Mirah membiarkan anak keduanya masuk ke kamar, ia tak mengejar lagi putranya itu meskipun hatinya sangat kesal. Untuk saat ini teman-temannya lebih penting, masalah dengan sadam bisa diurus setelah acara selesai. Wanita tua itu kembali bergabung bersama yang lain.“Aduh, Jeng, saya minta maaf dengan sikap Sadam,” ucap Mirah pada sahabatnya, Dahlia.Dahlia masih memasang wajah judesnya, kesal karena merasa dipermalukan di depan yang lain oleh Sadam. “Maafkan adik saya, Tante. Sadam memang seperti itu kalau belum kenal dengan orang.” Nala mencoba membantu Mirah membujuk Dahlia.“Kita kenalkan dulu Ayunda dengan Sadam. Kalau sudah berkenalan pasti Sadam tidak akan bisa menolak,” bujuk Mirah.“Ya sudah, nanti kita kenalkan mereka,” jawab Dahlia meski hatinya masih kesal.Mirah dan Nala pun saling pandang seraya tersenyum. Mirah lega akhirnya Dahlia mulai memudarkan raut wajah kesalnya dan kembali berbincang dengan yang lain seraya menikmati kue yang dihidangkan.“Oh iya, Jeng, waktu itu
Acara arisan yang diadakan di rumah Mirah berlangsung tanpa menikmati makan siang yang disiapkan. Teman-teman Mirah keburu kehilangan selera makan karena sup iga buatan Mirah yang sangat asin. Padahal masih ada menu lain yang dihidangkan. Namun, mereka lebih memilih menikmati kue, buah dan minuman.Sang tuan rumah memasang wajah kecut dengan senyum yang dipaksakan. Ia sangat malu diejek oleh teman-temannya karena sup iga yang dibuatnya. Amarah dalam hatinya sudah berkobar, tetapi ditahan karena tamunya belum bubar. “Perempuan itu sudah mempermalukan Ibu, Nala,” bisik Mirah pada anak sulungnya.“Sabar, Bu, masih banyak orang,” balas ibu dua anak itu.Sekitar pukul tiga sore semua teman-teman Mirah mulai berpamitan meninggalkan kediaman ibu Sadam. Mereka berterima kasih atas jamuannya dan beberapa di antaranya masih saja ada yang meledek Mirah, membuat wanita itu menjadi sangat kesal.“Nala, bawa anak-anakmu ke atas!” titah Mirah pada Nala.“Iya, Bu.” Wanita pemilik badan berisi itu s
Mirah tak bisa membendung amarahnya yang sudah mencapai ubun-ubun. Menurutnya gara-gara Safira ia diejek teman-temannya dan itu membuat dirinya merasa sangat malu. Ibu tiga anak itu terus memaksa sang menantu untuk meminum kuah supnya. Tangannya terus mendorong mangkuk ke mulut Safira sampai kuah sup berjatuhan dan Safira gelagapan. Hidung mancung istri Sadam itu terasa sangat sakit kemasukan kuah sup yang sangat asin. Ia pun susah untuk bernapas karena ibu mertuanya tak henti mencekokinya dengan kuah sup. Rasa sakit yang dirasakan oleh perempuan berambut sepinggang itu tak dipedulikan oleh Mirah. Kedua tangan Safira mencoba melepaskan tangan Mirah, tetapi sang merrtua sangat kuat. Perlahan air mata turun dari kedua ujung mata Safira.Tanpa peduli Mirah terus meluapkan kemarahannya pada Safira. Hatinya belum puas melihat sang menantu kesakitan. Napas Mirah memburu dengan dada yang kembang kempis. Ia tak menghentikan aksinya menyiksa istri Sadam.“Hentikan!” teriak Sadam.Tangan gaga
Sore itu Safira membereskan rumah yang cukup berantakan setelah acara arisan mertua dan teman-temannya. Perempuan berambut yang dicat cokelat itu tidak mengira kalau Mirah akan berbuat setega itu hanya karena sup iga yang asin. Ia akui perbuatannya memang salah, tetapi Safira hanya membalas rasa sakit hatinya karena lebih sering direndahkan di depan orang lain oleh ibu mertuanya.Istri Sadam itu menghela napas berat, menghapus air mata yang mengalir di pipi menggunakan telapak tangannya. Suara gedoran pintu kamar yang disebabkan suaminya memenuhi rongga telinga Safira. Ia tak bisa membukakan pintu kamar itu karena kuncinya dibawa Mirah. Safira ditinggalkan sendiri di bawah dan diberi waktu tiga puluh menit untuk membereskan semuanya. Tanpa membuang waktu ia mulai membereskan sampah yang menumpuk di meja. Tisu, kulit pisang, kertas kue, bungkus permen, bekas air mineral menumpuk di atas meja bekas teman-teman mertuanya tadi. Safira memunguti dan memasukannya ke dalam plastik hitam. T
“Ayo, kemasi baju-baju kita ke dalam koper,” ucap Sadam tiba-tiba saat masuk ke kamar sekaligus membuat istrinya kaget.“Kita mau ke mana, Mas?” tanya Safira masih mematung saat Sadam menurunkan koper dari atas lemari baju mereka.“Kita keluar dari rumah ini,” cetus pria berdada bidang itu.Safira malah celingak-celinguk tak percaya dengan ucapan suaminya karena selama ini ia minta tinggal berpisah dengan Mirah justru suaminya selalu menuruti kemauan ibu mertuanya agar tetap tinggal di sana dengan alasan anak laki-laki harus berbakti padanya dan juga pesan suaminya kalau Sadam harus menjaga Mirah.“Safira, ayo, cepat bereskan bajunya!” pinta sang suami.“Eh, i-iya, Mas,” gugup Safira.Tak bisa dibohongi hatinya sangat senang dengan keputusan Sadam. Akhirnya, ia bisa keluar juga dari rumah itu bersama sang suami. Perempuan berkulit seputih porselen itu segera mengemasi baju-baju suami dan dirinya ke dalam koper. Tak butuh waktu lama, mereka berdua telah selesai mengemasinya.Sadam menu
Sekitar sepuluh menit dalam perjalanan Safira dan Sadam masih saling diam. Tak ada satu pun yang berbicara. Safira memandang keluar jendela mobil, lampu-lampu yang mulai menyala menghiasi sepanjang jalan. Ia tersenyum melihat indahnya cahaya lampu menghiasi langit yang mulai gelap.“Kita cari hotel dulu, ya,” kata Sadam tanpa memandang sang istri.Safira tak menjawab, tiba-tiba ia berpikir untuk menginap di rumah orang tuanya saja. Lalu menyampaikan itu pada Sadam, tetapi tentu saja mereka sepakat tidak akan mengatakan kejadian dengan Mirah tadi.“Baiklah, kalau begitu kita menginap di rumah ibu dan bapakmu untuk malam ini,” kata Sadam melirik sang istri yang duduk di sebelahnya.Hati Safira sangat senang akan menginap di rumah kedua orang tuanya yang selama ini selalu diidamkannya. Ia sangat merindukan suasana di rumah tersebut.“Kenapa kau memutuskan untuk keluar dari rumah, Mas?” tanya Safira ingin tahu.Sebenarnya sejak tadi ia bertanya-tanya dan penasaran mengapa Sadam bisa memut
Sementara itu di kediaman Mirah, wanita yang melahirkan tiga anak itu tidak bisa tidur karena tidak bisa berhenti memikirkan Sadam. Ia sudah mencoba menghubungi anak kesayangannya itu berkali-kalli bahkan menghubungi menantunya dan mengirim pesan, tetapi tak ada yang membalasnya.Sampai tengah malam mata Mirah tak kunjung terpejam. Ia merasa dikalahkan oleh menantunya. Tentu saja semakin menimbulkan kebencian pada Safira. Ia harus mencari cara agar Sadam kembali ke rumah itu.Tangan Mirah meraih kacamatanya yang tergeletak di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Ia mengenakannya dan keluar dari kamar menuju dapur. Wanita berhidung bulat itu mengambil segelas air lalu berjalan menuju ruang tengah dan duduk di sana.Ia meneguk setengah gelas air yang dibawanya lalu menaruhnya di atas meja. Pandangannya tertuju ke kamar Sadam dan Safira. Mirah berdiri dan berjalan menuju kamar tersebut, membuka pintunya dan memindai ke dalam kamar. “Akan aku rebut kembali anakku,” gumam Mirah pad
Safira dan Sadam masih menginap di rumah Aini dan Arif. Mereka mengatakan akan menginap selama satu minggu di sana. Aini dan Arif berkali-kali bertanya pada Safira alasan mereka menginap cukup lama. Bukan tak senang hanya khawatir sedang ada masalah di rumah besannya. Namun, Safira meyakinkan kalau semua baik-baik saja. Ia dan suaminya hanya sedang ingin berkunjung lebih lama ke rumah Aini dan Arif.Sebenarnya Safira ingin sekali bercerita kepada Aini dan Arif tentang masalahnya dengan Mirah, tetapi pasti akan membuat kedua orang tuanya itu khawatir dan Safira tak ingin hal itu terjadi. Ia ingin Aini dan Arif tak terlalu banyak pikiran meskipun sebenarnya kedua orang tuanya itu merasa ada yang tak beres dengan anaknya.Sudah dua hari Safira dan Sadam berangkat kerja dari rumah Aini. Safira merasa bahagia bisa tinggal di sini meskipun hanya untuk seminggu ke depan. Setelah itu ia dan sang suami akan mengontrak rumah saja untuk tinggal. Selama di rumah Aini, Safira sama sekali tak pern