Share

Bukan Suami idaman

Penulis: Miss aLone
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-13 14:51:01

"Kenapa diem aja, huh?!" bentaknya kembali, mendengar suara keras membuat Fito menangis histeris. Hanya karena aku telat bangun, mereka itu.

"Diam! Berisik tau!" umpat Mas Bo'eng. Bukannya berhenti menangis, Fito malah semakin histeris dan memekakkan telinga.

"Makanya, sudah dibilang cari istri itu jangan sembarang pilih! Begini, kan, akhirnya?" timpal mertuaku kembali. Mereka memang tidak suka dengan jerit tangis Fito, aku ingin menangis saja rasanya.

Padahal yang bangun siang itu adalah Mas Bo'eng, harusnya dia bangun pagi dan mencari pekerjaan. Ibu dan anak itu kembali masuk ke dalam kamar masing-masing, tinggalkan aku yang masih berdiri seperti orang bodoh.

Mendengar tangisan Fito, hampir saja membuatku hilap. Ada dorongan untuk membanting anak ini, untungnya masih dapat tersadar dari bisikan-bisikan itu. Jeritan Fito membuatku semakin tersiksa, serba salah karenanya. Kesal.

Sementara aku membiarkan Fito terus menangis, kopi yang tadi aku seduh pun telah berada di wastafel cucian piring. Padahal belum tersentuh sedikitpun olehku, ia lebih rela membuangnya daripada terminum oleh menantunya sendiri.

"Tenang, ya, Fito. Mama bingung kalau kamu nangis," ucapku menenangkan. Belanjaan yang tadi aku bawa, segera menyulapnya menjadi sayuran matang. Tentu saja memasak dengan menggendong Fito. Lelah jangan ditanya lagi.

Setelah semua matang, aku segera menyuapi Fito dengan lauk yang telah tersaji. Ada ikan sambal, sayur sop, tempe goreng, dan tak lupa sambal terasi kesukaan suamiku. Jam di dinding ruang tamu telah menunjukkan angka 12.15 WIB, tanda sebentar lagi Rian pulang sekolah.

Setelah Fito tertidur, aku segera menyetrika pakaian seragam sekolah, maupun baju kerja Risa. Ibu dan anak itu—Mas Bo'eng—seperti sedang berlomba tidur.

Suara berisik terdengar dari luar rumah, ternyata Rian yang sedang menggedor-gedor pintu pagar hingga menyebabkan suara gaduh. Tergopoh-gopoh aku menghampirinya, takut jika nyonya besar itu terganggu dari tidurnya.

"Lama amat, sih! Gak tau apa orang kepanasan?!" Bukannya berterima kasih telah dibukakan pintu, Rian malah membentak. Ingin rasanya membalas bentakannya, tapi hati ini masih mencoba bersabar. Lebih baik diam menyimpan segala kepahitan.

"Ada apa, sih? Berisik banget!" Mertuaku telah berada di pintu dalam, terlihat wajahnya begitu kesal saat melihatku.

"Ini, nih! Lama bener bukain pintunya! Udah tau diluar panas!" ucap Rian sambil berjalan masuk ke rumah. Membanting ransel ke sembarang tempat. Seperti orang bodoh, aku memungutnya kembali.

"Budek kali, tuh, kupingnya!" Mertuaku merangkul Rian berjalan ke dalam rumah. Masih mencoba sabar, berharap ada kekuatan dan pergi dari sini. Hanya menangis dalam diam.

Setelah menutup pintu pagar, aku melanjutkan kembali tugas harian yang sempat tertunda tadi, melewati mereka yang telah duduk bersiap untuk makan siang. Tanpa bertanya siapa yang memasaknya. Sungguh bodoh diri ini, tapi aku bisa apa selain bersabar?

"Panggil Bo'eng, suruh dia makan. Sudah siang ini, kan!" titahnya tanpa menyebutkan nama. Sempat bingung, apakah mertuaku sedang berbicara pada diri ini, ataukah dengan si Rian?

"Denger gak, sih?!" sambungnya kembali.

"Oh, iya, Mi." Mereka tidak pernah menanyakan aku ataupun Fito sudah makan atau belum.

Hal yang tidak kusukai adalah membangunkan suamiku dari tidurnya. Selain marah, ia akan menendang kakiku layaknya anak kecil yang tidak suka.

"Aduh! Kenapa, sih?!" bentaknya tanpa membuka mata.

Aku kembali menggoyangkan badannya. "Mas, bangun, sudah siang ini!"

"Bisa gak, sih, kalau orang lagi tidur itu jangan ganggu?!" bentaknya kembali.

"Mami suruh makan, Mas. Bangun, ini sudah jam satu!"

Kebiasaan suamiku adalah selalu bergadang, kalau tidak menonton acara bola, ya, bermain game di ponsel. Mas Bo'eng adalah anak pertama di keluarga ini, tapi sifatnya melebihi bocah remaja. Usia 30 tahun tidak membuatnya berkaca diri. Selain malas, sifatnya yang selalu mau menang sendiri pun begitu dominan.

"Keluar!" Bentaknya. Untung saja Fito tidur di ruang tamu, jika tidak ia akan terbangun dan menangis kembali. Aku melempar guling ke tubuhnya dan kembali melanjutkan setrikaan tadi.

Kesal. Tentu saja. Sempat berpikir jahat, mereka semua ingin kuhabisi dengan cara memberi racun! Namun, aku berpikir kembali bagaimana nasib anakku kelak jika terpenjara nanti?

Kamarku terletak di bagian belakang dekat dengan dapur dan meja makan. Jadi, jika aku keluar kamar, Mertua dan Rian pun dapat melihatnya.

"Denger, ya, Yan. Kalau cari istri itu, jangan sembarang pilih," ujarnya kepada anak bungsu itu. Mereka sengaja berbicara saat aku melewatinya.

"Iya, lah, Mi. Masa' cari istri sembarangan? Nanti yang ada malah jadi benalu lagi." Aku tau, mereka sedang menyindirku seperti biasanya. Hampir di setiap harinya, seolah itu adalah nyanyian pengantar tidur untukku.

Aku melanjutkan kembali pekerjaan menyeterika di ruang tamu, karena rumah ini terlalu sempit untuk kami, maka ruang tamu dijadikan tempat menyetrika.

Perut sudah berbunyi sedari tadi, selain air putih, tidak ada asupan apa pun.

Mereka tidak berhenti begitu saja, Ibu dan anak itu, bahkan ingin menjodohkan Mas Bo'eng kembali dengan perempuan yang lebih cantik dan pintar. Aku tertawa dalam hati saat mendengar celotehan mereka. Hanya wanita bodoh sepertiku ini yang mau hidup susah!

Jika menyesal dapat merubah kembali hidupku, aku benar-benar ingin menyesali keputusanku selama ini. Rasa sakit yang tersimpan selama ini, menguar begitu saja menusuk hatiku semakin dalam.

Kulirik Fito sebentar, ia tertidur nyenyak sekali. ‘Jangan cepat besar, Nak. Menjadi dewasa itu tidaklah enak,’ ucapku dalam diam. Aku menghapus air yang hampir saja menetes, "aku harus kuat," lirihku.

Mertuaku sebenarnya memiliki usaha salon, tetapi entah kenapa ia tidak melanjutkannya lagi. Peralatan salonnya pun masih tertata lengkap di halaman depan, dekat dengan tempat mencuci pakaian.

"Nyetrika itu, tangan sama telinga jalan bareng! Jangan berbelok!" sindir Rian. Suara decakan dari mulutnya, bagai irama fals membuat jijik yang mendengarnya.

Terdengar gaduh suara sendok yang beradu dengan piring, tak lama mertuaku memanggil.

"Ambilin minum dingin, dong!" titahnya. Tanpa banyak kata, aku segera mengambil air dari dalam kulkas, dan menuangkannya ke dalam gelas miliknya.

Rian pun menyodorkan gelas kosongnya kepadaku, dengan malas kembali menuangkannya. Layaknya pembantu rumah tangga yang harus selalu siap bila dibutuhkan.

"Masakin gue mie rebus, dong," titah Rian.

"Masih kurang, kamu?" tanya mertuaku kepada anak manjanya itu.

"Ga enak masakannya! Rian mau makan mie rebus aja!" serunya.

Apa aku tidak salah dengar? Tidak enak? Tapi sayur di atas meja hampir bersih! Aku beranjak ke dapur, sebelumnya sudah mematikan alat setrika. Kebetulan, rasa kesal telah berada di puncaknya.

Merebus air dan memasak mie rebus, sesuai permintaannya. Aku mengambil obat pencuci perut yang sengaja disediakan oleh mertuaku, di dalam kotak obat dekat dengan pintu dapur. Untunglah mereka tidak begitu memperhatikan gerak langkahku.

Setelah selesai memasak mie, aku segera memberikan kepada Rian yang masih duduk di meja makan bersama ibunya. Wangi embusan mie rebus, membuat perutku berbunyi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dilla
mati ajala kau, kalok kebanyakan sabar. palak bacanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Mertua Rasa Pelakor   Sakit hati

    ( SAKIT HATI )*****"Besok, dateng sama siapa si mami Mas?" aku berbasa-basi sedikit, membuka obrolan. Padahal sebenarnya, aku males bertanya. Dan berdoa dalam hati, agar besok mertuaku tidak jadi datang."Sama Bianca, yank". Jawabnya tanpa menoleh, karena mata terfokus di cacingnya. Aku pun mendapatkan sebuah ide."Aaagggghhhhh, tuh kan MATI!!!" Teriaknya penuh kekesalan menoleh kearahku dan menatap tajam, seakan-akan aku adalah mangsanya.Aku terkekeh, bagaimana dia tidak kesal? aku menutup layar ponselnya dengan tanganku."Makanya, kalau lagi diajak ngomong itu lihat kearahku dong!" aku pun membalas dengan suara tinggi dan melotot tajam kearahnya."Cacingku sudah sembilan juta beratnya, ahhh kamu ini!" persis seperti anak bocah umuran lima tahun, yang ketika mainan nya dirampas. Merengek tidak jelas."Lagian laki-laki kok mainnya game cacing. Ga gentle banget." Ledekku."Main game itu yang seperti ini, daripada main game yang nguras emosi." Timpalnya lagi."Pantes saja gak dewasa!

  • Mertua Rasa Pelakor   kenangan masa lalu

    ( KENANGAN MASA LALU )****Suster jaga datang untuk melihat air infusan, memberikan obat, lalu bertanya padaku. "Maaf, Bu. Apa keluarga pasien?" tanyanya dengan ramah.Aku mengangguk, "Iya, Sus. Saya anaknya.""Bisa ke ruang administrasi? Sejak kemarin kami menunggu, nanti malam tolong ditemani, ya. Jangan biarkan seperti semalam, tidak ada yang menjaga!" titahnya."Baik." Aku menjawab dengan menahan malu yang besar. "Bu, July ke ruang administrasi dulu, ya.""Iya, Nak. Terima kasih, ya."Aku segera menuju ruang yang diperintahkan, mengurus semua berkas-berkas ibuku. Aku masih tidak habis pikir, kenapa kakakku tidak mengurusnya terlebih dahulu!Setelah semuanya beres, aku mencari Azam untuk memberitahu padanya. Salahku tidak meminta nomer ponselnya.Perutku tiba-tiba berbunyi, baiklah aku melangkahkan kaki menuju kantin. Memesan nasi goreng seafood, teh manis hangat, dan kerupuk. Tak lupa, memesan makanan untuk Azam dan Fito nanti.Pesanan datang 10 menit kemudian. Perut semakin meli

  • Mertua Rasa Pelakor   ibu masuk RS

    ( Ibu masuk rumah sakit )******Azam menitipkan kendaraan roda empat miliknya di sebuah bengkel ternama, gak jauh dari kafe Andrian. Setelah mempersiapkan semuanya, aku dan Fito membeli cemilan dan minuman terlebih dahulu untuk diperjalanan nanti. Meskipun sebenarnya, Azam bisa berhenti jika aku meminta, alangkah baiknya bersiap saja.Aku pun pamit kepada Andrian, lelaki itu memberikan sebuah amplop kecil padaku. Aku menolaknya karena tahu itu pasti uang. Akan tetapi, Andrian bersikeras menyuruhku untuk menerima. Katanya, untuk keperluan selama di kampung nanti.Azam mengecek kondisi mobil milik Ambar, mengisi angin pada ban kendaraan itu, lalu bersiap untuk menempuh perjalanan."Kalian lapar gak?" tanya Azam setelah memakai sabuk pengaman."Nggak. Kamu uda sarapan?" tanyaku balik."Belum.""Lisa gak nyiapin?" selidikku."Fito, kalau capek bilang, ya." Azam mengalihkan pembicaraan."Iya, Om. Fito seneng bisa jalan-jalan sama Om laagiiii.""Hehehe, Om juga." Azam menjawab sambil menge

  • Mertua Rasa Pelakor   bertemu kembali

    ( Bertemu dengan Azam kembali )****Aku meluapkan emosi pada Fito. Sudah sekian lama menyimpan kekesalan terhadap Mas Bo'eng dan ibunya. Tanpa berpikir ulang, aku telah memutuskan untuk membawanya Fito ke kampung halaman."Fito, nanti kamu tinggal di rumah Nenek, ya." Aku bersiap pulang ke kampung halaman bersama dengan Fito. Kali ini, aku tidak akan membawanya kembali lagi ke Jakarta."Gak mau, Fito mau sama mama aja." Fito menepis tanganku. Spontan saja membuat emosiku meluap."Tau diri sedikit kamu itu! Gara-gara kamu lahir, hidupku jadi hancur! Masa depan jadi suram!" teriakku.Sengaja aku berkata seperti itu, agar mereka mendengar apa yang aku rasakan selama ini. Bahkan, menjelang hari lahir Fito pun Mas Bo'eng acuh. Mengingat hari lahir anaknya pun, kurasa tidak ingat."Heh! Bisa kecilin suara lu gak, sih?!!" bentak mertuaku."Makanya, Fito! Jangan lahir dari rahim perempuan itu!" sergahnya lagi.Mas Bo'eng masih terlelap meskipun berisik. Dari ruang tamu, nyonya besar itu mele

  • Mertua Rasa Pelakor   Depresi

    ( DEPRESI )*****Luka lama kembali mengangaBeribu perih tersimpan indahBersemayam tanpa paksaanMenikmati setiap kesakitan yang terciptaMerawat dendam merangkai benci*****Sudah satu bulan berlalu, Azam belum juga menghubungiku. Nomor WA milikku pun masih diblokir. Aku mencoba untuk menata hatiku, agar tidak terlalu memikirkannya.Hari ini, rencananya aku akan menjemput ibuku. Ponselku berganti kembali, ini adalah ketiga kalinya dihadiahkan oleh seseorang. Kali ini adalah pemberian dari Andrian."Mau ke mana lagi?" tanya Mas Bo'eng.Laki-laki itu sedang menikmati rokoknya. Luka lebam di tubuhnya masih terlihat membiru. Kadang kasihan, tetapi jika mengingat kembali kelakuannya, membuatku benci setengah mati!"Mau menjemput ibuku.""Ngapain?? Mau tidur di mana nanti??!" bentak Mas Bo'eng."Aku mau kerja, Fito biar dipantau sama Ibu nanti.""Gak bisa! Lagian, lu mau kerja di mana? Hahaha. Tamatan SMP mana ada yang mau terima kerja!" cibirnya merendahkan diriku."Tenang aja, Mas. Aku

  • Mertua Rasa Pelakor   pulang

    (Pulang)" Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dikecewakan oleh seseorang, yang kau pikir tak akan pernah menyakitimu."~ ANONIM ~****Kami memasuki kawasan elit, perumahan yang terdiri hanya beberapa rumah megah saja. Pintu pagar terbuka lebar saat mobil Andrian membunyikan klakson mobil."Kita mau ke tempat siapa?" tanyaku takjub dengan apa yang kulihat.Bangunan-bangunan megah berjejer begitu indah. Ada yang rumah bergaya Eropa, Mediterania, ada juga yang bergaya seperti istana pada film kartun. Pilar-pilar kokoh itu, berdiri menambah kesan elegan pada rumah-rumah mewah di depan mataku.Ah, andaikan aku memiliki satu rumah seperti itu, gimana ya rasanya? Aku terkekeh dalam hati."Ayo, kita sudah sampai." Andrian membukakan pintu mobil, aku dan Fito turun.Andrian menggenggam tanganku, lalu kami berjalan bersama masuk ke dalam rumah mewah itu. Tak lama, pintu terbuka setelah Andrian mengetuknya."Ayo," ucapnya.Aku hanya tersenyum kepada wanita itu."Permisi," ucapku kepada a

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status