Share

Bab 2 Perkara Uang!

Anak-anakku hanya menatap iba kepadaku setiap Neneknya mengomeliku. Aku memiliki dua orang anak berusia tujuh tahun dan lima tahun. Beruntung kedua anakku pengertian dan menyayangiku.

"Sabar ya Bun, apa Bunda punya uang biar aku saja yang belikan gula di warung Bu Las?" 

Aku tersenyum sembari berbisik. "Besok saja, biar Bunda yang belikan. Ajak adikkmu Adnan bermain di kamar ya!" Aku berkata lembut kepada putriku.

Bukan aku tidak mau memberi uang dan membelikan gula, lagi-lagi karena aku harus mengirit biaya pengeluaran yang aku anggap tidak perlu. Uangku tinggal selembar biru, dan aku masih menunggu satu minggu lagi untuk Mas Ardan gajian. 

Ah rasanya aku benar-benar tidak tahan, rasanya ingin sekali aku mengulang masa mudaku bekerja tanpa mengenal lelah dan membelanjakan gajiku sesukaku. Sekarang aku hanya bergantung dengan hasil suamiku yang tidak seberapa. Itu pun harus mendengar ocehan mertuaku yang bawel.

"Bun, aku lupa memberitahu jika uang bulanan sekolah harus dibayar bulan ini. Amara malu Bun, hanya tinggal Amara yang belum bayar." 

Hisss, lagi-lagi uang membuatku pusing. Apa yang akan aku katakan kepada anakku jika aku belum memiliki uang sepeserpun. Meminta Mas Ardan belum tentu dia ada uang.

"Sabar sebentar ya Nak, baru diusahakan. Ayah sama Bunda lagi berusaha cari uang untuk bayar sekolahmu dan adikmu." 

Amara hanya mengangguk dengan mata sendunya. Aku tahu dia sangat sedih, tapi dia tidak banyak protes.

"Iya Bun, akan aku sampaikan kepada Bu Guru, semoga Bu Guru mengerti ya Bun," lirihnya.

Aku hanya mengangguk dan ku usap pucuk kepalanya tak terasa air mata ini mengalir membasahi pipiku.

Tok! Tok! Tok! 

"Assalamualaikum Bu Hana,"

"Walaikumsalam," jawabku dari dalam rumah.

Aku menghampiri dan mencari tahu siapa gerangan yang mengetuk pintu dan memanggilku.

"Eh, Pak RT maaf ada keperluan apa ya?" tanyaku setelah aku buka pintu dan melihat siapa yang datang.

"Maaf Bu Hana, sebenarya kedatangan saya kemari untuk menagih uang bulanan. Yang tiga puluh ribu, Bu Hana maupun Pak Ardan belum setor ya?"

Deg

Rasanya aku mau pingsan saja. Hari ini masalah seakan datang berurutan dan lagi-lagi mengenai uang dan uang.

"Maaf Pak RT, mungkin Bapak salah. Coba di lihat kembali! Saya sudah bayar kok bulan ini. Saya ingat betul hari itu hari Senin karena saya buru-buru antar sekolah jadi saya titip 'kan ke Ibu mertua saya," jawabku karena memang aku ingat sudah membayarnya.

Pak RT tampak sibuk melihat kembali buku catatannya. Ia sesekali menatapku sembari mengerutkan keningnya dan kembali fokus ke buku catatanya.

"Tidak ada Bu, saya tidak mungkin salah mencatat! Begini saja, coba tanyakan kepada Bu Ratmi biar jelas!" usulnya.

"Ada apa ini, lho ... Pak RT di luar aja, kok nggak di suruh masuk Han?"

"Kebetulan ada Ibu, ini sebenarnya Pak RT kemari ingin menagih uang iuran bulanan Bu." Jelasku kepada mertuaku.

"Oh, ya sudah bayar saja! Ada 'kan uangnya?" timpal mertuaku enteng.

"Tapi Bu, Hana sudah bayar! Hana titip sama Ibu karena Hana buru-buru antar sekolah."

Terlihat mertuaku memutar matanya seakan ia sangat sebal karena aku berkata seperti itu di depan Pak RT.

"Oh, itu. Ibu pakai buat tambah beli token listrik. Kamu nggak ngasih uang buat beli token listrik. Jadi uang itu buat nambah uang Ibu yang kurang."

Lho ... lho ... lhoo apa lagi ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status