Share

Lagi-lagi Masalah

"Ibu apa, Bu!" marah Bagaskara.

Bu Aini-mertuaku, tertunduk di hadapan putranya, ia seolah enggan mengungkap kebenaran tentang putrinya yang tak lain adalah kakak dari suamiku. Namun, Bapak memberi isyarat pada Ibu untuk mengatakannya dengan jujur. 

Tanpa menunggu lama, bapak lekas menepuk tangan Ibu yang tengah mengetuk-ngetukkan jarinya tidak karuan. Lantas Bapak menegur, "Ayo! Bilang sama Bagas, Bu! Jangan tutupi terus kesalahan Hana, kalau memang benar dia yang melakukannya, Ibu gak usah takut Hana marah sama Ibu!"

Ibu menganggukkan kepalanya walau nampak ragu, sambil menoleh pada Bapak, seolah meminta perlindungan.

"Itu semua … Hana yang menukarnya. Katanya gak perlu yang mewah kalau sekadar untuk hantaran, tabungan kamu lebih baik dipakai keperluan lain.” Ibu mengatur napasnya usai kalimatnya yang panjang. “Ibu pikir kenapa enggak, itu kan menghemat budget?!" ungkap Ibu gugup sembari memantau setiap sudut ruangan. Mungkin beliau khawatir aku mendengar pengakuannya.

"Duh Ibu! Kak Hana itu kan anak Ibu juga, kok ibu seperti takut sih?! Tabungan Bagas pasti cukup, Bu! Bagas sudah menghitungnya, Kok! Bagas juga sudah mempersiapkan jauh-jauh hari, itu haknya Naya, Bu! Kenapa Ibu dan Kak Hana selalu ikit campur dan seenaknya membuat keputusan tanpa izin Bagas?! Sekarang sisa uangnya mana, Bu?!" marah Bagaskara memegang kepalanya dengan kedua tangannya.

Ibu gelagapan di depan Bang Bagas. Sementara itu, Bapak yang duduk di samping Ibu menatap garang. "Kamu kenapa gak bicara sama Bapak? Setiap perkataan Hana selalu kamu turuti, Bagas kan anakmu juga! Lagian, itu kan uang Bagas, bukan uang Hana!" bentak Bapak.

Ibu mertuaku diam tak mengatakan apa pun lagi. Bagaskara nampak kecewa dengan Ibu mertuaku, sementara aku juga dibuat kesal oleh Kak Hana. 

"Lagi-lagi Hana. Benar kan apa kataku? Ini semua kelakuan mereka!" batinku berdiri di palang pintu ruang tengah memegang nampan yang diletakkan dua cangkir teh manis hangat di atasnya.

"Ibu minta maaf, Gas!" ujar Ibu.

Aku berjalan dari dapur menghampiri mertua dan suamiku yang tengah berdebat. Aku bersikap seolah tidak mengetahui apapun.

"Ini cookies coklat buatan Naya, coba cicipin, Bu, Pak!" tawarku tersenyum meletakkan toples cookies. 

"Terima kasih, Nay!" jawab Bapak tersenyum simpul.

Aku merasa kasihan pada suamiku, uangnya selalu dimanfaatkan oleh Ibu dan Kak Hana. Mereka bersikap seenaknya, seakan mereka selalu menganggap suamiku tidak terganggu dengan tingkah mereka.

"Ya sudah, Naya! Kalau begitu, Bapak sama Ibu pulang saja ya. Bapak tidak enak sama kamu," kata Bapak menepuk pelan pundak Ibu.

Aku mengerutkan dahi, seolah tak mengerti. "Ke mana, Pak? Bu? Ini sudah Naya buatkan makanan, duduklah dulu. Jangan terburu-buru," pintaku.

"Tidak, terima kasih, kami harus pergi!" Bapak bersikeras ingin pulang, menahan amarahnya pada ibu hingga sepasang netranya memerah.

"Ya sudah, terserah bapak saja, maaf kalau Kanaya ada salah pada Bapak dan Ibu," ungkapku.

"Tidak, Nak! Kamu tidak punya salah, justru kami yang salah. Bapak pamit dulu, ya!" kata Bapak menarik tangan ibu lalu berkalan tergesa-gesa tanpa pamit pada Papa.

Hari-hari pun berlalu, tak terasa sudah sebulan saja kami menikah. Sampai sejauh ini, rumah tangga kami baik-baik saja. Bersyukur, Bang Bagas bisa menempatkan diri bersama orang tua dan kakakku yang tinggal serumah. Sebenarnya aku ingin memulai hidup baru bersama Bang Bagas di rumah kami sendiri, akan tetapi kemampuan ekonomi Bang Bagas yang belum mapan membuatku harus bersabar dan menahan diri.

Ujian pernikahan seumur jagung kami rupanya terletak pada kondisi ekonomi. Bang Bagas ketiban pulung, gajinya sudah dua bulan tak dibayarkan. Bosnya kabur meninggalkan  perusahaan, dan membuat Bang Bagas lah yang dikejar-kejar. Tak tega, kusarankan suamiku itu untuk cari pekerjaan baru. Sembari menunggu suamiku punya pekerjaan baru, aku pun mencoba peruntungan menggunakan ijazahku.

Di saat didera cobaan begini, sejenak aku bersyukur … untungnya aku belum hamil, sehingga biaya rumah tangga tidak terlalu membuat sesak nafas. Papa sering memberiku uang belanja saat suamiku berhenti bekerja, aku dibuat malu dan tak tahu harus bagaimana, tapi suamiku terus mencari dan melamar pekerjaan ke berbagai perusahaan yang kualifikasinya cocok dengannya.

Pernah, aku mendapat kerja menjadi pengajar di satu sekolah. Namun, karena kepala sekolahnya tidak beres—beliau meminangku untuk jadi istri keduanya, membuat Bang Bagas murka. Aku pun undur diri segera. Tak lama berselang, kukembali mencoba peruntungan hingga kemudian sebuah tawaran menjadi SPG kaus kaki menghampiri.

"Boleh diambil gak, Bang?" tuturku dengan wajah berbinar. Bagaimanapun, sebagai istri, aku harus meminta persetujuan Bang Bagas sebagai suami.

"Sebenarnya Abang gak mau kamu kerja begitu. Jadi SPG kan capek berdiri terus, udah gitu kalau ada barang yang hilang kamu harus ganti. Tapi kamu lebih tahu kebutuhan kamu, Abang kan masih kayak gini, belum bisa kasih banyak sama kamu," ungkap Bagaskara tak begitu semangat.

Aku jadi teringat yang dikatakan Ibu mertuaku, dia berkata, "Naya, maafin Ibu. Bagaskara selama ini membiayai sekolah ketiga adiknya, yang dua masih SD yang satunya SMA. Kamu ikhlas kan?"

Dengan bermodal ingin membantu suamiku, kuputuskan untuk menerima tawaran itu. "Kalau gitu aku ambil aja deh, kan adik-adik kamu harus dibiayain sekolahnya, kalau kamu gak gajian, mau andelin siapa?" 

"Kasihan kamu jadi terbebani karena keadaan Abang.” Raut wajah Bang Bagas merengut sedih. Suamiku itu kentara sekali begitu kasihan denganku, yang notaben seorang istri. 

Aku tersenyum tipis, mencoba menenangkan kegundahan Bang Bagas. “Bersyukur kita berdua kerja, Bang." 

Bang Bagas tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. Bang Bagas mengusap kepalaku. Kerutan di dahinya muncul tak lama kemudian. “Mama dan Papa tahu kalau kamu bantu biayain adik-adikku?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status