Sengaja aku menempelkan telinga di tembok pembatas kamar ibu mertua. Luar biasa sekali kalimat yang meluncur dari mulut Tika. Bahkan dia tega menyarankan Mas Riza mencari istri baru. Rupa-rupanya anak itu memang harus kuberi pelajaran. Baru mau melangkah, kudengar suara Bapak mertua masuk rumah. Pakaian yang dia gunakan membuatku memutar otak. Bukankah tadi Tika berkata bapak sedang ke kebun untuk panen jagung? "Loh, Pak. Katanya habis panen jagung, kok pakaian rapi begitu?" tanyaku sambil mendekatinya. Kuletakkan air minum pesanan Tika di meja ruang tengah. "Panen jagung? Siapa yang bilang? Bapak habis disuruh ibu beli sarapan. Katanya pengin nasi gudeg depan pasar," jawab bapak mertua. "Tapi maaf Vit. Bapak cuma dikasih uang buat beli tiga bungkus. Nggak beli buat kamu dan Riza." Aku semakin bingung, bukankah tadi Tika mengiyakan bahwa bapak tetap pergi ke kebun meski sudah tahu ibu pingsan? Mengapa sekarang Bapak berkata dia disuruh Ibu untuk ke pasar membeli nasi gudeg? "Lah
Siapa Dia? "Cepat kalian semua keluar! Biar aku yang menunggui ibu sendirian. Kalian semua nggak guna!" teriak Tika sambil mendorongku keluar. Mas Riza dan bapak mertua ikut keluar. Jika dia berkata kasar hanya padaku dan Mas Riza, mungkin aku masih menganggapnya wajar. Tetapi ini pada bapak? Tika memang benar-benar keterlaluan! Mas Riza dan bapak berlalu. Pintu yang ditutup Tika membuatku leluasa untuk menguping. Benar saja, ketika kami bertiga keluar, suara gaduh terdengar dari dalam. Sumpah serapah ibu mulai terdengar. Kena kalian! Mau menggagalkan rencanaku? Tidak semudah itu! Kulanjutkan menaikkan barang-barang ke bak mobil Mas Riza. Beruntung bapak mertua membantu kami mengangkat barang-barang tersebut. Sekelebat kulihat bayangan Tika tengah mengawasi kami dari balik gorden. Aku terkekeh geli. Tingkahnya membuat hiburan di saat yang melelahkan seperti ini. Kali ini rencana mereka tak berhasil. Aku tak boleh senang dulu, karena pastinya mereka berdua akan melanjutkan sera
"Tika kenapa, Bun?" tanya Mas Riza setelah aku mengganti nada panggilan ponselnya menjadi mode senyap. Aku tidak mau acaraku kali ini gagal atau terganggu akibat panggilan Tika dan ibu. Biarlah mereka berlatih hidup tanpa kami. "Nggak tau, Mas. Nggak kedengeran suaranya." "Tumben. Biasanya sinyal di sini bagus. Nanti lah kalau sudah sampai coba kuhubungi. Siapa tahu penting." Kalimat Mas Riza membuatmu menarik sudut bibirku. Mas Riza masih belum tahu juga kalau ibu dan adiknya akan menggunakan berbagai cara untuk mencegah kepindahan kami. Kupastikan suamiku tak akan menelepon Tika sesampainya di Karangsari.Mobil Mas Riza masuk ke rumah yang sedang direnovasi. Beberapa sudut rumah sudah terlihat rapi. Semangat sekali aku menemui Pak Warto, kepala tukang yang kupilih menangani renovasi rumah ini. Sejauh ini pekerjaannya membuatku puas. "Mbak. Ini lusa sudah bisa ditinggali. InsyaAllah cat sudah kering, tinggal menata perabotan. Kami sengaja nunggu Mbak Vita biar ngatur sesuai seler
Gadis Itu Bernama RahmaKulanjutkan pesan lainnya yang memang hampir semua berisi ancaman agar Mas Riza tidak pindah. Hingga sebuah pesan baru muncul. Sebuah foto yang menampakkan seorang wanita tengah berada di kamar ibu mertua. Wanita itu memijit kaki ibu mertua. Tertulis kalimat di bawahnya yang membuat dadaku bergemuruh. [ Lihatlah. Pernahkah si yatim piatu itu memijit kaki ibumu, Mas?]Aku meremas ponsel Mas Riza. Mulut dan jari adik iparku memang limited edition. Barang langka, yang seharusnya sudah lama musnah. Bahkan dia memanggilku si yatim piatu. Entah apa yang bisa membuatnya tersadar. Dan wanita yang ada di foto Tika. Siapa dia? Ada urusan apa hingga dia ke kamar ibu dan memijit kakinya? Aku harus segera meminta kejelasan dari Mas Riza. Kusodorkan ponsel Mas Riza dengan wajah keruh tak bersahabat. " Tolong, ajari adikmu berkata sopan. Jika tidak, jangan salahkan tanganku menyentuh pipinya!" ancamku pada Mas Riza setelah menyeretnya ke kamar. Aku tak mau orang lain meli
"Lalu, pernahkah kamu mengatakan serupa pada Tika saat dia mengolok-olokku? Pernahkah Mas Riza mengatakan bahwa aku kakak iparnya yang wajib dia hormati? Pernah? Atau pada ibumu? Pernahkah Mas minta dia juga menyayangiku layaknya anak kandungnya sendiri? Pernahkah kau meminta mereka untuk merongrong hidupku? Aku manusia,Mas! Jangan terus -menerus diam atas nama bakti dan sayang pada kedua manusia itu hingga lantas kau mengabaikan perasaan istrimu sendiri. Atau memang kau pun menganggap apa yang mereka lakukan memang layak kudapatkan?" tanyaku penuh penghakiman. Mas Riza tertunduk. Aku benci sekali melihatnya selalu tak berdaya jika berurusan dengan adik dan ibunya. Aku benci dia yang kehilangan arah saat membela dua wanita itu. "Maaf, Bun." "Kumaafkan. Sudah biasa, bukan? Aku selalu memberi maaf atas kesalahan yang sebenarnya bukan kau yang membuatnyamembuatnya!" Aku menatap penuh kemarahan pada lelaki itu. "Dan wanita itu?" tanyaku. Mas Riza mengangkat wajahnya hingga berhadapan
Kulihat wajah pucat dan kecewa terlihat di wajah ketiganya. Terlebih perempuan bernama Rahma ini. Wajahnya mendadak pias hingga nampak jelas rasa kecewanya. "Bagaimana keadaan Ibu? Sudah enakan?" tanyaku memecah kekakuan. Orang yang kutanya melengos dan melihat arah lain. Sabar, bahkan mungkin ribuan kali aku diperlakukan demikian. Mas Riza mengeratkan tanganku, seolah memberi kekuatan menghadapi ibunya."Ya jelas enakan. Kan sudah dipijiti sama Mbak Rahma, iya kan Bu?" tanya Tika dengan wajah meremehkanku. Sungguh ingin kuulekkan segenggam rawit merah dan kusumpalkan ke mulut adik iparku itu. Dia pantas mendapatkan hal itu. "Iya lah. Bener loh, Za. Pijitan Rahma enak sekali. Rasanya urat yang sakit langsung sembuh, hebat sekali Rahma." Wajah ibu berseri-seri manakala menyombongkan wanita di sampingnya. Sepertinya dia memang ingin membandingkanku dengan Rahma. Baiklah, kuterima tantanganmu kali ini. "Jadi, Mbak Rahma ini tukang pijit? Keliling atau mangkal?" tanyaku sok lugu. Wajah
Pindah Saat pulang sekolah aku hampir tak percaya melihat sepeda motor yang sama persis dengan punyaku sebelumnya sudah parkir cantik di halaman rumah. Aku memegang spion tak percaya, akhirnya Mas Riza menepati janjinya semalam. Ya, semalam Mas Riza mengatakan akan tetap membelikanku sepeda motor yang sama persis dengan yang dihilangkan Tika. Kubuang rasa tak tegaku pada Mas Riza jauh-jauh. Entah karena memang merasa kasihan motorku hilang, atau Mas Riza tak mau terus-terusan aku menyalahkan Tika. Yang jelas motor itu sudah terparkir cantik di halaman rumah. Masuk ke dalam rumah aku mendengar ibu tengah menangis. Bapak yang berada di sampingnya terlihat mengusap punggung istrinya. Aku berhenti sejenak di kamar mereka, hingga tatapan ibu mertua menghujam seperti ingin mengulitiku hidup-hidup. Aku yang sudah terbiasa dengan hal ini kemudian melanjutkan langkahku kamar. Samar kudengar ibu mulai meracau seperti biasanya. "Pokoknya Ibu nggak ikhlas. Nggak ridho kalau Riza beli motor b
"Mbak. Pokoknya jangan larang Mas Riza buat nginep sesekali di sini! Jangan dikekepi terus Mas Rizanya! Ingat mereka itu punya keluarga. Dan bukannya kau tahu, anak lelaki itu selamanya milik ibunya! Istri itu cuma orang lain," ujar Tika saat aku melewati mereka. Tadinya aku akan meminta restu pada ibu hingga tak ingin menanggapi perkataan Tika kali ini."Vit. Kami sudah memutuskan, motor itu jangan kamu bawa ke Karangsari. Mau dipakai Tika kerja. Bukanlah katamu kakakmu mau membelikan motor baru? Kamu bawa motor Bapak saja," ujar ibu mertua. Aku menarik napas dalam. Kali ini aku tak mau diam dan menerima perintahnya. Kenapa bukan Tika yang pakai motor lawas milik Bapak? "Maaf, Bu. Motor itu dibeli Mas Riza untukku. Bukan untuk dipakai Tika. Lagi pula memangnya Tika nggak takut kena tipu lagi bawa motor baru?" tanyaku sambil tersenyum pada Tika. Wajah gadis itu memerah. "Siapa yang kena tipu, Mbak?" tanya Tika dengan nada tinggi. "Kalau bukan kena tipu, artinya kamu sadar saat memb