Aku terbangun saat mendengar teriakan Risa. Aku membuka mata dengan malas, dan melirik jam yang terpajang di dinding, atas pintu kamar. "Baru jam 11 malam rupanya," ucapku. Mas Bo'eng belum juga kembali. Aku duduk bergeming. Sementara gedoran dari luar pagar semakin menjadi.
Padahal, Risa membawa kunci rumah. Aku berjalan dengan malas, sambil membenarkan ikatan rambut. Risa dan Toni menatapku penuh kebencian."Tidur lu, ya?!" tanyanya dengan nada tinggi. Aku mengabaikan pertanyaannya, membuka lalu masuk kembali niatnya. Tapi, ketika membalikkan badan, Risa menjambak rambutku hingga menengadah.Refleks, tanganku memegang cengkraman Risa. "Jangan kurang ajar kamu, ya!" bentakku. Hampir saja aku ingin menjambak rambut Risa kembali, untungnya masih bisa menahan."Apa?! Mau apa lu? Mau mukul?" cerososnya. Toni yang baru selesai memarkir motornya pun mendekat dan bertingkah seperti preman pasar."Kurang puas, ya? Sudah membuat Mas Azam dan ibunya bertengkar tadi?" timpal Toni dengan tangan di pinggang.Ya, pasti mertuaku sudah melapor kejadian tadi kepada Risa. Tidak heran lagi. Malas meladeni mereka, aku pun masuk begitu saja. Bukan berarti takut, hanya saja tidak mau menambah dosa."Kalau orang numpang gak tau diri, ya, gitu tingkahnya." Suara Risa seperti sengaja dibesarkan. Aku kembali menutup pintu kamar dan membaringkan kembali tubuhku.Risa dan Toni sedang berada di kamar depan, sudah berkali-kali Pak RT datang memberi teguran kepada mereka berdua, tetapi selalu diabaikan olehnya. Pernah saat aku belum tinggal di sini, dalam keadaan rumah tengah kosong hanya ada keduanya, tetangga melaporkan mereka ke Pak RT atas kelakuan adik iparku itu.Namun, Nyonya besar itu meyakinkan para warga, kalau Toni tidak pernah melakukan hal-hal tak senonoh kepada putrinya. Meskipun kenyataannya, mereka pasti melakukan sesuatu. Apalagi, hanya ada mereka berdua.Sudah satu jam aku tertidur kembali, belum sepenuhnya sadar, aku mencoba untuk beranjak. Melirik jam sudah pukul satu malam. Mas Bo'eng, Nyonya besar, dan juga Rian, belum terlihat batang hidungnya.Aku membuka pintu dan segera mengambil minum, Fito masih terlelap dan nyenyak. Anak itu tidak akan terbangun sampai pagi nanti. Samar-samar kudengar suara rintihan dari kamar depan, menjijikkan sekali rasanya. Aku merasa malu sendiri, dan memutuskan untuk kembali ke kamarku.Pintu depan sengaja dibuka oleh mereka, agar warga tidak curiga jika mereka sedang berduaan di dalam kamar. Dasar pasangan mesum."Dasar perempuan murahan," cibirku pelan.Rasa haus hilang dengan sendirinya, aku mematikan lampu teras, dan kembali untuk melanjutkan tidurku. Sempat berpikir, apakah Mas Bo'eng memikirkan istrinya sudah makan atau belum?Sudah selarut ini, ke mana perginya Ibu dan anak itu? Apakah menginap di rumah Azam? Ah, ngapain memikirkan mereka. Toh, tidak ada yang peduli denganku juga. Suasana rumah menjadi tenang tanpa adanya mereka.***Sudah menjadi alarm secara alami, aku terbangun dengan sendirinya tanpa menggunakan pengingat pada ponsel. Hari ini, aku berencana untuk menjualkan barang-barang dagangan Erna. Untuk tabungan Fito kelak, pikirku. Ya, aku sudah memutuskan untuk tidak terlalu tunduk pada mereka lagi.Entah jam berapa mereka pulang semalam. Dengan hati-hati, aku beranjak dari tempat tidur, takut jika Fito terbangun. Suasana ruang tamu seperti kapal pecah. Sampah kulit kacang, makanan lainnya, serta puntung rokok, berserakan dengan sempurna. Aku membuang napas secara kasar. Dasar manusia-manusia jorok. Aku tahu, mereka pasti sengaja melakukan ini.Sebelum membereskan ruang tamu, aku menyeduh susu untuk Fito terlebih dahulu, berjaga bila nanti ia terbangun tidak akan menangis karena kehausan. Setelah itu, mulailah dengan pertarungan seperti biasa. Pukul tujuh pagi, semua sudah siap. Risa bangun bersiap untuk kerja, sementara Rian hari ini libur sekolah.Aku juga tidak tahu, kapan Toni pulang semalam. Yang kutahu, saat terbangun sudah tidak ada motor laki-laki mesum itu. Walaupun aku sudah muak dengan mereka, hati ini masih ikhlas menyiapkan sarapan untuk penghuni rumah ini.Kopi Nyonya besar telah siap, saat ingin membawa sampah ke halaman depan, Risa melewati diri ini dengan melilitkan handuk. Tanda merah terlihat jelas, sontak aku menunduk dan segera menggantungkan kumpulan sampah itu di pagar depan. Takut jika petugas sampah telah datang.Air bak hampir habis, mumpung Fito tidur kembali, aku segera mengambil air di sumur belakang. Sekalian meminta izin kepada Erna nanti."Wih, tumben pagi-pagi sudah olahraga?" sapa Erna ketika melihatku mengangkat air."Iya, takut Fito buang air besar nanti gak ada air."Padahal, rumah kontrakan kami dilengkapi oleh air PAM, tetapi Nyonya besar itu tidak mengijinkan kami memakainya. Untunglah, ada sumur umum ini. Bahkan, untuk keperluan mencuci pun mereka tak memperbolehkan aku untuk menyalakan air. Kecuali untuk mandi Ibu dan anak itu.Saat ember terakhir aku bawa, di meja makan sudah duduk Nyonya besar dengan kedua anak-anaknya. Mendengar Fito menangis, buru-buru menyelesaikan pekerjaanku dan menggendongnya keluar kamar. Takut jika Mas Bo'eng menendangnya lagi seperti kemarin."Mi, hari ini kita makan di luar aja," ucap Risa sambil mengunyah roti bakar yang aku buat tadi."Iya, daripada boros. Paling kalau Bo'eng lapar, suruh dia beli mie aja." Nyonya besar itu menjawab sambil melirikku."Emangnya, dia punya uang untuk beli?" Rian pun menimpali."Rokok, kopi, bahkan makan pun dari mana selama ini, kalau bukan dari Mami?" jawab mertuaku kembali. Suaranya meninggi, tangannya membanting sendok ke atas piring.Aku buru-buru pergi lewat pintu belakang. Ada Erna yang masih duduk di terasnya, mungkin ia sedang menungguku datang."Kamu beneran mau jualin barang jualanku?" tanya Erna dari jauh. Aku buru-buru menempelkan telunjuk ke bibir, ia pun mengerti.Erna menjual banyak dagangan, ada baju, makanan ringan, sayur matang yang telah dibungkus, dan lain sebagainya. Awalnya aku bingung memilih yang mana, tetapi lebih baik aku memilih menjual sayur matang terlebih dahulu.Erna membuka usaha katering di rumahnya. Andaikan Mas Bo'eng mau bekerja, mungkin aku pun akan menyisihkan sebagian dari uang pemberiannya, dan membuka dagangan kecil-kecilan di depan kontrakan.Hari ini, semoga nasib baik berpihak padaku. Aku yakin, Tuhan akan membukakan pintu rejeki untuk umatnya, yang benar-benar berusaha. Semua ini kulakukan hanya untuk Fito. Tidak mungkin jika aku menaruh harapan kepada suamiku. Entah sampai kapan ia akan tersadar dan mau bertanggungjawab terhadap kami.Satu bungkusnya, Erna memberiku harga tujuh ribu rupiah, aku bisa menjualnya seharga sepuluh ribu. Lumayan jika terjual sepuluh bungkus, aku akan mendapatkan upah 30 ribu rupiah. Tentu saja dengan menggendong Fito. Semoga saja, anak ini tidak rewel ketika di jalan nanti. Sebelum pergi, aku berdoa agar Tuhan memudahkan segala usahaku.Erna menyiapkan beberapa menu dalam satu keranjang, yang nantinya akan kubawa. Ya, semoga saja nanti akan terjual banyak. Hari pertama berjualan, rasanya hatiku deg-degan. Aneh."Aku siap-siap dulu, ya," pamitku."Iya, jangan lupa bawa payung, takut hujan." Langit hari ini tidak secerah sebelumnya, semoga saja hujan tidak turun.Sesampainya di rumah, Nyonya besar itu sudah tidak ada. Tentu saja, mertuaku pasti sudah mengantarkan anak kesayangannya. Kebetulan, hari ini mereka sengaja tidak membeli sayur. Semoga saja jualanku habis.Setelah semua siap, aku menggendong Fito dengan kain panjang. Membawa bekal minum dan payung. Saat ini, baru jam delapan pagi, ingin pamit dengan Mas Bo'eng pun percuma. Ia tidak akan bangun ataupun membutuhkan tenagaku. Lagian, hari ini aku ingin memberikan mereka semua pelajaran."Mau ke mana, tuh?" tanya Rian dengan mata fokus ke layar ponselnya tanpa menoleh ke arahku. Ia sedang rebahan di sofa ruang tamu sambil memakan cemilan. Ter
Dua jam sudah aku dan Fito berada di rumah Erna, rasa cemas begitu bergelayut dalam hati. Takut, jika Mas Bo'eng bangun dan mencari makanan. Karena hari ini, Nyonya besar itu tidak membeli sayur. Pasti ia akan seperti orang gila. Terkadang, aku malu bila bertemu dengan tetangga. Mereka semua menjadi pendengar setia, jika teriakan suami ataupun mertuaku mulai meninggi. Makanya, aku lebih memilih untuk mengalah dan diam."Kamu kenapa, sih? Dari tadi, kok, gelisah?" tanya Erna.Aku membantunya menyiangi sayuran untuk menu besok, tanganku membantu tapi pikiranku ada di rumah itu. Suara Mas Bo'eng pun belum terdengar, apakah sudah sesore ini dia belum juga bangun? Ke mana mereka?"Ah, gak apa-apa. Cuma takut Mas Bo'eng nyariin, karena hari ini gak masak," terangku. Walaupun suamiku kasar dan tidak memedulikan aku, hati ini masih ada rasa kasihan kepadanya. Biar bagaimanapun juga, dia masih suamiku, Ayah dari Fito.Erna memberiku segelas teh manis hangat, "Dia pasti bakal
Setelah mendengar alasannya, Erna menyuruhku untuk membantunya sementara. Hitung-hitung, untuk tabungan. Meski sedikit, lama-lama akan terkumpul banyak."Ya sudah, untuk sementara ini, kamu jualan seperti tadi aja? Biar Fito bermain sama Mita, selama kamu berjualan. Kasihan kalau diajak, gimana?" tanyanya. Tentu saja aku langsung mengiyakan."Apa gak terlalu merepotkan?" tanyaku masih sesenggukan."Fito, kan, sudah gak digendong-gendong lagi? Jadi, gak merepotkan pastinya." Erna menepuk-nepuk pundakku dengan lembut. Ada kekuatan baru mengalir begitu saja."Aku pulang dulu, ya. Takut mereka kunci lagi," pamitku pada Erna. Fito masih tertidur, gegas menggendongnya dengan hati-hati. Hati ini telah menyimpan dendam, dalam diam aku akan bertahan. "Sekali lagi, terima kasih, ya," ujarku kemudian.Erna tersenyum sambil berkata, "Semangat, ya."Setelah masuk lewat pintu belakang, Mas Bo'eng melihatku menggendong Fito. Ia dan keluarganya seperti sengaja tak melihatku.
Tiga bulan sudah aku berjualan sayur matang milik Erna, uang yang aku dapatkan dari keuntungan, telah aku sisihkan tanpa sepengetahuan Mas Bo'eng dan ibunya. Lambat laun, aku mulai berpikir, jika memasak sendiri akan jauh lebih untung. Tapi, ada rasa tidak enak di hati. Bagaimana kalau Erna tidak suka? Uang yang kudapatkan dari penjualan, sudah mulai terasa jumlahnya."Kalau masak sendiri, pasti jauh lebih banyak keuntungannya. Selain itu, aku, kan, sudah ada pelanggan tetap," ucapku dalam hati. Tapi, aku takut Erna jadi salah paham padaku.Beberapa hari lalu, Azam datang ke rumah ini, memberikan kesempatan kepada Mas Bo'eng untuk mengelola usaha konter barunya nanti. Rencananya, Azam akan membuka cabang di dekat sini. Setidaknya, suamiku ada pekerjaan.Azam juga menyuruh Mas Bo'eng untuk mengontrak rumah, atau tinggal di dalam kios baru nanti. Ibu mertuaku membujuk Mas Bo'eng untuk memberikan gaji pertamanya nanti, sebenarnya aku tidak mempersoalkan hal itu. Toh, kewaji
Erna menyuruhku untuk datang melihat konter baru secepatnya, emosi meluap bercampur sedih. Kenapa Mas Bo'eng tidak juga berubah? Erna memboncengku dengan motornya, saat sampai di depan konter itu, aku hanya melihat karyawan lainnya.Menurut Erna, ada sekitar empat karyawan termasuk Melly. Namun, hanya ada dua yang sedang berjaga. Aku pun tidak melihat adanya Mas Bo'eng.Melly adalah seorang perempuan berumur sekitar 18 tahunan. Rumahnya tak jauh dari konter ini. Ibunya Melly adalah langganan Erna."Mau cari apa, Mbak?" tanya perempuan berhijab maron pada kami."Mas Bo'eng sama Melly di mana?" tanyaku langsung. Terlihat ia begitu terkejut dan menoleh ke belakang lalu temannya berdiri mendekati kami.Konter ini terbilang cukup luas, karena dua ruko dijadikan satu. Etalase disusun leter L, aku dan Erna berdiri dekat sekat penghubung pintunya."Emm. Mbak siapa? Mas Bo'eng belum datang, Melly hari ini juga tidak masuk." Perempuan itu bernama Siti. Aku tak bisa membendung emosi lagi."Ke ma
Dasar pecundang sejati, aku hanya bisa bersembunyi dan terus berlari dari kenyataan. "Manusia lemah dan bodoh. Sudah mendapati siksaan batin sedemikian rupa, masih saja mau bertahan dengan keadaan ini." Mungkin kalian pun juga mengatakan hal yang sama seperti itu. Ya, benar! Aku memang bodoh. Karena keterbatasan ilmu pengetahuan, akhirnya diri ini terjebak di dalam prahara kebodohanku sendiri.Erna menatapku iba, tanpa menceritakan tentang sumber tangisanku, ia sudah tahu permasalahannya. Tangannya meraih bahuku dan memeluknya. "Sabar, ya, Jul. Tuhan sedang menguji, tetap percaya pada-Nya." Aku membenamkan kepalaku di pelukannya."Kurang apa aku, Na? Selama ini, aku gak pernah menuntut apa pun dari Mas Bo'eng. Aku dengan ikhlas menerima semua kekurangannya," ucapku sambil tergugu. Erna mengusap-usap bahuku."Kekurangan kamu adalah terlalu sabar! Pemaaf!" rutuknya."Aku hanya mencoba menjadi istri yang gak neko-neko, Na.""Justru itu, si Bo'eng mengambil kesempatan atas kelemahanmu!" t
Setelah selesai, Azam mengantarkan kami pulang. Hari ini, aku begitu bahagia bisa menemaninya. Azam mengatakan, bahwa ia habis berbelanja untuk kebutuhan konter barunya. Membeli beberapa alat untuk menservis HP. Dalam perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Sedangkan Fito, tengah asyik bermain mainan baru yang dibelikan oleh Azam tadi.Kami melewati konter Mas Bo'eng, sekilas aku melihat suamiku sedang memangku perempuan itu. "Ada apa?" tanya Azam yang tanpa sadar mengikuti arah mataku."Gak ada apa-apa," jawabku asal."Rencananya, aku ingin memasang cctv di sana." Hatiku berdebar. Seolah Azam tahu apa yang sedang aku pikirkan."Oh. Oh, ya, Zam ... Melly itu siapa yang masukin kerja?" tanyaku iseng. Entah kenapa, saat menyebutkan nama perempuan itu, hatiku begitu sakit sekali. Tenggorokan tiba-tiba begitu tercekat.Azam mengerutkan dahi, "Melly? Siapa dia?" Pertanyaan Azam membuatku bertanya-tanya, apa semua hak telah diserahkan sepenuhnya kepada suamiku? Dari memilah karyawan, hing
Pukul sembilan pagi, aku dan Fito baru keluar dari kamar. Beberapa cemilan dan susu kotak rasa coklat, telah pindah ke perut Fito. Aku memang sengaja menunggu mertuaku mengantar Risa kerja. Mereka semua telah pergi, hanya ada aku dan Fito di rumah ini.Aku mengajak Fito mandi dan bergantian denganku. Piring kotor telah menumpuk di atas wastafel dapur, sebenarnya aku tidak betah melihat rumah berantakan seperti itu. Akan tetapi, aku ingin memberikan pelajaran untuk mertuaku. Bisa-bisanya mereka tega membohongiku selama ini. Mendukung Mas Bo'eng tinggal sendiri tanpa kami!"Baiklah, ini, kan, yang kalian mau?" Aku bergumam. Sesak rasanya. Setelah selesai mandi, aku merias diri dengan make-up dari Azam kemarin. Cantik juga wajahku kalau berdandan. Dengan tersipu malu dan tersenyum sendiri.‘Terima kasih, Azam. Dari dulu, hanya kamu yang membuatku tersenyum bahagia.’"Fito, ayo, kita main ke rumah Mbak Mitta," ucapku kepada Fito yang masih bermain dengan mobilannya."Iya, Ma." Anak itu me