Nah lagi-lagi mertuaku berdusta, tidak mungkin untuk uang listrik karena aku yakin benar belum lama ini aku telah membelinya, dan ia tahu itu.
"Sudah kalau ada uang bayar dulu!" perintahnya.
Pak RT hanya menatapku tanpa banyak berbicara.
"Tapi Hana tak lagi pegang uang, Bu."
"Hah, maaf ya Pak RT. Menantu saya ini memang suka begini. Dia memang perhitungan dan sangat pelit. Padahal baru tadi diberi uang suaminya. Ya sudah nanti saya mintakan sama Ardan dan antar ketempat Pak RT."
Deg
Lagi-lagi mertua menfitnahku, aku melotot tak percaya jika mertuaku menuduhku di depan tetangga.
"Baik kalau begitu Bu, saya permisi dulu!" Pak RT segera pergi meninggalkan pintu rumah kami.
Dengan senyum mertuaku menyambut hangat kepergian Pak Rt tapi seketika tatapannya tertuju kepadaku dan berubah sengit.
"Heh, kenapa melotot begitu?"
"Kenapa Ibu berbohong?"
"Bohong apa?"
"Tentang uang itu? Tidak mungkin Ibu beli token karena baru beberapa hari aku beli dan tidak mungkin habis dalam sekejap Bu!" Aku mulai geram karena aku tahu ibu saat ini tengah berbohong.
"Kamu menuduh Ibu? Lagi pula, hanya perkara uang tiga puluh ribu! Ardan biasa memberikanmu lebih bukan?"
"Bukan begitu Bu, Mas Ardan tidak seperti kemarin lagi Bu. Dia sudah diPHK dari kantornya. Dan sekarang memulai lagi bekerja di kantor yang dulu aku bekerja."
Deg
Kututup mulutku dengan telapak tanganku, aku keceplosan mengatakan kepada mertuaku kalau Mas Ardan diberhentikan dari pekerjaanya.
Ini semua gara-gara aku tak bisa menahan emosiku karena omelan mertuaku setiap hari.
"Apa katamu?" Ibu berkata lantang dan melotot ke arahku.
Adnan putraku yang lima tahun sampai takut melihatnya. Ia berlari ke arahku dan mendekapku. Aku panggil Amara untuk membawa Adnan masuk ke kamarnya dan bermain di sana. Aku tidak ingin mereka melihat neneknya marah-marah di hadapan mereka.
"Ajak Adnan ya, nanti Bunda menyusul," lirihku.
Amara mengangguk dan menuntun adiknya ke kamar tanpa banyak bertanya kepadaku.
"Apa maksud ucapanmu Hana? Ardan dipecat, kenapa bisa?" tanya Ibu setelah putra dan putriku tak terlihat lagi.
"Sebaiknya Ibu duduk, akan aku ceritakan."
Ibu menurut, tapi membuang rasa sebalnya kepadaku. Terlihat sekali dari caranya menatapku yang penuh dengan kebencian.
"Maaf Bu, Mas Ardan memang sudah dipecat," jawabku.
Aku tak mau lagi berbohong, mungkin dengan aku berkata jujur Ibu lebih bisa memahami perekonomian keluarga ini.
"Kapan? Kalian tidak pernah membicarakannya? Lalu setiap pagi pergi itu untuk apa?" Berondong Ibu mertua.
"Mas Ardan di pecat dua bulan yang lalu Bu, kemarin bolak balik pergi sebenarnya mencari pekerjaan. Dan sekarang Alhamdulillah Mas Ardan sudah mendapatkan pekerjaan di tempat kerjaku dulu berkat Relia."
"Apa jabatanya?"
"Karyawan biasa Bu."
"Apa? Jadi dia bukan manager lagi? Hanya karyawan biasa? Kenapa kalian menyembunyikan ini dari Ibu?"
"Maaf Bu, kami pikir tidak perlu karena kami tidak ingin membuat Ibu banyak pikiran dan jadi sakit."
"Bukannya kalian punya tabungan, kamu kemanakan tabungan putraku saat bekerja jadi manager dulu."
Haduh, mertuaku benar-benar menguras emosiku. Aku sendiri binggung dia lupa atau memang pura-pura pikun.
"Tabungan kita sudah habis untuk menutup hutang Ibu, apa Ibu lupa kalau Ibu punya hutang sama rentenir dan bunganya membengkak?"
Huh
"Jadi kamu mau mengungkit itu? Kamu tahu aku itu Ibu dari putraku, wajar jika dia mengurusku. Merawatku dan menutup semua hutang-hutangku!"
Lho ... lho ... lhoo ... apa maksudnya ini? Bukannya tadi mertuaku bertanya kemana uang tabungan kami. Kenapa setelah ku jelaskan dia malah marah-marah dan bilang aku mengungkit-ungkit. Tidak beres!
Semenjak saat itu hubunganku dengan mertua semakin renggang saja. Bukannya aku tak mau memperbaiki hubungan antar mertua dan menantu menjadi lebih baik, sempat ada usaha tapi sepertinya mertua membatasi untuk berinteraksi denganku."Kamu ada masalah lagi dengan Ibu?" tegur suamiku."Tidak," jawabku singkat, karena memang aku merasa tak ada masalah."Hana tolong! Orang tuaku tinggal Ibu saja, jadi tolong mengerti dia! Jangan bikin dia emosi dengan sikap kamu. Ibu ada riwayah hipertensi kalau dia terlalu stres dan emosi tidak baik untuk kesehatannya. Kamu mengerti bukan?" Kutautkan kedua alis ini, aku tidak mengerti mengapa suamiku bisa berbicara seperti itu kepadaku. Padahal aku tidak pernah melakukan apapun kepada mertuaku."Maksud Mas apa? Membuat Ibu emosi seperti apa maksudnya, Mas?" tanyaku."Ibu bilang kamu kamu selalu membangkang, aku bosan setiap hari Ibu mengadu tentang sikapmu!" jelas Mas Ardan kepadaku.Oh ternyata mertuaku telah mengadu kepada putranya. Astaga aku pikir ha
"Kamu belum tidur Mas?" tanyaku.Mas Ardan seolah terkejut saat tiba-tiba aku bertanya. Ia segera menyumputkan ponselnya."Eh, kok kamu belum tidur? Emm ... ini balas chat teman untuk meeting besok. Tau sendiri pekerjaan sekarang ini sangat banyak," kilahnya."Kenapa panik begitu? Kau tidak sedang berbohong bukan?""Panik? Ee ... enggak. Aku hanya terkejut, aku pikir kamu tidur. Jangan nuduh-nuduh yang tidak-tidaklah Han!""Aku tidak menuduh Mas, sebaiknya kamu istirahat Mas, ini sudah malam. Kau bisa bicarakan besok lagi bersama temannmu!" Aku mebalikkan tubuhku membelakanginya.Entah kenapa aku tidak bisa percaya begitu saja dengan ucapan suamiku, ada yang menganjal direlung hatiku. Astaga, semoga saja suamiku masih bisa menjaga kepercayaan dan keutuhan rumah tangga kami.Pagi harinya seperti biasa aku melakukan aktivitasku dengan berkutat di dapur, anak-anak lambat kaun mulai mandiri. Mereka dapat menyiapkan keperluan mereka sendiri untuk kesekolahan."Sayang sarapan dulu, baru nan
Mas Ardan dan Amara telah berangkat sekolah, butuh waktu untuk meyakinkan Amara agar mau pergi bersama Ayahnya. Bukan aku tidak mau mengantar, sekolah Amara berlawan arah dengan Adnan tentu butuh biaya lebih lagi untuk bensin. Sedangkan sekolah Amara searah dengan Ayahnya.Pagi ini aku baru pulang dari mengantar Adnan, sekalian aku mampir di tempat-tempat tetangga yang ingin menggunakan jasaku untuk menyuci baju mereka."Bu Hana, saya pikir Ibu sudah tidak mau menyuci baju lagi.""Lho kenapa Bu? Kan, lumayan untuk tambah-tambah bumbu dapur," ucapku dengan senyum."Iya, soalya kemarin saya lihat Ibu di Mall belanja banyak. Saya pikir Pak Ardan dapat bonus besar jadi bisa belanja sebanyak itu.""Belanja? Kemarin saya tidak kemana-mana Bu bahkan saya sedang tidak enak badan di rumah," jelasku heran."Lho, beneran Bu? Tapi saya lihat pak Ardan sama wanita saya pikir itu Ibu Hana belanja banyak baget. Saya mau negur tapi kalian jalan cepat sekali saya tak sanggup mengejar," jelas Bu Lili.
Akhir-akhir ini Mas Ardan sering sekali pulang malam, biasanya jam lima ia sudah pulang. Tapi lebih heranku hari ini ia membawa seseorang masuk ke dalam rumah.Aku tengah mengajari putra dan putriku belajar di kamar karena mendengar suara seseorang aku segera keluar dan mencari tahu siapa yang datang."Itu dia Hana, maklum lah Relia dia ini hanya Ibu rumah tanggal yang tidak punya kesibukan apa pun jadi jam segini sudah tidur!" ucap mertuaku saat melihatku keluar dari kamar.Relia tersenyum menatapku, sahabatku sewaktu aku bekerja di kantor ini tersenyum hangat kepadaku. Ada kerinduan kepadanya, sudah sangat lama aku tak bertemu dengannya."Hana!" serunya."Relia," balasku.Kami pun saling berpelukan, aku baru sadar jika Relia datang bersama Mas Ardan. Tumben biasanya ia datang selalu sendiri."Kok kalian bisa barengan begini?" tanyaku heran."Aneh sekali sih Han 'kan kita satu kantor. Tentu bisa kita barengan," celetuk suamiku.Aku hanya ber 'oh' panjang. Ada rasa aneh tapi ya sudahl
"Kalian, seru amat kayaknya?" sindirku.Kedua manusia di dapur itu terkejut menatap ke arahku."Ah, em ... Hana, aku pikir kamu sedang beristirahat." Relia terlihat gugup.Aku memutar bola mataku, kulihat Mas Ardan seakan salah tingkah. Memang mereka tidak melakukan apa pun, tapi aku melihat ada hal yang jangal di sini. Kulihat mereka bercanda bergurau seperti sepasang kekasih."Han, anak-anak sudah tidur?" Mas Ardan seolah mengalihkanku."Sudah Mas," jawabku."Ya sudah aku mau menengok anak-anak sebentar. Kalian kalau mau ngobrol silahkan aku tau kalian saling merindukan." Mas Ardan menatap aku dan Relia bergantian kemudian tersenyum kearah sahabatku.Astaga ada apa ini, mengapa hatiku mendadak gundah?"Han, kita sudah lama tidak bertemu apa kau tidak ingin bercerita sesuatu kepadaku?" "Bercerita apa Rel, mmm ... ayo sebaiknya kita kedepan di ruang tamu mungkin," ajakku.Relia mengikutiku dan duduk di ruang tamu."Relia, kamu betah sekali menyendiri kau tidak ingin menikah lagi?" uc
Sudah malam dan Mas Ardan belum juga pulang. Aku lirik jam yang ada di ponselku sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Aku semakin khawatir takut terjadi sesuatu kepada suamiku."Ngapain sih mondar mandir di situ?" tanya mertuaku yang keluar dari kamarnya."Aku menunggu Mas Ardan Bu, suamiku belum pulang.""Kamu ada ponsel? Kamu tinggal telpon dia tanya keberadaanya apa susahnya? Ngapain harus mondar mandir kaya setlikaan, bikin sakit mata saja!" celetuk mertua.Aku hanya diam, kuraih ponselku dan mencoba menghubungi suamiku lagi. Masih sama tidak ada jawaban. "Sudah, mending kamu tidur saja. Nanti juga pulang sendiri kalau waktunya pulang!"Lagi-lagi aku diam, melihat aku tak meresponnya mertuaku langsung masuk kamarnya dengan bibir yang tersungut.BremmmKudengar mobil terparkir di halaman rumah segera ku intip memastikan apakah itu benar suamiku."Dari mana saja kau Mas? Apakah mengantar Relia sampai dini hari begini, seberapa jauh rumah Relia sampai kau baru pulang?" berondongku
POV ArdanSebal rasanya setiap pulang kerumah mendengar ibu yang mengadu mengenai tingkah Hana. Memang Hana makin kesini makin berubah semenjak aku diberhentikan kerja dan pindah bekerja di kantor tempat Relia bekerja.Hana sering kali uring-uringan lagi-lagi karena uang penyebabnya. "Mas Ardan kenapa terlihat muram?" sapa Relia saat masuk ke ruanganku."Rel ..., nggak aku sedang pusing saja. Hana makin kesini makin berubah ditambah sekarang tidak akur dengan Ibu membuatku pusing.""Hana seperti itu Mas?" Ku anggukkan kepalaku pelan."Entah Rel, dia seperti ini semenjak aku diPHK dari kantorku sebelumnya. Uang sepertinya kurang terus padahal gaji dari sini sudah kuberikan untuknya. Memang tidak semua bisa kuberikan, namanya juga aku butuh uang bensin belum lagi jatah untuk Ibu. Tentu Hana tak mendapat sebanyak seperti dulu.""Sabar ya Mas!" Relia meraih tangannku dan mengusapnya.Ku rasakan aliran darahku mengalir sangat deras. Entah perasaan apa ini, aku merasa kehadiran Relia sang
"Ada apa sih Mas? Memangnya siapa tadi?" Relia bertanya-tanya."Dia tetangga, aku takut jika dia tahu kamu bukan Hana. Nanti akan runyam, belum saatnya orang rumah tau hubungan kita," terangku.Relia hanya mengangguk, ada wajah kesedihan di sana. Aku tahu dia mencintaiku dan berharap hubungan kita lebih dari ini. Ternyata tidak sulit untukku menaklukkan hati seorang Relia."Maaf Sayang kita harus pulang lebih cepat rupanya," ujarku."Baiklah."Kami segera masuk ke dalam mobil, dan tanpa aba-aba kulajukan mobilku pelan.Relia bersandar di jok mobil samping kemudi. Kulihat sekilas wajahnya yang muram.