Aku tahu, mereka mendengar alarm dari perutku. Tubuhku terasa begitu lemas, gemetar, dan perih pada bagian perut.
Mereka memuaskan diri menyindirku, tak apa, Tuhan tidak tidur. Aku pun yakin akan adanya karma kehidupan, siapa yang menabur, dia yang akan menuai. Meskipun aku tak pernah tahu, kapan karma itu datang pada mereka. Tak sekali dua kali mereka membandingkan aku dengan iparku. Ada saja bahan untuk menyudutkan diri ini. Sepertinya, selalu saja salah di mata mereka."Liat, tuh, Mbak Lisa. Dia rajin, ya, Mi?" Lisa adalah adik iparku, istri dari Azam, adiknya Mas Bo'eng. Rian membandingkan, seolah aku adalah benalu.Sebenarnya nama Mas Bo'eng itu adalah Arka, tapi entah kenapa dipanggil Bo'eng. Azam anak kedua, hanya berselisih satu tahun dengan sumiku. Hanya dia yang menganggapku manusia di rumah ini. Azam tinggal di Depok, sedangkan kami tinggal di Tangerang."Iya, lah. Dia rajin cari duit juga, penampilannya pun cantik dan modis," cerosos nyonya besar itu. Tentu saja Lisa memikirkan penampilan, ekonomi mereka jauh lebih baik dibandingkan kami. Usaha Azam di mana-mana, sedangkan Lisa pun dibukakan usaha oleh suaminya. Aku? Jangan ditanya. Mengontrak saja, kami tak mampu.Pernah, Azam menyuruh Mas Bo'eng untuk bekerjasama dengannya. Namun, suamiku memiliki sifat yang tidak bisa bekerja dalam satu tim. Azam memberikan kepercayaan untuk memegang konter HP padanya, tetapi ia malah pergunakan untuk menggoda para karyawan. Sakit hatiku, sudah tak bisa terobati lagi."Makanya, Mi. Cariin Mas Bo'eng istri yang seperti Mbak Lisa, dong." Mendengar ucapan Rian, membuat tanganku berhenti sejenak. Tanpa sadar, aku mengepalkan jemariku di atas gagang setrikaan. Untung saja cepat sadar, kalau tidak, bisa-bisa pakaian ini gosong.Ada rasa dalam hati, ingin menempelkan setrika yang panas ini, ke wajah dan kulit mereka tanpa ampun. Bisikan-bisikan itu terus saja terngiang di telingaku. Bahkan, adegan-adegan penyiksaan itu mengalir begitu saja. Untungnya, hasutan setan itu dapat kutahan.‘Sabar, sabar!’ gumamku dalam hati.Meskipun sudah terbiasa mendengar sindiran mereka, hati ini masih terasa sakit. Seandainya waktu bisa diputar kembali, aku tak sudi menerima lamaran Mas Bo'eng kala itu. Aku kembali mengingat semuanya. Tidak seharusnya menyesali yang telah terjadi.Saat aku lagi membayangkan penyiksaan itu, tiba-tiba aku tersentak ketika mendengar teriakan dari ipar bungsuku. "Woy! Nguping lu, ya?!" Rian menggebrak meja."Dasar benalu, udah bagus dikasih numpang tinggal!" cibir mertuaku.Aku memang menumpang di rumah kecil ini, tapi tidak gratis seperti yang selalu mereka ucapkan. Ada tenagaku di rumah ini. Jika saja tidak malu untuk kembali pulang ke kampung halaman, mungkin hari ini aku dan Fito sudah tidak ada di sini lagi.Aku tak ingin membuat orang tuaku tahu kesusahan anaknya di sini. Aku tak ingin menjadi beban pikiran mereka nantinya.Tanpa memedulikan ucapan mereka, aku menyelesaikan tugasku. Setelah semua beres, tumpukan baju itu pun segera kususun ke dalam lemari masing-masing.Jam 14.36 WIB, perutku sudah tidak tahan lagi untuk meminta segera diisi. Wajar saja, dari pagi aku belum memakan apa pun selain meminum air putih. Sayur yang ada di meja makan pun hanya tersisa sedikit, cukup untuk satu orang saja. Mereka selalu sengaja menyisakan sedikit, hanya untuk Mas Bo'eng saja. Salahnya, aku selalu mengalah hingga mereka menjadi semena-mena terhadapku.Sebelum makan, aku mengelap sisa-sisa tumpahan sayur yang ada di atas meja. Menyingkirkan terlebih dahulu piring-piring kotor yang baru saja mereka makan dan tinggalkan begitu saja, lalu mengelapnya. Hanya sepiring nasi putih, segera menambahkan sedikit sambal ke piringku.Bahkan, ingin menangis pun sudah tak ada lagi asupan air mata. ‘Tuhan, sampai kapan aku seperti ini?’ gumamku menahan tangis.Aku hanya bisa menangis dalam diam. Menjerit tanpa mengeluarkan suara. Hal yang amat menyakitkan. Sakit tak berdarah.Pintu kamar terbuka, Mas Bo'eng keluar, sempat ia melirik ke arahku juga Fito yang masih tertidur di sofa."Enak, ya. Kerjanya makan tidur aja kamu," sindirnya. Tangannya sambil menggaruk-garuk perut buncitnya yang sedikit terbuka."Ya, ampun, Mas. Aku baru aja makan, setelah seharian jadi pembantu!" umpatku kesal. Ya, aku sudah tidak tahan lagi meluapkan emosiku. Amarah memuncak sampai ke ubun-ubun, bahuku gemetar hebat tak kuat menahan kekesalan yang sedari tadi ditahan."Eh, kalau ngomong gak usah sembarangan lu!" Mas Bo'eng terlihat begitu kesal mendengar ucapanku tadi.Aku diam, tidak ada untungnya berdebat dengan dia. Mas Bo'eng mengambil piring dan menuju meja makan, "Hmm, makanan abis semua? Kalau makan, kira-kira, dong! Mikir gue belum makan!" Mas Bo'eng membanting piring ke atas meja makan. Sontak, piring tersebut terpantul jatuh ke bawah dan pecah.Fito terbangun dan menangis. Gegas, aku menghampiri Fito meski tangan masih berlumur sambel terasi. Rian dan ibunya pun keluar dari kamar mereka, sementara Mas Bo'eng masih terus memaki sambil menunjuk-nunjuk ke arahku."Ada apa lagi, sih?! Sejak kalian datang, rumah ini gak ada tenangnya sekali!" hardik mertuaku."Cup ... cup ... cup, tenang, ya." Aku mencoba menenangkan kembali seperti pagi tadi."Perempuan ini kalau makan, gak inget orang sudah makan apa belum!" Terlihat mertuaku juga Rian seperti salah tingkah. Sebab, yang menghabiskan lauk pauk adalah mereka berdua."Ya, ampun, July! Kalau makan inget suami, dong! Rakus banget, sih, jadi perempuan." Mertuaku berjalan ke dapur, membuatkan telur mata sapi untuk suamiku. Seolah aku yang tidak tahu diri, seolah hanya dialah yang memikirkan Bo'eng."Cukup! Aku yang masak aja, gak kebagian sayur! Tanya Ibu dan adikmu itu, ke mana sayur itu berpindah!" Aku mencoba melawan, tapi tamparan dari suamiku, melayang ke pipi ini seperti biasa."Perempuan gak tau diri, pake nuduh-nuduh kita lagi," timpal Rian, setelah itu ia masuk ke kamar."Pungutin, tuh, nasi! Awas, pecahan piringnya jangan sampe tersisa!" Mas Bo'eng berlalu begitu saja."Makanya, Bo'eng. Lain kali itu, nurut apa kata orang tua!" teriak mertuaku dari dapur.Pecahan piring sedikit menggores jariku, darah mengalir pun tak terasa sakit. Ya, karena hatiku lebih merasakan perih hingga menyamarkan rasa yang sebenarnya. Fito mulai mereda tangisnya, ia terus saja memperhatikan tetesan darah segar ini.Aku tak bisa apa-apa selain bertahan, kampung halamanku begitu jauh. Jangankan berharap mempunyai ongkos pulang, untuk membeli kecap seribuan pun aku tak mampu. Hampir dua tahun aku tinggal di neraka ini, selama itu juga aku memendam kepedihan seorang diri.Setelah selesai membersihkan tumpahan nasi dan pecahan piring, aku kembali ke rutinitas lainnya. Mengangkat air untuk mandi kami, di sumur belakang kontrakan ini. Jaraknya hanya 20 langkah saja dari rumah, sementara Fito bermain di teras tetangga seperti biasanya.Mas Bo'eng dan ibunya asik mengobrol di meja makan. Bukankah yang seharusnya menemani makan adalah istrinya? Ya, tugas istri selalu diambil alih oleh mertuaku, kecuali tugas yang satu itu.Ketika jatah tidak diberikan, suamiku pasti akan mencari gara-gara denganku. Namun, ketika hasrat telah tersalurkan, sikapnya manis dan perhatian padaku. Meski hanya bertahan dalam hitungan jam saja, setelahnya kembali ke tabiat aslinya.Entah sudah ember ke berapa, aku mulai merasakan lelah di sekujur tubuhku. Setelah cukup penuh, aku beristirahat sebentar di teras tetangga. Lelah jangan ditanya lagi. Badan kurus dan tak terawat, itulah gambaran diriku."Sudah penuh bak mandinya?" tanya Erna, tetanggaku sekaligus seperti saudara. Satu-satunya yang peduli padaku juga Fito."Sudah. Cukuplah untuk mandi dan keperluan nanti malam, jika Fito buang air besar," jawabku dengan meluruskan kaki sambil berselonjoran. Tangan tak henti-hentinya memijit kaki, Erna menggelengkan kepala melihat tingkahku yang begitu miris.Erna melihatku begitu iba, dia sering menasehati untuk tinggal terpisah dari mertuaku. Namun, kendalanya adalah Mas Bo'eng yang belum bekerja. Bagaimana mungkin tinggal terpisah? Sedangkan membeli beras saja kami tidak mampu.Aku menghela napas secara kasar, "Mas Bo'eng aja belum kerja, gimana mau ngontrak," jawabku apa adanya."Suruh dia kerja, dong. Masa' mau seperti ini terus? Aku kasihan sama kamu, Jul." Setelah 10 menit kupakai untuk istirahat, aku pamit untuk menyiapkan makan malam mereka.Lumayan cukup mengistirahatkan dengan merebahkan tubuh di teras Erna, betapa enaknya tiduran seperti ini. "Belum dapet kerjaan, Er," jawabku lagi, "aku pulang dulu, ya."Rumah Erna persis di belakang rumah kontrakan kami, hanya berjarak beberapa langkah saja. Ketika sampai di pintu dapur, ternyata mertuaku ada di sana, tangannya dilipat seperti sedang mengintrogasi."Udah gosipnya?" celetuk mertuaku. Tentu saja aku terkejut.Menutup pintu dan berusaha tidak termakan e
Azam menuntunku masuk kembali, awalnya aku menolak, karena ini adalah kesempatan kami untuk bisa bebas. Namun, aku berpikir kembali bagaimana nanti jika benar-benar tidak mempunyai tempat tinggal? Kasihan Fito, masih terlalu kecil untuk merasakan kerasnya kehidupan."Kenapa kalian mengusirnya? Di mana letak hati kalian, huh?" Mereka semua duduk di ruang tamu, sedangkan aku masih berdiri di ambang pintu.Lisa menatapku seperti seorang pencuri saja, apa mungkin dia marah saat melihat Azam menarik tanganku tadi? Tatapannya begitu sinis, Azam membelaku dan memarahi ibu dan juga kakaknya."Dia itu tidak tau diri!" bentak ibunya."Lu juga, Mas. Kenapa gak cari kerjaan? Anak juga butuh susu, istri lu juga butuh duit untuk dia belanja!" Azam memang lebih dewasa dari Mas Bo'eng, ia pun sebenarnya tulang punggung di rumah ini.Benalu sesungguhnya adalah mereka bertiga—mertuaku, Mas Bo'eng, Rian—karena masih ditanggung oleh Azam. Tetapi, gaya mereka seperti orang kaya.
Aku terbangun saat mendengar teriakan Risa. Aku membuka mata dengan malas, dan melirik jam yang terpajang di dinding, atas pintu kamar. "Baru jam 11 malam rupanya," ucapku. Mas Bo'eng belum juga kembali. Aku duduk bergeming. Sementara gedoran dari luar pagar semakin menjadi.Padahal, Risa membawa kunci rumah. Aku berjalan dengan malas, sambil membenarkan ikatan rambut. Risa dan Toni menatapku penuh kebencian."Tidur lu, ya?!" tanyanya dengan nada tinggi. Aku mengabaikan pertanyaannya, membuka lalu masuk kembali niatnya. Tapi, ketika membalikkan badan, Risa menjambak rambutku hingga menengadah.Refleks, tanganku memegang cengkraman Risa. "Jangan kurang ajar kamu, ya!" bentakku. Hampir saja aku ingin menjambak rambut Risa kembali, untungnya masih bisa menahan."Apa?! Mau apa lu? Mau mukul?" cerososnya. Toni yang baru selesai memarkir motornya pun mendekat dan bertingkah seperti preman pasar."Kurang puas, ya? Sudah membuat Mas Azam dan ibunya bertengkar tadi?" timp
Erna menyiapkan beberapa menu dalam satu keranjang, yang nantinya akan kubawa. Ya, semoga saja nanti akan terjual banyak. Hari pertama berjualan, rasanya hatiku deg-degan. Aneh."Aku siap-siap dulu, ya," pamitku."Iya, jangan lupa bawa payung, takut hujan." Langit hari ini tidak secerah sebelumnya, semoga saja hujan tidak turun.Sesampainya di rumah, Nyonya besar itu sudah tidak ada. Tentu saja, mertuaku pasti sudah mengantarkan anak kesayangannya. Kebetulan, hari ini mereka sengaja tidak membeli sayur. Semoga saja jualanku habis.Setelah semua siap, aku menggendong Fito dengan kain panjang. Membawa bekal minum dan payung. Saat ini, baru jam delapan pagi, ingin pamit dengan Mas Bo'eng pun percuma. Ia tidak akan bangun ataupun membutuhkan tenagaku. Lagian, hari ini aku ingin memberikan mereka semua pelajaran."Mau ke mana, tuh?" tanya Rian dengan mata fokus ke layar ponselnya tanpa menoleh ke arahku. Ia sedang rebahan di sofa ruang tamu sambil memakan cemilan. Ter
Dua jam sudah aku dan Fito berada di rumah Erna, rasa cemas begitu bergelayut dalam hati. Takut, jika Mas Bo'eng bangun dan mencari makanan. Karena hari ini, Nyonya besar itu tidak membeli sayur. Pasti ia akan seperti orang gila. Terkadang, aku malu bila bertemu dengan tetangga. Mereka semua menjadi pendengar setia, jika teriakan suami ataupun mertuaku mulai meninggi. Makanya, aku lebih memilih untuk mengalah dan diam."Kamu kenapa, sih? Dari tadi, kok, gelisah?" tanya Erna.Aku membantunya menyiangi sayuran untuk menu besok, tanganku membantu tapi pikiranku ada di rumah itu. Suara Mas Bo'eng pun belum terdengar, apakah sudah sesore ini dia belum juga bangun? Ke mana mereka?"Ah, gak apa-apa. Cuma takut Mas Bo'eng nyariin, karena hari ini gak masak," terangku. Walaupun suamiku kasar dan tidak memedulikan aku, hati ini masih ada rasa kasihan kepadanya. Biar bagaimanapun juga, dia masih suamiku, Ayah dari Fito.Erna memberiku segelas teh manis hangat, "Dia pasti bakal
Setelah mendengar alasannya, Erna menyuruhku untuk membantunya sementara. Hitung-hitung, untuk tabungan. Meski sedikit, lama-lama akan terkumpul banyak."Ya sudah, untuk sementara ini, kamu jualan seperti tadi aja? Biar Fito bermain sama Mita, selama kamu berjualan. Kasihan kalau diajak, gimana?" tanyanya. Tentu saja aku langsung mengiyakan."Apa gak terlalu merepotkan?" tanyaku masih sesenggukan."Fito, kan, sudah gak digendong-gendong lagi? Jadi, gak merepotkan pastinya." Erna menepuk-nepuk pundakku dengan lembut. Ada kekuatan baru mengalir begitu saja."Aku pulang dulu, ya. Takut mereka kunci lagi," pamitku pada Erna. Fito masih tertidur, gegas menggendongnya dengan hati-hati. Hati ini telah menyimpan dendam, dalam diam aku akan bertahan. "Sekali lagi, terima kasih, ya," ujarku kemudian.Erna tersenyum sambil berkata, "Semangat, ya."Setelah masuk lewat pintu belakang, Mas Bo'eng melihatku menggendong Fito. Ia dan keluarganya seperti sengaja tak melihatku.
Tiga bulan sudah aku berjualan sayur matang milik Erna, uang yang aku dapatkan dari keuntungan, telah aku sisihkan tanpa sepengetahuan Mas Bo'eng dan ibunya. Lambat laun, aku mulai berpikir, jika memasak sendiri akan jauh lebih untung. Tapi, ada rasa tidak enak di hati. Bagaimana kalau Erna tidak suka? Uang yang kudapatkan dari penjualan, sudah mulai terasa jumlahnya."Kalau masak sendiri, pasti jauh lebih banyak keuntungannya. Selain itu, aku, kan, sudah ada pelanggan tetap," ucapku dalam hati. Tapi, aku takut Erna jadi salah paham padaku.Beberapa hari lalu, Azam datang ke rumah ini, memberikan kesempatan kepada Mas Bo'eng untuk mengelola usaha konter barunya nanti. Rencananya, Azam akan membuka cabang di dekat sini. Setidaknya, suamiku ada pekerjaan.Azam juga menyuruh Mas Bo'eng untuk mengontrak rumah, atau tinggal di dalam kios baru nanti. Ibu mertuaku membujuk Mas Bo'eng untuk memberikan gaji pertamanya nanti, sebenarnya aku tidak mempersoalkan hal itu. Toh, kewaji
Erna menyuruhku untuk datang melihat konter baru secepatnya, emosi meluap bercampur sedih. Kenapa Mas Bo'eng tidak juga berubah? Erna memboncengku dengan motornya, saat sampai di depan konter itu, aku hanya melihat karyawan lainnya.Menurut Erna, ada sekitar empat karyawan termasuk Melly. Namun, hanya ada dua yang sedang berjaga. Aku pun tidak melihat adanya Mas Bo'eng.Melly adalah seorang perempuan berumur sekitar 18 tahunan. Rumahnya tak jauh dari konter ini. Ibunya Melly adalah langganan Erna."Mau cari apa, Mbak?" tanya perempuan berhijab maron pada kami."Mas Bo'eng sama Melly di mana?" tanyaku langsung. Terlihat ia begitu terkejut dan menoleh ke belakang lalu temannya berdiri mendekati kami.Konter ini terbilang cukup luas, karena dua ruko dijadikan satu. Etalase disusun leter L, aku dan Erna berdiri dekat sekat penghubung pintunya."Emm. Mbak siapa? Mas Bo'eng belum datang, Melly hari ini juga tidak masuk." Perempuan itu bernama Siti. Aku tak bisa membendung emosi lagi."Ke ma