Share

Mesin Cuci
Mesin Cuci
Author: Yuli Zaynomi

BAB 1

MESIN CUCI 

PIM ( Pondok Indah Mertua) 

Kumasukkan satu per satu pakaian basah di ember ke dalam tabung pengering mesin cuci. Kututup mesin pengering dengan lempengan plastik lingkaran di atasnya. Setelahnya kuputar tombol pengering hingga mesin itu bekerja. 

Kugenggam kedua tanganku yang terlihat keriput. Bagaimana tidak, sepagi ini aku sudah berkutat mengucek baju empat orang, aku sendiri, Mas Riza—suamiku, Lala dan Risa—kedua anakku. Belum lagi pinggang yang sepertinya hampir lepas dari tempatnya yang seharusnya. Panas dan tentu saja pegal bukan main. 

Setelah memutuskan untuk tidak mencucikan lagi baju milik mertua dan anak gadisnya, ibu mertua tidak mengijinkanku mencuci baju di mesin cuci. Aku hanya boleh menggunakan mesin pengeringnya saja. 

Hebat sekali bukan? 

Aku hanya diam tak berani membantah. Bukan takut, hanya aku memang tak suka berdebat dengan orang yang lebih tua. Terlebih dia adalah ibu dari suamiku. Lagi pula aku menghargai perasaan Mas Riza. Tak mungkin mendebat ibunya. 

Sebenarnya aku tak masalah jika hanya mencucikan baju milik kedua mertua. Akan tetapi Tika—adik iparku justru membebankan masalah cucian kotornya kepadaku. Lama kelamaan aku merasa terbebani, apalagi dengan jumlah cuciannya yang makin lama makin menumpuk. 

Tadinya kubiarkan saja. Tapi lama kelamaan aku merasa dia seolah mengerjaiku atau memang sifat 'kemproh' yang dimilikinya sangat bertolak belakang denganku. 

Bayangkan, setiap hari dia hampir lima kali berganti pakaian. Bukan itu saja, sering aku mendapati pakaian dalamnya juga ikut masuk ke dalam cuciannya. 

Luar biasa bukan? Sekalipun dia adik iparku, rasanya aku tak mau membebani diriku terlalu berat. Toh aku tak sedang mencari perhatian mereka. Seharusnya sebagai seorang gadis, dia merasa risih jika barang paling pribadinya terlihat bahkan dipegang orang lain. 

Tapi sepertinya hal itu tidak berlaku untuknya. 

Tika terlihat santai dan nyaman bahkan saat bajunya juga kulipat dengan rapi. Bahkan dia tak ambil bagian sedikit pun saat aku berjibaku dengan aku melipat cucian yang jumlahnya tak sedikit. Dengan seenaknya dia akan melipat kakinya di atas sofa, menatap penuh antusias tayangan televisi yang ada di hadapan kami tanpa berusaha ambil bagian menyelesaikan pekerjaan ini bersama. 

Lelah, merasa tak dihargai, belum lagi dengan badanku yang terasa lepas seluruh tulang-belulangnya. 

Tidak. Aku tak bisa diam saja. Aku berhak menolak. Aku berhak hidup nyaman sekalipun tinggal di rumah mertuaku. Aku bukan menantu bod*h yang tetap diam saat diperlakukan tak adil oleh sekelilingku. 

Dan yang menjadi puncak kekesalanku, Tika pernah menaruh celana dalam dimana ada noda darah haid ikut tercampur ke dalam mesin cuci. Marahku menggelegak, seluruh wajahku memanas karena emosi yang tersulut akibat hal menjijikkan itu. 

Aku mual membayangkan pakaian yang sudah tercampur dengan kotoran darah haid. Karena mau bagaimanapun, noda darah sulit hilang jika hanya dicuci di mesin cuci. Harus disikat dengan sabun colek hingga benar-benar bersih. 

Beruntung karena jumlah pakaian yang banyak membuatku tidak langsung memasukkan seluruh baju ke mesin cuci. Aku berniat mencuci tumpukan pakaian itu menjadi dua tahap. Jadi hanya bapak dan ibu mertua yang sudah terlanjur tercampur dengan celana dalam bernoda darah itu. 

Sejak itu aku memutuskan untuk memilah pakaian keluargaku saja yang akan kucuci. Ibu mertua tidak menanyakan alasanku berbuat demikian. Hanya tatapan penuh penghakiman yang mewakili perasaannya karena sikapku. 

Padahal jika dia menanyakan, aku dengan senang hati memberitahu alasanku. Karena dia diam saja, kuputuskan untuk tidak membuka urusan itu ke siapapun, kecuali Mas Riza tentunya. 

Aku tak mau dicap sebagai menantu yang jahat, hanya mau uang anaknya saja sedangkan urusan orang tua dikesampingkan. Mas Riza mengerti, dan memintaku untuk bersabar menghadapi keluarganya. 

Entah sabar seperti apa yang dimaksud olehnya. Yang kurasa adalah sabarku sudah mencapai titik puncak, klimaks. Tetapi kata-kata itu selalu diucapkan suamiku demi meredam emosi yang entah sampai kapan akan tersulut. 

Hanya saja keputusanku berbuntut panjang. Ibu mertua melarangku menggunakan mesin cuci. Alasannya klasik, masalah air dan listrik yang dianggap boros. Alasan klise dan sungguh membuat lawakan yang sangat lucu. 

 Padahal yang kutahu Mas Riza menanggung kedua pengeluaran itu. Bahkan untuk biaya makan pun dari Mas Riza. Karena malas berdebat aku mengalah dan memutuskan mengucek pakaian dengan tangan. Meski konsekuensinya tenagaku akan terkuras habis di setiap pagi seperti ini. Tak jarang aku pun melewatkan sarapan karena terlalu buru-buru menghindari terlambat ke sekolah. 

"Makan yang banyak, Za. Biar semangat kerjanya," ujar ibu mertuaku.

Kulirik arah meja makan yang terhubung dengan tempatku berdiri.Aroma makanan sungguh menggugah selera. Kuabaikan perut yang keroncongan minta diisi. Senyuman Mas Riza mengembang melihat makanan kesukaannya tersaji di sana. Capcay dengan bakwan jagung yang dari tadi kusiapkan sendirian. 

Ya … sendirian. Mereka akan datang satu per satu jika makanan sudah tersaji di meja makan. Saat keringatku bercucuran menyiapkan makanan, tak ada satu pun yang mendekat. Mereka sibuk dalam gua di kamarnya yang rapat tertutup pintu. 

Terkadang setan membisikkan ide buruk padaku. Sekali-kali aku ingin menaburkan garam yang jumlahnya tak sedikit, atau terkadang obat pencahar yang pastinya membuat semua orang kelimpungan karenanya. Tetapi aku masih punya hati, kutepis jauh-jauh rencana itu. 

Bapak mertua yang baru pulang dari mushola dekat rumah ikut bergabung di sana. Memang kebiasaan bapak mertua yang melaksanakan subuh di mushola dan pulang menjelang pukul tujuh pagi. 

"Tika mana, Bu? Belum bangun juga? Masuk shift siang ya?" 

"Iya, Pak. Tadi malem pulang jam sebelas. Mungkin masih ngantuk," jawab ibu mertua. Aku yang sedang membelakangi mereka hanya mengerucutkan bibir mendengar pembelaan ibu mertua pada anak gadis kesayangannya. 

Bagaimana tidak ngantuk. Pulang kerja jam sebelas bukan langsung tidur, justru asyik bertelepon ria hingga menjelang pukul dua dini hari. Aku yang tadi malam ke kamar mandi untuk mengambil wudu tak sengaja mendengar suaranya yang cekikikan. 

Tadinya aku kaget dan berpikir tidak-tidak mengenai suara cekikikan tersebut. Setelah kupastikan dengan seksama, suara itu berasal dari kamar Tika, adik iparku. Dia tengah bertelepon dengan seseorang hingga dini hari. 

"Bun … nggak ikut sarapan? Cucian baju nanti lagi, udah siang juga. Sini sarapan. Takut nggak keburu," ajak Mas Riza. Aku menggeleng pelan. Apalagi melihat ibu mertua yang menampakkan aura angker, nampak tak suka dengan sikap manis anak laki-lakinya. 

"Aku udah nyiapin bekal, Mas. Habis ngeringin baju langsung berangkat. Anak-anak sudah diambil Mbak Marni tadi," kataku sambil mempercepat pekerjaanku. Jarum sudah menunjukkan pukul tujuh kurang seperempat. Kali ini aku harus merelakan baju kami dijemur setelah aku pulang sekolah. 

Meskipun sekolah tempatku mengajar hanya berjarak lima puluh meter dari rumah, aku tetap tak boleh membiasakan diri telat. Apalagi anak didikku akan melihat apa yang dicontohkan gurunya. 

Selesai mengeringkan baju, aku menuju ke kamar. Beruntung selesai masak kusempatkan mandi terlebih dahulu. Jadi sekarang tinggal mengganti daster dengan seragam berwarna khakhi kebanggaanku. Mematut diri di cermin, memoles lipstik warna nude andalanku. Aku tak suka warna-warna mencolok saat beraktifitas di sekolah. 

"Mbak. Motornya kupakai ya. Mbak pakai motorku atau jalan kaki saja ya!" Tika mengambil kunci motor  yang baru saja akan kuambil di samping meja TV. Aku menggeleng cepat. 

"Maaf, Tik. Mbak mau KKG di korwilcam. Jadi tetap butuh motor," jawabku sambil mengambil kunci yang sudah di tangannya. Kuabaikan matanya yang melotot tak terima. Aku pura-pura tak melihatnya. 

Kebiasaan, main serobot barang milik orang! 

Kulihat Tika menatap ibunya dengan pandangan memelas. Dia mengibarkan bendera S.O.S merasa butuh pertolongan. Pertolongan apa? 

Tentu saja pertolongan supaya sang Ibu membantunya memintaku untuk mengalah dan membiarkannya menggunakan motor matic yang baru saja kubeli bulan lalu. Enak saja! 

Mas Riza sudah pergi ke tokonya, sehingga tak melihat kelakuan adik yang sangat dimanjakannya. 

"Vit, kamu pakai motor Tika aja gimana?" ujar ibu mertua mencoba berdiplomasi. Aku yang sudah hafal perangai mereka tetap kekeh memegang kunci motorku. Cuek, aku memakai kaus kaki warna krem yang biasa kupakai. 

"Maaf, Bu. Motor Tika kayaknya kempes. Bocor kelihatannya. Tuh keliatan dari sini," jawabku dengan menunjuk motor Tika. Dengan santainya aku melenggang di depan mereka. Kupakai sepatu hitam yang tadi pagi masih sempat kusemir. 

Pandangan ibu mertua menuju motor  milik anaknya. Kedua alisnya bertaut melihat pemandangan di depannya. Tika masih merasa tak bersalah. Dia masih tersungut karena gagal meminjam motorku. 

"Kok motornya bisa kempes, Tik?" tanya ibu mertua dengan nada kesal. 

"Tadi malem kayaknya kena paku, Bu." Tika menjawab pertanyaan ibunya. Masih dapat Kudengar suaranya yang menggerutu. 

"Tuh, kan. Kena paku loh, Bu. Masa iya aku pakai motor yang bannya kempes kena paku." 

Sudah tahu motornya kena paku, kenapa menyuruh aku memakainya? Enak saja! Tidak semudah itu, Esmeralda! Kau tak akan menang melawanku kali ini. 

"Telepon Mas Riza. Suruh pulang dulu nganterin motormu ke bengkel!" perintah ibu mertua. 

Aku mencebik kesal. Padahal bengkel motor tak jauh dari rumah ini. Harusnya menuntun sebentar ke sana tidak akan membuat tangan Tika berubah kasar, atau rumitnya pecah-pecah. Paling hanya bedak di wajahnya saja yang luntur. 

Bodo amat. Aku sudah siang, tak mau lagi mendengar drama  ini yang sudah bosan kudengar selama enam tahun terakhir.

Kunyalakan motor matic yang masih sangat halus bunyi starternya. Saatnya menuju sekolah yang tidak hanya sebagai tempatku bekerja, namun bisa juga menjadi tempat hiburan di mana sepuluh rekan kerjaku hampir memiliki jiwa humor di atas rata-rata. 

Di sekolah aku bisa mendapatkan kehangatan keluarga yang tak pernah kudapatkan di rumah. Entah hingga kapan aku akan melewati drama seperti ini.  

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status