Share

Bab 3 Keceplosan!

Nah lagi-lagi mertuaku berdusta, tidak mungkin untuk uang listrik karena aku yakin benar belum lama ini aku telah membelinya, dan ia tahu itu.

"Sudah kalau ada uang bayar dulu!" perintahnya.

Pak RT hanya menatapku tanpa banyak berbicara.

"Tapi Hana tak lagi pegang uang, Bu." 

"Hah, maaf ya Pak RT. Menantu saya ini memang suka begini. Dia memang perhitungan dan sangat pelit. Padahal baru tadi diberi uang suaminya. Ya sudah nanti saya mintakan sama Ardan dan antar ketempat Pak RT."

Deg

Lagi-lagi mertua menfitnahku, aku melotot tak percaya jika mertuaku menuduhku di depan tetangga.

"Baik kalau begitu Bu, saya permisi dulu!" Pak RT segera pergi meninggalkan pintu rumah kami.

Dengan senyum mertuaku menyambut hangat kepergian Pak Rt tapi seketika tatapannya tertuju kepadaku dan berubah sengit.

"Heh, kenapa melotot begitu?"

"Kenapa Ibu berbohong?"

"Bohong apa?"

"Tentang uang itu? Tidak mungkin Ibu beli token karena baru beberapa hari aku beli dan tidak mungkin habis dalam sekejap Bu!" Aku mulai geram karena aku tahu ibu saat ini tengah berbohong.

"Kamu menuduh Ibu? Lagi pula, hanya perkara uang tiga puluh ribu!  Ardan biasa memberikanmu lebih bukan?"

"Bukan begitu Bu, Mas Ardan tidak seperti kemarin lagi Bu. Dia sudah diPHK dari kantornya. Dan sekarang memulai lagi bekerja di kantor yang dulu aku bekerja." 

Deg

Kututup mulutku dengan telapak tanganku, aku keceplosan mengatakan kepada mertuaku kalau Mas Ardan diberhentikan dari pekerjaanya.

Ini semua gara-gara aku tak bisa menahan emosiku karena omelan mertuaku setiap hari.

"Apa katamu?" Ibu berkata lantang dan melotot ke arahku.

Adnan putraku yang lima tahun sampai takut melihatnya. Ia berlari ke arahku dan mendekapku. Aku panggil Amara untuk membawa Adnan masuk ke kamarnya dan bermain di sana. Aku tidak ingin mereka melihat neneknya marah-marah di hadapan mereka.

"Ajak Adnan ya, nanti Bunda menyusul," lirihku.

Amara mengangguk dan menuntun adiknya ke kamar tanpa banyak bertanya kepadaku.

"Apa maksud ucapanmu Hana? Ardan dipecat, kenapa bisa?" tanya Ibu setelah putra dan putriku tak terlihat lagi.

"Sebaiknya Ibu duduk, akan aku ceritakan."

Ibu menurut, tapi membuang rasa sebalnya kepadaku. Terlihat sekali dari caranya menatapku yang penuh dengan kebencian.

"Maaf Bu, Mas Ardan memang sudah dipecat," jawabku. 

Aku tak mau lagi berbohong, mungkin dengan aku berkata jujur Ibu lebih bisa memahami perekonomian keluarga ini.

"Kapan? Kalian tidak pernah membicarakannya? Lalu setiap pagi pergi itu untuk apa?" Berondong Ibu mertua.

"Mas Ardan di pecat dua bulan yang lalu Bu, kemarin bolak balik pergi sebenarnya mencari pekerjaan. Dan sekarang Alhamdulillah Mas Ardan sudah  mendapatkan pekerjaan di tempat kerjaku dulu berkat Relia."

"Apa jabatanya?"

"Karyawan biasa Bu." 

"Apa? Jadi dia bukan manager lagi? Hanya karyawan biasa? Kenapa kalian menyembunyikan ini dari Ibu?"

"Maaf Bu, kami pikir tidak perlu karena kami tidak ingin membuat Ibu banyak pikiran dan jadi sakit." 

"Bukannya kalian punya tabungan, kamu kemanakan tabungan putraku saat bekerja jadi manager dulu."

Haduh, mertuaku benar-benar menguras emosiku. Aku sendiri binggung dia lupa atau memang pura-pura pikun.

"Tabungan kita sudah habis untuk menutup hutang Ibu, apa Ibu lupa kalau Ibu punya hutang sama rentenir dan bunganya membengkak?" 

Huh

"Jadi kamu mau mengungkit itu? Kamu tahu aku itu Ibu dari putraku, wajar jika dia mengurusku. Merawatku dan menutup semua hutang-hutangku!"

Lho ... lho ... lhoo ... apa maksudnya ini? Bukannya tadi mertuaku bertanya kemana uang tabungan kami. Kenapa setelah ku jelaskan dia malah marah-marah dan bilang aku mengungkit-ungkit. Tidak beres!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status