Share

Dua

"Kita pulang saja, yuk! Duh, bajuku kena saus juga. Ini sungguh memalukan. Aku menyesal telah membawa mertuaku ke sini. Aku yang jadi malu karena dikira orang tak bisa makan dengan bener," cerocos Santi dengan wajah kesal. 

 

"Maafkan ibu, San. Tapi, kita makan dulu baru pulang. Mubazir kalau gak dimakan," tuturku, memasang wajah bersalah. 

 

"Gimana mau makan, Bu? Badan sama mulut udah panas gini," cetus Santi, mengipas bibirnya dengan tangan. Apakah mertuamu ini keterlaluan, Nak? Semoga kamu tidak  menganggapku musuh, menantuku! Sama sepertiku yang mengharapkan kamu segera menyayangiku. 

 

Teman-teman Santi berdiri dan mengikuti menantuku itu ke parkiran. Kami tadi ke sini menggunakan jasa taxi online dan mall ini cukup jauh dari rumah. Mereka pergi meninggalkan wanita tua ini sendirian.

 

Segera kutelpon Santi menggunakan ponsel jadulku, yang cuma bisa sms dan juga menelpon. Setelah tiga kali mencoba, Santi mengangkat teleponnya. 

 

"Kamu kok tinggalin ibu, San? Ibu pulang naik apa?" tanyaku yang membuat teman-teman Santi terbahak-bahak. Mungkin mereka menertawakan nasibku. Aku masih sehat dan tidak pikun. Kalau cuma untuk pulang bagiku hal yang gampang. 

 

"Ya jalan kaki aja, Bu. Ini sebagai hukuman karena Ibu telah menumpahkan saos ke baju dan juga mulutku," tandas, Santi. Ia mematikan ponsel dan tidak diangkat lagi saat kucoba menghubunginya. 

 

Buat apa jalan kaki? Aplikasi ojek online tersedia di ponselku yang satu lagi. Tapi sepertinya aku harus membuat Santi kapok mengerjaiku. Dia akan berpikir dua kali untuk mengulanginya.

 

Aku menghabiskan makananku dengan santai, lantas menyuruh pramusaji membungkus pesanan menantuku dan juga teman-temannya. Sayang sekali kalau makanan yang sudah dibayar ini dibiarkan terbuang. Mungkin ini memang rejeki orang lain. 

 

[Kamu udah sampai mana, Santi?] tulisku dan mengirimkannya ke nomor WA menantuku. 

 

[Dah mau sampe rumah. Maaf, ini siapa ya?] balasnya bingung. Jelas saja dia tak kenal nomor ini karena dia belum tahu mertuanya punya ponsel canggih. Sejak Akmal kubelikan android untuk menunjang kuliahnya, aku juga membeli ponsel bekas yang layak pakai.  Aku harus ikut zaman agar bisa mengontrol aktivitas anakku.

 

Kukirim rekaman suaranya Santi yang berencana membuatku pulang kampung. Suara itu jelas dan juga jernih karena ponselku tadi ada di dalam tas yang kuletakkan di atas kursi.

 

[Jemput sekarang atau ...?] kirimku lagi. Ini sekedar ancaman. Kalau mau mengadu, dengan mudah kutelpon nomor anakku yang telah hafal luar kepala. Tapi itu bukan sifatku. Aku tak ingin Akmal memarahi Santi dan menantuku itu semakin membenci mertuanya ini. 

 

Walau aku tak bisa melihat wajah Santi dan teman-temannya, aku bisa membayangkan betapa paniknya menantuku. Sudah hampir sampai rumah harus meminta temannya putar balik dan menjemput wanita tua ini.

 

[Jangan kemana-mana, Bu! Otw] balasnya. Aku tersenyum seraya menyimpan ponselku dan membawa makanan yang sudah dibungkus itu dan memberikannya pada ibu penjual gorengan yang ditemani anaknya yang kutaksir usia lima dan tiga tahun. Suaminya juga ikut untuk mendorong gerobak dan kini sedang duduk mengipasi badan dengan topinya.

 

Aku dan suami pernah di posisi itu, menjajakan jagung dan kacang rebus di dekat lokasi pesta. Kondangan sambil mengais rejeki. Semuanya demi menambah tabungan agar bisa ibadah dengan maksimal dengan hidup lebih layak. Setiap melihat pedangang kecil, hatiku langsung tercubit dan terlempar ke masa lalu. Mereka terlihat bahagia menerima bungkusan yang kuberikan.

 

"Bu! Saya beli dagangannya seharga dua ratus ribu, ya! Bagikan saja sama orang yang pantas. Dan ini untuk Ibu dan anaknya! Semoga seluruh dagangannya laris terus ya!" ujarku, tersenyum tulus memberikan tiga lembar uang dengan nominal tertinggi. Semoga Allah mengijabah doaku siang ini.

 

"Amin! Amin ya Allah! Makasih, Bu. Sudah seminggu ini jualan saya sepi. Semoga rejeki Ibu lancar terus!" balas perempuan muda itu dengan linangan air mata. Dia mencium tanganku tanpa bisa kuelakkan. Ya Allah, yang kuberikan ini tidaklah seberapa, tapi ibu muda ini begitu bersuka cita. Anaknya juga begitu senang hati menerima ayam KFC itu. Ah, aku tiba-tiba jadi rindu sama Akmal. Dia sudah besar sekarang, bahkan sudah punya istri.

 

Aku kembali ke depan mall, menunggu menantuku menjemput mertuanya ini. Kata Akmal, Santi itu adik dari teman satu angkatannya semasa kuliah. Tidak terlalu dekat, tapi langsung jatuh cinta pada pandang pertama. Ah, anakku itu memang jarang bergaul dengan lawan jenis. Baru beberapa minggu kenal saja sudah minta dihalalin. Aku jadi tidak tahu apakah ini memang sifat asli menantuku atau dia hanya tersesat karena pengaruh pergaulan? Entahlah.

 

"Ibu? Maafkan sikap Santi yang tidak sopan. Kita pulang yuk!" ujar menantu dengan senyuman terbaik.

 

"Iya, San. Tapi, kamu masih kepedasan gak?" tanyaku cemas. 

 

"Sedikit, Bu. Ayo kita pulang saja, Bu! Mereka akan mengantar kita," balas Santi, tetap tersenyum.

 

"Mereka suruh balik duluan saja, San. Ibu masih ada keperluan," ujarku. Bibir menantuku mulai mengerucut dan mendekati teman-temannya yang tidak keluar dari mobil.

 

"Mau kemana sih, Bu? Harusnya kita pulang loh," protes Santi, tapi tangannya mengamit lenganku. Biarpun cuma karena takut kalau aku mengadukan perbuatannya, hati ini tetap senang bisa sedekat ini dengan Santi. Aku tidak punya anak perempuan dan sekarang seolah sedang jalan-jalan sama putri sendiri.

 

"Baju sama jilbab kamu kan kotor. Ibu akan traktir kamu satu set baju," ujarku yang membuat Santi bersorak dan memelukku. Aku tak tahu apakah itu murni atau dibuat-buat saja. Yang penting salah satu misiku terlaksana, membelikan pakaian yang lebih longgar untuk menantuku.

 

Aku memilihkan satu set pakaian yang tidak ngepas di badannya dan memuji-muji wanita muda ini. "Nah ini nih yang musim sekarang, badan jadi luwes bergerak. Baju ini semakin cantik karena kamu yang memakainya. Tadi, saat masih di patung, ibu melihatnya biasa aja," ungkapku. Senyuman Santi jadi terkembang.

 

Ini nih mungkin salah satu daya tarik menantuku sehingga Akmal begitu antusias melamar Santi. Senyumannya menenangkan sekali. Alangkah beruntungnya aku dan juga Akmal jika wanita ini memiliki akhlak seindah senyumannya.

 

***

 

"Ya Allah! Menantu Ibu itu bidadari apa manusia sih? Kok cantik benar?" puji Akmal begitu pulang ari kantor. Anakku bukan buaya ya, karena dia tak pernah pacaran. Dia itu penikmat literasi, mungkin menurun dari ibunya ini. Buku-buku sejenis 'Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan' karya Ustad Salim A. Fillah jadi salah satu bahan bacaannya.

 

"Entahlah! Coba saja periksa apa ada sayap di punggungnya?" kekehku. Akmal benar-benar melakukannya, mengamati punggung istrinya. Santi tergelak, lalu mendorong bahu anakku.

 

Aku tersenyum bahagia melihat tawa Akmal. Ibu akan pastikan kalau Santi memang pantas jadi istrimu, anakku. 

 

 

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hany Mahanik
Mudah2an ya, Bu... Santi bisa berubah baik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status