Share

Menyesal

Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran Ibu saat ini, bagaimana bisa dia ikut campur sejauh ini. Bagaimanapun kami berhak menentukan aturan hidup kami sendiri setelah menikah, apalagi kami sudah tinggal dirumah kami sendiri.

"Yaudah kalau Ibu sudah memecat Bik Minah nggak papa, mumpung ada Ibu. Bisa gantiin Bik Minah, aku mau istirahat." Setelah mengucapkan itu aku langsung berlalu ke kamar tanpa memperdulikan lagi umpatan demi umpatan yang keluar dari mulut Ibu.

Padahal belum sehari Ibu tinggal di sini. Tapi sudah membuat kekacauan yang membuat kepalaku hampir pecah. Inilah sebabnya mengapa aku tidak pernah mau tinggal bersama orangtuanya Mas Dito. Karena sifat kerasnya Ibu. Jangankan aku menantunya, Mas Heri saja kadang-kadang tidak sanggup meladeni maunya Ibu.

Brak!

Aku menutup pintu dengan kuat, inilah salah satu sebab mengapa aku tidak suka tinggal bersama mertua. Sikap Ibu memang begini dari dulu, dia sangat tegas dan juga kasar. Dia tidak segan-segan untuk memarahiku bahkan jika itu depan orang banyak.

Pernah dulu ketika baru-baru menikah dengan Mas Dito aku ikut Ibu untuk rewang di rumah tetangga. Kebetulan anaknya akan menikah, jadi aku ikut untuk membantu.

Tapi ketika aku sedang merajang cabai, Ibu segera menepis tanganku kasar.

"Kamu, rajang cabai aja nggak bisa. Jangan bulet-bulet gini, kamu iris yang tipis saja. Karena ini buat tauco. Anak jaman sekarang apa-apa tidak bisa!" Ibu memarahiku di depan orang banyak, dan aku menjadi pusat perhatian semua orang saat itu.

Hampir saja aku menangis disana, tapi dengan sekuat tenaga aku menahan gejolak dalam hati. Ini mungkin karena aku melawan perintah Ibu dan Bapak untuk menikah dengan Mas Al, anaknya sahabat Ayah.

"Kamu kenapa sih, Dek. Pulang kerja marah-marah terus," tanya Mas Dito yang membuatku tersentak kaget. Bayangan tentang masa lalu membuatku urung untuk mandi dan juga mengganti baju.

Padahal rencananya tadi aku akan segera membersihkan badan agar pikiranku menjadi lebih fresh. Tapi urung aku lakukan karena rasa kesal yang aku lampiaskan pada bantal dan guling.

"Kapan Ibu akan pulang?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaan dari Mas Dito tadi.

"Kok kamu nanyanya gitu sih, Dek. Ibuku baru datang, kok udah nanya kapan pulang?" ujar Mas Dito dengan nada sedikit kesal.

"Aku nggak mau ya, Mas gara-gara Ibu rumah tangga kita berantakan," tegasku dengan menatapnya tajam.

"Berantakan gimana, yang Ibu bilang tadi kan ada benarnya juga. Lihat semenjak kamu kerja kamu nggak pernah lagi masak buat aku dan Lea," jawabnya memberi alasan. Aku mendesah panjang mendengar pernyataannya barusan.

"Gimana aku mau masak, Mas. Aku kerja jam 8 pagi pulang jam 6 sore. Kamu tau sendiri kan gimana capeknya aku sebelum berangkat kerja?"

"Aku nyuci baju, nyuci piring. Nyapu, ngepel, kasih Kania makan. Semuanya aku lakuin sendiri, Mas. Aku capek, aku lelah."

"Kamu pernah ngebantuin aku, nggak kan?" Aku mencercanya dengan semua uneg-uneg yang ada dalam hati. Selama ini aku diam bukan berarti aku tidak lelah, tapi aku hanya berusaha menikmati peranku sebagai istri dan juga sebagai wanita karir.

"Maafkan aku. Mulai sekarang aku janji akan membantu kamu dirumah," jawabnya. Kini Mas Dito sudah berjongkok di depanku yang duduk di atas ranjang. Dia memegang tanganku lembut dan membawanya ke pipi.

"Aku nggak tahan sama sikap Ibu, Mas. Dia seakan-akan menyudutkan aku harus bisa menjadi istri yang sempurna," gumamku sambil menangis.

"Sudah, kamu sabar aja dulu beberapa hari ini ya. Aku yakin Ibu nggak bakalan lama kok disini," ucap Mas Dito menenangkan hatiku yang sedang gundah.

Aku hanya mengangguk mengerti, aku tahu tadi aku sedikit keterlaluan dengan Ibu. Bagaimanapun dia adalah wanita yang sudah melahirkan laki-laki yang kini sudah menjadi suamiku.

"Aku mau mandi dulu, Mas." Kulepaskan genggaman tangan Mas Dito lalu beranjak pergi ke kamar mandi. Sengaja aku menguncinya dari dalam, agar Mas Dito tidak ikut masuk. Setelah ini aku akan melihat Kania.

**

"Ibu mau bicara penting sama kamu, Rosa," ucap Ibu saat kami sedang makan malam. Karena tidak ada Bik Minah lagi, maka terpaksa aku memesan makanan lewat aplikasi.

Sebenarnya stok makanan ada di dalam kulkas, hanya saja aku sudah terlalu letih untuk kembali berkutat dengan dapur. Tidak mungkin aku menyuruh Ibu, karena Ibu juga mungkin lelah karena perjalanan jauh dari desa ke sini.

"Bicaralah, Bu," ucapku menghentikan aktivitas makan malamku.

"Kamu tau kan kalau kewajiban seorang istri itu mengurus rumah, suami dan anak?" tanya Ibu dengan tatapan menusuk.

Aku hanya mengangguk tanda mengerti, ternyata Ibu masih membicarakan hal itu.

"Ibu, sudah. Kami sudah membicarakannya tadi," ucap Mas Dito menghentikan niat Ibu untuk menasehatiku.

"Diam kamu, Dito. Kamu jadi laki-laki jangan kaku. Kamu itu suami, kamu yang berhak atas semua dalam rumah ini. Istri kamu ini perlu Ibu ajarkan bagaimana caranya menjadi istri yang Soleha," kilah Ibu berang.

Kalau sudah begini, Mas Dito hanya bisa diam tanpa berani berkutik. Seperti lintah kena garam, tadi aja di dalam kamar bilangnya mau belain aku.

"Rosa, kamu lihat kan. Betapa sayangnya Dito sama kamu, sampai-sampai dia menyuruh Ibu untuk diam."

Aku masih diam, sesekali aku mengambil sosis goreng untukku makan. Ocehan Ibu semakin membuatku merasa lapar.

"Seharusnya itu kamu bersyukur memiliki suami seperti Dito anak saya. Dia tampan, tubuhnya bagus, kulitnya bersih. Jika dia mau, bisa saja dia menikah lagi dengan perempuan yang lebih cantik dari kamu," hardik Ibu yang membuat jantungku berpacu lebih cepat.

"Maksud Ibu apa ya?" tanyaku membalas tatapan pongahnya itu.

"Kamu sadar, kamu sudah menyia-nyiakan anak saya. Dia makan tidak terurus, punya istri seperti tidak punya istri," ejek Ibu dengan mulutnya yang miring-miringkan.

"Ibu tau kenapa kulit Mas Dito lebih bersih dariku? Itu karena anak Ibu ini cuma ongkang-ongkang kaki dirumah, kerajaannya cuma main game dan makan. Sedangkan aku, aku kerja banting tulang di luar biar bisa ngasih anak Ibu makan," sungutku geram.

Aku akui memang Mas Dito sangat tampan, dia memiliki tubuh atletis dan juga kulit putih bersih. Bahkan kulitnya lebih bersih dari kulitku, wajahnya bersih sedangkan wajahku penuh dengan jerawat.

"Diam kamu, dasar istri durhaka. Kamu kan tau sendiri anak saya itu tidak bisa kerja kalau bukan kerja kantoran, jadi kamu seharusnya sebagai istri memaklumi itu," hardik Ibu lagi yang membuatku ingin tertawa sekaligus menangis.

"Terus menurut Ibu aku harus ngapain biar bisa jadi istri soleha?" tanyaku dengan suara yang masih tinggi.

"Kamu itu harus bangun lebih pagi untuk memasak buat suami kamu dan juga Kania. Setelah memastikan mereka kenyang dan rumah sudah bersih baru kamu berangkat bekerja, dan jangan lupa pulang kerja kamu kembali membereskan semuanya. Jangan taunya beli aja kayak gini, ngabisin duit aja," cerocos Ibu panjang lebar. Entah sampai kapan Ibu akan terus disini, aku sudah sangat lelah dengan sikap Ibu.

"Ibu lihat juga stok makanan masih penuh di dalam kulkas. Seharusnya kamu kan bisa masak untuk makan kita semua. Nggak harus beli, jangan boros kamu!"

Dia mengaturku seolah-olah selama ini aku sudah menjadi istri yang durhaka sama suami. Padahal aku sudah sangat lelah dengan pekerjaan di kantor, belum lagi ketika pulang Kania biasanya akan nangis minta digendong.

"Jadi maksud Ibu aku harus bekerja ekstra?" tanyaku tidak percaya dengan penuturan Ibu barusan. Kulihat Mas Dito hanya bisa memijit pelipisnya melihat kamu bertengkar.

"Bukan kerja ekstra, tapi itu memang sudah menjadi kewajiban kamu sebagai istri," cebik Ibu lagi dengan tatapan khasnya.

Andai dulu aku menuruti keinginan Ibu dan Ayah agar tidak menikah dengan Mas Dito. Tapi nasi sudah menjadi bubur, aku harus bisa menghadapi semua konsekuensi yang diterima atas pilihanku dulu.

Ibu dan Ayah bukannya tidak menyukai Mas Dito, hanya saja mereka tidak suka sama Ibunya–mertuaku. Karena menurut orang yang dibayar oleh Ayah untuk mencari tahu tentang keluarganya Mas Dito, Ibunya ini bermulut pedas dan juga suka hutang.

Hutangnya itu dimana-mana, hampir semua penduduk desanya diminta hutang oleh Ibu. Kabar lain yang didapat juga Ayahnya Mas Dito juga doyan menikah. Makanya Ayah dan Ibu melarang keras aku menikah dengannya. Tapi aku yang kadung cinta tidak mau mendengarkan semua nasihat Ayah dan Ibu. Beginilah nasib jika anak tidak patuh dengan perintah orang tua.

"Terus, kewajiban Mas Dito sebagai suami apa?" tanyaku menunjuk kearah Mas Dito yang sedang duduk terpaku. Dia terlihat frustasi melihat aku dan Ibu saling adu mulut. Padahal jujur, tadinya aku akan meminta maaf atas sikapku tadi pas Ibu baru sampai di sini. Tapi sekarang, niat itu langsung aku urungkan.

"Kok bawa-bawa aku sih, dek?" sanggah Mas Dito melihat kearahku.

"Jadi siapa yang harus aku salahkan, suami orang lain?" tantangku berkacak pinggang.

"Diam kamu, Rosa. Kamu harus menghormati suami dan juga saya Ibu mertua kamu!" bentak Ibu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status