Bab. 9
"Sah!" Jawaban para saksi yang hadir di acara pernikahan itu menggema, disertai dengan suara tawa bahagia yang mewarnai pesta pernikahan itu. Namun semua suara itu bagaikan sebuah belati tajam yang menusuk tepat di hati Arumi. Apalagi ketika gadis di samping Ardi tersenyum manis, meraih telapak tangan Ardi lalu menciumnya. Kemudian Ardi membalasnya dengan mencium lembut kening gadis itu.Ingatan Arumi kembali berputar pada peristiwa pernikahannya beberapa tahun yang lalu. Arumi melakukan hal yang sama persis dengan yang mempelai wanita itu lakukan. Bedanya hanyalah, ia tidak mengenakan kebaya mewah seperti wanita yang sekarang bersanding dengan suaminya itu. Ia hanya memakai baju gamis biasa dan tidak ada pesta apapun. Pernikahannya hanya dilakukan secara sederhana di panti asuhan, dengan mahar seadanya.Bahkan Hilda dan keluarganya pun tak hadir dalam pernikahannya. Ardi hanya datang bersama seorang pamannya. Pernikahannya memang begitu menyedihkan, tapi saat itu Arumi bahagia. Ardi begitu mencintainya. Itu dibuktikan dengan janji suci pernikahan yang diucapkan di hadapan Tuhan. Ia tidak pernah menyangka jika suaminya kini tega melakukan semua ini kepadanya. Sungguh sakit hati Arumi menyaksikan semua itu, di depan matanya. Suaminya telah menikahi perempuan lain, menghianati cintanya.Arumi mengumpulkan kekuatannya agar tetap bisa berdiri kokoh. Padahal hatinya saat ini hancur menjadi kepingan. Tubuh Arumi bergetar hebat, menahan amarah yang menyesakkan dada. Tanpa sadar ia mengepalkan tangannya. Matanya mulai berkaca- kaca, menatap suaminya yang terlihat sangat bahagia. "Mas Ardi!" Arumi berteriak, dengan sisa-sisa tenaganya. Membuat semua orang yang ada di situ menoleh ke arahnya. Namun sebelum Arumi sempat mendekati Ardi, dengan murka Bu Hilda mencegahnya."Heh, ngapain kamu kemari, merusak acara saja!" ucapnya sembari menarik lengan Arumi dan membawanya ke luar rumah. "Bu, tega sekali Mas Ardi menikah lagi, tanpa sepengetahuanku." Arumi tak mampu membendung air mata yang lolos begitu saja membasahi pipinya."Ardi berhak bahagia! Aurel lebih segala-galanya darimu! Dia cantik, pinter, dan sempurna! Tidak seperti dirimu!" Bu Hilda mengarahkan jari telunjuknya ke arah Arumi, sambil menatapnya dengan tajam. Arumi tak pernah menyangka, jika Ardi tega menghianati cintanya. Dulu ia begitu mencintainya, tapi sekarang entah kemana perginya rasa cinta itu. Masih teringat jelas dalam ingatannya saat dulu setiap pagi Ardi membawakan setangkai mawar untuknya."Mawar yang cantik, untuk gadis paling cantik di sekolah ini!" ucap Ardi sembari berlutut dengan menekuk sebelah kakinya. Ia bak seorang pangeran yang tengah merayu cinderala. Lalu Arumi akan menerima setangkai mawar itu dengan senyum mengembang. Kenangan masa-masa indah itu berputar di otak Arumi. Namun semua tinggal kenangan. Tak ada lagi sikap Ardi yang manis seperti dulu. Ia selalu kasar bahkan terlalu sering menyakiti hati Arumi."Heh, kamu tuli ya? Tidak ada yang menginginkan kamu di sini. Cepat pergi dari sini!" Bentakan Bu Hilda menyadarkan Arumi dari lamunannya."Tapi, Bu. Biarkan aku bicara sebentar dengan Mas Ardi. Dia harus menjelaskan maksud semua ini." Arumi meraih pergelangan tangan mertuanya, memohon agar bisa bicara dengan Ardi."Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, anakku berhak menentukan kebahagiaannya!" Bu Hilda menghempaskan tangannya, sehingga Arumi terhuyung dan jatuh, terduduk di lantai. Sambil menangis Arumi menyentuh kaki mertuanya itu. Memohon agar diizinkan berbicara dengan Ardi. Namun Bu Hilda seolah tak peduli. Ia justru melayangkan tendangan tepat mengenai perut Arumi. Arumi hanya bisa memegangi perutnya yang terasa nyeri, dengan air mata yang bercucuran."Kau ingin bicara apa?" Suara Ardi menghentikan tangisnya. Suaminya berdiri tepat di belakang Bu Hilda, menatapnya dengan tajam. Arumi membalas tatapan suaminya, mencari secercah cinta yang masih tersisa di sana. Namun sepertinya semua hampa. Tak ada lagi sorot penuh cinta yang ia temukan di sana. Justru hanya kilatan dendam dan amarah yang terlihat di mata lelaki itu."Kau tidak bisa meninggalkan acara ini seenaknya, cepatlah kembali ke dalam!" Bu Hilda mendengus kesal, lalu berbalik badan. Wanita itu melangkahkan kakinya ke dalam rumah, meninggalkan Ardi dan Arumi. Ardi tak bergeming, lelaki itu tetep berdiri di tempat semula. Tak sedikit pun ia berniat untuk membantu Arumi berdiri.Arumi mengumpulkan kekuatannya untuk berdiri sendiri. Menahan rasa sakit di perutnya, ia berjalan menghampiri suaminya."Mas, semalaman Dinda menunggumu, tapi kau malah…." Arumi sungguh tak mampu melanjutkan kata- katanya. Suaranya seperti hanya tercekat di tenggorokan, karena rasa sakit luar biasa di dalam hatinya. Arumi sering mendengar istilah sakit tak berdarah. Mungkin itulah yang kini sedang ia rasakan."Seharusnya kau membiasakan anak itu untuk hidup tanpa aku!" ucap Ardi datar. Namun terdengar sangat menyakitkan untuk Arumi. Meski dibenci ayahnya, Dinda sangat menyayangi Ardi. Arumi tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Dinda, jika mendengar kalimat itu dari mulut Ardi. "Mas,kenapa kamu bicara seperti itu?" Arumi menaikkan sebelah alisnya, menatap tajam mata sang suami. "Bagaimanapun Dinda itu darah dagingmu!" lanjutnya.Ardi justru menggeleng lemah. Ia menarik sudut bibirnya, tersenyum miring ke arah istrinya. Sebenarnya Ardi tengah menertawakan dirinya sendiri. Selama bertahun- tahun, ia selalu menepis semua perkataan ibunya tentang Arumi. Begitu sayang dan cintanya ia pada Arumi hingga ia tidak pernah percaya jika Arumi berselingkuh. Namun tes DNA itu benar-benar membuka matanya.Arumi pasti tidak tahu jika ia sudah melakukan tes DNA pada Dinda, dan hasilnya jelas-jelas mengatakan hasil DNA mereka tidak cocok. Ardi amat sangat kecewa pada Arumi, hingga akhirnya ia menerima perjodohan yang ditawarkan ibunya.Arumi tertegun, saat melihat suaminya justru tersenyum. Tak adakah sedikit rasa penyesalan di hati Ardi setelah menghianati ia dan Dinda? Arumi menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Ia meredakan emosinya dan mencoba berpikir jernih."Mas, aku tidak bisa memintamu untuk membatalkan pernikahan ini, karena kalian sudah menikah sah menurut agama. Tapi aku mohon pulanglah untuk Dinda," ucap Arumi pelan. Ia menyentuh lengan suaminya dengan lembut, berharap Ardi bisa membuka sedikit hatinya. Namun Ardi justru menarik lengannya dengan kasar."Jangan kau jadikan Dinda sebagai alasan! Dinda itu bukan anakku, dan aku tidak peduli dengan perasaannya!" Suara Ardi begitu dingin, sedingin es di kutub utara. Ia menyipitkan matanya, menatap Arumi penuh kebencian.Arumi membeku mendengar kata-kata Ardi Hingga ia sedikit terhuyung, ketika Ardi mendorong tubuhnya menjauh. Ardi berbalik badan, seolah tak peduli dengan hancurnya hati Arumi saat ini. Lelaki itu kembali masuk ke dalam, melanjutkan pesta pernikahannya. Arumi melangkah gontai meninggalkan rumah mertuanya dengan berbagai rasa sakit. Rasa nyeri di perutnya semakin menjadi. Namun rasa sakit itu tak sebanding dengan rasa nyeri di dalam hatinya. Arumi masih bisa menahan rasa sakit yang selalu menghujam perutnya, tapi rasanya Arumi tak kuat lagi menahan rasa sakit di dalam hatinya. Satu- satunya hal yang menguatkannya hanyalah Dinda. Ia harus tetap berjuang demi kebahagiaan buah hatinya itu.Hujan rintik- rintik mulai turun membasahi tubuhnya. Namun Arumi tak peduli. Ia membiarkan air matanya menyatu dengan tetesan air hujan. Merasakan dinginnya guyuran air hujan yang membasuh lara hatinya. Hingga tiba- tiba ia merasakan seseorang datang memayunginya dari arah belakang."Tidak baik menyiksa diri seperti ini, Air hujan tidak bagus untuk kesehatanmu," suara lembut seorang lelaki yang tidak asing di telinganya membuatnya menoleh ke arah belakang. Menatap pria berpakaian dokter yang berdiri tegak di belakangnya. Tangan kirinya memegang payung berwarna biru dengan motif bunga yang cantik. Ia mengarahkan payung itu, tepat di atas kepala Arumi. Sehingga tetesan air hujan tak lagi membasahi tubuh wanita itu."Dokter Andrean," ucap Arumi lirih. Ia tidak mengira akan bertemu dengan dokter itu dalam keadaan seperti ini. Arumi merasa sedikit canggung, saat bola arwah mereka saling beradu. Menyadari ketidaknyamanan Arumi, Dokter Andrean memberi jarak yang cukup jauh antara ia dengan Arumi, sehingga pria itu justru membiarkan sebagian tubuhnya basah terkena tetesan air hujan."Dokter melarangku hujan- hujanan, tapi Dokter sendiri kehujanan," sungut Arumi.Dokter Andrean justru terkekeh, "Yang penting kamu tidak kehujanan!"Arumi mendekatkan tubuhnya, agar payung
"Bagaimana, Dinda? Kau mau di sini dulu menunggu papamu?" Bu Hilda masih saja membujuk Dinda. Gadis kecil itu sebenarnya ragu, tapi ia sangat ingin bertemu dengan papanya. Kalau mereka pulang, belum tentu mamanya mau diajak datang kesini lagi. Apalagi neneknya bilang papanya akan segera datang.Bu Hilda masih menatap gadis kecil itu, menunggu jawaban dari Dinda. Hingga akhirnya bocah itu mengangguk setuju. Sesaat kemudian Dinda menatap mata sang mama dengan perasaan bersalah. "Nggak apa- apa kan, Ma, kalau kita tunggu papa di sini?" ucapnya.Arumi membalas tatapan putrinya itu dengan senyuman, "Iya, kita akan tunggu papa di sini," ucap Arumi. Bu Hilda tersenyum ke arah Santi, sesaat Arumi melihat mereka saling pandang, sepertinya ada yang mereka sembunyikan. Namun Arumi tidak ingin berburuk sangka. Paling tidak sekarang mertua dan adik iparnya itu sudah bisa bersikap baik padanya."Dinda, Arumi, kalian sudah sarapan belum?" ucap Bu Hilda.Arumi menaikkan alisnya menatap heran pada sa
"Kau itu memang pantasnya menjadi babu!" teriak Bu Hilda. Ia menatap Arumi dengan bola mata yang hampir keluar. Namun Arumi terus berjalan, tanpa memperdulikan kata- kata umpatan dan cacian yang terus dilontarkan oleh ibu mertuanya dan Santi. Langkah Arumi berhenti di depan kamar Santi. Ia menatap nanar, gadis kecilnya yang masih tertidur pulas itu. Hatinya terasa perih, ketika mengingat kebencian Ardi pada putrinya yang berharga itu. Tanpa terasa, butiran- butiran bening yang sejak tadi menggantung di pelupuk matanya itu meleleh juga. Arumi terisak di samping putrinya."Mama kenapa?" ucap Dinda, yang baru saja membuka mata. Tidurnya terusik oleh isakan tangis Arumi."Mama, ga apa- apa kok, Sayang," ucap Arumi yang kemudian menghapus air matanya dengan ujung jarinya."Mama pasti nangis, gara-gara Dinda pengen tidur di sini ya?" ucap gadis kecil itu sembari menatap mata sang mama dengan tatapan penuh penyesalan. Arumi menggeleng lemah. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada
"Memangnya tante yang tadi itu siapa sih, Ma?" Dinda menghentikan langkahnya, lalu berbalik badan menghadap sang Mama. Matanya menatap nanar ke arah Arumi, seolah meminta penjelasan. Arumi membalas tatapan Dinda. Telapak tangannya lalu menyentuh kedua pipi bocah itu, menatap jauh ke dalam manik hitam milik Dinda. Ia tak tahu harus dengan cara seperti apa mengatakan kepada Dinda jika ayahnya sekarang telah menikah lagi."Kenapa Mama diam saja?" Dinda mengulang pertanyaannya karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari Arumi. Mamanya justru terlihat sedang melamun. Arumi masih berjongkok di depan Dinda, bahkan telapak tangannya masih menempel di kedua pipi bocah mungil itu. Namun pandangan mata Arumi terlihat menerawang jauh ke depan.Apa yang harus ia katakan sekarang? Arumi benar- benar bingung."Siapa perempuan yang bersama papa tadi? Kenapa dia menggandeng lengan papa seperti tadi?" ucap anak itu lagi. Dinda terus mendesak Arumi untuk berbicara."Dinda, wanita itu istri baru ayahmu."
Hanya dengan sekali mendengar saja, Arumi tahu kalau Aurel yang mengangkat teleponnya. Arumi menguatkan hatinya untuk berbicara dengan perempuan yang sekarang sudah menjadi madunya itu."Mas Ardi mana? Aku mau bicara?" Tak ingin buang- buang waktu, Arumi langsung saja mengutarakan niatnya."Mas Ardi baru saja tidur, sepertinya dia kelelahan setelah bergelut di atas ranjang denganku." Kata- kata Aurel terdengar begitu menjijikan. Sepertinya wanita itu memang sengaja ingin memanas- manasi Arumi. Ia bahkan bercerita dengan detail bagaimana panasnya permainan mereka tadi.Arumi mengepalkan erat tangannya, menahan amarah. Tentu saja hati Arumi bergemuruh mendengarnya. Namun ia sama sekali tak merasakan cemburu lagi. Bahkan saat ini Arumi merasa jijik dengan suaminya yang sudah berbagi keringat dengan perempuan lain itu. Arumi tak mampu membayangkan jika nanti suaminya itu datang padanya, setelah ia menyatukan tubuh dengan wanita lain."Cukup Aurel! Aku tidak mau tahu tentang pergulatanmu
"Ada apa dengan Dinda, Arumi?" Dokter Andrean mengerutkan keningnya, menatap penuh tanya pada Arumi. Sedangkan tangannya terulur menarik lengan Arumi, membantunya berdiri.Dokter Andrean mengajak Arumi duduk di bangku tunggu rumah sakit, kemudian ia menyodorkan sebotol air mineral pada Arumi."Minumlah, tenangkan dirimu, Arumi. Ceritakan pelan- pelan, apa yang terjadi pada Dinda?" ucap dokter Andrean pelan."Dinda tertabrak motor, dan kakinya harus segera dioperasi. Saya bingung, Dok. Harus kemana mencari biaya operasinya?" ucap Arumi dengan berderai air mata."Kamu tenang saja Arumi, aku akan mengurus semuanya!" tegas Dokter Andrean.Arumi menatap sayu mata dokter itu, dan ia bisa merasa sedikit tenang. Dokter Andrean telah mengurus semua administrasinya, dan Dinda segera menjalani operasi. Arumi menunggu di depan ruang operasi dengan perasaan cemas. Dokter Andrean ikut menemani Arumi, sekaligus memberikan dukungan untuk ibu muda itu."Jangan khawatir, Arumi. Semua akan baik- baik s
Arumi membeku mendengar pertanyaan Dinda. Ia tak tahu harus menjawab apa? Wanita itu menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya kasar."Dinda, Mama sudah kasih tahu papamu, kok. Tapi semalam papamu masih banyak pekerjaan," ucap Arumi sembari membelai lembut rambut bocah itu."Beneran, Ma? Papa sibuk bekerja, bukan sedang sibuk dengan Tante yang kemarin?"Pertanyaan menohok Dinda, sontak membuat dada Arumi terasa sesak. Arumi kembali menarik nafas dalam, memenuhi rongga dadanya dengan oksigen. Baru saja ia hendak membuka mulutnya untuk memberi pengertian pada Dinda, suara dokter Andrean membuatnya menoleh."Selamat pagi, Peri Kecil yang cantik!" Dokter Andrean tersenyum manis, menampilkan barisan gigi putihnya yang tersusun rapi.. Dokter ganteng itu berdiri di ambang pintu dengan membawa sebuah boneka panda lucu berwarna pink di tangan kanannya.Arumi dan Dinda menatap dokter itu bersamaan. Tak lama kemudian bibir Dinda terlihat melengkung, mengulas senyum pada dokter itu."Selamat p
"Bagus sekali. Jadi kau memanfaatkan anakmu untuk menarik perhatian dokter Andrean!" Tentu saja Aurel mengenal dokter Andrean. Dokter itu adalah dokter keluarga Aurel yang saat ini tengah merawat mamanya Aurel. Aurel menatap Arumi dengan tajam. Wanita itu juga menarik bibirnya berlawanan, membentuk senyuman penuh penghinaan. Di sebelahnya Ardi berdiri dengan tatapan penuh kemarahan.Terlihat tulang rahangnya yang mulai mengeras, juga tangannya yang terkepal erat."Mas Ardi," ucap Arumi lirih. Ia membalas tatapan suaminya dengan perasaan bersalah. ia masih saja memikirkan perasaan suaminya, padahal dengan tanpa perasaan suaminya mengabaikannya, dan justru menikahi wanita lain.Arumi memberi isyarat pada dokter Andrean untuk melepaskannya. Ragu- ragu dokter Andrean melepaskan tubuh Arumi. "Em, ini tidak seperti yang kalian pikirkan," ucap dokter Andrean, sembari merapikan jas dokternya, "tadi Arumi hampir jatuh dan aku hanya membantunya," imbuhnya.Aurel hanya mengangguk- angguk, semen