Share

Mengenang

Author: Miss aLone
last update Last Updated: 2022-04-13 14:52:57

Azam menuntunku masuk kembali, awalnya aku menolak, karena ini adalah kesempatan kami untuk bisa bebas. Namun, aku berpikir kembali bagaimana nanti jika benar-benar tidak mempunyai tempat tinggal? Kasihan Fito, masih terlalu kecil untuk merasakan kerasnya kehidupan.

"Kenapa kalian mengusirnya? Di mana letak hati kalian, huh?" Mereka semua duduk di ruang tamu, sedangkan aku masih berdiri di ambang pintu.

Lisa menatapku seperti seorang pencuri saja, apa mungkin dia marah saat melihat Azam menarik tanganku tadi? Tatapannya begitu sinis, Azam membelaku dan memarahi ibu dan juga kakaknya.

"Dia itu tidak tau diri!" bentak ibunya.

"Lu juga, Mas. Kenapa gak cari kerjaan? Anak juga butuh susu, istri lu juga butuh duit untuk dia belanja!" Azam memang lebih dewasa dari Mas Bo'eng, ia pun sebenarnya tulang punggung di rumah ini.

Benalu sesungguhnya adalah mereka bertiga—mertuaku, Mas Bo'eng, Rian—karena masih ditanggung oleh Azam. Tetapi, gaya mereka seperti orang kaya.

Ibu mertuaku bernama Cintya, menjadi janda saat usianya 35 tahun. Dan menjadi simpanan seorang kontraktor asal Surabaya, yang masih memiliki seorang istri. Bahkan, tak segan mertuaku itu berteman dengan istrinya Om Bagas. Parahnya lagi, istri Om Bagas sering curhat masalah suaminya dengan mertuaku. Tentu saja, kedekatan itu disengaja oleh mertuaku. Agar bisa memantau keluarga mereka katanya.

Untuk apa memiliki suami simpanan? Jika semua tanggungan masih Azam yang memberikannya?

Dari menyewa rumah ini, tagihan listrik, sampai keperluan sehari-hari ibu dan adiknya, Azam yang menyuplai. Suami simpanan mertuaku tak pernah membiayai kehidupannya, wanita 52 tahun itu hanya bergantung kepada Azam untuk biaya makan hari-hari maupun bulanan. Pun dengan sekolah Rian, tak lepas dari tangan Azam.

"Kalau dia mau pergi, ya, gak usah ditahan. Biar aja dia tau rasa, gimana hidup di jalanan!" bentak Mas Bo'eng.

"Kalau kalian bersikeras mengusirnya, maaf jika saat itu pun Azam berhenti memberi uang!" ancamnya. Aku tak tahu, kenapa Azam membela kami.

Aku sudah lelah menangis. Mendengar ucapan Azam barusan, entahlah apa yang harus kurasakan. Bahagia atau harus bersedih?

"Mas, kok, jadi belain dia?" bantah Lisa. Kakinya menendang plastik bajuku.

Aku menoleh ke arahnya, sorot mata kami saling beradu. Tampak jelas ada kemarahan tertuju padaku. Siapa pun pasti akan melakukan hal yang sama seperti dirinya, jika melihat suami tercinta membela perempuan lain di depannya. Meskipun tidak ada rasa apa pun dibalik pertolongan itu.

"Mami dan Mas Bo'eng sudah keterlaluan kali ini, kamu juga seorang perempuan, kan? Bagaimana perasaanmu jika berada di posisi Mbak July?" tuturnya.

Wangi tubuh Azam membuatku sedikit terobati, segar terasa, menenangkan jiwa yang semakin rapuh. Memang, Azam adalah laki-laki tegas dan dewasa. Impian setiap kaum Hawa. Sifatnya yang lembut dan penuh perhatian, membuat siapa saja pasti akan salah paham dengan kelembutannya.

Ah, andai saja suamiku seperti Azam. Betapa bahagianya aku dan Fito saat ini. Aku kembali menyadarkan diri, untuk tidak berharap ataupun menghayal banyak tentang perubahan Mas Bo'eng. Tidak akan mungkin terjadi.

Akhirnya, mereka mengalah. Azam menyuruhku untuk membereskan kembali pakaian kami ke tempat semula. Sempat melirik Mas Bo'eng dan ibunya, mereka terlihat begitu kesal. Setelah itu, mereka pamit untuk makan di luar. Azam mengajakku dan Fito untuk ikut serta, tetapi aku menolak dengan halus. Bagaimana pun, aku harus tau diri.

"Siap-siap kalian, aku tunggu dan kita akan pergi makan bersama," titah Azam. Namun, segera kutolak.

"Tidak usah. Nanti acara kalian jadi terganggu, orang hina seperti kami tidak layak berada ditengah-tengah kalian," sindirku sambil melangkah masuk.

"Ngapain ajak dia?!" Belum sempat Azam menjawab, cerosos ibu mertuaku terdengar sedikit meninggi. Jelas, kekesalan yang belum hilang pun dikeluarkannya.

"Mi! July juga menantu Mami, kenapa Mami selalu aja kasar sama dia?" bentak Azam.

Meskipun aku sudah ada di kamar, tetapi masih bisa mendengar perdebatan mereka. Setelah membereskan baju-baju, aku merebahkan diri di atas kasur sambil menidurkan Fito. Tak lama, suara mereka pun menghilang. Mungkin sudah pergi. Aku pun tak mengunci pintu, membiarkan mereka berlalu begitu saja.

Perut yang terus berbunyi, memaksaku untuk memasak mie instan. Untunglah, masih ada stok mie rebus dan telur. Sebelumnya, aku tidak seberani ini menggunakan stok bahan yang ada. Tapi, malam ini akan kuubah sifat lemahku secara bertahap.

Mengiris beberapa cabai yang ada di kulkas, irisan mentimun, dan memberikan sedikit saus ke dalam mangkuk yang telah terisi mie. Nikmat. Telor setengah matang membuat lengkap hidanganku. Entah ini adalah sarapan, makan siang, ataukah makan malam untukku. Semua jadi satu, dirapel.

Suapan terakhir, terasa nikmat. Rasa pedas dari irisan cabai pun, tak mampu membuatku merasakan panas terbakar. Menurutku, mulut mertua dan iparku lah yang paling pedas.

Setelah mie habis, aku mencucinya dan membereskan dapur. Meskipun belum sepenuhnya kenyang, setidaknya perutku sudah tidak berbunyi lagi. Anehnya, bisa bersendawa. Lucu.

Mematikan lampu dapur, lalu berjalan kembali ke kamar. Mataku sudah melemah, ingin segera mengistirahatkan tubuhku. Namun, lagi-lagi aku terbayang wajah Azam saat membelaku tadi. Ah, rasanya aku bahagia sekali mendapat perlakuan lembut dari laki-laki itu. Dia adalah cinta pertamaku.

Sekali-kali, aku ingin memberi pelajaran kepada mereka semua. Akan tetapi, rasa tidak tega selalu dominan. Itulah yang membuatku selalu tertindas oleh perbuatan mereka. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, setelah hampir satu jam menangis, aku mulai lelah dan mengantuk rasanya. Hingga akhirnya, aku terlelap dengan sendirinya. Dan terbangun saat Risa pulang.

***

Tujuh tahun lalu, aku pernah dekat dengan Azam. Kami tak senagaja bertemu dalam acara yang diadakan oleh sekolahku. Sekolahan Azam mengundang beberapa sekolahan yang berbeda kota, untuk bertanding dalam lomba yang diadakan oleh sekolahan tempat Azam menimba ilmu.

Setelah lomba selesai, Azam yang kebetulan ketua OSIS di sekolahnya, menghampiri tim kami. Sekedar berbasa-basi kenalan, dsn membagikan air mineral untuk semua peserta.

Azam tersenyum manis padaku, hati ini berdebar tak menentu. Saat kami ingin pulang, Azam berlari ke arah mobil dan mencariku. Tak lama, setelah melihatku ia memberi sebuah kertas padaku. Ternyata itu adalah nomor telepon miliknya. Namun, saat itu adalah tahun 2001, pengguna telepon seluler masih sangat minim dan jarang.

"Nanti, tolong telepon ke nomor ini, ya." Sambil tersenyum, Azam menyerahkan kertas tersebut padaku. Teman-teman menyoraki kami, buru-buru aku memasukkannya ke dalam tas paling dalam.

Sejak hari itu, aku tidak langsung meneleponnya. Karena, harus berjalan kaki sejauh 500 meter untuk bisa sampai ke wartel.

****

( Bersambung )

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mertua Rasa Pelakor   Sakit hati

    ( SAKIT HATI )*****"Besok, dateng sama siapa si mami Mas?" aku berbasa-basi sedikit, membuka obrolan. Padahal sebenarnya, aku males bertanya. Dan berdoa dalam hati, agar besok mertuaku tidak jadi datang."Sama Bianca, yank". Jawabnya tanpa menoleh, karena mata terfokus di cacingnya. Aku pun mendapatkan sebuah ide."Aaagggghhhhh, tuh kan MATI!!!" Teriaknya penuh kekesalan menoleh kearahku dan menatap tajam, seakan-akan aku adalah mangsanya.Aku terkekeh, bagaimana dia tidak kesal? aku menutup layar ponselnya dengan tanganku."Makanya, kalau lagi diajak ngomong itu lihat kearahku dong!" aku pun membalas dengan suara tinggi dan melotot tajam kearahnya."Cacingku sudah sembilan juta beratnya, ahhh kamu ini!" persis seperti anak bocah umuran lima tahun, yang ketika mainan nya dirampas. Merengek tidak jelas."Lagian laki-laki kok mainnya game cacing. Ga gentle banget." Ledekku."Main game itu yang seperti ini, daripada main game yang nguras emosi." Timpalnya lagi."Pantes saja gak dewasa!

  • Mertua Rasa Pelakor   kenangan masa lalu

    ( KENANGAN MASA LALU )****Suster jaga datang untuk melihat air infusan, memberikan obat, lalu bertanya padaku. "Maaf, Bu. Apa keluarga pasien?" tanyanya dengan ramah.Aku mengangguk, "Iya, Sus. Saya anaknya.""Bisa ke ruang administrasi? Sejak kemarin kami menunggu, nanti malam tolong ditemani, ya. Jangan biarkan seperti semalam, tidak ada yang menjaga!" titahnya."Baik." Aku menjawab dengan menahan malu yang besar. "Bu, July ke ruang administrasi dulu, ya.""Iya, Nak. Terima kasih, ya."Aku segera menuju ruang yang diperintahkan, mengurus semua berkas-berkas ibuku. Aku masih tidak habis pikir, kenapa kakakku tidak mengurusnya terlebih dahulu!Setelah semuanya beres, aku mencari Azam untuk memberitahu padanya. Salahku tidak meminta nomer ponselnya.Perutku tiba-tiba berbunyi, baiklah aku melangkahkan kaki menuju kantin. Memesan nasi goreng seafood, teh manis hangat, dan kerupuk. Tak lupa, memesan makanan untuk Azam dan Fito nanti.Pesanan datang 10 menit kemudian. Perut semakin meli

  • Mertua Rasa Pelakor   ibu masuk RS

    ( Ibu masuk rumah sakit )******Azam menitipkan kendaraan roda empat miliknya di sebuah bengkel ternama, gak jauh dari kafe Andrian. Setelah mempersiapkan semuanya, aku dan Fito membeli cemilan dan minuman terlebih dahulu untuk diperjalanan nanti. Meskipun sebenarnya, Azam bisa berhenti jika aku meminta, alangkah baiknya bersiap saja.Aku pun pamit kepada Andrian, lelaki itu memberikan sebuah amplop kecil padaku. Aku menolaknya karena tahu itu pasti uang. Akan tetapi, Andrian bersikeras menyuruhku untuk menerima. Katanya, untuk keperluan selama di kampung nanti.Azam mengecek kondisi mobil milik Ambar, mengisi angin pada ban kendaraan itu, lalu bersiap untuk menempuh perjalanan."Kalian lapar gak?" tanya Azam setelah memakai sabuk pengaman."Nggak. Kamu uda sarapan?" tanyaku balik."Belum.""Lisa gak nyiapin?" selidikku."Fito, kalau capek bilang, ya." Azam mengalihkan pembicaraan."Iya, Om. Fito seneng bisa jalan-jalan sama Om laagiiii.""Hehehe, Om juga." Azam menjawab sambil menge

  • Mertua Rasa Pelakor   bertemu kembali

    ( Bertemu dengan Azam kembali )****Aku meluapkan emosi pada Fito. Sudah sekian lama menyimpan kekesalan terhadap Mas Bo'eng dan ibunya. Tanpa berpikir ulang, aku telah memutuskan untuk membawanya Fito ke kampung halaman."Fito, nanti kamu tinggal di rumah Nenek, ya." Aku bersiap pulang ke kampung halaman bersama dengan Fito. Kali ini, aku tidak akan membawanya kembali lagi ke Jakarta."Gak mau, Fito mau sama mama aja." Fito menepis tanganku. Spontan saja membuat emosiku meluap."Tau diri sedikit kamu itu! Gara-gara kamu lahir, hidupku jadi hancur! Masa depan jadi suram!" teriakku.Sengaja aku berkata seperti itu, agar mereka mendengar apa yang aku rasakan selama ini. Bahkan, menjelang hari lahir Fito pun Mas Bo'eng acuh. Mengingat hari lahir anaknya pun, kurasa tidak ingat."Heh! Bisa kecilin suara lu gak, sih?!!" bentak mertuaku."Makanya, Fito! Jangan lahir dari rahim perempuan itu!" sergahnya lagi.Mas Bo'eng masih terlelap meskipun berisik. Dari ruang tamu, nyonya besar itu mele

  • Mertua Rasa Pelakor   Depresi

    ( DEPRESI )*****Luka lama kembali mengangaBeribu perih tersimpan indahBersemayam tanpa paksaanMenikmati setiap kesakitan yang terciptaMerawat dendam merangkai benci*****Sudah satu bulan berlalu, Azam belum juga menghubungiku. Nomor WA milikku pun masih diblokir. Aku mencoba untuk menata hatiku, agar tidak terlalu memikirkannya.Hari ini, rencananya aku akan menjemput ibuku. Ponselku berganti kembali, ini adalah ketiga kalinya dihadiahkan oleh seseorang. Kali ini adalah pemberian dari Andrian."Mau ke mana lagi?" tanya Mas Bo'eng.Laki-laki itu sedang menikmati rokoknya. Luka lebam di tubuhnya masih terlihat membiru. Kadang kasihan, tetapi jika mengingat kembali kelakuannya, membuatku benci setengah mati!"Mau menjemput ibuku.""Ngapain?? Mau tidur di mana nanti??!" bentak Mas Bo'eng."Aku mau kerja, Fito biar dipantau sama Ibu nanti.""Gak bisa! Lagian, lu mau kerja di mana? Hahaha. Tamatan SMP mana ada yang mau terima kerja!" cibirnya merendahkan diriku."Tenang aja, Mas. Aku

  • Mertua Rasa Pelakor   pulang

    (Pulang)" Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dikecewakan oleh seseorang, yang kau pikir tak akan pernah menyakitimu."~ ANONIM ~****Kami memasuki kawasan elit, perumahan yang terdiri hanya beberapa rumah megah saja. Pintu pagar terbuka lebar saat mobil Andrian membunyikan klakson mobil."Kita mau ke tempat siapa?" tanyaku takjub dengan apa yang kulihat.Bangunan-bangunan megah berjejer begitu indah. Ada yang rumah bergaya Eropa, Mediterania, ada juga yang bergaya seperti istana pada film kartun. Pilar-pilar kokoh itu, berdiri menambah kesan elegan pada rumah-rumah mewah di depan mataku.Ah, andaikan aku memiliki satu rumah seperti itu, gimana ya rasanya? Aku terkekeh dalam hati."Ayo, kita sudah sampai." Andrian membukakan pintu mobil, aku dan Fito turun.Andrian menggenggam tanganku, lalu kami berjalan bersama masuk ke dalam rumah mewah itu. Tak lama, pintu terbuka setelah Andrian mengetuknya."Ayo," ucapnya.Aku hanya tersenyum kepada wanita itu."Permisi," ucapku kepada a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status