"Mas Ardi pasti suka dengan makanan ini!" gumam Arumi.
Arumi datang ke kantor Ardi, dengan menenteng rantang di tangan kanannya. Ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Ardi sekaligus memberi kejutan. Arumi membawakan makan siang spesial untuk Ardi. Kebetulan kemarin Arumi mendapat bonus dari Pak Kasim, pemilik pabrik tempat ia mengambil pekerjaan borongan. Dengan uang itu, Arumi bisa membeli daging dan memasak rendang kesukaan Ardi.Namun rupanya, justru Arumi yang dibuat terkejut oleh Ardi. Ia melihat Ardi tengah duduk di coffee shop depan kantornya bersama dengan seorang wanita. Kira- kira wanita itu seumuran dengannya. Namun penampilannya sangat menarik. Pakaiannya terlihat sangat modis. Rambut panjangnya tergerai rapi, menambah aura kecantikan wanita itu.Sangat berbeda dengan penampilan Arumi yang sedikit lusuh. Bukannya tidak ingin berpenampilan cantik, tapi Arumi harus menyesuaikan penampilannya dengan uang belanjanya. Bagaimana mungkin Arumi bisa berpenampilan cantik jika hanya lima ratus ribu, uang belanja yang diberikan Ardi kepadanya."Kamu menuduhku selingkuh, tapi ternyata kamu sendiri yang bermain api di belakangku, Mas," gumamnya lirih.Mata Arumi mulai memerah. Ketika gelombang rasa cemburu itu datang. Hatinya terasa perih saat melihat betapa bahagianya mereka. Wajah Ardi nampak sumringah, ia terus menyunggingkan senyum manis pada wanita itu. Bahkan beberapa kali Ardi menggenggam jemari lentik wanita itu.Tiba- tiba Arumi teringat dengan kata-kata Bu Sri. Benarkah Ardi akan menikah lagi. Apa wanita itu yang akan dinikahi Ardi?Dengan berat, Arumi menyeret langkah kakinya menghampiri mereka."Mas, jadi kamu benar-benar sudah melupakan aku dan Dinda?" ucap Arumi."Arumi …! Ngapain kamu kemari?" Ardi beranjak dari tempat duduknya, lalu menghampiri Arumi yang masih berdiri memegang rantang di tangannya."Mas aku …." Baru saja Arumi hendak menyampaikan maksud kedatangannya, Ardi sudah memotong kata-katanya."Kamu kalau ke kantorku yang rapi sedikit kenapa?" Ardi mendengus kesal sebelum melanjutkan kata-katanya, "Lihat pakaian dan kerudung lusuhmu ini, apa kau ingin membuatku malu?" Ardi memegang baju Arumi dengan ujung jarinya, matanya menatap istrinya itu dengan jijik.Hati Arumi hancur berkeping-keping, mendengar hinaan dari suaminya. Arumi memperhatikan penampilannya sendiri. Memang pakaian Arumi terlihat sedikit lusuh. Tapi tidak seharusnya Ardi berkata seperti itu pada istrinya sendiri. Apalagi Ardi memang tidak pernah membelikan pakaian bagus untuknya.Jangankan untuk membeli pakaian baru. Uang belanjanya, untuk makan sebulan saja kurang. Ia telah merelakan sebagian nafkah yang seharusnya diberikan Ardi padanya, untuk ibu mertua dan adik iparnya. Namun nyatanya hanya penghinaan yang ia dapatkan."Maaf, Mas. Kau tahu sendiri kalau aku memang tidak punya baju bagus," ucap Arumi lirih."Ya, kalau begitu jangan datang ke kantorku!" Ardi masih saja membentak Arumi.Arumi menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya kasar. Arumi menyodorkan rantang berisi nasi dan rendang masakannya kepada Ardi. "Aku kesini ingin mengantar makan siang untukmu.""Aku sudah makan siang! Bawa pulang saja lagi makanan ini!" Ardi kembali mendorong rantang makanan itu ke arah Arumi."Mas, apa kau benar-benar tidak mau pulang ke rumah?" tanya Arumi dengan suara lembutnya.Ardi tak menjawab. Ia hanya memutar bola matanya malas. Sepertinya ia memang enggan untuk pulang ke rumah. Hatinya masih kesal setelah memergoki Arumi dan dokter Andrean kemarin."Mas, aku dan dokter Andrean tidak ada hubungan apa-apa?" Pelan-pelan Arumi mencoba menjelaskan apa yang terjadi, agar tidak ada lagi kesalahpahaman. "Dinda menelpon dokter itu karena dia panik saat melihat aku pingsan," lanjutnya.Ardi tetap tak bergeming. Sepertinya ia sudah menutup mata dan telinganya untuk Arumi."Mana mungkin aku membiarkan Dinda berada di sana, kalau memang aku benar-benar selingkuh. Tolong percaya padaku, Mas," ucap Arumi lirih."Ya sudah, aku percaya padamu. Tapi sebaiknya kamu pulang sekarang. Aku tidak mau teman-temanku melihatmu!" tegas Ardi.Lagi-lagi, kata-kata Ardi membuatnya sakit hati. Dulu suaminya mengejar cintanya mati-matian. Memperjuangkan cinta mereka di tengah penolakan yang Bu Hilda lakukan. Tapi sekarang, bahkan suaminya malu memperlihatkan wajah istrinya ke teman- temannya."Baik, Mas. Aku akan pulang. Tapi ada yang ingin aku tanyakan padamu," Arumi menjeda kalimatnya, "Apa benar, kamu akan menikah lagi?""Apa wanita itu yang akan kau nikahi lagi, Mas?"Arumi masih berdiri mematung, menunggu jawaban yang keluar dari mulut Ardi. Ia berharap apa yang dikatakan Bu Sri tidak benar. Ia tahu betul bagaimana sikap mertuanya, yang sangat membencinya itu. Bisa saja yang dikatakan Bu Sri itu hanya harapan Bu Hilda saja. Ia ingin memastikan jawaban Ardi."Siapa yang bilang aku akan menikah lagi?" Ardi justru tertawa, saat matanya melihat wajah murung Arumi."Aku mendengarnya dari Bu Sri. Ibumu mengatakan itu pada Bu Sri. Apa benar yang dikatakannya, Mas?" Arumi menautkan kedua alisnya, menatap suaminya dengan penuh harap. Ia berharap suaminya akan membantah semua itu."Arumi … Arumi, kamu seperti baru tahu sifat Ibuku," Ardi terkekeh. "Aku dan dia hanyalah teman kerja," ucapnya lagi sembari menunjuk ke arah wanita yang tadi duduk satu meja dengannya.Arumi menatap mata suaminya, seolah ingin memastikan ucapan suaminya. Tiba-tiba Arumi merasakan kehangatan yang mengalir dari tatapan suaminya. Sejenak, kebekuan hati Arumi mulai mencair."Arumi, sekarang kamu pulang ya! Nanti sore aku akan pulang ke rumah," ucap Ardi sembari mengelus kepala Arumi. Arumi mengangguk pelan. Ia mencium takzim telapak tangan suaminya, lalu berbalik badan. Meski perasaannya kecewa karena Ardi menolak makan siang yang dibawakannya, tapi di sisi lain Arumi bahagia. Ardi akan pulang ke rumah sore nanti. Dinda pasti akan sangat senang.Dokter Andrean buru- buru keluar dari rumah sakit begitu mendengar kabar Dinda diculik. Begitu pedulinya ia pada Dinda. Meskipun ia tak mmiliki hubungan apapun dengan Dinda, tapi anak itu berhasil mengisi salah satu bilik di hatinya. Keceriaan dan keberaniannya berhasil membuat dokter Andrean merasa tersentuh. Terlebih Dinda adalah anak Arumi, gadis yang pernah singgah di dalam hatinya, meski rasa itu hanya bertepuk sebelah tangan."Dokter, tolong saya. Dinda diculik dan penculiknya meminta uang tebusan seratus juta!" Kata- kata Arumi di seberang telepon tadi terus terngiang di kepalanya. Ia tak bisa membayangkan seperti apa perasaan Arumi sekarang. Sepertinya ia sedang panik dan kebingungan saat ini.Dokter Andrean sudah sampai di mobilnya. Tangannya hendak meraih pintu mobil, tapi tiba- tiba seseorang menghentikannya."Dokter Andrean!" Nyonya Tiara dan Tuan Hanggoro saling bergandengan berjalan ke arahnya.Dokter Andrean menajamkan penglihatannya menatap sepasang suami istri yang ta
Ardi menggamit lengan Arumi dan Dinda, memasuki sebuah restoran mewah di kota itu. Kehadiran mereka menarik perhatian beberapa pengunjung lain. Wajah cantik Arumi yang disorot oleh lampu temaram memiliki daya pikat tersendiri. Kecantikannya mampu menarik perhatian orang- orang yang tengah duduk, menikmati makan malamnya di restoran itu.Arumi memang selalu terlihat menarik di mata laki- laki. Mungkin karena hal itulah rasa cemburu Ardi begitu besar. Meskipun Arumi selalu bisa menjaga hati dan pandangannya tapi Ardi justru selalu mencurigainya. Bodohnya ia sampai termakan hasutan ibunya.Ardi semakin mengeratkan tangannya ke lengan Arumi. Sungguh ia merasa sangat beruntung memiliki istri secantik Arumi. Entah selama ini apa yang membuatnya buta sampai menyia- nyiakan istri seperti Arumi.Ardi terus melangkah sampai ketika pandangannya tertuju pada seorang lelaki yang melambaikan tangan ke arahnya.Ardi mempercepat langkahnya menuju ke meja lelaki yang tak lain adalah kliennya itu.Lela
"Bu, lihatlah si Babu ini sudah berpakaian rapi, mau kemana dia?" Aurel berteriak ketika melihat Arumi dan Dinda berpakaian rapi. Arumi mengenakan gaun berwarna hitam yang dibelikan oleh Ardi beberapa hari yang lalu. Tubuhnya yang kurus nampak cantik berbalut gaun hitam yang nampak mewah dan elegan itu. Polesan make up tipis di wajahnya, tampak membuatnya semakin cantik. Tentu saja hal.itu membuat Aurel yang selalu iri dengan Arumi naik pitam.Arumi dekil dan penyakitan saja, Aurel iri karena Ardi tetap selalu mencintainya. Apalagi sekarang, Aurel tampak cantik dengan gaun yang dibelikan oleh Ardi. Ardi memang pintar memilih gaun. Gaun hitam itu pas sekali di tubuh Arumi. Aurel sempat melontarkan protes, karena suaminya tak pernah memilihkannya gaun seperti itu. Namun Ardi selalu berkilah. Selera fashion Aurel sangat tinggi, ia takut jika pilihannya tidak cocok untuk Aurel. Namun tentu saja semua itu hanyalah alasan Ardi. Ia memang tidak pernah mencintai Aurel. Perhatian dan kasih say
"Ardi…!" Bu Hilda berlari tergopoh- gopoh ke kamar Arumi. Arumi dan Ardi yang tengah bercengkrama, sontak mengalihkan perhatiannya pada Bu Hilda."Ada apa, Bu?" ucap Ardi seraya menaikkan alisnya."Aurel… Aurel pingsan!" ucap Bu Hilda sambil menunjukan wajah paniknya.Ardi mengernyitkan alisnya mendengar perkataan Bu Hilda. Tadi Aurel nampak baik- baik saja, kenapa tiba- tiba pingsan.Melihat putranya tak bergeming, Bu Hilda langsung menarik tangannya."Ayo, kita harus segera membawa Aurel ke rumah sakit!" "Tapi —" Ardi enggan meninggalkan Arumi. Saat - saat seperti ini adalah saat yang paling dirindukannya. Namun suasana syahdu itu harus rusak karena teriakan Bu Hilda."Ayo, Ardi! Aurel istrimu juga. Kalau sampai terjadi apa- apa padanya, kau juga harus bertanggung jawab!" Bu Hilda meninggikan suaranya, agar anak lelakinya itu mau mengikutinya. Sejenak Ardi menatap Arumi, seolah ingin meminta izin pada wanita itu. Arumi tersenyum sembari menganggukkan kepala, membuat seluruh keragua
Deru suara mobil berhenti di pekarangan rumah Bu Hilda. Beberapa saat kemudian Ardi terlihat turun dari mobil dengan menenteng beberapa kantong plastik dan tas belanja.Bu Hilda, Santi, dan Aurel tersenyum melihat tentengan di tangan Ardi. Sepertinya lelaki itu habis dapat bonus dari kantor sampai belanja sebanyak itu."Wah, kamu habis belanja, Mas?" Aurel mencium takzim telapak tangan suaminya, kemudian bergelayut manja di lengannya."Ya, aku tadi abis dari supermarket, aku juga mampir ke restorant biasa, untuk membeli makanan," sahut Ardi seraya mengangkat kantong plastik yang ditentengnya.Senyum Aurel semakin lebar, melihat logo restorant favoritnya di kantong plastik yang ditunjukkan suaminya itu."Wah, Mas Ardi memang suami idaman. Padahal aku ga minta dibeliin makanan, tapi Mas Ardi sudah pengertian." Aurel hendak meraih kantong plastik dan tas belanja di tangan suaminya itu, tapi belum sempat tangannya menyentuh kantong plastik dan tas belanja itu, Ardi sudah menjauhkannya dar
"Mama!" Dinda melepas genggaman tangan Ardi dan berhambur ke arah ranjang Arumi. Baru beberapa hari saja, ia tidak bertemu dengan sang mama, rasa rindunya sudah membuncah. Arumi yang masih lemah, dengan selang- selang infus masih terpasang di tubuhnya mencoba bangun untuk menyambut putrinya itu. Tak bisa dipungkiri, ia juga sangat merindukan Dinda."Sayang, Mama kangen banget sama kamu!" Air matanya meleleh saat tangannya berhasil merengkuh bocah perempuan yang masih memakai seragam SD tersebut."Bagaimana keadaan Mama? Apa perut Mama masih sakit? Biar Dinda obati!" ucap bocah polos itu. Selama ini, yang selalu ia lakukan saat sang mama berguling kesakitan menahan rasa nyeri di perutnya, adalah mengelus- elusnya. Kali ini Dinda pun melakukan hal yang sama, membuat Arumi tersenyum geli."Mama udah ga sakit kok, Sayang," ucap Arumi sembari membelai rambut gadis kecil yang dikuncir dua itu. Semua rasa sakitnya seolah musnah begitu melihat putri kesayangannya itu."Kalau begitu, kapan Mam