Share

Mengenang

Azam menuntunku masuk kembali, awalnya aku menolak, karena ini adalah kesempatan kami untuk bisa bebas. Namun, aku berpikir kembali bagaimana nanti jika benar-benar tidak mempunyai tempat tinggal? Kasihan Fito, masih terlalu kecil untuk merasakan kerasnya kehidupan.

"Kenapa kalian mengusirnya? Di mana letak hati kalian, huh?" Mereka semua duduk di ruang tamu, sedangkan aku masih berdiri di ambang pintu.

Lisa menatapku seperti seorang pencuri saja, apa mungkin dia marah saat melihat Azam menarik tanganku tadi? Tatapannya begitu sinis, Azam membelaku dan memarahi ibu dan juga kakaknya.

"Dia itu tidak tau diri!" bentak ibunya.

"Lu juga, Mas. Kenapa gak cari kerjaan? Anak juga butuh susu, istri lu juga butuh duit untuk dia belanja!" Azam memang lebih dewasa dari Mas Bo'eng, ia pun sebenarnya tulang punggung di rumah ini.

Benalu sesungguhnya adalah mereka bertiga—mertuaku, Mas Bo'eng, Rian—karena masih ditanggung oleh Azam. Tetapi, gaya mereka seperti orang kaya.

Ibu mertuaku bernama Cintya, menjadi janda saat usianya 35 tahun. Dan menjadi simpanan seorang kontraktor asal Surabaya, yang masih memiliki seorang istri. Bahkan, tak segan mertuaku itu berteman dengan istrinya Om Bagas. Parahnya lagi, istri Om Bagas sering curhat masalah suaminya dengan mertuaku. Tentu saja, kedekatan itu disengaja oleh mertuaku. Agar bisa memantau keluarga mereka katanya.

Untuk apa memiliki suami simpanan? Jika semua tanggungan masih Azam yang memberikannya?

Dari menyewa rumah ini, tagihan listrik, sampai keperluan sehari-hari ibu dan adiknya, Azam yang menyuplai. Suami simpanan mertuaku tak pernah membiayai kehidupannya, wanita 52 tahun itu hanya bergantung kepada Azam untuk biaya makan hari-hari maupun bulanan. Pun dengan sekolah Rian, tak lepas dari tangan Azam.

"Kalau dia mau pergi, ya, gak usah ditahan. Biar aja dia tau rasa, gimana hidup di jalanan!" bentak Mas Bo'eng.

"Kalau kalian bersikeras mengusirnya, maaf jika saat itu pun Azam berhenti memberi uang!" ancamnya. Aku tak tahu, kenapa Azam membela kami.

Aku sudah lelah menangis. Mendengar ucapan Azam barusan, entahlah apa yang harus kurasakan. Bahagia atau harus bersedih?

"Mas, kok, jadi belain dia?" bantah Lisa. Kakinya menendang plastik bajuku.

Aku menoleh ke arahnya, sorot mata kami saling beradu. Tampak jelas ada kemarahan tertuju padaku. Siapa pun pasti akan melakukan hal yang sama seperti dirinya, jika melihat suami tercinta membela perempuan lain di depannya. Meskipun tidak ada rasa apa pun dibalik pertolongan itu.

"Mami dan Mas Bo'eng sudah keterlaluan kali ini, kamu juga seorang perempuan, kan? Bagaimana perasaanmu jika berada di posisi Mbak July?" tuturnya.

Wangi tubuh Azam membuatku sedikit terobati, segar terasa, menenangkan jiwa yang semakin rapuh. Memang, Azam adalah laki-laki tegas dan dewasa. Impian setiap kaum Hawa. Sifatnya yang lembut dan penuh perhatian, membuat siapa saja pasti akan salah paham dengan kelembutannya.

Ah, andai saja suamiku seperti Azam. Betapa bahagianya aku dan Fito saat ini. Aku kembali menyadarkan diri, untuk tidak berharap ataupun menghayal banyak tentang perubahan Mas Bo'eng. Tidak akan mungkin terjadi.

Akhirnya, mereka mengalah. Azam menyuruhku untuk membereskan kembali pakaian kami ke tempat semula. Sempat melirik Mas Bo'eng dan ibunya, mereka terlihat begitu kesal. Setelah itu, mereka pamit untuk makan di luar. Azam mengajakku dan Fito untuk ikut serta, tetapi aku menolak dengan halus. Bagaimana pun, aku harus tau diri.

"Siap-siap kalian, aku tunggu dan kita akan pergi makan bersama," titah Azam. Namun, segera kutolak.

"Tidak usah. Nanti acara kalian jadi terganggu, orang hina seperti kami tidak layak berada ditengah-tengah kalian," sindirku sambil melangkah masuk.

"Ngapain ajak dia?!" Belum sempat Azam menjawab, cerosos ibu mertuaku terdengar sedikit meninggi. Jelas, kekesalan yang belum hilang pun dikeluarkannya.

"Mi! July juga menantu Mami, kenapa Mami selalu aja kasar sama dia?" bentak Azam.

Meskipun aku sudah ada di kamar, tetapi masih bisa mendengar perdebatan mereka. Setelah membereskan baju-baju, aku merebahkan diri di atas kasur sambil menidurkan Fito. Tak lama, suara mereka pun menghilang. Mungkin sudah pergi. Aku pun tak mengunci pintu, membiarkan mereka berlalu begitu saja.

Perut yang terus berbunyi, memaksaku untuk memasak mie instan. Untunglah, masih ada stok mie rebus dan telur. Sebelumnya, aku tidak seberani ini menggunakan stok bahan yang ada. Tapi, malam ini akan kuubah sifat lemahku secara bertahap.

Mengiris beberapa cabai yang ada di kulkas, irisan mentimun, dan memberikan sedikit saus ke dalam mangkuk yang telah terisi mie. Nikmat. Telor setengah matang membuat lengkap hidanganku. Entah ini adalah sarapan, makan siang, ataukah makan malam untukku. Semua jadi satu, dirapel.

Suapan terakhir, terasa nikmat. Rasa pedas dari irisan cabai pun, tak mampu membuatku merasakan panas terbakar. Menurutku, mulut mertua dan iparku lah yang paling pedas.

Setelah mie habis, aku mencucinya dan membereskan dapur. Meskipun belum sepenuhnya kenyang, setidaknya perutku sudah tidak berbunyi lagi. Anehnya, bisa bersendawa. Lucu.

Mematikan lampu dapur, lalu berjalan kembali ke kamar. Mataku sudah melemah, ingin segera mengistirahatkan tubuhku. Namun, lagi-lagi aku terbayang wajah Azam saat membelaku tadi. Ah, rasanya aku bahagia sekali mendapat perlakuan lembut dari laki-laki itu. Dia adalah cinta pertamaku.

Sekali-kali, aku ingin memberi pelajaran kepada mereka semua. Akan tetapi, rasa tidak tega selalu dominan. Itulah yang membuatku selalu tertindas oleh perbuatan mereka. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, setelah hampir satu jam menangis, aku mulai lelah dan mengantuk rasanya. Hingga akhirnya, aku terlelap dengan sendirinya. Dan terbangun saat Risa pulang.

***

Tujuh tahun lalu, aku pernah dekat dengan Azam. Kami tak senagaja bertemu dalam acara yang diadakan oleh sekolahku. Sekolahan Azam mengundang beberapa sekolahan yang berbeda kota, untuk bertanding dalam lomba yang diadakan oleh sekolahan tempat Azam menimba ilmu.

Setelah lomba selesai, Azam yang kebetulan ketua OSIS di sekolahnya, menghampiri tim kami. Sekedar berbasa-basi kenalan, dsn membagikan air mineral untuk semua peserta.

Azam tersenyum manis padaku, hati ini berdebar tak menentu. Saat kami ingin pulang, Azam berlari ke arah mobil dan mencariku. Tak lama, setelah melihatku ia memberi sebuah kertas padaku. Ternyata itu adalah nomor telepon miliknya. Namun, saat itu adalah tahun 2001, pengguna telepon seluler masih sangat minim dan jarang.

"Nanti, tolong telepon ke nomor ini, ya." Sambil tersenyum, Azam menyerahkan kertas tersebut padaku. Teman-teman menyoraki kami, buru-buru aku memasukkannya ke dalam tas paling dalam.

Sejak hari itu, aku tidak langsung meneleponnya. Karena, harus berjalan kaki sejauh 500 meter untuk bisa sampai ke wartel.

****

( Bersambung )

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status