Share

Mertua Cerdas VS Menantu Licik
Mertua Cerdas VS Menantu Licik
Penulis: Intan Resa

Satu

"Aku mau ikut arisan nanti siang, Bang. Minta uang tambahan, ya, lima ratus ribu," ujar Santi, menggelayut manja di lengan suaminya yang sedang bersiap ke kantor.

 

Aku tersenyum melihat anakku Akmal dengan senang hati memberikan uang untuk Santi. Pengantin baru itu tidak pernah ada masalah tentang kebutuhan rumah tangga karena jabatan Akmal lumayan tinggi dengan gaji lebih dari cukup. Aku mendidik anakku agar royal pada istri asal tujuannya jelas, maka rejeki pun akan mengalir deras. 

 

"Ini untuk pegangan Ibu. Mana tahu mau belanja ke mall," ujar Akmal, memberikan lembaran uang yang lebih banyak dari istrinya. Santi mendelik, mungkin merasa lebih berhak atas uang suaminya. Tapi, ia tidak pernah diberi kepercayaan mengelola semua uang suaminya. Itu yang sering aku dengar tanpa sengaja saat ia membicarakanku dan Akmal melalui sambungan telepon dengan temannya. 

 

Namaku Khadijah, istri satu-satunya suamiku sepanjang hidupnya. Kesederhanaan dan juga kegigihan kami bekerja bisa mengantarkan Akmal jadi manusia yang berpendidikan dan juga berbudi luhur. Dia bisa kuliah dengan beasiswa dan jadi lulusan terbaik di universitas ternama di kota ini. 

 

Orang tua biasanya menyekolahkan anak-anak langsung menanamkan dalam pikiran agar dapat pekerjaan bagus, kaya dan juga dihormati orang lain. Tapi, aku dan Bang Ande lebih menanamkan agar ia berilmu dan juga punya modal untuk lebih banyak bersedekah. Kami tidak kaya dan juga ahli ibadah. Semoga dengan amal jariyah dari anakku Akmal bisa membantu kami di akhirat kelak. 

 

"Bu! Kita sama-sama saja ke mall ya! Soalnya Santi juga arisannya di mall," ujar Santi, tersenyum terpaksa. Aku  tahu sejak awal kalau dia tak tulus menyayangiku. Sikapnya yang manis hari ini ada sebabnya. Dia memang bukan menantu idamanku, tapi karena melihat binar cinta di mata anakku, aku menerima ajakan Akmal untuk melamar Santi waktu itu. 

 

"Nah! Gitu dong, Sayang. Yang akur sama Ibu. Kalau kalian sering mengobrol bareng, abang yakin kamu akan menyukai Ibu," tutur Akmal, mencubit pipi menantuku dengan gemas. 

 

"Iya, Bang. Hati-hati di di jalan ya!" balas Santi, mencium tangan anakku. Akmal beralih mencium punggung tanganku dan juga pipi yang mulai keriput ini. 

***

 

"Ya ampun! Ini mertua kamu, San? Dia tak seseram yang kamu ceritakan! Gak malu-maluin juga," cerocos temannya Santi yang baru kutahu bernama Sindi. Dia memerhatikanku dari atas sampai bawah. 

 

Di rumah aku memang lebih nyaman memakai baju daster lengan panjang. Tapi aku tetap tahu memakai pakaian sesuai dengan tempatnya. Polesan bedak dan gincu tipis juga aku padu padankan dengan gamis motif bunga-bunga warna biru. 

 

"Udah ah, kita pesen makanan yuk!" balas Santi, memesan ayam kriuk-kriuk yang terkenal di negeri ini. 

 

"Bu! Ambilkan sausnya dong! Di situ tuh. Minta tolong ya, Bu. Aku lapar banget," pinta Santi, tersenyum ke arahku dan mengedipkan mata ke arah tiga temannya yang sedang mengulum senyum.

 

Aku berdiri agak lama di dekat tempat saus berbentuk kran itu. Sengaja agar bisa mendengar ejekan Santi. Dia saja yang belum tahu, aku dan Bang Ande sering mengajak Akmal makan ke tempat seperti ini saat anakku masih kuliah. 

 

"Kamu tega banget sih, San? Mertuamu bisa diledekin orang loh. Dikiranya nanti itu untuk tempat cuci tangan, eh belepotan saus," bisik temannya, tapi masih bisa kudengar. Mungkin mereka mengira kalau aku sedang bingung, makanya aku lama berdiri di sini. 

 

Aku sudah menekan tombol perekam di ponsel mahal yang kubeli dari hasil menulis di platform. Mungkin aku butuh rekaman itu suatu saat nanti. Akmal dan Santi tidak tahu pekerjaanku itu karena aku ingin anakku merasa kalau ibunya ini membutuhkannya. Rasanya juga lebih bahagia saat menerima uang pemberian anakku dari pada penghasilan sendiri. Lagian, kalau aku terus terang, Akmal akan menyuruhku berhenti menulis dan fokus ibadah. Bukankah aku bisa berdakwah lewat tulisan? Itu juga bisa jadi sarana hiburan bagiku karena tidak bisa jadi guru lagi, pekerjaanku saat masih gadis. Aku terpaksa meninggalkan profesi itu agar bisa fokus bertani dengan suami, demi anak semata wayang kami. Tahu kan betapa sedikitnya imbalan yang diberikan untuk tenaga pendidik di Negeri ini? 

 

"Biar ibu mertuaku malu dan besok langsung minta pulang ke kampung. Aku sebel tahu, masa uang suamiku dia yang kuasai. Sekarang anaknya sudah punya istri, harusnya aku yang berkuasa. Tahu kan banyaknya keperluan wanita?" cerocos Santi. Mungkin sengaja ia kuatkan agar aku mendengarnya. 

 

Aku sudah pernah bicarakan hal ini dengan Akmal,  tapi anakku itu tidak mau kalau Santi menghambur-hamburkan uang. Istrinya termasuk orang yang boros. Entahlah, aku belum terlalu mengenal Santi. 

 

"Ini sausnya, San" ujarku, memberikan wadah kecil berisi saus cabe untuk Santi. Belum sampai tanganku ke atas meja, kakiku tersangkut kursi dan saus itu mengenai mulut menantuku. Ups, sengaja. 

 

"Ibuuu!" teriak Santi dan berlari mencuci mulutnya yang pedas dan juga kepedasan. Aku tidak akan membentakmu, Nak. Kamu itu istri dari anakku. Tapi, jangan pernah berniat untuk pisahkan aku dengan anakku satu-satunya. 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status