Warning! Kisah ini mungkin sedikit berbeda dari yang lainnya. Karena tokoh utamanya bukanlah wanita baik-baik dan ada beberapa kata kasar yang sengaja disensor author, tapi setiap cerita pasti memiliki pelajaran tersendiri untuk diambil hikmahnya. Jadi bijaklah dalam membaca!
Sepertinya perbincangan mereka menyebabkan anggota lain di rumah Aida terbangun. Ya, karena ini tengah malam, jadi meski pun suara mereka pelan, akan tetap terdengar keras.
"Jangan coba-coba pakai baju keponakan saya di tubuh kotormu itu ya!" ujar Tante Nisa sembari mengambil paksa gamis Aida dari tangan Lena.
"Maaf, saya tidak bermaksud ...."
"Perempuan penuh noda sepertimu tidak pantas dimaafkan, sudah terlalu banyak dosa yang kamu perbuat," potong Tante Nisa dengan muka meremehkan.
Astaghfirullah, batin Lena.
"Tante Nisa, jangan bicara seperti itu. Kita tidak berhak menghakimi seseorang, dia adalah temannya Pak Khair," sahut Aida seraya mengusap lengan tantenya.
"Tanpa Tante bicara pun, semua orang juga tahu kalau dia ini seorang pela*ur. Oh, saya tahu, kamu sengaja deketin Aida supaya bisa mendapatkan hati Khair kan? Jangan mimpi kamu!" ucap Tante Nisa lagi.
"Cukup! Maaf, jika saya sudah membuat keributan. Aida, sebaiknya saya pergi saja, terima kasih banyak atas bantuannya," ucap Lena seraya mengusap sudut matanya yang basah oleh air mata.
"Bagus, jika kamu tahu diri."
"Tunggu. Saya tidak ada hubungan apa-apa dengan Pak Khair, saya harap kamu tetap di sini agar atasan saya tidak kecewa," cegah Aida.
"Astaga, Ai. Kamu itu jadi perempuan bodoh banget sih, susah kalau dibilangin. Terserah! Nanti kalau sampai posisi kamu direbut sama wanita hina ini, Tante nggak mau ikut campur." Tante Nisa memandang Lena dengan tatapan mengejek, lalu keluar begitu saja.
"Maafkan Tante saya, ya," ucap Aida merasa bersalah.
"Tidak masalah, semua yang dikatakan Tante kamu itu memang benar kok, saya bukan wanita baik-baik," sahut Lena.
"Semua orang berhak berubah, sekarang lebih baik kamu istirahat. Saya permisi dulu." Aida berjalan keluar lalu menutup pintu kamar Lena.
Lena mengembuskan napas pelan. Setelah mengganti bajunya dengan pakaian yang Aida pinjamkan, Lena berbaring. Dia berusaha memejamkan mata, tapi kejadian tadi jadi terbayang lagi. Aida benar, setiap orang berhak berubah. Seandainya saja ada seseorang yang mau mengeluarkannya dari pekerjaan kotor itu dan bersedia membimbingnya menjadi wanita lebih baik, dia tentu tak akan menolak. Tapi siapa? Bukankah tidak ada pria yang mau bersanding dengan wanita bekas orang lain seperti dirinya?
~oOo~
"Santoso! Santoso! Keluar kamu!" Om Ady datang bersama anak buahnya dan menggedor pintu rumah Lena. Dia tampak begitu marah.
Ayah Lena terkesiap, pasalnya meskipun hari sudah pagi ia masih tetap saja berkutat dengan selimutnya. Ini sudah menjadi kebiasaannya, tidak pernah bekerja, hanya mengandalkan uang dari Lena bekerja di kelab malam, itu pun ia gunakan untuk berj*di dan membeli min*man ke*as.
"Juragan Ady, ada apa datang sepagi ini?" tanya Pak Santoso dengan wajah gugup dan tubuh setengah gemetar.
"Tidak usah basa-basi, di mana anakmu?" tanya Om Ady seraya menarik kerah baju Pak Santoso.
"Bukannya semalam Juragan bersamanya?" Pak Santoso hanya bisa menelan salivanya dengan berat. Dia benar-benar takut kalau anak buah Om Ady yang badannya kekar tersebut menghabisinya.
"Anak kamu sudah melarikan diri. Lihat! Muka saya babak belur karena dihajar pacarnya." Om Ady menunjuk wajahnya yang memar akibat pukulan Khair.
"Lena punya pacar? Setahu saya tidak ada yang mau dengannya," sahut Pak Santoso.
"Kamu pikir saya nggak bisa dengar dengan baik? Lelaki b*r*ngs*k itu bahkan memberikan kartu namanya dan bersedia melunasi seluruh hutangmu. Awas saja jika dia menipu, akan saya seret kamu ke penjara!”
Om Ady dan anak buahnya beranjak pergi sambil menendang pot bunga di halaman rumah Lena.
"Ini si Lena ke mana sih? Dasar anak durh*ka, nggak tahu diri. Awas aja kalau ketemu akan kuseret dia kembali ke kelab malam," geram Pak Santoso.
~oOo~
Seorang pemuda sedang menunggu Om Ady di restoran mewah. Dia duduk seorang diri dengan secangkir cappuccino yang masih mengepulkan uap.
Khairul Anam. Lelaki tampan dan berwibawa yang telah menjadi CEO di usia muda karena sang papa memilih pindah ke luar negeri setelah bercerai dengan mamanya. Tak heran jika selama ini banyak wanita jatuh cinta dengannya. Sayangnya, tak ada satu pun yang mampu memikat hatinya.
Bahkan ia sempat dijodohkan oleh mamanya dengan Melody, seorang perempuan anggun yang berjilbab, dan anak seorang pemilik pondok pesantren.
Lain dengan Khair yang menganggap kedekatan mereka hanya sebatas teman, Melody justru memiliki perasaan yang berbeda. Berulangkali dirinya memberikan sinyal pada Khair tentang perasaannya, tapi selalu gagal. Khair tidak peduli, entah wanita seperti apa yang dia idamkan.
Om Ady menghampiri meja yang telah dipesan Khair, dia duduk begitu saja dan membiarkan kedua anak buahnya berdiri.
"Sepertinya kamu benar-benar sudah terpikat dengan rayuan wanita malam itu," ujar Om Ady setengah berbisik, suaranya terdengar mengintimidasi seolah Khair akan menyesal jika mencintai Lena. Padahal kalaupun yang dikatakannya benar, Khair tidak masalah. Baginya segala rasa itu datangnya dari Allah SWT dan dia sangat yakin, itu pasti yang terbaik untuknya.
Sejak kejadian malam kemarin, entah mengapa ada rasa lain dalam dada Khair. Seolah dia terdorong untuk melindungi wanita itu.
"Berapa nominalnya? Saya tidak punya banyak waktu." Khair memegang cek dan bolpoin, bersiap menulis berapa pun angka yang akan Om Ady minta.
"Hmm, sepertinya kamu ini pemuda shalih. Sayang sekali kamu mencintai perempuan seperti Lena, tapi ya sudahlah itu urusanmu."
'Cinta? Apa benar dia jatuh cinta pada pandangan pertama?'
Khair diam, dia berusaha mengabaikan setiap kata yang keluar dari bibir lelaki tua itu.
"Hutang ayahnya 10 juta, itu sudah beserta bunganya," jelas Om Ady.
"Boleh saya tahu ayah Lena meminjamnya untuk apa dan mengapa Lena bekerja di kelab malam?" tanya Khair. Sebenarnya dia sadar kalau dirinya bukanlah siapa-siapa dan tentu tidak punya hak bertanya seperti itu. Namun, melihat kondisi Lena, sepertinya perempuan itu menyimpan banyak beban dalam hidupnya.
"Saya heran kamu tidak tahu, padahal semua orang di sekitar sini paham. Ayah Lena seorang pe*abuk dan pej*di yang handal. Dia tidak segan-segan menjual putrinya supaya bisa mendapatkan uang. Itu sebabnya Lena dipaksa bekerja di kelab malam untuk membayar hutang ayahnya. Karena hanya di sana ayah Lena bisa mendapatkan uang tanpa menguras keringat," jelas Om Ady dengan muka menjengkelkan.
Khair terkesiap, ia telah salah menilai Lena. Pantas saja tadi malam gadis itu terlihat sedih, rupanya Khair telah mengatakan suatu hal yang menyakiti hatinya.
Astaghfirullah. Begitulah kehidupan, kadang yang tampak belum tentu sebenarnya.
Khair segera menulis nominal yang disebutkan Om Ady lalu memberikan cek itu kepadanya. "Saya harap Anda tidak mengganggu Lena dan keluarganya lagi."
"Tentu, terima kasih. Semoga kamu bisa membimbingnya menjadi lebih baik," ucap Om Ady menepuk punggung Khair, kemudian berlalu.
Seburuk apapun lelaki tua itu, ternyata dia masih memiliki sisi baik.
Khair menenggak setengah dari cappuccino miliknya lalu membayar minuman tersebut dan bergegas menuju rumah Aida.
Pria itu menjalankan mesin mobilnya dengan kecepatan sedang. Meskipun begitu, tak butuh waktu lama untuknya sampai di rumah Aida. Jarak antara rumah Aida dengan restoran cukup dekat, hanya memakan waktu beberapa menit saja.
"Eh, Nak Khair. Cari Aida?" Tante Nisa lebih dulu membuka pintu sebelum Khair sempat mengucapkan salam. Perempuan itu terlihat antusias, dia sangat berharap Khair menjadi suami dari keponakannya. "Sebentar ya, Tante panggil dulu Aidanya."
Khair mengangguk, lalu menghempaskan tubuhnya di kursi depan rumah Aida.
Tak lama kemudian, Aida turun bersama Lena. Tak sengaja Khair menatap mata Lena, ada sepersekian detik pandangan mereka bertemu, sebelum akhirnya pemuda itu dengan segera memalingkan wajahnya.
"Tampan sekali," gumam Lena.
"Kamu bicara sesuatu?" tanya Aida dengan suaranya yang lembut.
"Tidak, tidak apa-apa." Lena terlihat salah tingkah. Dia tidak mungkin mengatakan jika saat ini dirinya sedikit tertarik dengan Khair.
"Aida tolong kamu handle pekerjaan di kantor, ya! Pagi ini saya ada sedikit urusan dengan Lena," ucap Khair seraya memberikan beberapa dokumen pada Aida.
"Baik, Pak," sahut Aida tersenyum seraya mengambil dokumen itu dari tangan bosnya.
"Ayo kita berangkat sekarang," ajak Khair.
Meskipun pemuda itu tidak memandangnya, tapi Lena paham bahwa dirinyalah yang sedang diajak bicara.
"Saya permisi dulu, Aida," Lena menepuk lembut pundak Aida.
"Kamu lihat! Belum apa-apa perempuan itu sudah berniat menyingkirkan dirimu," ujar Tante Nisa yang sudah berdiri di dekat Aida.
"Aida berangkat dulu, Tan. Assalamualaikum." Aida mencium punggung tangan tantenya lalu beranjak menuju taksi yang sedari tadi sudah menunggunya. Aida rasanya malas meladeni Tante Nisa yang terus saja memprovokasi dirinya.
"Jangan nyesel nanti, kalau apa yang Tante katakan barusan benar-benar terjadi!" teriak Tante Nisa setelah Aida membuka pintu taksi.
"Tunggu, Pak." Lena menghentikan langkahnya, membuat Khair ikut berhenti."Kenapa?" tanya Khair tanpa menoleh sedikit pun.Perempuan itu menarik napasnya dalam. Dia tampak menimbang-nimbang ucapannya, seolah yang akan dia katakan adalah hal yang berat. "Sebaiknya kita tidak pergi berdua, saya tidak mau bapak terjebak dosa lagi seperti malam itu."Khair tersenyum, ternyata itu yang ingin Lena katakan. "Di dalam mobil ada Bi Inah, asisten rumah tangga Mama.""Eh, kirain mau berdua lagi," sahut Lena. Kata itu meluncur begitu saja dari bibir tipisnya."Ayo, kasihan Bi Inah sudah nunggu lama," ajak Khair. Meskipun dia tahu asisten rumah tangga mamanya itu hanya menunggu beberapa menit saja."Kita mau ke mana?" tanya Lena dengan muka polosnya.“Belanja keperluanmu. Saya tidak mau melihat kamu memakai baju kurang bahan seperti kemarin,” ujar Khair sembari membuka pintu mobilnya.Lena mel
Inah! Dari mana saja kamu? Pagi-pagi sudah ngilang!" teriak Mama Reta ketika melihat Bi Inah masuk ke dalam rumah bersama dengan putranya."A-anu, Nya. Itu ...," jawab Bi Inah gagap."Anu-itu, apa? Dan kamu Khair, kenapa masih di sini? Nggak kerja?" potong Mama Reta seraya menghampiri mereka."Habis zuhur Khair ke kantor, Ma. Tadi ada urusan sebentar sama Bi Inah," sahut Khair, dia melirik ke arah asisten rumah tangga mamanya yang terlihat menunduk."Kamu itu jangan terlalu baik sama pembantu, ntar lama-lama dia ngelunjak. Pakai acara beliin barang-barang segala," ucap Mama Reta seraya melirik paperbag di tangan Bi Inah.Astaga! Khair lupa meletakkan gamis Lena di bagasi mobil, untung mamanya berpikir itu belanjaan Bi Inah. Kalau sampai perempuan itu tahu yang sebenarnya, bisa runyam urusannya. Tapi kasihan juga Bi Inah, sekarang dia malah terkena imbas dari masalah Khair."Masuk aja, Bi. Terima kasih sudah bersedia menemani saya," uja
Khair berhenti, sedikit memutar tubuhnya agar menghadap Lena. "Saya akan menikahimu," ucapnya setelah mereka berdua sampai di halaman tempat tersebut.Ucapan Khair seketika membuat Lena terperanjat. Mungkinkah saat ini pendengarannya sedang bermasalah? Atau pria di hadapannya justru sedang bercanda."Duduklah Lena, malam ini saya ingin mengatakan hal penting padamu," ujar Khair.Mereka duduk bersisihan di bangku depan kelab malam. Suasana di luar sepi, meski kadang masih ada beberapa orang lewat."Pakai ini, udara malam tidak bagus untuk kesehatanmu." Khair melepas jasnya dan memberikannya pada Lena.Perhatian seperti ini yang selalu saya rindukan, Mas, batin Lena."Lena, saya berniat serius melamarmu. Saya ingin kamu menjadi istri saya." Khair mengulang ucapannya yang tadi sempat terjeda untuk beberapa saat.Lena menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Dia benar-benar tidak menyangka Khair akan mengatakan
"Ma ... Khair belum selesai bicara," ucap Khair dengan suara agak keras. Dia berharap Mama Reta mendengar suaranya dan kembali menemui Lena. Sayangnya, perempuan itu benar-benar tak peduli. Mama Reta malah berjalan menaiki tangga dan menuju kamarnya.Khair memandang Lena yang sedari tadi hanya diam. Khair tahu perempuan itu pasti kecewa sebab sikap Mama Reta tidak seperti apa yang Lena bayangakan. Bahkan mungkin Lena tersinggung dengan perkataan Mama Reta yang tajam, meski sebenarnya semua itu benar adanya."Lena, kamu duduk dulu ya! Anggap aja rumah sendiri. Saya tinggal ke atas sebentar," ucap Khair lembut lalu bergegas menyusul Mama Reta. Sepertinya memang dia harus bicara dengan mamanya itu.Lena mengangguk. Perempuan itu memandang Khair dengan tatapan tak berdaya. Ternyata pemikirannya salah, Mama Reta tak menyukainya. Padahal dia sangat berharap nantinya akan mendapatkan kasih sayang dari calon mertuanya. Karena semenjak ibunya pergi bersama lelaki l
"Len, tumben jam segini sudah masak? Pulang jam berapa tadi?" tanya Pak Santoso seraya menuangkan air putih ke dalam gelas lalu menenggaknya."Jam sembilan," ucap Lena cuek.Pak Santoso tampak tersedak mendengar jawaban Lena dan buru-buru meletakkan gelas yang masih berisi setengah air itu ke atas meja."Kamu nggak melayani pelanggan?" tanyanya lagi."Nggak, Lena pergi sama Khair," sahut Lena dengan wajah datar.Brakk!Pak Santoso menggebrak meja di hadapannya, seketika terdengar suara dentingan sendok dan garpu secara bersamaan.Lena sudah menduga, ayahnya pasti marah mendengar perkataannya. Namun, dia sudah tidak peduli lagi, sekalipun sang ayah menghajarnya habis-habisan karena telah melarikan diri dari kelab malam. Semua itu tetap tidak akan mengembalikan kehormatannya yang telah terenggut. Siksaan dari ayahnya sudah menjadi makanan sehari-hari untuk Lena."Kamu ini sudah nggak waras? Mami Dora bisa pecat kamu k
Setelah semua pekejaan kantor dan meeting selesai. Aida dan Khair menuju supermarket. Kini mereka sedang memilih barang untuk diberikan pada Lena. "Sepertinya yang ini bagus, Pak," ucap Aida sembari menenteng satu boneka dengan warna biru muda berbentuk beruang dilengkapi love di bagian perutnya."Kira-kira Lena suka nggak, Ai?" tanya Khair seraya mengambil alih benda itu dari tangan Aida dan mengamatinya."Mudah-mudahan suka, Pak," sahut Aida. "Sepertinya ini sudah cukup. Ada cokelat, jam tangan, parfum sama boneka ini," lanjutnya."Oke kita ke sana mumpung belum terlalu siang. Hari ini kamu ada acara nggak?" tanya Khair."Kebetulan saya lagi free, Pak." Aida membawa semua barang belanjaan mereka dan menuju kasir. Khair mengikuti langkah Aida, lalu membayar semua belanjaan mereka setelah kasir menyebutkan nominalnya, dan segera bergegas menuju rumah Lena.***Lena mengambil sapu dan mulai membersihkan rumahnya. Mungkin aca
Khair ingin menceritakan sedikit tentang kehidupan Lena, mumpung mood mamanya sedang baik. Sayangnya, Melody lebih dulu datang dan menyapa mereka."Assalamualaikum," sapa Melody dengan membawa sebuah rantang di tangannya."Waalaikumsalam. Duduk, Mel! Tante kangen sama kamu." Mama Reta memeluk perempuan itu layaknya menantunya sendiri."Ini ada titipan dari Bunda untuk Mas Khair dan Tante," ucap Melody seraya menyodorkan rantang yang sepertinya berisi makanan pada Mama Reta. Ya, Bunda Soraya memang sering memberikan makanan pada Khair dan mamanya. Karena mereka memang sudah seperti kerabat."Khair kamu nggak mau cicipin?" Mama Reta meletakkan rantang yang dibawa Melody di meja dan membuka satu persatu isinya. Seketika aroma dari berbagai makanan menguar di udara. Sayang, Khair sudah kenyang."Nggak, Ma. Khair mandi dulu, gerah soalnya." Khair berlalu menuju rumah. Dia tidak ingin Melody semakin berharap padanya. Khair bisa me
Awas baper!"Khair, kamu benar-benar mau memberikan mahar ke Lena dan Pak Santoso sebanyak itu?" tanya Mama Reta setelah mereka sampai di rumah. Wajahnya tampak menginterogasi layaknya hakim yang sedang berhadapan dengan terdakwa. Sekejap kemudian, perempuan itu melempar tas-nya yang cukup bermerk dengan sembarangan."Iya, Ma. Memangnya kenapa?" tanya Khair polos. Dia sama sekali tidak merasa tindakannya adalah sebuah kesalahan."Awalnya memang Mama setuju, tapi kayanya kamu harus pikir-pikir dulu. Mahar 15 juta rupiah bukan uang sedikit, terlalu mahal jika diberikan pada wanita bekas orang lain," ujar Mama Reta. Nada suaranya terdengar mengejek, seolah Lena memang serendah itu di matanya."Ma, Lena jauh lebih berharga dari itu," tandas Khair."Terserah lah! Ini kalau orang sudah dibutakan sama cinta, pikirannya jadi nggak berfungsi dengan baik!" tukas Mama Reta sinis. Perempuan itu membenarkan letak kacamatanya deng