutup kembali. Merry berdiri di sana bersama beberapa orang karyawan lain yang belum dikenal olehnya karena berbeda divisi. Tidak butuh waktu lama, lift sudah tiba di lantai ruangan direktur.
Merry turun dari dalam lift dengan dada berdebar-debar. Dia berharap makan siang yang disiapkan untuk bosnya tidak akan mengecewakan. Ah, tapi, makanan ini atas rekomendasi Ashton, dan dia mempercayai pria itu.
Merry mengetuk pintu ruangan sebelum masuk ke dalamnya.
"Masuk." Terdengar jawaban dari Liam.
Setelah menarik napas dalam, Merry mendorong pintu kayu tersebut. Dia bisa melihat Liam yang masih berada di balik meja kerjanya, dengan kepala tertunduk dan sibuk memeriksa dokumen perjanjian.
"Permisi, Pak Liam, saya membawakan makan siang untuk bapak," ucap Merry.
Kali ini, kepala Liam terangkat. Mereka berdua pun saling pandang. Merry menahan napasnya, untuk sesaat dia terkejut dengan tatapan tajam pria itu. Kelihatannya suasana hati Pak Liam sedang buruk.
Apakah dia terlalu lama membeli makan siangnya?
Merry mengecek jam tangannya, tapi dia hanya pergi selama setengah jam. Apakah setengah jam terlalu lama untuk membeli makan siang?
"Simpan saja di atas meja," ucap Liam setelah beberapa saat mereka berdua hanya saling tatap dalam diam. Setelah itu, dia menundukkan kepalanya kembali.
Merry sedikit bingung dengan sikap yang baru ditunjukkan oleh bosnya ini. Liam jelas-jelas terlihat seperti sedang merasa kesal atau terganggu dengan sebuah masalah. Tapi, kenapa rasa kesalnya itu harus ditujukan pada Merry? Merry benar-benar tidak habis pikir.
Namun, Merry memutuskan untuk tidak mempermasalahkannya. Dia berjalan menuju meja yang ada di tengah ruangan dan meletakkan kotak makan siang itu di atasnya.
"Baiklah, kalau begitu saya akan permisi dulu, Pak Liam," pamit Merry.
"Ya, silakan," jawab Liam dingin.
Kali ini Merry merasa sedikit kesal dengan sikap bosnya. Sikap Liam sama sekali tidak menunjukkan kalau pekerjaan yang dilakukan oleh Merry merupakan pekerjaan penting. Pria itu hanya seperti sedang iseng saat memberikannya pekerjaan tersebut.
Setelah menutup pintu ruangan, Merry berdecak kesal. Dia sedikit menghentakkan langkah kakinya saat menuju meja kerjanya kembali. Dilihatnya meja kerjanya masih kosong, Bu Susan belum kembali dari makan siang.
Perut Merry bergemuruh nyaring saat memikirkan makan siang. Ah, dia sendiri sampai lupa untuk membeli roti isi atau nasi kepal di mini market. Mumpung jam istirahatnya belum selesai, sebaiknya dia lekas turun kembali ke lantai bawah.
Merry hendak melangkah kembali menuju lift saat telepon di mejanya berdering. Walau merasa kesal, Merry terpaksa mengangkatnya.
"Ya, Pak Liam?" jawabnya. Tentu saja dia bisa langsung mengetahui kalau panggilan itu berasal dari ruangan kerja direktur.
"Masuk kembali ke ruanganku!"[]
Halo, teman-teman. Sebelumnya saya mohon maaf karena absen lama banget untuk meneruskan novel ini, disebabkan beberapa kesibukan dan masalah kesehatan. Insyaallah saya akan mulai rutin meneruskan novel ini. Jadi, saya harap teman-teman terus mengikuti kisah Marianne aka Merry ya. Enjoy!
Seringkali apa yang kita rencanakan tidak berjalan seperti seharusnya. Seringkali kita kecewa dengan hasil yang kita dapatkan. Padahal mungkin, Tuhan bukannya tidak mengabulkan harapan kita. Melainkan Tuhan tahu apa yang kita butuhkan. Seumur hidupnya, Merry tidak pernah menginginkan hal yang terlalu muluk. Dia tidak menginginkan pacaran dengan anak orang kaya, kemudian mereka menikah dan tinggal di sebuah rumah yang mirip dengan istana. Hidup nyaman dengan bergelimang harta memang sangat menggiurkan, namun bukan hal yang mutlak untuk dimiliki. Melihat pernikahan kedua orang tuanya, Merry selalu berharap kalau dia akan bertemu dengan seorang pria yang baik, bertanggung jawab dan menghargai semua pendapatnya. Namun yang paling penting, pria itu akan terus bersamanya sampai dengan masa tua mereka. Sehingga dia tidak akan merasa kesepian seperti ibunya. Almarhum ayahnya merupakan pria yang baik, malah teramat baik. Namun sepertinya memang benar pepatah yang mengatakan orang baik umurny
Para orang tua selalu mengatakan, perjalanan menjadi dewasa melalui sebuah rangkaian proses yang panjang. Manusia melakukan kesalahan, tapi kemudian mereka akan memperbaikinya. Itulah yang membuat seseorang berkembang dan menjadi lebih dewasa dan bijaksana. Terdengar mudah, namun pada saat menjalaninya, Merry tidak tahu kalau kesalahan yang akan dilakukannya akan begitu menguras seluruh emosi dan fisiknya. Kalau saja mesin waktu ada, Merry akan memilih untuk kembali di saat dia kehilangan peran utama pertama kali yang berhasil didapatnya. Dia akan mengatakan pada versi dirinya yang lebih muda agar menerima keputusan saat peran tersebut dicabut darinya. Bukan berarti dia akan membiarkan versi dirinya yang lebih muda menjadi kurang ambisius, dia hanya akan melarang dirinya yang dulu agar tidak memasuki pintu ruangan tersebut. "Mer, kita sudah boleh pulang," tegur Cathy saat dia melihat Merry yang hanya duduk terdiam di atas ranjang IGD. “Benny,” begitu tersadar Merry lekas meraih ta
Acara pensi berlangsung dengan sukses. Acara sekolah mereka diliput oleh salah satu kanal televisi nasional. Merry, Cathy dan Dawn berjoget bersama di depan panggung untuk merayakan keberhasilan acara, sementara band tamu sedang tampil di atas panggung. Beberapa panitia yang lain pun ikut terjun merayakan. “Acara kita berhasil, Mer!” pekik Cathy memeluk Merry dengan erat. Tentu saja dia satu tim dengan Merry dan mereka berhasil mendapatkan banyak sponsor. “Dawn, bilang makasih sama bokap lo ya, karena udah mau jadi sponsor utama!” ucap Merry setengah berteriak dan merangkul bahu Dawn. Akhirnya mereka bertiga saling berangkulan sambil berjoget.“No problem! Win win, kok! Kata bokap, bagus juga buat promosi produk perusahaan!” balas Dawn.“Gue seneng banget! I love you, guys! Mulai saat ini, kita sahabatan sampai maut memisahkan, ya!” teriak Cathy.Cathy dan Dawn memang sudah sahabatan sejak SMP, namun Merry baru empat bulan ini bergabung bersama mereka. “Okay!” balas Merry dan Dawn
Sebelum menggeluti dunia akting, Merry terjun ke dunia modeling terlebih dahulu. Dia keluar sebagai juara satu pemilihan model di sebuah majalah remaja saat masih SMP. Setelah itu, dia mendapatkan banyak tawaran sebagai bintang iklan. Merry tidak mengambil pekerjaan selain modeling untuk membagi waktunya dengan jadwal sekolah. Karena iklan yang menggunakan wajahnya cukup banyak, Merry pun mendapatkan popularitas di kalangan remaja. Saat dia masuk SMA, Merry mulai mendapatkan tawaran sebagai pemeran pendukung di sebuah film. Hanya peran kecil, namun dari sana bakat akting Merry mulai dikenal. "Itu Sifabella Hadiprana yang jadi Dona, kan? Aktingnya keren banget pas adegan berantem. Badannya bagus sih, tinggi atletis." Begitu obrolan para siswa yang melihat dirinya di sekolah. Merry memang memakai nama belakang dan nama almarhum ayahnya untuk karir keartisan. "Wah, dia masuk ke sekolah kita? Berarti dia pintar juga anaknya, ya?" "Atau mungkin dia masuk dari jalur prestasi." "Prestasi
Wajah Merry masih terasa panas saat akhirnya dia sudah tiba di IGD rumah sakit terdekat. Kompleks apartemennya memang cukup dekat dengan rumah sakit, hanya perlu menyebrang, dan dia sudah sampai di halaman rumah sakit. Dan sepanjang jalan itu, sang Budi terus membopongnya. Benar-benar otot pria itu bukan kaleng-kaleng. "Apa yang sakit, mbak?" tanya perawat yang bertugas memeriksanya. "Ka-kaki saya, sus," jawab Merry. Sesekali matanya melirik ke tubuh sang Budi yang sedang berbicara dengan petugas administrasi di ruangan sebelah. Kebetulan lokasi tempat tidurnya bisa melihat ke ruangan itu. "Yang ini?" perawat itu memencet pergelengan kaki kanan Merry. "AAW!" Merry berteriak kaget karena dia sedang fokus mengintip. "Pelan-pelan, sus," ucap Merry meringis kesakitan. "Maaf, Mbak, lalu mana lagi yang sakit?" Mau tidak mau, Merry terpaksa berhenti mengintip dan fokus memberitahu perawat mana saja dirasa sakit olehnya. "Ada apa lagi lo ke sini, Bud?" Tiba-tiba Merry mendengar suara
Mereka bertiga berjalan bersama ke mall setelah mandi dan berganti pakaian. Mereka memutuskan untuk makan di foodcourt sehingga mereka bergantian membeli makanan. Saat Merry sedang berkeliling membeli makanan, Cathy dan Dawn duduk berdua saja sambil sesekali sibuk memeriksa ponsel mereka.Cathy tertawa membaca pesan dari Jason, cowok yang baru dikenalnya beberapa saat yang lalu. Tentu saja Jason mengajaknya untuk jalan hanya berdua di lain waktu, dan Cathy membalasnya dengan senang hati. Lumayan buat mengisi rasa bosan.Namun kemudian dia menyadari kalau Dawn diam saja sejak mereka berada di kolam renang. Padahal Dawn biasanya tidak berbeda jauh darinya kalau sedang berkenalan dengan cowok, agak centil dan banyak melempar candaan. "Oke, ada apa, Dawn?" tanya Cathy meletakkan ponsel di atas meja.Dawn terkejut karena Cathy tiba-tiba bertanya padanya, padahal perempuan itu sedetik sebelumnya terlihat asyik menatap layar ponselnya."Hah, oh ... gue ... nggak apa-apa, kok!" jawab Dawn se