Share

Menyesal

Author: Miss aLone
last update Last Updated: 2022-04-13 14:52:09

Erna melihatku begitu iba, dia sering menasehati untuk tinggal terpisah dari mertuaku. Namun, kendalanya adalah Mas Bo'eng yang belum bekerja. Bagaimana mungkin tinggal terpisah? Sedangkan membeli beras saja kami tidak mampu.

Aku menghela napas secara kasar, "Mas Bo'eng aja belum kerja, gimana mau ngontrak," jawabku apa adanya.

"Suruh dia kerja, dong. Masa' mau seperti ini terus? Aku kasihan sama kamu, Jul." Setelah 10 menit kupakai untuk istirahat, aku pamit untuk menyiapkan makan malam mereka.

Lumayan cukup mengistirahatkan dengan merebahkan tubuh di teras Erna, betapa enaknya tiduran seperti ini. "Belum dapet kerjaan, Er," jawabku lagi, "aku pulang dulu, ya."

Rumah Erna persis di belakang rumah kontrakan kami, hanya berjarak beberapa langkah saja. Ketika sampai di pintu dapur, ternyata mertuaku ada di sana, tangannya dilipat seperti sedang mengintrogasi.

"Udah gosipnya?" celetuk mertuaku. Tentu saja aku terkejut.

Menutup pintu dan berusaha tidak termakan emosi, sudah lelah siapa pun akan cepat terbakar amarah. "Abis ambil air tadi, Mi."

"Halah, palingan juga gosipin Mami!" tuduhnya.

"Sumpah, gak gosipin siapa-siapa." Aku mulai memanas, sembari menggendong Fito aku beranjak mendekat ke tempat Mas Bo'eng.

Di ruang tamu, suamiku terlihat begitu santai menikmati cemilan sambil bermain game di ponselnya. Aku mendekatinya untuk meminta tolong agar menjaga Fito barang sejenak.

"Mas, titip Fino bentar, ya," ujarku seraya menurunkan Fito dari gendongan. Sekejap dia malah menangis, tidak mau ditaruh.

"Apaan, sih? Gak liat orang lagi main? Lagian anak cengeng begini, bikin orang males aja!" Tanpa sengaja, cemilan dan kopi Mas Bo'eng tersandung kaki Fito, menyebabkan karpet ruang tamu itu menjadi kotor.

"Aduh! Woy! Kopi sama cemilan jadi tumpah, kan!" Mas Bo'eng memukul kaki Fito, buru-buru aku mengangkatnya kembali. Fito terkejut dan menangis kembali.

"Aku mau mandi, Mas! Tolong bantu jaga! Aku capek dengan semua ini!" teriakku seperti sedang kesurupan. Baru kali ini aku meluapkan segala beban. Mertuaku, Rian, dan juga Mas Bo'eng hanya terdiam meski detik kemudian mereka malah balik meneriaki.

"Kalau capek, pergi aja! Bawa, tuh, anak sekalian!" bentak Mas Bo'eng. Kakinya menendang piring cemilan.

"Dasar perempuan gak tau diri, pake bilang capek segala! Sudah bagus makan tidur gratis di sini!" Mertuaku ikut menimpali. Selalu itu saja yang dibahas. Apakah tenagaku tidak ada harganya?

"Makan tidur gratis?! Apa kalian pernah mikir? Baju yang kalian pakai memangnya bisa bersih sendiri? Bisa licin sendiri tanpa ada yang menyetrika? Sayur yang kalian makan, apa bisa matang dengan sendirinya? Huh?!" Aku sudah lupa siapa yang sedang kuajak bicara. Rian dan Mas Bo'eng mendekatiku.

"Kurang ajar lu, ya! Berani-beraninya bicara kasar sama Mami!" Untuk kesekian kalinya, Mas Bo'eng menamparku. Aku hanya bisa menangis juga Fito yang semakin menjadi. Sementara Rian, menjambak rambutku seperti biasa. Kurang ajar memang, mereka selalu seperti itu. Pernah ingin melaporkan mereka ke kantor polisi, belum juga kaki ini sampai, mereka mengancamku jika sampai polisi datang ke sini, Fito akan diambil oleh mereka.

Aku menyesal telah melawan mertuaku tadi. Harusnya, anak kecil ini, tidak boleh melihat kami bertengkar seperti ini. Harusnya, aku bisa lebih menahan diri lagi. Akan tetapi, hatiku tidak dapat menahan sakitnya.

"Wah, kurang ajar bener, nih. Sudah berani bentak-bentak Mami!" Kali ini, Rian menambahkan bensin dalam kobaran api.

"Menantu kurang ajar! Kalau memang gak betah, pergi aja yang jauh!" Mertuaku menjambak rambut ini, hingga tubuhku jatuh bersama Fito. Belum hilang jambakan dari Rian, mertuaku kembali berulah.

Melihat anak dan istrinya terjatuh, Mas Bo'eng hanya diam saja. Mereka bertiga belum puas, Rian membongkar baju-baju kami dari dalam lemari dan melemparkannya ke wajahku.

"Nih! Bawa harta lu sana!" ucapnya sambil melempar pakaian-pakaian itu. Aku menatap Mas Bo'eng, berharap ia membelaku. Namun, ia malah masuk ke dalam kamar dan menutupnya. Sakit sekali rasanya.

"Tunggu apa lagi?!" Bentakan mertuaku membuat Fito semakin menjerit ketakutan.

Bagaimana ini? Aku harus ke mana? Hari sudah mulai gelap, tidak mungkin jika kami tidur di pom bensin. Akhirnya, aku merapikan pakaian yang tercecer di lantai, dan memasukkannya ke dalam plastik besar.

‘Sakit hatiku akan terbayar nanti!’ ucapku dalam hati. Menangis sepuasnya. Haruskah aku bahagia? Karena bisa pergi dari rumah ini, ataukah harus mengemis kembali?

Saat kaki ini hampir sampai ke pagar depan, Azam dan istrinya datang secara kebetulan. Mereka sengaja datang untuk menjemput mertuaku. Hari ini adalah hari pernikahan mereka yang kedua.

"Loh, mau ke mana, Mbak?" tanya Azam saat melihatku membawa plastik besar sambil menangis. Mata begitu sembab oleh air mata. Bahkan, pandanganku mengabur, tak dapat melihat dengan jelas wajah Azam dan istrinya.

"Ada apa ini?" tanyanya kembali. Aku hanya diam dan terus menangis. Air mataku serasa tidak dapat berhenti mengalir. Tanganku ditahan oleh Azam, ketika hendak keluar pagar.

Pipiku terasa lengket oleh air mata yang mengering, jantungku bergemuruh saat tangan Azam menyentuh tanganku. Ada rasa malu menjalar perlahan, dalam keadaan miris seperti ini, harus dilihat oleh iparku. Menyedihkan memang.

Entah kenapa, aku kembali merasakan cinta yang tulus darinya. Aku semakin terisak saat tangan Azam mempererat cengkraman tanganku, saat kaki ini memaksakan untuk melangkah lagi. Aku hanya tertunduk malu, harga diriku sudah hancur entah sejak kapan.

"Hey, kalian sudah sampai, ya?" sapa mertuaku tanpa menjawab pertanyaan dari Azam. Ia menyambut Lisa dengan senyum semanis mungkin. Aku tahu, senyum itu tersimpan kepalsuan di dalamnya. Kadang juga ia sering membicarakan Lisa di depan teman-temannya.

Lisa dan aku seperti terdapat jarak. Hanya Azam yang benar-benar manusia sejati, tidak seperti mereka yang setengah iblis. Lisa sangat jelas memperlihatkan kecemburuannya terhadapku. Ya, aku memang sempat dekat dengan Azam, jauh sebelum aku menjadi kakak iparnya.

Azam adalah laki-laki sejati terbaik yang pernah aku temui, sifatnya yang selalu mengalah dan penyayang, menjadi hal sulit untuk dilupakan. Mungkin ini adalah balasan Tuhan untukku. Menyia-nyiakan laki-laki terbaik demi seorang b*jing*n.

Lisa amat beruntung mendapatkan suami seperti Azam. Tampan, perhatian, penyayang, dan juga setia. Ah, kenapa aku jadi terlena kembali oleh kenanganku sendiri?

Tangan Azam ditepis oleh Lisa, aku tahu ia marah padaku. Siapa pun pasti akan marah dan cemburu, apalagi tahu jika aku adalah mantan dari suaminya.

"Apa-apaan, sih, kamu?!" Azam membentak Lisa.

"Kamu yang kenapa!" Lisa menendang plastik yang berisi baju-baju aku dan Fito. Posisiku serba salah, untuk menoleh pun aku tidak ada keberanian lagi. Bagaikan maling yang tertangkap basah oleh penghuni rumah, itulah yang kurasakan saat ini.

Dari dalam, Mas Bo'eng terus saja mengumpat secara kasar. Azam menggendong Fito, anak itu pun menurut saja dan tidak ada penolakan sama sekali. Bahkan, digendong sama ayahnya pun, ia menolak dan lebih memilih menangis.

(Bersambung)

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sapar Khan
sengsarax hidup Lo..jelek amat ceritax..isss
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mertua Rasa Pelakor   Sakit hati

    ( SAKIT HATI )*****"Besok, dateng sama siapa si mami Mas?" aku berbasa-basi sedikit, membuka obrolan. Padahal sebenarnya, aku males bertanya. Dan berdoa dalam hati, agar besok mertuaku tidak jadi datang."Sama Bianca, yank". Jawabnya tanpa menoleh, karena mata terfokus di cacingnya. Aku pun mendapatkan sebuah ide."Aaagggghhhhh, tuh kan MATI!!!" Teriaknya penuh kekesalan menoleh kearahku dan menatap tajam, seakan-akan aku adalah mangsanya.Aku terkekeh, bagaimana dia tidak kesal? aku menutup layar ponselnya dengan tanganku."Makanya, kalau lagi diajak ngomong itu lihat kearahku dong!" aku pun membalas dengan suara tinggi dan melotot tajam kearahnya."Cacingku sudah sembilan juta beratnya, ahhh kamu ini!" persis seperti anak bocah umuran lima tahun, yang ketika mainan nya dirampas. Merengek tidak jelas."Lagian laki-laki kok mainnya game cacing. Ga gentle banget." Ledekku."Main game itu yang seperti ini, daripada main game yang nguras emosi." Timpalnya lagi."Pantes saja gak dewasa!

  • Mertua Rasa Pelakor   kenangan masa lalu

    ( KENANGAN MASA LALU )****Suster jaga datang untuk melihat air infusan, memberikan obat, lalu bertanya padaku. "Maaf, Bu. Apa keluarga pasien?" tanyanya dengan ramah.Aku mengangguk, "Iya, Sus. Saya anaknya.""Bisa ke ruang administrasi? Sejak kemarin kami menunggu, nanti malam tolong ditemani, ya. Jangan biarkan seperti semalam, tidak ada yang menjaga!" titahnya."Baik." Aku menjawab dengan menahan malu yang besar. "Bu, July ke ruang administrasi dulu, ya.""Iya, Nak. Terima kasih, ya."Aku segera menuju ruang yang diperintahkan, mengurus semua berkas-berkas ibuku. Aku masih tidak habis pikir, kenapa kakakku tidak mengurusnya terlebih dahulu!Setelah semuanya beres, aku mencari Azam untuk memberitahu padanya. Salahku tidak meminta nomer ponselnya.Perutku tiba-tiba berbunyi, baiklah aku melangkahkan kaki menuju kantin. Memesan nasi goreng seafood, teh manis hangat, dan kerupuk. Tak lupa, memesan makanan untuk Azam dan Fito nanti.Pesanan datang 10 menit kemudian. Perut semakin meli

  • Mertua Rasa Pelakor   ibu masuk RS

    ( Ibu masuk rumah sakit )******Azam menitipkan kendaraan roda empat miliknya di sebuah bengkel ternama, gak jauh dari kafe Andrian. Setelah mempersiapkan semuanya, aku dan Fito membeli cemilan dan minuman terlebih dahulu untuk diperjalanan nanti. Meskipun sebenarnya, Azam bisa berhenti jika aku meminta, alangkah baiknya bersiap saja.Aku pun pamit kepada Andrian, lelaki itu memberikan sebuah amplop kecil padaku. Aku menolaknya karena tahu itu pasti uang. Akan tetapi, Andrian bersikeras menyuruhku untuk menerima. Katanya, untuk keperluan selama di kampung nanti.Azam mengecek kondisi mobil milik Ambar, mengisi angin pada ban kendaraan itu, lalu bersiap untuk menempuh perjalanan."Kalian lapar gak?" tanya Azam setelah memakai sabuk pengaman."Nggak. Kamu uda sarapan?" tanyaku balik."Belum.""Lisa gak nyiapin?" selidikku."Fito, kalau capek bilang, ya." Azam mengalihkan pembicaraan."Iya, Om. Fito seneng bisa jalan-jalan sama Om laagiiii.""Hehehe, Om juga." Azam menjawab sambil menge

  • Mertua Rasa Pelakor   bertemu kembali

    ( Bertemu dengan Azam kembali )****Aku meluapkan emosi pada Fito. Sudah sekian lama menyimpan kekesalan terhadap Mas Bo'eng dan ibunya. Tanpa berpikir ulang, aku telah memutuskan untuk membawanya Fito ke kampung halaman."Fito, nanti kamu tinggal di rumah Nenek, ya." Aku bersiap pulang ke kampung halaman bersama dengan Fito. Kali ini, aku tidak akan membawanya kembali lagi ke Jakarta."Gak mau, Fito mau sama mama aja." Fito menepis tanganku. Spontan saja membuat emosiku meluap."Tau diri sedikit kamu itu! Gara-gara kamu lahir, hidupku jadi hancur! Masa depan jadi suram!" teriakku.Sengaja aku berkata seperti itu, agar mereka mendengar apa yang aku rasakan selama ini. Bahkan, menjelang hari lahir Fito pun Mas Bo'eng acuh. Mengingat hari lahir anaknya pun, kurasa tidak ingat."Heh! Bisa kecilin suara lu gak, sih?!!" bentak mertuaku."Makanya, Fito! Jangan lahir dari rahim perempuan itu!" sergahnya lagi.Mas Bo'eng masih terlelap meskipun berisik. Dari ruang tamu, nyonya besar itu mele

  • Mertua Rasa Pelakor   Depresi

    ( DEPRESI )*****Luka lama kembali mengangaBeribu perih tersimpan indahBersemayam tanpa paksaanMenikmati setiap kesakitan yang terciptaMerawat dendam merangkai benci*****Sudah satu bulan berlalu, Azam belum juga menghubungiku. Nomor WA milikku pun masih diblokir. Aku mencoba untuk menata hatiku, agar tidak terlalu memikirkannya.Hari ini, rencananya aku akan menjemput ibuku. Ponselku berganti kembali, ini adalah ketiga kalinya dihadiahkan oleh seseorang. Kali ini adalah pemberian dari Andrian."Mau ke mana lagi?" tanya Mas Bo'eng.Laki-laki itu sedang menikmati rokoknya. Luka lebam di tubuhnya masih terlihat membiru. Kadang kasihan, tetapi jika mengingat kembali kelakuannya, membuatku benci setengah mati!"Mau menjemput ibuku.""Ngapain?? Mau tidur di mana nanti??!" bentak Mas Bo'eng."Aku mau kerja, Fito biar dipantau sama Ibu nanti.""Gak bisa! Lagian, lu mau kerja di mana? Hahaha. Tamatan SMP mana ada yang mau terima kerja!" cibirnya merendahkan diriku."Tenang aja, Mas. Aku

  • Mertua Rasa Pelakor   pulang

    (Pulang)" Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dikecewakan oleh seseorang, yang kau pikir tak akan pernah menyakitimu."~ ANONIM ~****Kami memasuki kawasan elit, perumahan yang terdiri hanya beberapa rumah megah saja. Pintu pagar terbuka lebar saat mobil Andrian membunyikan klakson mobil."Kita mau ke tempat siapa?" tanyaku takjub dengan apa yang kulihat.Bangunan-bangunan megah berjejer begitu indah. Ada yang rumah bergaya Eropa, Mediterania, ada juga yang bergaya seperti istana pada film kartun. Pilar-pilar kokoh itu, berdiri menambah kesan elegan pada rumah-rumah mewah di depan mataku.Ah, andaikan aku memiliki satu rumah seperti itu, gimana ya rasanya? Aku terkekeh dalam hati."Ayo, kita sudah sampai." Andrian membukakan pintu mobil, aku dan Fito turun.Andrian menggenggam tanganku, lalu kami berjalan bersama masuk ke dalam rumah mewah itu. Tak lama, pintu terbuka setelah Andrian mengetuknya."Ayo," ucapnya.Aku hanya tersenyum kepada wanita itu."Permisi," ucapku kepada a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status