Share

Gara-gara Telur

"Enggak tahu, Bang! Jangan tahu lah, kalau mereka tahu nanti mereka ikut-ikutan mikirin," jawabku merenung.

"Berdoa saja lah, semoga rezeki kita lancar, dan bisa terus membantu," jawab Bagaskara menghiburku.

Keesokan harinya, saat mentari menghangatkan tubuhku yang tengah berjemur di halaman, Bagaskara berjalan menghampiriku.

"Yang! Kita ke rumah Ibu yuk! Udah lama kita belum nengok," katanya.

"Boleh, sekalian aja kita manpir dulu ke toko kue yang di jalan Ir.H Djuanda itu, kita belikan brownies kukus coklat kesukaan Ibu dan Bapak, Bang!" ajakku semangat.

 "Boleh lah, sudah lama juga kita gak kasih oleh-oleh, ya?" kata Bang Bagas.

 Aku pun mengangguk, lalu pergi ke kamar untuk bersiap. Rupanya Bang Bagas sudah lebih dulu siap, dengan kemeja flanel berwarna biru dongker, celana joger chinos dan sepatu sport bermerk Niki.

Bang Bagas nampak tampan, duduk di kursi rotan menunggu di teras rumah.

Kami pun segera berangkat dengan skuter matic asal Italia itu. Bang Bagas melaju dengan kecepatan sedang, sambil menghirup udara sekitaran jalan Ir.H. Djuanda yang menyejukkan ini. Aku berdoa dalam hati, semoga tidak ada kejadian buruk yang menimpaku hari ini.

 Setibanya di rumah mertuaku, aku dan suamiku segera meraih punggung tangan kedua mertuaku yang sedang duduk santai di teras rumah sambil berbincang.

 "Tuh, di dalam ada Kak Hana, temui dulu sana!" titah Ibu mertuaku.

 "Baik, Bu!" jawabku dan Bang Bagas.

 Begitu masuk aku melihat Kak Hana di ruang tengah sedang menonton televisi sambil menyetrika pakaian.

 "Kak, sedang apa? Gimana kabar kakak?" tanya Bang Bagas.

 "Baik, kamu gimana?" tanya Kak Hana.

 "Baik juga, Kak! Oya, kue Kak," tawar Bang Bagas menyodorkan kue yang dibawanya.

 "Kue apa? Ibu dikasih gak?" tanyanya.

"Dikasihlah!" jawab suamiku.

"Oh, brownies doang?! Yang begini aku juga suka beli, Gas! Untuk ukuran kamu standarnya agak tinggian dikit dong, beli yang lain kek!" ujar Kak Hana meledek. "Padahal di jalan itu banyak toko kue loh, yang kuenya kayak es krim, ada di jalan itu juga, kok! Sudah terkenal kan? Kamu juga pasti tahu!" ujar Kak Hana mendelik melihat jinjingan berisi brownies itu dengan sudut netranya.

 Aku menatap wajah Bang Bagas, ketika Kak Hana yang suka ceplas-ceplos itu mengatakan kalimat menyakitkan seperti tadi. Mendengarnya saja sudah tidak enak, apalagi Bang Bagas yang menghadapinya secara langsung.

5 bulan berkenalan karena kami ada di satu bidang pekerjaan membuatku belum lama mengenal keluarga suamiku. Namun, di antara yang lain, hanya Bapak yang cukup pengertian. Dengan Bapak, aku tak sungkan berbincang santai, membicarakan bagaimana aku dan Bagas berkenalan, dan lain sebagainya. Obrolan santai kami saat itu terputus saat adik Bang Bagas yang bernama Lya datang dengan muka masam. 

"Kenapa sih, Pak! Bapak selalu larang aku ketemu sama Diki? Dia kan baik Pak! Hanya masih pengangguran aja, dia juga bakal cari kerja kok!" bentaknya.

Bapak mengembuskan napasnya panjang. Lya meminta dinikahkan dengan lelaki pilihannya, akan tetapi Bapak tidak setuju.

"Bapak cuma sayang aja, kamu kan baru aja lulus SMA masa iya langsung nikah? Makanya kalau masih sekolah jangan terlalu dekat sama laki-laki jadi begini kan akhirnya?" 

Gadis itu tak mau kalah. Lya terus menyahuti ucapan Bapak dengan intonasi tingginya. "Tapi dia tanggung jawab kok, Bapak gak usah menghakimi aku sama dia terus!" 

"Lya! Yang sopan sama Bapak! Bicara santai aja gak usah bentak-bentak!" teriak Bang Bagas.

 Mata Lya memutar, menatap Bang Bagas yang baru saja memperingatkannya. "Yah, ikut campur deh, ngapain sih, Kak! Mending urus istrimu yang sarjana dan sok kaya itu!" jawabnya ketus.

Mataku memelotot mendengar kalimat kasar yang ditujukan Lya untukku. Begini rupanya penampakan keluarga ini, nampaknya terbentuk karakter dan pribadinya yang suka ceplas-ceplos, mulut mereka seperti cabai. Tidak Ibu tidak juga anaknya, Bang Bagas dan Bapak hanya pengecualian.

 Bang Bagas naik pitam. "Jaga mulut kamu! Memangnya selama aku nganggur, siapa yang bayar SPP kamu! Bela-belain kerja jadi SPG kaos kaki, yang sama sekali gak sesuai dengan ijazahnya!" Dadanya turun naik karena emosi yang tinggi. “Istriku yang bayarin sekolah kamu selama ini!”

Lya lalu diam, begitu juga Ibu, tidak ikut melerai seperti biasanya. Kak Hana cuek dan hanya melirik sinis.

Bapak ikut berdiri, beliau melebarkan bola matanya, dan melirikku sekilas. Ada gurat kemarahan, juga kekecewaan di wajah tua rentanya.

 "Bu! Kenapa sih, Ibu gak pernah kasih tahu kalau yang bayarin sekolah Lya, Harits dan Arkan itu Bagas dan Kanaya? Kasihan Bu, Bagas selalu dipojokkan oleh adik-adiknya, Lya juga sudah lancang ngatain Kanaya, biar begitu dia juga kakak iparnya. Kamu bisanya diam saja!" Setelah itu, Bapak berlalu dari hadapan Ibu dengan kemarahan.

 Ibu hanya diam dengan wajah cemberut, seolah merasa disalahkan. 

 "Bang! Ayo pulang! Kita harus tengok temanku yang lahiran," kataku beralasan.

 "Iya, ayo! Gak usah datang ke sini lagi kalau cuma jadi rebut," ungkap Bang Bagas melirik Ibu juga adik-kakaknya.

"Lagian, datang ke sini ngapain? Mentang-mentang udah mampu bayar SPP adik, kamu jadi belain istrimu! Lihat Bapak jadi marah sama Ibu!"  

Bang Bagas tidak meladeninya karena dia tahu akan seperti apa dunia ini, jika Bang Bagas membalasnya. Kak Hana tidak pernah memedulikan perasaan orang lain, akan sakit hati atau tidak mendengar perkataannya. Rasanya dada ini sudah sesak dan ingin menangis, tapi aku tahan. Aku segera ambil tindakan untuk pergi dari rumah ini.

 "Bu, ini ada sedikit rezeki buat Ibu, maaf belum bisa kasih banyak," tuturku menyodorkan amplop berwarna coklat dan brownies kukus kesukaannya.

 "Aduh! Nak Naya baik sekali. Terima kasih Ya," sahut Ibu memelukku.

 ‘Giliran aku kasih amplop aja, bilang aku baik, giliran gak kasih apa-apa, wajahnya ditekuk, kecut seperti asam.’ batinku.

 "Naya! Tunggu! Jangan dulu pulang! Ini ada telur dan susu, bawa untuk di rumah!" panggil Ibu menyodorkan kantung plastik berisi sekilo telur dan beberapa kaleng susu kental manis.

 Terdengar suara Kak Hana yang sedang merutuk pada Ibu kemudian. "Ibu gimana sih! Dia aja dikasih telur sama susu, aku gak Ibu kasih, padahal dia cuma mantu! Gak usah dimanjakan terus menantu kayak gitu, Bu!" ketusnya.

 "Ibu cuma kasih dia telur sama susu untuk persediaan saja, untuk sebulan juga gak bakal sampe, Han!" kata Ibu.

 Aku semakin tak tahan mendengarnya, aku ingin segera pulang ke rumah. Nampaknya Bagaskara juga mengerti dan faham melihat tatapan mataku yang mengisyaratkan padanya untuk segera pulang.

 "Ayo kita pulang, Sayang!" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status