Belum sempat Hana menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba Riko muncul dan langsung masuk ke dalam rumah karena memang pintu rumah Hana belum ditutup. "Sayang a—" Riko terkejut karena ternyata Hana di dalam tidak sedang sendirian. Kedua perempuan itu langsung menoleh ke arah Riko. Hana langsung tampak ketakutan dan Alya sendiri bingung karena tidak tahu apa-apa."PERGI! PERGI KATAKU!" teriak Hana sambil memekikkan telinga. Karena teriakan Hana begitu keras, Kanaya sampai terbangun dan menangis. Alya langsung sigap menggendong Kanaya yang kebetulan di tempatkan di ruang tengah. Jiwa pengasuhnya sudah mulai merasuki hatinya. Tanpa disuruh pun, Alya masuk ke ruang tengah. Merasa tidak aman karena ada orang lain, Riko memilih pergi dari rumah Alya dengan perasaan marah. Misinya kali ini gagal total."S*al! Siapa perempuan yang bersama dengan Hana tadi? Gagal sudah rencanaku untuk memiliki Hana. B*doh! B*doh!" rutuk Riko pada dirinya sendiri dengan memukul kepalanya berulang kali. Hana mena
Hati Hana sudah tenang dan dia juga bersyukur ada Alya di rumahnya kini. Paling tidak selama Adam bekerja, dia tidak takut lagi jika sewaktu-waktu Riko datang kembali. Dua hari berlalu setelah kedatangan Riko kemarin. Hana belum juga menceritakan hal itu kepada Adam walaupun Alya sudah mendesaknya untuk bercerita. "Pak, boleh Alya bicara?" kata Alya dengan suara pelan ketika tak sengaja berpapasan dengan Adam di dapur. Hana saat itu tengah memberi ASI pada bayi Kanaya. "Ada apa, Al? Semua baik-baik saja, kan?" Hari itu kebetulan hari Adam libur dan ingin menghabiskan waktu bersama Hana dan juga Kanaya. "Ini soal Ibu, Pak. Sepertinya Ibu tidak berani cerita sama Bapak," kata Alya sangat pelan. "Memangnya ada apa, Al? Istri saya baik-baik saja, kan, selama saya kerja? Dia gak aneh-aneh?" "Tidak, Pak, tapi ..." Alya tak melanjutkan ucapannya. Dia melihat terlebih dahulu ke arah kamar Hana guna memastikan majikan perempuannya itu tidak keluar. "Ada apa, sih, Al?" tanya Adam gemas.
Mobil Adam melaju tak tentu arah. Dia bingung mencari jawaban. Hingga akhirnya mobilnya menepi di sebuah tempat yang dia baru pertama kali melintas.Tempat yang sepi dan enak untuk menyendiri. Tempat tersembunyi yang terdapat cafenya. Adam masuk ke dalam cafe dan memesan segelas kopi. "Apa benar Riko melakukan itu? Tapi mana mungkin?" tanya Adam dalam hati.Jika diingat masa lalu, Riko ini anak dari adik ayah Adam. Sejak kecil, Riko sudah ditinggal ayahnya ke surga. Ibunya terpaksa bekerja di luar negeri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selama ini, Riko tinggal bersama dengan nenek mereka. Tak heran jika Riko dan Adam dekat seperti kakak dan adik kandung. Satu jam sudah Adam berada di sana. Setelah membayar minumannya, Adam bergegas melajukan motornya untuk meminta kejelasan dari Riko."Ya, aku harus mendengarkan juga dari sisi Riko." Begitu kata Adam pada dirinya sendiri. Adam meraih ponselnya dan langsung memencet nomor Riko. Tak butuh waktu lama untuk Riko mengangkatnya. Sebelum
Adam menggerutu karena tidak menemukan keberadaan Alya. Bahkan, Kanaya juga tidak sedang tidur bersama dengan Hana. "Kemana, sih, anak ini? Heran, deh!" gerutu Adam sambil terus mencari keberadaan babysitter barunya itu. Seluruh rumah sudah ditelusuri. Namun Adam tak kunjung menemukan keberadaan Alya. Hingga sampai dia merasa lelah dan istirahat di ruang tamu. "Assalamu'alaikum!" Suara Alya terdengar tak lama setelah itu. "Waalaikumsalam. Habis darimana kamu, Al? Keluyuran?" tanya Adam setengah emosi."Ma—af, Pak. Bukan, Pak. Tadi Alya keluar sebentar buat beli popoknya Kanaya karena habis. Sekali lagi maaf, Pak," jawab Alya seraya menunduk. "Ya sudah lah. Saya mau bicara sama kamu. Duduk!" ucap Adam masih dengan hati yang emosi. Alya menuruti ucapan Adam dan hatinya berdebar kencang karena takut majikannya itu marah dan memecatnya. Bahkan Alya tidak berani menegakkan kepalanya. Sementara itu, Adam tengah meredam emosinya. Karena masalah Hana dan Riko, Adam jadi gampang emosi.
"Mas ..." Suara Hana lirih terdengar di jam dua belas tengah malam.Hana memegangi perutnya yang mulas. Saat ini usia kandungan Hana sudah cukup bulan. Adam yang saat itu baru hendak tidur, hanya bisa menghibur istrinya."Mas, sakit! Aku gak kuat, Mas! Ayo kita ke bidan yang dekat dari sini saja," ucap Hana sembari terus meringis kesakitan."Kamu tunggu di rumah aja dulu. Biar Mas ke sana dulu dan lihat ada enggaknya ibu bidannya, ya."Hana mengangguk karena sungguh rasa sakit itu kini semakin sering dia rasakan. Sehingga untuk membuka mulut pun tidak sanggup.Adam mengeluarkan motor dari rumah yang sudah mereka tempati kurang lebih satu tahun itu. Walaupun kecil, tapi rumah itu sudah rumah sendiri dan hanya ditinggali oleh mereka berdua. Tak sampai lima menit, Adam kembali lagi ke rumah. "Gak ada orangnya. Kamu sabar aja, nanti kalau sudah pagi, kita ke sana," ucap Adam dengan entengnya."Mas ... Aku mau minum." Hana merasakan haus yang teramat seperti orang yang habis berlari marat
Adam sudah tak ingat lagi jika ia masih tersambung di telepon dengan ibunya. Saat ini dia fokus pada Hana. Sementara bayinya masih dia titipkan di klinik sang bidan."Bu, titip anak saya selama saya masih mengurus istri saya. Nanti saya telepon Ibu saya biar mengambil anak saya," ucap Adam pada Ibu Bidan."Tenang saja, Pak. Anak Bapak akan aman bersama kami. Semoga istri Bapak tidak ada masalah yang serius," jawab Ibu Bidan. Tak lupa pula Beliau mendoakan yang terbaik untuk pasiennya itu."Kalau begitu saya tinggal gak apa-apa, ya, Pak." Bidan itu pun pamit untuk kembali ke kliniknya karena juga punya tanggung jawab pada bayi yang masih merah itu.Sebelum Bidan pulang, Adam meminta nomor telepon Ibu Bidan agar lebih mudah dalam berkomunikasi. Hana masih ditangani oleh dokter di dalam. Adam pun berencana menelepon kembali ibunya karena tadi terputus.Baru saja Adam hendak menelpon ibunya, seorang dokter laki-laki keluar dari ruangan yang digunakan untuk menindak Hana."Suami dari pasi
Adam mendekap istrinya dalam pelukan. Tentu saja dia tahu isi hati Hana setelah dia mengatakan uang sebenarnya. "Mas akan tetap mencintaimu apa adanya, Sayang. Kita akan besarkan anak kita satu-satunya bersama, ya? Kamu harus semangat agar cepat sembuh dan bisa pulang dari sini. Kamu sudah kangen, kan, sama malaikat kecil kita?" kata Adam pelan. Hana mengangguk pelan.Air matanya mengalir begitu saja ketika berada di pelukan Adam. Jika bukan karena Adam, Hana mungkin tidak akan sekuat itu. Cinta Adam mampu membuatnya menjadi kuat.Setiap hari, Adam mengajak video call Ibu Laila. Tak sehari pun dia lewatkan karena rasa kangen pada anak yang belum sempat dia gendong itu."Anak Ayah lagi apa? Doakan Ibu, ya, semoga cepat pulang dan gendong kamu," ucap Adam sambil mengarahkan kameranya kepada Hana.Hana tak sanggup berkata-kata. Air matanya mengalir begitu deras ketika melihat anak perempuannya itu. Lima hari berlalu. Hana sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Tentu saja hal itu disam
Bukan tanpa alasan Hana mengatakan hal itu. Jauh sebelum mereka menikah, Pak Guntur selalu mengatakan jika Hana harus memiliki anak laki-laki dari Adam. Jika tidak, Adam akan dipaksa untuk menikah lagi.Ibu Laila yang mendengar percakapan anak dan menantunya itu terkejut. Minuman yang sejatinya untuk Adam dan Hana terjatuh dari tangannya. Gelas itu pecah berserakan di lantai. Selain gelas, ada piring yang berisi buah-buahan ikut pecah. "Astaghfirullah al'adzim!" ucap Ibu Laila lirih. Adam dan Hana bergegas keluar karena mendengar suara sesuatu yang pecah. "Ya Allah, Ibu! Ibu gak apa-apa, kan?" seru Adam yang melihat ibunya menutup mulut dengan kedua tangan. "Apa Ibu mendengar percakapan kami?" batin Hana. "Biar Adam bereskan dulu pecahannya, Bu." Adam dengan cekatan mengambil sapu dan mengumpulkan satu per satu pecahan piring dan gelas yang besar-besar. "Masuk dulu, Bu! Hana ... ajak Ibu ke kamar dulu," ujar Adam pada istrinya."Iya, Mas." Dengan mata yang sembab, Hana menuntun