Arumi menghampiri Dinda yang tengah menonton televisi di ruang tengah.
"Anak Mama makan dulu, yuk!" ucap Arumi sembari mengalungkan lengannya ke pundak bocah itu."Nanti aja, Ma. Filmnya lagi seru!" sahut Dinda. Matanya awas menatap layar televisi yang menayangkan film animasi hewan kesayangan Dinda."Nontonnya kan bisa nanti lagi. Dinda belum makan lho dari siang, nanti Dinda sakit!" bujuk Arumi."Tapi, Ma, filmnya lagi seru. Sebentar lagi si Ochan akan bertemu dengan ayahnya!" sahut bocah polos itu. Tiba-tiba ekspresi wajah Dinda berubah. Dinda yang awalnya tertawa senang saat melihat film kesayangannya, tiba- tiba menjadi murung saat menyebut kata ayah. Arumi tahu Dinda sangat merindukan papanya."Kamu kenapa, Sayang?" Arumi menyentuh pipi bakpau bocah itu. Menatapnya penuh cinta kasih."Dinda kangen papa, Ma," ucap bocah itu. Matanya terlihat sayu menatap mata sang mama. "Kapan sih, papa akan pulang ke rumah ini?" ucapnya lagi.Arumi membalas tatapan Dinda. Ia menarik sudut bibirnya, tersenyum ke arah Dinda."Papa bilang hari ini papa akan pulang, Dinda jangan sedih lagi ya," ucap Arumi.Mata bocah itu mengerjap. Sesaat kemudian binar bahagia terpancar jelas dari matanya, setelah mendengar perkataan Mamanya. Gadis kecil itu kemudian berdiri dan tersenyum lebar. "Beneran papa pulang, Ma?" Sekali lagi bocah itu bertanya pada Arumi."Ya tentu saja bener, apa pernah Mama bohongi Dinda?"Gadis kecil itu mengangguk lalu berjingkrak senang. "Asyik papa pulang!" teriaknya sambil berlari mengelilingi sang Mama yang masih berjongkok di atas lantai. Arumi bisa tersenyum lega, melihat buah hatinya itu kembali ceria. Namun itu hanya sesaat. Karena sampai malam tiba, Ardi tak kunjung pulang ke rumah."Ma, kenapa papa belum juga pulang?" ucap Dinda. Ia mulai lelah menunggu kepulangan papanya. Berkali- kali gadis kecil itu menguap, tapi ia belum mau beranjak ke kamarnya."Sabar ya, Sayang. Mungkin papa sedang di jalan. Dinda tidur saja dulu, nanti kalau papa sudah pulang, Mama bangunin Dinda," ucap Arumi membujuk Dinda. Namun Dinda tetap keras kepala. Ia bersikeras menunggu kepulangan papanya.Arumi melirik jam di layar gawainya, sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sirna sudah harapannya untuk mendapati suaminya pulang ke rumah. Arumi menatap Dinda yang sudah tertidur di atas sofa, dengan rasa iba. Anak sekecil itu masih membutuhkan kasih sayang ayahnya. Namun Ardi terlalu baik pada Dinda. Bahkan ia justru membencinya.Dengan lembut, Arumi mencium kening bocah itu. Kemudian ia menggendongnya menuju ke kamar. Arumi duduk tepi ranjang, lalu meraih gawainya untuk menghubungi Ardi. Dengan gusar Arumi menekan delapan digit nomor telepon Ardi."Hallo!" Arumi dibuat terkejut dengan suara wanita yang terdengar dari ujung telepon, saat sambungan telepon itu terhubung. Arumi kembali melihat layar gawainya, memastikan jika ia telah menekan nomor telepon dengan benar. Jantung Arumi langsung berdegup kencang, karena memang betul nomor itu adalah nomor Ardi. Tapi siapa wanita yang tadi mengangkat teleponnya? Ia yakin jika itu bukanlah suara Santi. Suara wanita itu begitu lembut dan manja. Tentu juga bukan suara Bu Hilda, karena Arumi sudah hafal dengan suara cempreng mertuanya. Dulu hampir setiap hari ibu mertuanya itu datang dan mengomel kepadanya. Tentu saja suaranya sudah terekam sempurna di dalam memori otak Arumi.Arumi hendak bertanya, tapi sambungan teleponnya langsung terputus. Hatinya terus bertanya-tanya, siapakah perempuan yang mengangkat teleponnya?===Keesokan harinya, seperti biasa Arumi mengantar Dinda berangkat ke sekolah."Sayang, kamu belajar yang pinter ya!"Arumi mencium kening putrinya, dengan lembut. Dinda mengangguk sambil tersenyum. Kemudian bocah itu berlari memasuki gerbang sekolah. Ia berhenti sejenak lalu melambaikan tangan ke arah mamanya, sebelum bocah itu berbalik badan dan membaur bersama teman-temannya.Arumi tersenyum simpul. Ia bersyukur, Dinda bisa kembali ceria, setelah kekecewaan terhadap sang ayah. Semalaman bocah itu menunggu kepulangan Ardi. Namun hingga pagi menjelang Ardi tak juga kelihatan batang hidungnya.Arumi masih penasaran dengan wanita yang mengangkat teleponnya semalam. Arumi memutuskan untuk pergi ke kantor Ardi. Ia harus menanyakannya pada Ardi. Ia juga ingin tahu, kenapa Ardi tidak jadi pulang kemarin. Arumi naik angkot, dan turun di depan kantor Ardi. Perlahan ia melangkahkan kakinya, dengan harapan segera bertemu dengan Ardi. Namun ketika sampai di depan gerbang, seorang satpam menghentikan langkahnya."Maaf anda dilarang masuk!" Satpam itu berdiri di depan Arumi, menghalangi jalannya. Matanya menatap Arumi dengan tatapan tajam. Menelisik penampilan Arumi dari ujung kaki, hingga ke kepalanya. Wanita berpakaian sedikit lusuh itu, tak pantas berada di kantor semegah ini."Maaf, Pak. Saya istrinya Pak Ardi. Apa boleh saya bertemu dengan suami saya sebentar?" ucap Arumi.Satpam itu mengerutkan keningnya, sebelum berkata, "Pak Ardi hari ini tidak masuk kantor, karena ada keperluan keluarga. Masa anda istrinya tidak tahu?""Oh, ya sudah, Pak. Kalau begitu saya cari Mas Ardi di rumah ibu saja, terimaksih," ucap Arumi, lalu pamit undur diri.Dengan gusar Arumi melangkahkan kakinya ke jalan raya. Kembali menumpang angkot, menuju ke rumah ibu mertuanya. Begitu sampai di sana Arumi begitu terkejut dengan keramaian di rumah Bu Hilda.Berbagai karangan bunga menghiasi halaman rumah Bu Hilda. Meski tidak begitu ramai, tapi sepertinya di rumah ini sedang ada pesta.Tega sekali mertuanya mengadakan pesta, tanpa memberitahunya. Dengan cepat Arumi melangkahkan kakinya menuju ke dalam rumah ibu mertuanya. Namun yang dilihatnya sungguh membuat hatinya hancur. Ardi tengah duduk bersanding dengan seorang wanita, sedang di depannya seorang penghulu tengah menjabat tangan Ardi."Saya terima nikahnya Aurel Sapta Kusuma dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!"Ardi dengan lantang mengucap ijab kabul. Suaranya menggema di seluruh sudut ruangan itu."Bagaimana sah?" Penghulu bertanya pada semua orang yang duduk di sana.Bab. 9"Sah!" Jawaban para saksi yang hadir di acara pernikahan itu menggema, disertai dengan suara tawa bahagia yang mewarnai pesta pernikahan itu. Namun semua suara itu bagaikan sebuah belati tajam yang menusuk tepat di hati Arumi. Apalagi ketika gadis di samping Ardi tersenyum manis, meraih telapak tangan Ardi lalu menciumnya. Kemudian Ardi membalasnya dengan mencium lembut kening gadis itu.Ingatan Arumi kembali berputar pada peristiwa pernikahannya beberapa tahun yang lalu. Arumi melakukan hal yang sama persis dengan yang mempelai wanita itu lakukan. Bedanya hanyalah, ia tidak mengenakan kebaya mewah seperti wanita yang sekarang bersanding dengan suaminya itu. Ia hanya memakai baju gamis biasa dan tidak ada pesta apapun. Pernikahannya hanya dilakukan secara sederhana di panti asuhan, dengan mahar seadanya.Bahkan Hilda dan keluarganya pun tak hadir dalam pernikahannya. Ardi hanya datang bersama seorang pamannya. Pernikahannya memang begitu menyedihkan, tapi saat itu Arumi bahagi
"Tidak baik menyiksa diri seperti ini, Air hujan tidak bagus untuk kesehatanmu," suara lembut seorang lelaki yang tidak asing di telinganya membuatnya menoleh ke arah belakang. Menatap pria berpakaian dokter yang berdiri tegak di belakangnya. Tangan kirinya memegang payung berwarna biru dengan motif bunga yang cantik. Ia mengarahkan payung itu, tepat di atas kepala Arumi. Sehingga tetesan air hujan tak lagi membasahi tubuh wanita itu."Dokter Andrean," ucap Arumi lirih. Ia tidak mengira akan bertemu dengan dokter itu dalam keadaan seperti ini. Arumi merasa sedikit canggung, saat bola arwah mereka saling beradu. Menyadari ketidaknyamanan Arumi, Dokter Andrean memberi jarak yang cukup jauh antara ia dengan Arumi, sehingga pria itu justru membiarkan sebagian tubuhnya basah terkena tetesan air hujan."Dokter melarangku hujan- hujanan, tapi Dokter sendiri kehujanan," sungut Arumi.Dokter Andrean justru terkekeh, "Yang penting kamu tidak kehujanan!"Arumi mendekatkan tubuhnya, agar payung
"Bagaimana, Dinda? Kau mau di sini dulu menunggu papamu?" Bu Hilda masih saja membujuk Dinda. Gadis kecil itu sebenarnya ragu, tapi ia sangat ingin bertemu dengan papanya. Kalau mereka pulang, belum tentu mamanya mau diajak datang kesini lagi. Apalagi neneknya bilang papanya akan segera datang.Bu Hilda masih menatap gadis kecil itu, menunggu jawaban dari Dinda. Hingga akhirnya bocah itu mengangguk setuju. Sesaat kemudian Dinda menatap mata sang mama dengan perasaan bersalah. "Nggak apa- apa kan, Ma, kalau kita tunggu papa di sini?" ucapnya.Arumi membalas tatapan putrinya itu dengan senyuman, "Iya, kita akan tunggu papa di sini," ucap Arumi. Bu Hilda tersenyum ke arah Santi, sesaat Arumi melihat mereka saling pandang, sepertinya ada yang mereka sembunyikan. Namun Arumi tidak ingin berburuk sangka. Paling tidak sekarang mertua dan adik iparnya itu sudah bisa bersikap baik padanya."Dinda, Arumi, kalian sudah sarapan belum?" ucap Bu Hilda.Arumi menaikkan alisnya menatap heran pada sa
"Kau itu memang pantasnya menjadi babu!" teriak Bu Hilda. Ia menatap Arumi dengan bola mata yang hampir keluar. Namun Arumi terus berjalan, tanpa memperdulikan kata- kata umpatan dan cacian yang terus dilontarkan oleh ibu mertuanya dan Santi. Langkah Arumi berhenti di depan kamar Santi. Ia menatap nanar, gadis kecilnya yang masih tertidur pulas itu. Hatinya terasa perih, ketika mengingat kebencian Ardi pada putrinya yang berharga itu. Tanpa terasa, butiran- butiran bening yang sejak tadi menggantung di pelupuk matanya itu meleleh juga. Arumi terisak di samping putrinya."Mama kenapa?" ucap Dinda, yang baru saja membuka mata. Tidurnya terusik oleh isakan tangis Arumi."Mama, ga apa- apa kok, Sayang," ucap Arumi yang kemudian menghapus air matanya dengan ujung jarinya."Mama pasti nangis, gara-gara Dinda pengen tidur di sini ya?" ucap gadis kecil itu sembari menatap mata sang mama dengan tatapan penuh penyesalan. Arumi menggeleng lemah. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada
"Memangnya tante yang tadi itu siapa sih, Ma?" Dinda menghentikan langkahnya, lalu berbalik badan menghadap sang Mama. Matanya menatap nanar ke arah Arumi, seolah meminta penjelasan. Arumi membalas tatapan Dinda. Telapak tangannya lalu menyentuh kedua pipi bocah itu, menatap jauh ke dalam manik hitam milik Dinda. Ia tak tahu harus dengan cara seperti apa mengatakan kepada Dinda jika ayahnya sekarang telah menikah lagi."Kenapa Mama diam saja?" Dinda mengulang pertanyaannya karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari Arumi. Mamanya justru terlihat sedang melamun. Arumi masih berjongkok di depan Dinda, bahkan telapak tangannya masih menempel di kedua pipi bocah mungil itu. Namun pandangan mata Arumi terlihat menerawang jauh ke depan.Apa yang harus ia katakan sekarang? Arumi benar- benar bingung."Siapa perempuan yang bersama papa tadi? Kenapa dia menggandeng lengan papa seperti tadi?" ucap anak itu lagi. Dinda terus mendesak Arumi untuk berbicara."Dinda, wanita itu istri baru ayahmu."
Hanya dengan sekali mendengar saja, Arumi tahu kalau Aurel yang mengangkat teleponnya. Arumi menguatkan hatinya untuk berbicara dengan perempuan yang sekarang sudah menjadi madunya itu."Mas Ardi mana? Aku mau bicara?" Tak ingin buang- buang waktu, Arumi langsung saja mengutarakan niatnya."Mas Ardi baru saja tidur, sepertinya dia kelelahan setelah bergelut di atas ranjang denganku." Kata- kata Aurel terdengar begitu menjijikan. Sepertinya wanita itu memang sengaja ingin memanas- manasi Arumi. Ia bahkan bercerita dengan detail bagaimana panasnya permainan mereka tadi.Arumi mengepalkan erat tangannya, menahan amarah. Tentu saja hati Arumi bergemuruh mendengarnya. Namun ia sama sekali tak merasakan cemburu lagi. Bahkan saat ini Arumi merasa jijik dengan suaminya yang sudah berbagi keringat dengan perempuan lain itu. Arumi tak mampu membayangkan jika nanti suaminya itu datang padanya, setelah ia menyatukan tubuh dengan wanita lain."Cukup Aurel! Aku tidak mau tahu tentang pergulatanmu
"Ada apa dengan Dinda, Arumi?" Dokter Andrean mengerutkan keningnya, menatap penuh tanya pada Arumi. Sedangkan tangannya terulur menarik lengan Arumi, membantunya berdiri.Dokter Andrean mengajak Arumi duduk di bangku tunggu rumah sakit, kemudian ia menyodorkan sebotol air mineral pada Arumi."Minumlah, tenangkan dirimu, Arumi. Ceritakan pelan- pelan, apa yang terjadi pada Dinda?" ucap dokter Andrean pelan."Dinda tertabrak motor, dan kakinya harus segera dioperasi. Saya bingung, Dok. Harus kemana mencari biaya operasinya?" ucap Arumi dengan berderai air mata."Kamu tenang saja Arumi, aku akan mengurus semuanya!" tegas Dokter Andrean.Arumi menatap sayu mata dokter itu, dan ia bisa merasa sedikit tenang. Dokter Andrean telah mengurus semua administrasinya, dan Dinda segera menjalani operasi. Arumi menunggu di depan ruang operasi dengan perasaan cemas. Dokter Andrean ikut menemani Arumi, sekaligus memberikan dukungan untuk ibu muda itu."Jangan khawatir, Arumi. Semua akan baik- baik s
Arumi membeku mendengar pertanyaan Dinda. Ia tak tahu harus menjawab apa? Wanita itu menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya kasar."Dinda, Mama sudah kasih tahu papamu, kok. Tapi semalam papamu masih banyak pekerjaan," ucap Arumi sembari membelai lembut rambut bocah itu."Beneran, Ma? Papa sibuk bekerja, bukan sedang sibuk dengan Tante yang kemarin?"Pertanyaan menohok Dinda, sontak membuat dada Arumi terasa sesak. Arumi kembali menarik nafas dalam, memenuhi rongga dadanya dengan oksigen. Baru saja ia hendak membuka mulutnya untuk memberi pengertian pada Dinda, suara dokter Andrean membuatnya menoleh."Selamat pagi, Peri Kecil yang cantik!" Dokter Andrean tersenyum manis, menampilkan barisan gigi putihnya yang tersusun rapi.. Dokter ganteng itu berdiri di ambang pintu dengan membawa sebuah boneka panda lucu berwarna pink di tangan kanannya.Arumi dan Dinda menatap dokter itu bersamaan. Tak lama kemudian bibir Dinda terlihat melengkung, mengulas senyum pada dokter itu."Selamat p