Share

Bab 2

Author: Blessy
Kata-kata itu sampai ke telinga Liana. Dia bersandar di sofa dengan mata terpejam dan tidak mengatakan apa-apa.

Jam tangan anak-anak yang dikenakan Kai berbunyi. Matanya seketika berbinar. Dia berlari ke depan Liana dengan setumpuk barang di tangannya.

"Ini tugas kerajinan tangan dari guru. Bantu aku tempel semua. Aku pergi cari Papa dulu!" perintah Kai. Setelah meletakkan barang-barang itu, dia langsung berlari pergi.

Liana membuka matanya dan menemukan satu set diamond painting. Gambarnya tidak besar, tetapi manik-maniknya sangat kecil, mungkin lebih dari seribu butir. Selain itu, warnanya juga berbeda-beda. Menyelesaikannya akan memakan waktu setidaknya semalaman penuh.

Biasanya, Liana akan membantu, tetapi juga akan melibatkan putranya. Dia akan membiarkan Kai mengerjakannya sendiri, juga menasihatinya untuk mandiri dan menyelesaikan apa yang harus dia selesaikan hari itu.

Sekarang, Liana sama sekali tidak bergeming.

Sekitar setengah jam kemudian, Leonard berjalan keluar dengan memegang ponsel. Kepalanya tertunduk dan ekspresinya lembut saat melihat layar.

Liana yang pelipisnya berdenyut memanggilnya, "Leonard, kamu punya waktu luang besok?"

"Ada apa?" Leonard menatap Liana dengan ekspresi acuh tak acuh.

"Ada hal sangat penting yang mau kubicarakan denganmu." Meskipun telah memutuskan untuk meninggalkan ayah dan anak ini, Liana masih secara naluriah ingin menghindari menyebutkan tentang kontrak itu di depan anaknya.

"Kenapa nggak jawab?" Suara ceria kekasih masa kecil Leonard terdengar melalui speaker.

Liana tahu Leonard telah mengecilkan suaranya, tetapi dia masih dapat mendengarnya dengan jelas.

Leonard segera mengalihkan kembali perhatiannya ke ponselnya, lalu memberi Liana anggukan santai sebagai tanda setuju. Melihatnya pergi ke dapur, Liana bangkit dan pergi ke kamar tamu.

Malam itu, Leonard kembali ke kamar utama dan tidak melihat Liana. Dia mengira Liana merajuk lagi dan tidur dengan agak kesal.

Keesokan harinya, Liana dibangunkan oleh suara keributan. Dengan masih mengenakan piama dan sandal, dia membuka pintu dan langsung melihat Emily di ruang tamu. Kai yang seharusnya berada di sekolah sedang bersorak di sekitar Emily.

"Hore! Bibi Emily memang yang paling baik! Sudah lama aku ingin ikut lomba itu, tapi Mama selalu melarangku pergi. Dia selalu begitu, benar-benar merusak suasana!" seru Kai.

Setelah berbicara sambil berputar dengan girang, Kai melihat ibunya yang berdiri di ambang pintu kamar tamu. Dia pun dengan bangga mengangkat dagunya dan berujar, "Papa sudah minta izin buatku hari ini, biar aku bisa pergi ikut lomba bersama Bibi Emily di Ornava Waterpark!"

Liana tahu itu adalah taman hiburan bertema pasir dan pantai yang dibuka secara khusus dan terpisah di dalam mal. Dia merasa tempat itu penuh kuman, itulah sebabnya dia tidak mengizinkan Kai pergi.

Namun ... merusak suasana?

Liana melirik ke sudut ruang tamu yang telah dia tata dengan teliti. Tempat itu dipenuhi wahana yang identik dengan yang ada di taman hiburan, hanya lebih kecil. Dia pun merasa konyol. Dia tidak lagi marah. Yang tersisa hanya mati rasa.

Liana mengangguk tanpa ekspresi. "Pergilah."

Emily menatapnya dengan ekspresi meminta maaf. "Liana, gimana kalau kita pergi bareng? Kamu pasti bosan tinggal di rumah sendirian."

Liana sudah hampir menolak.

"Jangan! Aku nggak mau!" seru Kai. "Aku nggak mau pergi dengannya! Dia cuma akan bilang ini kotor, itu nggak baik. Nyebelin banget! Bibi Emily, jangan bawa dia!"

Kalimat terakhir Kai terdengar lebih tenang daripada kalimat di awal, bahkan agak manja.

"Anak-anak cuma suka bermain, jangan diambil hati," kata Emily. Ekspresinya melembut saat dia menatap pria tampan yang keluar setelah berganti pakaian. "Liana, aku bawa Kai pergi main dulu, ya. Jangan marah."

Mendengar ini, Leonard langsung menatap Liana. Dia tidak mengatakan apa pun, tetapi tatapannya jelas sedang mengatakan, 'Emily sudah bantu kamu jaga anak, kenapa kamu masih marah?'

Liana merasa ironis. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, tetapi yang salah tetap adalah dia. Dia juga tidak menjelaskan, hanya berdiri di ambang pintu kamar tamu seperti pembantu yang tak penting.

Leonard menggandeng tangan Kai. "Ayo pergi."

Kai menggandeng tangan ayahnya dan Emily, lalu berjalan pergi dengan gembira. Siapa pun yang melihat sosok mereka dari belakang akan mengira mereka adalah keluarga beranggotakan tiga orang.

Liana mengedipkan matanya yang agak perih, lalu kembali ke kamar untuk mencuci wajah dan menyikat gigi. Setelah berganti pakaian, dia pun keluar. Dia pergi ke panti asuhan.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Meski Cinta Telah Pudar, Bintang Tetap Bersinar   Bab 24 

    Setelah memastikan bahwa luka Alice tidak serius, Liana menyerahkannya kepada Kian dan langsung pergi ke ruang kerja. Dia baru keluar setelah tengah malam.Dari tadi, Kian telah menunggu Liana di luar. Melihat Liana masih marah, dia berkata dengan khawatir, "Liana, biarkanlah aku melakukan sesuatu.""Kamu sudah membantuku dengan menjaga Alice. Ini adalah sesuatu yang harus kulakukan sendiri." Liana tidak ingin melibatkan Kian.Kian pun memeluk Liana dalam diam.Tidak ada perusahaan yang benar-benar bersih. Dalam lima tahun terakhir, Liana telah membantu menangani banyak urusan perusahaan. Terutama setelah Emily kembali, waktu yang dihabiskan Leonard di kantor tidak sampai dua jam sehari. Dia selalu menangani semua dokumen yang diperlukan dari jarak jauh. Jadi, sangat mudah baginya untuk menimbulkan sedikit masalah bagi Leonard.Kian meliburkan Liana dari pekerjaan perusahaan, juga mencoba menyelesaikan pekerjaan dengan cepat setiap hari agar bisa pulang untuk menemaninya. Dia memindahk

  • Meski Cinta Telah Pudar, Bintang Tetap Bersinar   Bab 23 

    Sesampainya di rumah, Liana sudah lumayan sadar dari mabuknya. Dia memperhatikan Kian menidurkan Alice, lalu duduk di depannya."Kalau sedih, nangis saja." Kian membuatkan air madu untuk Liana, lalu dengan penuh perhatian membuka sebungkus tisu baru.Liana tidak ingin menangis. Tidak ada yang perlu ditangisi. Dia hanya ingin bertanya, "Kamu yang suruh Alice panggil kamu papa?" Kian mengangguk. "Emm. Aku nggak tahan lagi lihat orang itu, tapi kamu melarangku ikut campur. Jadi, aku cuma kepikiran solusi itu. Kalau kamu nggak senang, aku akan suruh Alice jangan panggil aku begitu lagi." Solusi apanya! Itu jelas-jelas adalah pukulan psikologis.Kata-kata Alice mengenai "Papa nggak pernah buat Mama sedih" terus berputar di pikiran Liana. Dia menatap Kian yang lembut dan penuh perhatian, lalu berujar, "Kamu suka dipanggil begitu, sedangkan dia juga bersedia panggil begitu. Ya biarkan saja dia lanjut panggil begitu."Untuk sesaat, Kian masih belum tersadar. Setelah beberapa detik, dia terli

  • Meski Cinta Telah Pudar, Bintang Tetap Bersinar   Bab 22 

    Liana yang tadinya bersandar pada Kian sambil tersenyum tiba-tiba bersikap dingin dan menjaga jarak ketika melihat Leonard. Melihat hal ini, hati Leonard dipenuhi perasaan campur aduk, seperti bumbu yang tidak sengaja ditumpahkan. Dia masih tidak percaya bahwa Liana benar-benar mampu merelakan hubungan yang telah mereka jalin selama lima tahun."Liana, kamu benar-benar sudah yakin? Kamu mau kita jadi orang asing?" tanya Leonard."Leonard, kalau otakmu bermasalah, pergilah ke rumah sakit. Apa aku terlihat seperti orang yang ingin melanjutkan hubungan ini?" Nada Liana dipenuhi dengan rasa jijik yang tak tersembunyi. Apakah dia belum menunjukkannya dengan cukup jelas, sehingga Leonard masih tidak percaya bahwa dia ingin memutuskan semua hubungan dengan Leonard?Leonard merasa hatinya bagai disayat pisau. "Lalu, apa arti kebersamaan kita selama lima tahun terakhir? Kamu bilang kamu menyukaiku dan mau bersamaku. Kamu selamatkan aku dari kecelakaan, juga merawatku waktu aku sakit.""Selain i

  • Meski Cinta Telah Pudar, Bintang Tetap Bersinar   Bab 21 

    Rumah Kian tidak jauh dari perusahaan, hanya sekitar sepuluh menit berkendara. Rumah itu tidak terlalu besar, tetapi didekorasi dengan sangat hangat.Alice sangat menyukai sofa besar di ruang tamu. Dia berguling-guling di atasnya dan enggan untuk bangun."Mama, boleh nggak kita tidur di sofa malam ini?" tanya Alice dengan penuh harap."Boleh. Aku akan ambilkan selimut untuk kalian," jawab Kian. Kemudian, dia masuk ke kamar untuk mengambil selimut.Setelah berguling-guling di sofa lagi, Alice berseru dengan sangat kuat, "Terima kasih, Paman Kian! Paman Kian benar-benar baik!" Liana memandang Alice. Ketika baru mengadopsi gadis kecil ini, Alice masih sangat pemalu dan selalu menempel padanya, juga merasa tidak aman tanpa dirinya. Akhir-akhir ini, Alice dirawat dengan sangat baik dan menjadi jauh lebih berani. Kadang-kadang, ketika Liana sibuk, dia akan pergi mencari Kian sendiri."Kamu suka sama Paman Kian?" tanya Liana mencubit pipinya.Alice mengangguk tiada henti. Kemudian, dia berb

  • Meski Cinta Telah Pudar, Bintang Tetap Bersinar   Bab 20

    Liana berbalik dan pergi dengan tegas.Leonard tidak bisa masuk ke gedung perusahaan dan hanya bisa menunggu di lantai bawah.Kian secara khusus menyuruh sopirnya menurunkan Alice dari tempat parkir samping, sekaligus memberi tahu Liana, "Leonard sepertinya lagi cari tempat tinggal di kompleks apartemenmu. Dia sepertinya mau jadi tetanggamu." Alice mengedipkan matanya. Meskipun masih kecil, dia mengingat nama itu. Dia menatap ibunya dan bertanya dengan bingung, "Mama, apa itu Papa?""Bukan, dia cuma orang asing. Waktu ketemu sama dia kelak, jangan percaya pada apa pun yang dia katakan atau ikut dengannya," pesan Liana sambil mengelus kepala Alice.Alice mengangguk patuh, lalu dibujuk untuk pergi bermain di samping. Liana mengerutkan kening. Dia tidak takut pada Leonard, tetapi Leonard yang selalu mengusiknya sangat berpengaruh pada kehidupannya."Mau nginap di tempatku beberapa hari? Kompleksku punya keamanan yang baik," tanya Kian ragu-ragu. Saat Liana menoleh, dia menambahkan, "Aku

  • Meski Cinta Telah Pudar, Bintang Tetap Bersinar   Bab 19

    "Terima kasih," kata Liana kepada Kian.Kian menatapnya. "Liana, barusan ....""Seperti yang kamu lihat. Aku dan Leonard sudah hidup bersama selama lima tahun, juga punya seorang anak. Terima kasih atas perhatianmu selama beberapa hari terakhir. Besok, aku akan sewa pengasuh. Kamu nggak perlu antar jemput Alice lagi," ujar Liana dengan sopan."Liana!" Melihat Liana yang mencoba menjaga jarak dengannya, Kian menarik tangannya dengan agak marah. "Sejak kamu masuk kerja, aku tahu kamu punya keluarga dan anak. Kalau aku peduli tentang itu, aku nggak akan berusaha keras untuk bersikap baik padamu dan Alice."Liana menatapnya dan menyahut dengan nada tanpa emosi, "Tapi, kamu juga sudah melihatnya. Leonard punya dukungan Grup Hadinata. Dia orang yang keras kepala. Kalau dia melampiaskan amarahnya padamu, itu bisa membahayakan perusahaanmu ...." Kian tiba-tiba tertawa dan berkata dengan yakin, "Liana, kamu bukannya sama sekali nggak menaruh perasaan padaku, 'kan? Kamu mengkhawatirkanku." Sor

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status